Al-Qur’an Surah Ali-Imran, 3: 159 dan Asy-Syura, 42: 38
A. Surah Ali Imran, 3: 159 Tentang Musyarawarah
1. Bacaan dan Penjelasan Bacaan
Bacalah ayat Al-Quran berikut dengan benar sesuai dengan tajwidnya!
•
Ruang Tajwid
Bacaan Hukum Bacaan Cara Membaca Alasan
Idgham bi gunnah Rahmatimmina (tanwin dibaca terpadu dengan dengung) Karena kasrah tanwin mengahadapi huruf Idgham: mim.
Ikfa’ Ling ta (nun mati dibaca samar dengan dengung) Karena nun mati mengahadapi huruf Ikfa: ta’.
Izhar Syafawi Lahum wa (mim mati dibaca jelas). Karena mim mati menghadapi huruf: wau.
Izhar ‘An hum (nun mati dibaca jelas) Karena nun mati menghadapi huruf: ha’.
Izhar Syafawi Hum fi (mim mati dibaca jelas) Karena mim mati menghadapi huruf; fa’
2. Terjemahan
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (Q.S. Ali Imran, 3: 159)
3. Kesimpulan dan Penjelasan
Kesimpulan surah ini adalah merupakan penjelasan bahwa berkat adanya rahmat Allah SWT yang amat besar, Nabi Muhammad SAW merupakan sosok pribadi yang berbudi luhur dan berakhlak mulia. Beliau adalah orang yang berhati lembut, dan berperilaku baik yang diridhoi Allah SWT serta mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Dalam pergaulan Rasulullah SAW senantiasa memberi ma’af kepada orang yang telah berbuat salah.
Kata musyawarah berasal dari kata syawara yang artinya, secara kebahasaan ialah mengerluarkan madu dari sarang lebah. Sedangkan menurut istilah yang dimkasud dengan musyawarah adalah berunding antara seorang dengan orang lain, mengenai suatu masalah atau beberapa masalah, dengan maksud untuk mengambil keputusan atau kesepakatan bersama.
Mengacu kepada Al-Qur’an surah Ali Imran : 159, maka dalam pergaulan hidup masyarakat, khususnya dalam musyawarah, hendaknya diterapkan prinsip-prinsip umum berikut:
1. Melandasi musyawarah dengan hati yang bersih, tidak kasar, lemah lembut, dan penuh kasih sayang.
2. Dalam bermusyawarah hendaknya bersikap dan berperilaku baik.
3. Para peserta musyawarah hendaknya berlapang dada, bersedia memberi ma’af apabila dalam musyawarah ada perbedaan pendapat.
4. Hasil musyawarah yang telah disepakati bersama hendaknya dilaksanakan dengan bertawaka kepada Allah SWT.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah An-nisa, 4:59 berikut ini:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Hal yang perlu diperhatikan oleh setiap Muslim/Muslimah, bahwa lapangan yang dipermusyawarahkan berbatas pada masalah-masalah kemasyarakatan, yang tidak ada petunjuknya dalam Al-Qur’an dan Hadist.
B. Surah Asy-Syura 42: 38 Tentang Anjuran Bermusyawarah
1. Bacaan dan Penjelasan Bacaan
Bacalah ayat Al-Quran berikut dengan benar sesuai dengan tajwidnya!
Ruang Tajwid
Cara Membaca Hukum Bacaan Bacaan
Istajaa buu (jaa = panjangnya dua harkat) Mad tabi’i
Mimma (mimma = dibaca gunnah dengung, dan panjang bacaannya dua harkat) Gunnah
Yungfiquuun (nun mati dibaca samar dengan dengung) Ikfa’
2. Terjemahan
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”.
3. Kesimpulan
Kesimpulan dari isi atau kandungan Surah ini adalah menjelaskan sifat-sifat orang beriman yang akan memasuki surge yaitu:
• Senantiasa melaksanakan perintah Allah SWT dan meninggalkan segala larangan-Nya.
• Disiplin dalam mengerjakan shalat yang hukumnya wajib.
• Selalu bermusyawarah, dalam hal-hal yang perlu dipermusyawarahkan (urusan dunia)
• Menafkahkan sebagian rezeki karunia Allah SWT, untuk hal-hal yang diridai-Nya (infaq fi sabilillah)
Melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya adalah fardhu ‘ain. Banyak ayat Al-Qur’an dan Hadis yang isinya mewajibkan bertakwa. Muslim/Muslimah yang senantiasa bertakwa kepada Allah SWT, disiplin dalam shalat lima waktu, selalu bermusyawarah dalam urusan yang perlu dimusyawarahkan dan senantiasa berinfak dijalan Allah SWT, untuk selama hidupnya akan mendapat ridha dan rahmat dari Allah SWT, bahagia duniawi maupun ukhrawi.
Rangkuman
Surah Ali Imran : 159 menjelaskan bahwa berkat adanya rahmat Allah SWT yang amat besar, Nabi Muhammad senantiasa berperilaku mulia, antara lain: berhati lembut, penuh kasih sayang, dan bersikap serta berperilaku yang diridhai Allah SWT dan yang bermanfaat. Selain itu Rasulullah suka memberi ma’af, memohonkan ampun kepada Allah SWT, bermusyawarah dalam hal-hal yang perlu dimusyawarahkan dan bertawakal kepada Allah SWT. Akhlak mulia Rasulullah tersebut wajib diteladani oleh setiap Muslim/Muslimah.
Kesimpulan isi kandungan surah Asy Syura: 38 adalah menerangkan tentang ciri-ciri orang beriman, antara lain bertakwa, disiplin, shalat lima wakt, suka bermusyawarah, dan berinfak dijalan Allah SWT.
Iman Kepada Malaikat
A. Pengertian Iman Kepada Malaikat
Iman kepada malaikat artinya percaya bahwa malaikat adalah makhluk gaib yang asal kejadiannya dari nur (cahaya). Mereka mempunyai akal tetapi tidak mempunyai nafsu. Karena itu mereka senantiasa patuh kepada Allah SWT serta tidak pernah mendurhakai-Nya.
Hukum beriman kepada adanya malaikat adalah fardu ‘ain. Seseorang yang mengaku beragama Islam jika tidak percaya adanya malaikat, dapat dianggap murtad (keluar dari agama Islam). Perintah untuk beriman kepada malaikat terdapat dalam kitab suci Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW.
Jumlah para malaikat tidak terhingga banyaknya dan hanya Allah SWT yang mengetahuinya. Dalam Al-Qur’an dinyatakan: “dan tidak ada yang mengetahui tentara(malaikat) Tuhanmu, melainkan Dia sendiri” (Q.S. Al Muddassir, 74: 31). Diantara malaikat yang banyak itu, ada sepuluh malaikat yang wajib kita ketahui namanya berikut tugasnya masing-masing.
B. Tanda-Tanda Beriman Kepada Malaikat
Tanda-tanda beriman kepada malaikat ada yang berupa sikap mental yakni pikiran dan perasaan serta adapula yang berupa sikap lahir ucapan dan perbuatan.
Tanda-tanda beriman yang berupa sikap mental itu bersifat abstrak, tidak dapat diketahui dengan panca indera dan yang mengetahuinya hanyalah individu itu sendiri dan Allah SWT. Tuhan yang mengetahui semua yang gaib dan yang nyata (syahadah).
Tanda beriman kepada malaikat berupa sikap mental itu seperti:
Mempercayai malaikat adalah makhluk gaib yang lebih dahulu diciptakan Allah SWT daripada manusia dan yang asal kejadiannya dari nur.
Mempercayai atau meyakini dalam hati bahwa para malaikat bersifat, seperti bertubuh halus (gaib) tidak bias dilihat manusia biasa; senantiasa mentaati perintah dari Allah SWT dan tidak pernah mendurhakai-Nya; tidak mempunyai jenis kelamin; tidak memiliki nafsu dan beranak atau diperanakkan; tidak membutuhkan makanan dan segala apa yang berupa materi; malaikat tidak akan mengalami kematian sebelum datangnya hari Kiamat; para malaikat hanya bisa mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT; dan para malaikat itu diciptakan Allah untuk tugas-tugas tertentu.
Meyakini dalam hati bahwa tugas malaikat itu macam-macam, ada yang berhubungan dengan rohani dan ada pula yang berhubungan dengan alam dunia, khususnya umat manusia.
Para malaikat yang tugasnya berkaitan dengan alam dunia atau umat manusia, seperti:
1. Malaikat Jibril, yang bernama Rahul Amin (ruh yang terpercaya), Rahul Qudus (ruh yang suci) dan Namus yang bertugas menyampaikan wahyu kepada para nabi atau rasul. Dengan demikian tugas malaikat jibril menyampaikan wahyu kepada para nabi atau rasul berakhir, setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW sebagai Khatamul Anbiya’I Wal Mursalin (penutup para nabi dan para rasul).
2. Malaikat Mikail bertugas membagi rezeki kepada seluruh makhluk.
3. Malaikat Izrail bertugas mencabut nyawa seluruh makhluk hidup.
4. Malaikat Israfil bertugas sebagai peniup sangkakala, jika hari kiamat telah tiba saatnya.
5. Malaikat Raqib bertugas mencatat segala sikap, tutur kata, dan perbuatan manusia yang baik.
6. Malaikat Atid bertugas mencatat segala sikak, tutur kata, dan perbuatan manusia yang jahat.
7. Malaikat Munkar bertugas memberikan pertanyaan-pertanyaan pada setiap manusia yang hidup dialam kubur.
8. Malaikat Nakir bertugas sama dengan malaikat Munkar.
9. Malaikat Malik bertugas sebahai penjaga neraka.
10. Malaikat Ridwan bertugas menjaga surga.
Mengenai tanda-tanda beriman kepada malaikat yang berupa sikap lahir yaitu ucapan dan perbuatan, antara lain:
Pernyataan lisan, bahwa ia percaya kepada adanya para malaikat dan sifat-sifatnya sesuai dengan penjelasan Al-Qur’an.
Ia melakukan perbuatan-perbuatan yang mencerminkan beriman kepada malaikat. Secara umum dapat dikatakan orang yang beriman kepada malaikat akan senantiasa bertkawa, yakni meninggalkan segala perintah Allah SWT dan meninggalkan segala yang dilarang-Nya.
C. Contoh-Contoh Perilaku Beriman Kepada Malaikat
Selalu berkata yang baik-baik saja dan jika tidak bisa lebih baik diam. Rasulullah SAW bersabda yang artinya “barang siapa beriman kepada Allah (termasuk beriman kepada malaikat) dan Hari Akhirat maka hendaklah berkata yang baik-baik saja atau diam” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Perilakunya senantiasa termasuk akhlak mulia yang mendatangkan manfaat bagi pelakunya dan orang lain.
Perilaku orang beriman dengan orang beriman lainnya akan saling membantu dan saling menguatkan dalam hal-hal positif yang diridhai Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda yang artinya “Orang beriman terhadap orang beriman lainnya, seperti sebuah bangunan yang antara bagian yang satu dan bagian lainnya saling menguatkan” (H.R. Muslim)
Perilaku orang beriman jika pada situasi menyenangkan (memperoleh nikmat) ia akan bersyukur yakni berterimakasih pada Allah SWT. Sedangkan jika pada situasi menyusahkan (mendapat musibah) ia akan bersabar.
D. Penerapan Iman Kepada Malaikat Dalam Sikap dan Perilaku
Berikut beberapa sikap perilaku orang beriman kepada malaikat, yang seharusnya diamalkan oleh setiap muslim/muslimah.
1. Gemar melaksanakan shalat berjamaaah.
2. Gemar berperilaku dermawan.
3. Gemar berperilaku menuntut ilmu.
4. Berperilaku gemar membaca Al-Qur’an
Rangkuman
Iman kepada malaikat, artinya percaya bahwa malaikat adalah makhluk gaib yang asal jadinya dari Nur yang senantiasa patuh pada Allah SWT.
Hukum beriman kepada malaikat adalah fardu ‘ain. Orang yang mengaku Islam, tapi tidak percaya kepada malaikat dianggap murtad.
Tanda-tanda beriman kepada malaikat itu ada yang berupa sikap mental atau perasaan, dan ada pula yang berupa sikap lahir, yakni ucapan dan perbuatan.
Perilaku orang yang beriman kepada malaikat itu secara umum akan senantiasa bertakwa kepada Allah SWT.
Berperilaku Terpuji
A. Adab Berpakaian dan Berhias
Allah SWT berfirman:
•
Artinya: “Hai anak Adam[530], Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa[531] Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat” (Q.S. Al-A’raf, 7: 26)
Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa fungsi berpakaian itu adalah:
Untuk menutup aurat.
Untuk memperindah jasmani manusia.
Aurat adalah bagian tubuh manusia yang tidak boleh dibuka dan dilohat orang lain. Aurat laki-laki dewasa ialah antara pusar dan lutut, sedangkan aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya, kecuali muka dan telapak tangan.
Pakaian yang Islam adalah pakaian yang menutup aurat yang dijelaskan diaatas.
Allah SWT berfirman:
Artinya: “Hai anak ada, pakailah pakaianmu yang indah disetiap (memasuki) masjid” (Q.S. Al-A’raf : 31)
Hadis-hadis Nabi SAW banyak mengenai berhias diri, yaitu:
• Anjuran untuk memotong kuku, mencukur kumis, menyisir rambut, dan merapikan jenggot.
• Anjuran untuk berharum-haruman dengan wewangian yang menyenangkan hati melegakan dada, menyegarkan jiwa, serta membangkitkan tenaga dan gairah kerja.
• Larangan mencukur botak bagian kepala, dan bagian lainnya tidak dicukur/dibiarkan tumbuh.
• Larangan berhias diri dengan mengubah apa yang telah diciptakan Allah SWT misalnya mengerting rambut, memakai cemara (menyambung rambut), mencukur alis mata, membuat tahi lalat palsu, dan larangan bertato.
• Laki-laki dilarang berhias diri sehingga menyerupai perempuan dan begitu pula sebaliknya.
B. Adab Dalam Perjalanan
1. Tata Krama di Jalan Raya
Allah SWT berfirman:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah, dan taatilah rasul-Nya dan ulil umri (pimpinan-pimpinan) diantara kamu” (Q.S. An-Nisa, 4 : 59)
Mengacu pada ayat tersebut, hendaknya kita menaati ajaran Allah SWT dan rasul-Nya (ajaran Islam) dan undang undang serta peraturan pemerintah dimanapun dia berada.
a. Pejalan kaki hendaknya:
• Berjalan di sebelah kiri jalan dan di tratoar
• Menyebrang dijembatang penyebrangan atau di zebra cross
• Menunggu lampu hijau bagi penyebrang atau saat aman untuk menyebrang
• Menjaga sopan santun dan tidak melakukan tindakan yang mengganggu ketertiban umum
b. Pengemudi kendaraan bermotor hendaknnya:
• Memperhatikan dan menaati rambu-rambu lalu lintas
• Melengkapi kelengkapan berkendara, seperti SIM, STNK, dan helm (bagi pengendara sepeda motor)
• Mengemudi dalam batas kecepatan sesuai dengan keadaan jalan raya
• Tidak membuang sampah sembarangan
2. Tata Krama Bagi Para Penumpang Kendaraan Umum
• Bermanis muka dan bertutur kata baik, terhadap penumpang lainnya.
• Bersikap hormat kepada penumpang lainnya yang lebih tua dan sayang kepada penumpang yang lebih muda.
• Tolong menolong dalam kebaikan.
• Jangan melakukan perbuatan-perbuatan yang mengganggu dan merugikan para penumpang lain.
C. Adab Bertamu dan Menerima Tamu
1. Bertamu
Bertamu adalah berkunjung ketempat orang lain. Kunjungan ini biasanya karena ada suatu keperluan. Bertamu dengan maksud baik dilandasi dengan niat iklas karena Allah serta untuk memperoleh ridha-Nya dan rahmat-Nya termasuk kedalam silaturahmi.
Menurut Islam orang yang bertamu itu harus memperhatikan dan melaksanakan tata krama, sesuai dengan petunjuk Allah SWT dan rasul-Nya. Adapun tata krama tersebut adalah:
a. Mempunyai maksud baik yang diridhai Allah SWT.
b. Menggunakan pakaian yang dapat menutup aurat, sopan, dan berpenampilan Islami.
c. Memperhatikan keadaan orang yang ditemui, usahakan bertemu itu ketika orang yang ditamui dalam keadaan senggang waktu.
d. Bersikap dan bertutur kata yang sopan, sehingga orang yang dikunjungu senang serta hormat kepada tamunya.
e. Dalam bertamu, kalau memang harus menginap, usahakan jangan sampai lebih dari tiga hari.
2. Menerima Tamu
Dalam menerima tamu, tuan rumah hendaknya menjaga keselamatan tamu dan juga berusah agar tamunya merasa senang selama ia bertamu. Rasulullah bersabda “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kiamat hendaklah memuliakan tamunya”.
Cara menghormati tamu adalah sebagai berikut:
a. Tuan rumah hendaknya berpakaian sopan dan menutup aurat. Tamu hendaknya diterima dengan syukur dan senang.
b. Menerima tamu dengan sikap serta perilaku yang baik, dengan wajah berseri, tutur kata yang sopan, berusaha agar perkataan tidak menyinggung tamunya.
c. Tamu hendaknya dijamu.
Rangkuman
Dalam pergaulan hidup bermasyarakat setiap Muslim/Muslimah dituntut untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan tata krama Islami, misalnya: dalam cara berpakaian dan berhias diri, juga dalam bertamu dan menerima tamu.
Berpakaian yang sesuai dengan tata krma yang Islami adalah yang dapat memenuhi fungsinya yaitu menutup aurat, menambah keindahan fisik, dan menunjukkan identitas pakaiannya sebagai seorang Muslim/Muslimah.
Berhias diri yang sesuai dengan tata krama Islami adalah yang sesuai dengan petunjuk-petunjuk Allah SWT (Al-Qur’an) dan rasul-Nya (Hadis)
Menghormati tamu merupakan suatu kewajiban dan ciri berimannya seseorang. Menghormati tamu haruslah sesuai dengan ajaran Islami, sehingga mendatangkan manfaat baik bagi tamu maupun bagi yang menerima tamu.
Bertamu yang sesuai dengan tata krama Islami adalah maksud bertamunya itu baik diridai Allah, berpakaian yang sopan dan berperilaku baik, dan dalam bertamu tidak menyulitkan tuan rumah, misalnya usahakn bertamu itu kalau harus menginap jangan sampai lebih dari tiga malam.
Setiap Muslim/Muslimah hendaknya melaksanakan tata karma dalam perjalanan. Jika ia menggunaka kendaraan umum hendaknya memperhatikan dan mentaati undang-undang dan peraturan pemerintah tentang lalu lintas. Jika ia sebagai penumpang kendaraan umum hendaknya ia bertata karma terhadap penumpang lainnya.
Perilaku tercela
A. Hasud
Hasud atau dengki berbeda pengeetiannua dengan iri hati. Iri hati artinya merasa ingin menguasai sesuatu yang dimiliki orang lain karena dirinya belum memiliki dan tidak mau ketinggalan.
Berdasarkan hadis riwayat Bukari-Muslim ada dua macam iri hati yang dibolehkan Islam, yaitu iri hati kepada orang yang dianugerahi harta yang banyak kemudian harta itu digunakan untuk hal-hal yang diridhai Allah dan iri hati kepada orang yang diberi ilmu pengetahuan Allah SWT, kemudian ilmu itu diamalkan dan diajarkan kepada orang lain.
Hasud atau dengki ialah rasa atau sikap tidak senang terhadap kerahmatan (kenikmatan) yang diperoleh orang lain dan berusaha untuk menghilangkannya atau mencelakakan orang lain.
Seseorang yang beriman kepada qada’ dan qadar tidak akan bersika dengki kepada orang yangpunya kelebihan karena ia menyadari bahwa hal itu kehendak dan kekuasaan Allah SWT. Allah berfirman:
••
Artinya: “Adakah mereka iri hati kepada manusia (Muhammad) atas karunia yang telah di berikan Allah kepada mereka (Q.S. An-Nisa, 4: 54)
Setiap muslim/muslimah wajib hukumnya menjauhi sifat hasud karena termasuk sifat tercela dan merupakan perbuatan dosa.
“Janganlah kamu saling dengki, saling memutuskan hubungan, saling membenci, dan saling membelakangi tetapi jadilah kamu hamba Allah yang bersaudara, sebagaimana yang telah diciptakan Allah kepadamu” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Kerugian yang ditimbulkan oleh sifat hasud antara lain:
• Dapat merusak iman orang yang hasud.
• Dapat memutuskan hubungan persaudaraan dan menghapus segala kebaikan yang pernah dilaksanakan.
“Jauhkanlah dirimu dari hasud karena sesungguhnya hasud itu memakan kebaikan-kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar” (H.R. Abu Daud)
• Dapat menimbulkan kerugian atau bencana, baik bagi pedengki maupun yang didengki.
• Dapat merusak hati pendengki itu sendiri.
B. Riya’
Menurut bahasa riya’ adalah memperlihatkan (pamer). Yang dimaksud dengan riya’ adalah memperlihatkan suatu ibadah dan amal saleh kepada orang lain bukan karena Allah, tetapi karena sesuatu selain Allah.
Riya’ dan Sum’ah termasuk sifat tercela, merupakan syirik kecil yang hukumnya haram dan harus dijauhi oleh setiap muslim/muslimah. Rasulullah SAW bersabda:
“Sesuatu yang sangat aku takutkan yang akan menimpa kamu ialah syirik kecil. Nabi SAW ditanya tentang apa yang dimaksud dengan syirik kecil itu maka beliau menjawab; yaitu riya’.” (H.R. Ahmad)
Riya’ bisa terdapat dalam urusan keagamaan dan bisa dalam urusan keduniaan. Riya’ dalam urusan keagamaan misalnya:
• Seseorang melakukan shalat berjamaah dimasjid dengan maksud bukan ingin memperoleh keridhaan Allah SWT, tetapi ingin mendapat penilaian sebagai muslim yang taat. Orang yang seperti ini biasanya kalau berada sendirian dia tidak mau mengerjakan shalat.
Riya’ dalam urusan dunia misalnya:
• Seseorang memperlihatkan kesungguhan dan kedisiplinan dalam bekerja kepada atasannya, dengan tidak dilandasi nilai ikhlas karena Allah SWT, karena ingin dinilai baik dengan atasannya, lalu pangkat atau gajinga dinaikkan. Orang seperti ini bila pangkatnya atau gajinya tidak naik tentu kerjanya akan bermalas-malasan.
Seorang Muslim/Muslimah dilarang bersikap dan berperilaku riya’. Karena riya’ akan mendatangkan kerugian atau bencana baik bagi pelakunya, dan mungkin juga bagi orang lain.
C. Aniaya
Aniaya berasal dari kata Sansekerta yang artinya perbuatan bengis, penyiksaan, zalim. Aniaya(zalim) ialah tidak adil (tidak menempatkan sesuatu dengan semestinya atau sesuai dengan ketentuan Allah SWT). Aniaya atau bengis yaitu suatu yang tidak manusiawi, yang bertentangan dengan hak asasi manusia. Allah SWT berfirmaan:
Artinya: “Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim” (Q.S. Al-Baqarah, 2 : 229)
Aniaya termasuk sifat dibenci Akkah dan dibenci manusia serta termasuk perbuatan dosa yang dapat menjatuhkan martabat diri pelakunya dan merugikan orang lain. Sifat-sifat aniaya(zalim) dapat dibagi beberapa macam:
1. Aniaya kepada Allah SWT dengan cara tidak mau melaksanakan perintah Allah yang wajib, dan meninggalkan larangan Allah yang haram.
2. Aniaya terhadap sesame manusia seperti gibah (mengumpat), namimah (mengadu domba), fitnah, mencuri, merampok, penyiksaan, dan melakukan pembunuhan.
3. Aniaya terhadap binatang, missal menjadikan binatang sebagai sasaran latihan penembakan, dll.
4. Aniaya terhadap diri sendiri, misalnya membiarkan diri sendiri dalam keadaan bodoh, narkoba, dll.
Keburukan perbuatan Aniaya yang menimpa pelaku aniaya:
• Akan dibenci orang lain.
• Hidup tidak senang karena dibayangi rasa takut.
• Mencemar nama baik dirinya dan keluarga.
• Para pelaku aniaya itu, jika tidak bertobat dengan tobat yang sungguh-sungguhnya, maka diakhirat akan dicampakkan kedalam api neraka.
Keburukan-keburukan yang akan dialami orang yang dianiaya dan masyarakat lain:
• Bila penganiayaan itu terjadi dimana-mana maka masyarakat tidak akan memperoleh kedamaian dan ketentraman.
• Semangat dan gairah kerja masyarakat akan menurun, karena mereka dibayangi rasa takut akan perbuatan-perbuatan zalim.
D. Diskriminasi
Demiskriminasi berasal dari bahasa Belanda discriminatie yang artinya pemisahan atau perbedaan.
Mengacu kepada Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Bab 1 Pasal 1, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang lansung maupun tidak lansung didasarkan pada pembedaan manusia atas alasan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status social, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, politik, yang berakibat pengurangan, peyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dalam kehidupan, baik individual maupun kolektif dalam bidang politik ekonomi, hukum social, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
Allah memerintahkan Muslim/Muslimah untuk berlaku adil, tidak mebedakan perlakuan meskipun terhadap kerabat (lihat Q.S. Al-An’am, 6: 152), begitu juga kepada orang yang tidak kita sukai; karena berperilaku adil itu lebih dekat kepada takwa (lihat Q.S. Al-Maidah, 5: 8)
Dskriminasi adalah perbuatan zalim dan tercela karena akan mendatangkan kerugian kepada orang yang diperlakukan deskriminatif. Sang pelaku juga akan mendapat azab Allah, karena Allah tidak menyukai orang yang zalim. Diskriminasi bisa terdapat dalam kehidupan keluarga, masyarakat, dan bernegara.
Rangkuman
Hasud berbeda pengertiannya dengan iri hati. Iri hati adalah merasa ingin menguasai sesuatu yang dimiliki orang lain, karena dirinya belum memiliki dan tidak mau ketinggalan. Iri hati tidak diikuti oleh perbuatan mencelakan dan iri hati ada yang dilarang (tercela) dan ada yang dibolehkan. Hasud adalah rasa atau sikap tidak senang terhadap kenikmatan yang diperoleh orang lain dan bersaha menghilangkannya atau mencelakakan orangnya. Dengki (hasud) termasuk sifat tercela dan perbuatan dosa yang diwajibkan dijauhi oleh setiap Muslim/Muslimah.
Riya’ ialah memperlihatkan suatu ibadah dan amal saleh kepada orang lain bukan karena Allah, tetapi karena sesuatu selain Allah. Sedangkan memperdengarkan ucapan ibadah atau amal saleh kepada orang lain dengan maksud seperti pada riya’ disebut sum’ah. Riya’ dan sum’ah termasuk sifat tercela, syirik kecil yang hukumnya haram dan harus dijauhi oleh setiap muslim/muslimah. Riya’ bisa terdapat dalam urusan agama dan dalam urusan keduniaan. Riya’ akan mendatangkan kerugian dan bencana.
Aniaya (zalim) ialah bersikap dan berperilaku tidak adil yaitu sesuatu tindakan yang tidak manuasiawi yang bertentangan hak sesame manusia.
Mengacu kepada UU RI no. 39 tahun 1999 tentang HAM Bab 1 Pasal 1, diskriminasi termasuk perilaku tercela karena akan mendatangkan kerugian khususnya terhadap orang atau kelompok orang yang diperlakukan secara diskriminasi.
Zakat, Haji, dan Wakaf
A. Zakat
1. Ketentuan Hukum Islam tentang Zakat
a. Pengertian Zakat dan Hukumnya
Zakat berarti suci dan tumbuh dengan subur. Hal ini sesuai dengan manfaat zakat baik bagi muzaki (yang berzakat) maupun bagi mustahik (penerima zakat). Bagi muzaki, zakat berarti membersihkan hartanya dari hak-hak mustahik, khususnya para fakir miskin. Selain itu juga membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela, seperti tamak, kikir dan sombong. Sedangkan bagi mustahik, zakat dapat membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela seperti iri hati dan dengki terhadap para muzaki. Allah SWT berfirman sebagai berikut.
Artinya: “Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka.” (Q.S. At-Taubah, 9: 103)
Manfaat zakat yang lain adalah dapat menyebabkan harta para muzaki bertambah banyak (subur). Hal ini mungkin diakibatkan oleh doa para mustahik, khususnya kaum fakir miskin, sehingga harta mereka mendatangkan berkah. Rasulullah bersabda “Bentengilah dan suburkanlah hartamu itu dengan zakat” (H.R. Al-Khatib dari Ibnu Mas’ud)
Menurut istilah syara’, zakat ialah mengeluarkan sebagian harta benda sebagai sedekah wajib, sesuai perintah Allah SWT kepada orang-orang yang telah memenuhi syarat-syaratnya dan sesuai pula dengan ketentuan hukum Islam. Zakat termasuk rukun Islam yang ketiga. Hukum berzakat adalah fardu ‘ain bagi setiap Muslim/Muslimah yang telah mencukupi syarat-syaratnya.
Dalam Al-Qur’an cukup banyak ayat yang menjelaskan tentang kewajiban zakat, umumnya disebutkan beriringan dengan shalat. Hal ini menunjukkan bahwa ibadah shalat dan ibadah zakat mempunyai persamaan dalam keutamaannya. Shalat merupakan ibadah badaniyah yang paling utama. Sedangkan zakat merupakan ibadah maliyah yang paling utama.
Orang yang mengaku beragama Islam, apabila mengingkari kewajiban zakat dapat dianggap murtad (keluar dari Islam).
b. Macam-macam Zakat dan Keuntungannya
Zakat dapa dibagi menjadi dua macam, yaitu zakat fitrah zakat pribadi) dan zakat mal (zakat harta).
1) Zakat fitrah
Zakat fitrah adalah sedekah wajib yang dibayarkan menjelang Idul Fitri dengan beberapa ketentuan dan persyaratan.
Syarat-syarat wajib zakat fitrah adalah sebagai berikut.
Orang yang mengeluarkan zakat fitrah harus orang yang beragama Islam yang merdeka.
Pada waktu terbenam matahari hari terakhir bulan Ramadhan orang tersebut sudah lahir atau masih hidup. Orang yang lahir sesudah terbenam matahari atau meninggal dunia sebelum terbenam matahari dihari terakhir bulan Ramadhan tidak diwajibkan membayar zakat fitrah.
Orang tersebut mempunyai kelebihan harta untuk keperluan makan pada malam hari raya dan siang harinya, baik untuk diri dan keluarganya maupun untuk hewan peliharaannya.
Zakat fitrah hendaknya dibayarkan sebelum shalat Idul fitri. Bila dibayarkan setelah terbenam matahari pada hari raya Idul Fitri, hukumnya seperti sedekah biasa sunnah (tidak diterima sebagai zakat fitrah)
Sesuatu yang harus dikeluarkan untuk zakat fitrah adalah makanan pokok, seperti beras, jagung, dan gandum. Sedangkan besarnya zakat fitrah untuk setiap pribadi adalah 3,1 liter beras atau makanan pokok lainnya. Zakat fitrah juga boleh dibayar dengan uang, asalkan senilai dengan harga beras 3,1 liter untuk setiap jiwanya.
2) Zakat Mal
Harta (mal) yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah:
a. Emas, perak, dan mata uang.
b. Harta perniagaan.
c. Hewan ternak.
d. Buah-buahan dan biji-bijian yang dapat dijadikan makanan pokok.
e. Barang tambang dan harta rikaz (harta terpendam).
Mengenai syarat wajib zakat emas, perak, mata uang, dan harta perniagaan adalah sebagai berikut.
Pemiliknya orang Islam yang merdeka (bukan hamba sahaya).
Merupakan milik pribadi dan menjadi hak penuh pemiliknya.
Sampai nisabnya (jumlah minimum yang dikenakan zakat).
Harta tersebut telah dimiliki genap satu tahun.
Daftar Nisab jenis harta dan Besar Zakatnya
No Jenis harta Nisabnya Besar Zakatnya
1 Emas 20 Dinar (± 93,6 gr) 2,5%-nya
2 Perak 200 Dirham (± 672 gr) 2,5%-nya
3 Uang Senilai dengan emas 2,5%-nya
4 Harta perniagaan Senilai dengan emas 2,5%-nya
Hewan ternak yang wajib dizakati adalah onta, sapi, kerbau, dan kambing. Syarat-syarat wajib zakat hewan ternak serupa syarat-syarat wajib emas dan perak hanya ditambah dengan syarat hewan itu harus hewan peliharaan. Adapun nisab dan besar zakatnya adalah sebabgai berikut.
o Sapi (kerbau)
Nisabnya 30 s/d 39 sapi (kerbau) zakatnya 1 ekor anak sapi yang berumur 1 tahun.
Nisabnya 40 s/d 59 sapi (kerbau) zakatnya 2 ekor kerbau (sapi) yang berumur dua tahun.
o Kambing (domba)
Nisabnya 40 s/d 120 ekor kambing zakatnya 1 ekor
Nisabnya 121 s/d 200 ekor kambing zakatnya 2 ekor.
Hasil pertanian yang wajib dizakati ialah makanan pokok, seperti beras, jagung, gandum, sedangkan hasil perkebunan adalah kurma dan anggur.
Syarat-syarat hasil pertanian dan perkebunan sama dengan syarat wajib zakat emas dan perak. Hanya waktu mengeluarkannya bukan setelah genap satu tahun melainkan setiap selesai panen. Mengenai nisab zakat hasil pertanian dan perkebunan adalah sama yaitu ± 930 liter. Besar zakat hasil pertanian kalau ditanam dengan biaya yang cukup banyak adalah 5%-nya. Sedangkan kalau ditanam tanpa biaya, zakatnya adalah 10%-nya.
Hasil tambang seperti emas dan perak dan lainnya, syarat-syarat wajib dikeluarkan zakatnya sama dengan zakat uang kontan atau perniagaan. Perbedaannya, bahwa hasil tambang ini zakatnya dikeluarkan setelah barang tambang itu dihasilkan.
Harta rikaz atau harta terpendam (harta karun) yaitu harta yang didapat dari simpanan/terpendam pada masa lampau. Seseorang yang menemukan harta rikaz seperti perhiasan emas atau perak, hendaknya ia mengeluarkan zakatnya sebesar 20% dari harta rikaz tersebut tanpa melihat ataupun menunggu genap satu tahun.
2. Pengelolaan Zakat di Indonesia
Mengacu pada ayat Al-Qur’an surah At-Taubah, 9: 60, zakat itu dikelola oleh amil zakat, yang bertugas menerima dan mengumpulkan zakat dari para muzaki dan membagikannya kepada para mustahik.
Di Negara Kestuan Republik Indonesia, zakat mendapat peratian dari perhatian dari pemerintah dan para ulama. Hal ini dibuktikan antara lain dilahirkan UU No. 38 Th. 1999 tentang pengelolaan zakat, yang telah disahkan di Jakarta pada tanggal 23 September 1999 oleh Presiden Republik Indonesia waktu itu, Barcharuddin Yusuf Habibie.
UU No. 38 Th. 1999 yang terdiri dari 10 bab dan 125 pasal tersebut kemudian disusul surat keputusan Menteri Agama Republik Indonesia pada tanggal 13 Oktober 1999 tentang pengelolaan zakat.
Berdasarkan UU No. 38 Th. 1999 dan surat keputusan Menteri Agama RI No. 581 th. 1999 tentang pengelolaan zakat tersebut, dapat dikemukakan beberapa hal seperti berikut:
a. Azas dan Tujuan Pengelolaan Zakat
Dalam bab II, pasal 4 dan 5 UU UU No. 38 Th. 1999 disebutkan bahwa pengelolaan zakat berdasarkan iman dan takwa, keterbukaan, dak kepastian hukum sesuai dengan pancasila dan UUD 1945, sedangkan pengelolaan zakat bertujuan:
• Meningkatkan pelayanan masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntunan agama.
• Meningkatkan fungsi dan peranan keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahtraan masyarakat dan keadilan social.
• Meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat.
b. Organisasi Pengelolaan Zakat
Organisasi pengelolaan zakat terdiri dua jenis, yaitu: Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). BAZ adalah organisasi pengelonaan zakat yang dibentuk oleh pemerintah yang terdiri dari unsur masyarakat dan pemerintah. LAZ adalah institusi pengelolaan zakat yang sepenuhnya dibentuk atas prakarsa social, dan kemaslahatan umat Islam.
Badan Amil Zakat terdiri dari:
• BAZ nasional dibentuk oleh presiden atas usul mentri agama dan berkedudukan di ibu kota Negara.
• BAZ provinsi dibentuk oleh gubernur, atas usul Kepala Kantor Wilayah Dapertemen Agama Provinsi dan berkedudukan di ibu kota provinsi.
• Baz daerah Kabupaten/Kota, didirikan oleh bupati atau walikota atas usul Kepala Kantor Wilayah Dapertemen Agama Kabupaten/Kota dan berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota.
• BAZ kecamatan didirikan oleh camat atas usul Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan dan berkedudukan di ibu kota kecamatan.
• Unit Pengumpulan Zakat adalah satuan organisasi yang dibentuk oleh badan Amil Zakat di semua tingkatan dengan tugas mengumpulkan zakat untuk melayani muzaki, baik yan berada pada desa/kelurahan, instansi-instansi pemerintah dan swasta, baik dalam negeri maupun luar negeri.
Pada setiap tingkatan, BAZ terdiri atas: Dewan Pertimbangan yang bertugas memberika pertimbangan kepada Badan Pelaksana Amil Zakat, baik diminta maupun tidak dalam pelaksanaan tugas organisasi, Komisi Pengawas yang bertugas melaksanakan pengawasan pelaksanaan tugas administrative dan teknis pengumpulan, pedistribusian, pendayagunaan zakat, serta penelitian dan pengembangan pengelolaan zakat dari Badan Pelaksanaan Amil Zakat.
Tugas wewenang, dan tanggung jawab Badan Pelaksanaan Amil Zakat pada setiap tingkatan dalam prinsipnya adalah:
• Menyelenggarakan tugas administrative dan teknis pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
• Mengumpulkan dan mengolah data yang diperlukan untuk menyusun rencana pengelolaan zakat.
• Menyelenggarakan bimbingan dibidang pengelolaan, pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
• Menyelenggarakan tugas penelitian dan pengembangan, komunikasi, informasi, dan edukasi pengelolaan zakat.
Mengenai LAZ keberadaannya dikukuhkan pemerintah apabila telah memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: berbadan hukum, memiliki data muzaki dan mustahik, memiliki pembukuan, dan melampirkan surat pernyataan bersedia diaudit. Sama dengan BAZ, LAZ itu bisa berada dipusat, di daerah provinsi, di daerah kabupaten/kota, dan di kecamatan.
c. Persyaratan dan Prosedur Pendayagunaan Hasil Pengumpulan Zakat
Dalam surat keputusan menteri agama RI, No. 581 Tahun 1999, Bab V Pasal 28 ayat satu dan dua disabutkan:
1) Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat untuk mustahik dilakukan berdasarkan pernyataan sebagai berikut:
• Hasil pendataan, penelitian kebenaran mustahik delapan golongan, yaitu: fakir, miskin, amil, mualaf, raqib, garim, sabilillah, dan ibnu sabil.
• Mendahulukan orang-orang yang paling tidak berdaya memenuhi kebutuhan dasar secara ekonomi dan sangat memerlukan bantuan.
• Mendahulukan mustahik dalam wilayah masing-masing.
2) Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat untuk usaha yang produktif dilakukan berdasarkan pernyataan sebagai berikut:
• Apabila pendayagunaan zakat sebagaimana pada ayat (1) sudah terpenuhi dan ternyata masih terdapat kelebihan.
• Terdapat usaha-usaha nyata yang berpeluang menguntungkan.
• Mandapat persetujuan tertulis dari dewan pertimbangan.
Selain itu berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 581 Tahun 1999 Pasal 30 dijelaskan bahwa hasil penerimaan BAZ yang berupa infak, sadaqah, wasiat, waris dan kafarat didayagunakan terutama untuk usaha produktif.
B. Haji
1. Ketentuan Hukum Islam tentang Haji
a. Pengertian Haji dan Umrah
Haji secara etimologis berarti tujuan, maksud, dan menyengaja. Haji menurut istilah ulama fikih adalah menyengaja mendatangi Ka’bah (Baitullah) untuk menunaikan amalan-amalan tertentu (antara lain tawaf dan sa’i) atau mengunjungi tempat tertentu pada waktu tertentu untuk mrlakukan amalan-amalan tertentu (seperti berkunjung ke Arafah atau wukuf dimulai setelah tergelincir matahari tanggal 9 Zulhijjah sampai dengan terbit fajar pada 10 Zulhijjah)
Sedangkan Umrah secara etimologis adalah ziarah. Sementara pengertian “umrah” menurut istilah ulama fikih adalah sengaja mendatangi Ka’bah untuk melaksanakan amalan tertentu, yang terdiri dari tawaf, sa’i, dan bercukur.
Ibadah haji adalah salah satu dari rukun (tiang) Islam. Dalam hadis ditegaskan :
“Dari Abdullah r.a., ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Islam itu dibina atas lima perkara: pengakuan (syahadat) bahwa tiada tuhan selain Allah, dan Muhammad hamba-Nya serta rasul-Nya, mendirikan shalat, membayar zakat, haji ke Baitullah. Dan puasa Ramadhan” (H.R. Muslim)
b. Dasar Hukum Haji dan Umrah
Dasar hukum ibadah haji dan umrah ialah Al-Qur’an surah Ali Imran, 3: 97, Allah berfirma
•• •
Artinya: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (Q.S. Ali Imran, 3: 97)
Berdasarkan Al-Qur’an dan hadis, ulama fikih sepakat bahwa hukum menunaikan ibadah haji adalah fardu ‘ain bagi setiap Muslim/Muslimah yang telah memenuhi syarat wajibnya. Adapun syarat-syarat wajib haji sebagai berikut:
Beragama Islam.
Berakal sehat.
Balig.
Merdeka, bukan hamba sahaya.
Kuasa atau mampu mengerjakan (istitaah)
2. Pelaksanaan Haji
undang-undang yang mengatur penyelenggaraan ibadah haji Indonesia adalah Undang-Undang Republik Indonesia No. 17 tahun 1999 yang telah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan disahkan di Jakarta pada tanggal 3 Mei 1999 oleh Presiden Republik Indonesia, Bachruddin Jusuf Habibie (mantan ketua umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia). Undang-undang tersebut mengatur terdiri dari 16 bab dan 30 pasal.
Peraturan-peraturan pemerintah tentang penyelenggaraan ibadah haji dan umrah adalah kKeputusan Menteri Agama RI No. 371 Tahun 2002, yang terdiri dari 14 bab dan 38 pasal dan keputusan Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji No. D/337 Tahun 2002 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah yang terdiri dari 10 bab dan 97 pasal.
Mengacu pada UU No. 17 tahun 1999, Surat Keputusan Menteri Agama dan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan penyelenggaraan haji seperti tersebut, dapat dikemukakan antara lain:
a. Azas dan Tujuan
Penyelenggaraan ibaah haji berdasarkan azas keadilan memperoleh kesempatan, perlindungan, dan kepastian hukum sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Penyelenggaraan ibadah haji bertujuan untuk memberikan pembinaan, pelayanan dan perlindungan yang sebaik-baiknya melalui system dan manajemen penyelenggaraan yang baik agar pelaksanaan ibadah haji dapat berjalan dengan aman, tertib, lancar, dan nyaman sesuai dengan tuntunan agama sesuai dengan tuntunan agama serta Jemaah haji dapat melaksanakan ibadah haji secara mandiri, sehingga diperoleh haji mabrur.
b. Penyelenggaraan
Penyelenggaraan ibadah haji adalah pemerintah dan/atau masyarakat pemerintah dibawah koordinasi Menteri Agama bertanggung jawab dalam penyelenggaraan ibadah haji yang merupakan tugas nasional itu.
Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, menteri agama melakukan koorndinasi dan/atau bekerja sama dengan departemen/lembaga/instansi terkait dan pemerintah Arab Saudi. Departemen/lembaga/instansi terkait dengan penyelenggaraan ibadah haji adalah Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri, Departemen Keuangan, Departemen Perhubungan, Departemen kehakiman dan HAM, Departemen Kesehatan, Departemen Pertahanan, dan Bank Indonesia.
Koordinasi penyelenggaraan ibadah haji dilaksanakan ditingkat pusat oleh Menteri Agama, ditingkat Provinsi adalah Gubernur, ditingkat Kabupaten/Kota adalah Bupati/Wali Kota, dan di Arab Saudi oleh Kepala Perwakilan Republik Indonesia.
Dalam rangka penyelenggaraan ibadah haji Menteri Agama menunjuk petugas operasional jamaah haji Indonesia yang terdiri dari:
• TPIHI (Tim Pembimbing Ibadah Haji Indonesia)
• TKHI (Tim Kesehatan Haji Indonesia)
• TPHI (Tim Pemandu Haji Indonesia)
Selain itu atas usuk Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Menteri Agama juga membentuk/menunjuk: Panitia Penyelenggara Ibadah Haji Pusat (PPIH), PPIH emberkasi (bandara udara tempat pemberangkatan jamaah haji ke Arab Saudi), dan PPIH di Arab Saudi.
Untuk memudahkan penanganan dan bimbingan, seluruh jamaah haji Indonesia dibagi menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari: Kelompok Regu sebanyak 11 orang termasuk Ketua Regu (Karu), Kelompok Rombongan sebanyak 4 regu, dengan seorang ketua rombongan (Karom) dan Kloter (Kelompok Terbang), dengan seorang ketua Kloter. Pesawat yang digunakan untuk transportasi ibadah haji adalah pesawat yang berbadan lebar, yang mempunyai kapasitas sekurang-kurangnya 325 tempat duduk, dan layak terbang sesuai dengan standar keselamatan penerbangan sipil Indonesia.
Penyelenggaraan ibadah haji masyarakat dilakukan oleh Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU), yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji atas nama Menteri Agama dalam masa tiga kali musim haji. PPIU penyelenggaraan ibadah haji khusus, yang disediakan bagi jamaah yang membutuhkan pelayanan secara khusus di bidang bimbingan ibadah, transportasi, akomodasi, konsumsi dan kesehatan. Keistimewaan di bidang akomodasi adalah fasilitas akomodasi harus hotel, dengan jarak dari pagar Masjidil Haram dan Masjid Nabawi maksimal 300 M. selain itu masa tinggal jamaah haji khusus di Arab Saudi maksimal 25 hari. Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) dari penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus (ONH Plus) ditetapkan oleh Menteri Agama, dan sudah lebih tentu lebih mahal dari BPIH biasa (Reguler)
Bimbingan Ibadah Haji dapat dilakukan masyarakat melalui lembaga social keagamaan Islam yang telah mendapat izin sebagai Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KIBH) dari Kantor Wilayah Departemen Agama setempat. KBIH hanya melaksanakan bimbingan ibadah haji dan bukan sebagai penyelenggara. Bimbingan Ibadah Haji wajib diberikan oleh KBIH kepada jamaahnya, baik di tanah air maupun di Saudi Arabia. Materi bimbingan berpedoman kepada buku bimbingan ibadah haji yang telah diterbitkan oleh Departemen Agama. Jamaah haji yang termasuk KBIH merupakan jamaah haji yang telah terdaftar di Departemen Agama. Mereka harus melunasi BPIH/ONH biasa, yang jumlahnya sudah ditentukan oleh pemerintah, juga harus menyerahkan uang jasa bimbingan kepada KBIH yang besarnya sesuai dengan kesepakatan.
c. Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH)
BPIH ditetapkan oelh presiden ayas usul menteri agama, setelah mendapat persetujuan DPR RI. BPIH digunakan untuk keperluan penyelenggaraan ibaah haji yang terdiri dari biaya operasional dalam negeri, biaya transportasi Indonesia-Arab Saudi pulang pergi, dan biaya operasional di Arab Saudi.
Besarnya BPIH di tetapkan dengan perhitungan kurs dollar Amerika pada waktu penyetoran BPIH.
Misalnya besarnya BPIH/ONH biasa, pada tahun 2006 ditetapkan sebagai berikut:
• Zona I USD 2.63.44 ditambah dengan biaya dalam negeri dan administrasi sebesar Rp. 722.327,00
Zona I meliputi emberkasi Banda Aceh (Provinsi NAD), emberkasi Medan (Provinsi Sumatera Utara dan Sumatera Barat), dan emberkasi Batam (Provinsi Riau, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Jambi, dan Provinsi Kalimantan Barat)
• Zona II USD 2.733.44 ditambah biaya dalam negeri dan administrasi sebesar Rp. 723.327,00
Zona II meliputi emberkasi Jakarta (Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Lampung, Provinsi Bengkulu, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Bangka Belitung, dan Provinsi Banten), emberkasi Solo (Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DI Yogyakarta), dan emberkasi Surabaya (Provinsi Jawa Timur, Provinsi Bali, dan Provinsi NTT).
• Zona III USD 2.842.44 ditambah biaya dalam negeri dan administrasi sebesar Rp. 722.327,00
Zona III meliputi emberkasi Makasar (Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Maluku, Provinsi Maluku Utara, Provinsi Papua, dan Provinsi Gorontalo), emberkasi Balikpapan (Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Sulawesi Tengah) dan emberkasi Banjarmasin (Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Kalimantan Tengah)
d. Pendaftaran
Setiap warga Negara yang beragama Islam yang akan menunaikan ibadah haji diwajibkan untuk mendaftarkan diri ke kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota, dengan memenuhi sejumlah persyaratan. Sebagai contoh syarat pendaftaran bagi calon jamaah haji tahun 2006 adalah sebagai beriktu:
• Mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP) asli yang masih berlaku.
• Sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan dengan surat keterangan sehat asli dari Puskesmas.
• Bagi wanita harus disertai oleh suami atau mahram.
C. Wakaf
1. Ketentuan Hukum Islam tentang Wakaf
a. Pengertian Wakaf dan Hukumnya
Rasulullah SAW bersabda: “Bila seseorang itu meninggal dunia, maka putuslah amalnya kecuali tiga perkara: 1) sedekah jariah, 2) Ilmu yang bermanfaat, 3) Anak shaleh yang mendoakannya” (H.R. Jamaah, kecuali Bukhari dan Ibnu Majah)
Termasuk kedalam sedekah jariah, yaitu sedekah yang pahalanya terus mengalir kepada yang bersedekah selama yang disedekahkan masih bermanfaat adalah wakaf.
Wakaf ialah menyerah suatu benda yang kekal zatnya untuk mengambil manfaatnya, baik oleh umum (masyarakat) ataupun perorangan. Wakaf sangat dianjurkan Allah SWT karena banyak para sahabat yang mengamalkan. Allah berfirman : “Berbuatlah kebaikan, supaya kamu mendapat kemenangan” (Q.S. Al-Hajj, 22: 7). Allah juga berfirman:
Artinya : “Kamu sekali-kali tidak sampai pada kebijakan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu sayangi” (Q.S. Ali Imran, 3: 92)
Hal-hal yang termasuk rukun wakaf adalah sebagai berikut.
Rukun Wakaf
a. Wakil (orang yang mewakafkan) dengan syarat kehendak diri sendiri, bukan dipaksa.
b. Mauquf atau barang yang diwakafkan (akan dijelaskan pada pembahasan mengenai harta yang diwakafkan).
c. Mauquf ‘alaihi (tempat berwakaf).
d. Lafal atau ucapan wakaf. Contoh: “Saya wakafkan tanah milik saya seluas 200 meter persegi ini, agar dibangun masjid diatasnya”. Kalau wakaf itu kepada orang tertentu hendaklah ada ucapan Kabul (jawaban penerimaan), dan kalau kepada umum tidak disyaratkan. Selain itu lafal wakaf tidak boleh pakai ta’lik (syarat). Karena maksud wakaf itu ialah pemindahan hak milik pada waktu itu juga dan tidak untuk sementara tetapi untuk selamanua. Contoh lafal wakaf yang tidak sah: “Saya wakafkan tanah sawah milik saya ini kepada fakir miskin selama satu tahun”.
b. Harta Yang Diwakafkan
Harta yang diwakafkan syaratnya adalah:
Kekal zat, walaupun manfaatnya diambil.
Contoh harta yang memenuhi syarat untuk diwakafkan: tanah, bangunan.
Kepunyaan yang berwakaf dan hak miliknya dapat dipindah-pindah.
Manfaat wakaf bagi yang menerima wakaf atau masyarakat, sangat banyak. Antara lain:
Dapat menghilangkan kebodohan.
Dapat menghilangkan (mengurangi) kemiskinan.
Dapat menghilangkan (mengurangi) kesenjangan social.
Dapat memajukan serta menyejahterakan umat.
2. Pelaksanaan Wakaf di Indonesia
Pelaksanaan wakaf di Indonesia diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia N0. 41 Tahun 2004 tentang wakaf, yang disahkan oleh Presiden Republik Indonesia Dr. H. Susilo bambang Yudhoyono pada tanggal 27 Oktober 2004, dan diundangkan di Jakarta pada tanggal pengesahannya oleh Sekretaris Negara Republik Indonesia saat itu Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang masalah perwakafan tanah milik, antara lain:
a. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tanggal 24 September 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, pasal 49 ayat (1) memberi isyarat bahwaaaa perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
b. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
c. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.6 Tahun 1977 tentang Tata Pendaftaran Tanah Mengenai Perwakafan Tanah Milik.
d. Peraturan Menteri Agama No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
Mengacu pada perundang-undangan tentang Pengelolaan Wakaf di Indonesia, maka yang seharusnya diketahui umat Islam, antara lain:
a. Pengertian, Dasar-Dasar Wakaf, Tujuan dan Fungsinya
Mengacu pada UU RI, No. 41 Tahun 2004, Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingan guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syariat. Fungsi wakaf mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
b. Wakaf Dilaksanakan dengan Memenuhi Unsur Wakaf
(1) Wakif(yang berwakaf) meliputi perseorangan, organisasi, dan badan hukum. Wakaf perseorangan syaratnya: dewasa, berakal sehat, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, dan pemilik sah harta benda wakaf.
(2) Nazir, yaitu pihak yang menerima wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukkannya. Nazir meliputi perseorangan, organisasi, badan hukum. Persyaratan nazir perseorangan: WNI, beragama Islam, dewasa, amanah, mampu secara jasmani dan rohani, dan tidak terhalang melakukan perbuatan hukum. Persyaratan nazir organisasi: pengurus nazir organisasi itu harus memenuhi persyaratan nazir perseorangan dan organisasi itu bergerak dibidang social, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam. Sedangkan persyaratan nazir badan hukum adalah:
• Pengurus badan hukum itu memenuhi persyaratan nazir perseorangan.
• Badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
• Badan hukum yang bersangkutan bergerak dibidang social, pendidikan, kemasyarakatan dan/atau keafamaan Islam.
Berdasarkan Pasal 11 UU RI No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf, tugas-tugas nazir yaitu:
• Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf.
• Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya.
• Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf.
• Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia yang berkedudukan di ibukota Negara Keatua Republik Indonesia, atau perwakilan ditingkat provinsi atau kabupaten/kota.
Sedangkan hak-hak Nazir adalah:
• Berhak menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf, yang besarnya tidak melebihi 10%.
• Berhak memperoleh [embinaan dari Menteri Agama dan Badan Wakaf Indonesia, dengan syarat sudah terdaftar pada Menteri dan Badan Wakaf Indonesia.
(3) Harta Benda Wakaf
Harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut isyarat.
Harta benda yang diwakafkan adalah harta benda yang dimiliki dan yang dikuasai oleh wakif secara sah, yang terdiri dari:
• Benda tidak bergerak, seperti: tanah, banguna, dan tanam-tanaman.
• Benda bergerak, seperti: uang, logam mulia, surat berharga, dan kendaraan.
(4) Ikrar wakaf adalah adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan atau tulisan kepada nazir, untuk mewakafkan harta benda miliknya dengan disaksikan oleh dua orang saksi dihadapan Pejabat Pembuka Akta. Ikarar wakaf (PPAIW), kemudian dituangkan kedalam Akta Ikrar Wakaf oleh PPAIW.
Saksi dalam ikrar wakaf syarat-syaratnya: dewasa, beragama islam, berakal sehat, dan tidak terhalang melakukan perbuatan.
Akta Ikrar Wakaf paling sedikit memuat: nama dan identitas wakif, nama dan itentitas nazir, data dan keterangan harta benda wakaf, peruntukan harta benda wakaf dan jangka waktu wakaf.
(5) Dalam rangka mecapai tujuan dan fungsi wakaf, maka harta benda wakaf hanya dapat diperuntukan bagi:
• Sarana kegiatan ibadah.
• Saran dan kegiatan pendidikan serta kesehatan.
• Bantuan kepada fakir-miskin, anat terlantar, yatim piatu, dan beasiswa.
• Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat.
• Kemajuan kesejahtraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.
c. Tata Cara Perwakafan Tanah dan Pendaftarannya
(1) Calon wakif hendaknya melengkapi surat-surat yang diperlukan bagi perwakafan tanah dan menyerahkan kepada PPAIW (Kepala Kantor Urusan Agama Setempat)
(2) Wakif mengucapkan ikrar wakaf kepada nazir yang telah disahkan dihadapan PPAIW.
(3) Calon wakif yang tidak mampu dihadapan PPAIW dapat membuat ikrar wakaf secara tertulis.
Keteladanan Rasulullah SAW Priode Madinah
A. Sejarah Dakwah Rasulullah SAW Priode Madinah
1. Arti Hijrah dan Tujuan Rasulullah SAW dan Umat Islam Berhijrah
Setidaknya ada dua arti hijrah yang harus diketahui oleh umat Islam. Pertama, hijrah berarti meninggalkan semua perbuatan yang dilarang dan dimurkai Allah SWT untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang baik, yang disuruh Allah SWT dan diridhai-Nya.
Arti kedua hijrah adalah berpindah dari suatu negeri kafir (non-Islam), karena di negeri itu umat Islam selalu mendapat tekanan, ancaman dan kekerasan, sehingga tidak memiliki kebebasan untuk berdakwah dan beribadah.
Arti kedua dari hijriah pernah dipraktikkan oleh Rasulullah SAW dan umat Islam, yakni hijrah dari Mekah ke Yatsrib pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun pertama hijriah, bertepatan dengan 28 Juni 622 M.
Tujuan hijrah Rasulullah SAW dan umat Islam dari Mekah (negeri kafir) ke Yatsrib (negeri Islam) adalah:
• Menyelamatkan diri dan umat Islam dari tekanan, ancaman, dan kekerasan kaum kafir Quraisy. Bahkan pada waktu Rasulullah SAW meninggalkan rumahnya di Mekah untuk pergi ke Yatsrib (Madinah) rumah beliau sudah dikepung kaum Quraisy dengan maksud membunuhnya.
• Agar memperoleh keamanan dan kebebasan dalam berdakwah serta beribadah.
2. Dakwah Rasulullah SAW Priode Madinah
Dakwah Rasulullah SAW priode Madinah berlansung selama sepuluh tahu, yakni semenjak tanggal 12 Rabiul Awal tahun pertama hijrah sampai dengan wafatnya Rasulullah SAW, tanggal 13 Rabiul Awal tahun ke-11 hijriah.
Materi dakwah yang disampaikan Rasulullah SAW pada priode madinah, selain ajaran Islam yang terkandung dalam 89 surah Makkiyah dan Hadis priode Mekah, juga ajaran Islam yang terkandung dalam 25 surah Madaniyah dan hadis priode Madinah. Sedangkan ajaran Islam yang terkandung pada 25 surah Madaniyyah dan hadis priode Madinah, umumnya masalah Islam tentang masalah social kemasyarakatan.
Objek dakwa Rasulullah SAW pada priode Madinah adalah orang-orang yang sudah masuk Islam dari kaum Muhajirin dan Ansar. Juga orang-orang yang belum masuk Islam seperti kaum Yahudi penduduk Madinah, para penduduk luar kota Madinah yang termasuk bangsa Arab, dan yang tidak termsuk bangsa Arab.
Rasulullah SAW diutus Allah SWT bukan hanya untuk bangsa arab, tetapi untuk seluruh umat manusia di dunia, kata Allah SWT:
Artinya: “Dan tidaklah kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi alam semerta” (Q.S. Al-Anbiya’, 21: 107)
Dakwah Rasulullah ditujukan kepada orang-orang yang sudah masuk Islam, agar mereka mengetahui seluruh ajaran Islam baik yang diturunkan di Madinah maupun yang diturunkan di Mekah, kemudian mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga mereka menjadi umat yang bertakwa. Rasulullah SAW juga dibantu sahabat-sahabatnya untuk melakukan usaha nyata agar terwujud persaudaraan sesama umat Islam dan terbentuk masyarakat Madani di Madinah.
Tujuan dakwah Rasulullah SAW yang luhur dan cara penyampaiannya yang terpuji, menyebabkan umat manusia yang belum masuk Islam banyak yang masuk Islam dengan kemauan dan kesadaran sendiri. Namun, tidak sedikit pula orang-orang kafir yang tidak bersedia masuk Islam, bahkan mereka berusaha menghalang-halangi orang lain masuk Islam dan juga berusaha melenyapkan agama Islam dan umatnya dari muka bumi. Mereka itu seperti kaum kafir Quraisy penduduk Mekah, kaum Yahudi Madinah, dan sekutu-sekutu mereka.
Setelah ada izin dari Allah SWT untuk berperang, sebagaimana firman-Nya dalam surah Al-Hajj, 22: 39 dan Al-Baqarah, 2: 190:
•
Artinya: “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu” (Q.S. Al-Hajj, 22: 39)
Artinya: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Q.S. Al-Baqarah, 2: 190)
Maka kemudian Rasulullah SAW dan sahabatnya menyusun kekuatan untuk menghadapi peperangan dengan orang kafir yang tidak dapat dihindari lagi.
Peperangan-peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para pengikut itu tidaklah bertujuan untuk melakukan penjajahan atau meraih harta rampasan perang, tetapi bertujuan:
Membela diri, kehormatan, dan harta.
Menjamin kelancaran dakwah, dan memberi kesempatan kepada mereka yang hendak menganutnya.
Untuk memelihara umat Islam agar tidak hancur oleh bala tentara Persia dan Romawi.
Untuk menhadapi tekat bangsa Romawi dan Persia tersebut, Rasulullah dan para pengikutnya tidak tinggal diam sehingga terjadi peperangan antara umat Islam dan bangsa Romawi, yaitu pertama perang Mut’ah pada tahun 8 H, di dekat desa Mut’ah, bagian utara Jazirah Arabia dan kedua perang Tabuk pada tahun 9 H di kota Tabuk, bagian utara Jazirah Arabia. Sedangkan bangsa Persia selalu mengadakan penyerangan kepada wilayah kekuasaan umat Islam.
Peperangan lainnya yang dilakukan pada masa Rasulullah SAW seperti:
(1) Perang Badar Al-Kubra, terjadi pada tanggal 17 Ramadhan tahun 2 H disebuah tempat dekat Perigi Badar, yang letaknya antara Mekah dan Madinah.
(2) Perang Uhud, terjadi pada pertengahan Sya’ban tahun 3 H. Pada peperangan ini kaum Muslimin mengalami kekalahan.
(3) Perang Ahzab (Khandaq), terjadi pada bulan Syawal tahun 5 H. Ahzab artinya golongan-golongan, yaitu gabungan-gabungan kaum kafir Quraisy, kaum Yahudi, Bani Salim, Bani Asad, Gathfan, Bani Murrah, dan Bani Asyja, sehingga berjumlah 10.000 lebih. Atas inisiatif dari Salman Al-Farisi, untuk mempertahankan kota Madinah dibuat parit yang dalam dan lebar. Berkat inisiatif itu, kekompakan umat Islam dan pertolongan Allah SWT, dalam perang Ahzab (Parit) ini umat islam memperoleh kemenangan.
Pada tahun keenah hijriah Rasulullah SAW dan para pengikutnya umat Islam penduduk Madinah yang berjumlah 1000 orang berangkat ke Mekah untuk melakukan Umrah. Agar kaum Quraisy Mekah tidak menduga supaya kedatangan kaum Muslimin ke Mekah itu untuk memerangi mereka, maka jauh sebelum mendekati kota Mekah umat Islam sudah menggunakan pakaian ihram, tidak membawa alat-alat perang, kecuali pedang dalam sarungnya, sekedar untuk menjaga diri diperjalanan.
Rombongan kaum Muslimin tiba di tempat bernama “Al Hudaibiyah”, yang bermaksud untuk beristirahat, juga untuk melihat situasi. Ini termasuk bulan yang disucikan bangsa Arab sebelum Islam. Mereka dilarang berperang didalamnya, namun kaum Quraisy telah menempatkan bala tentara yang cukup besar diperbatasan kota Mekah, siap untuk melakukan peperangan.
Dengan demikian, Rasulullah mengutus sahabat Utsman bin Affan untuk menjelaskan kepada pemimpin kaum Quraisy bahwa kedatangan mereka untuk melakulkan Umrah. Namun Quraisy bersikeras untuk mengizinkan kaum Muslimin memasuki Mekah, dengan alasan menjatuhkan kewibawaan kaum Quraisy di pandangan bangsa Arab.
Utsman ditahan oleh kaum Quraisy, bahkan tersiar kabar bahwa usman telah dibunuh. Menyikapi hal tersebut kaum Muslimin bersepakat mengadakan “Sumpah Setia” (baiat). Sumpah tersebut disebut “Baiatur Ridwan”. Untung disaat genting seperti itu Utsman muncul, membawa berita akan diakan perundingan antara Quraisy dan Muslimin. Maka terjadilah perundingan antara delegasi kaum Quraisy dipimpin oleh Suhail Ibnu Umar dan delegasi Umat Islam dipimpin oleh nabi Muhammad SAW.
Perundingan tersebut melahirkan kesepakatan dua pihak, dan melahirkan sebuah perjanjian, yang dikenal dengan perjanjian Hudaibiyah (Sulhul Hudaibiyah). Isi perjanjian tersebut sebagai berikut:
(1) Selama sepuluh tahun diberlakukan gencatan senjata antara kaum Quraisy penduduk Mekah dan Umat Islam penduduk Madinah.
(2) Orang Islam dari kaum Quraisy yang datang kepada umat Islam, tanpa izin walinya hendaknya ditolak oleh umat Islam.
(3) Kaum Quraisy, tidak akan menolak orang-orang Islam yang kembali dan bergabung dengan mereka.
(4) Tiap kabilah yang ingin masuk kedalam persekutuan dengan kaum Quraisy, atau dengan kaum Muslimin dibolehkan dan tidak akan mendapat rintangan.
(5) Kaum Muslimin tidak jadi menegerjakan umrah saat itu, mereka harus kembali ke Madinah, dan boleh mengerjakan umrah pada tahun berikutnya, dengan persyaratan:
• Kaum Muslimin memasuki kota Mekah setelah penduduknya untuk sementara keluar dari kota madinah.
• Kaum Muslimin memasuki kota Mekah, tidak boleh membawa senjata.
• Kaum Muslimin tidak boleh berada di dalam kota mekah lebih dari tiga hari-tiga malam.
3. Dakwah Islamiah Keluar Jazirah Arabia
Rasulullah SAW menyeru umat manusia diluar Jazirah Arab untuk memeluk Islam, dengan jalan mengirim utusan untuk menyampaikan surat dakwah Rasulullah SAW kepada penguasa atau pembesar mereka.
Para penguasa Negara yang dikirim surat dakwah yaitu:
1. Heracilus, Kaisar Romawi Timur
Yang menerima surat utusan melalui Dihijah bin Khalifah. Heracilus tidak menerima seruan dakwah itu, karena tidak mendapat persetujuan dari pembesar Negara dan para pendeta. Namun surat itu dibalas dengan tutur kata yang sopan, di samping mengirimkan hadiah untuk Rasulullah SAW.
2. Muqauqis, Gubernur Romawi Mesir
Rasulullah SAW mengirim surat ke Muqauqis melalui utusannya bernama Hatib. Setelah surat itu dibaca Muqauqis belum bisa menerima seruan untuk masuk Islam. Namun ia menyampaikan balasan kepada Rasulullah SAW dan mengirim hadiah-hadiah berupa seorang budak wanita, kuda, keledai, dan pakaian-pakaian.
3. Syahinsyah, Kaisar Persia
Syahinsyah adalah penguasa yang lalim dan sombong. Karena kesombongannya surat dakwah Raulullah SAW itu dirobek-robeknya. Mengetahui surat itu dirobek, Rasulullah SAW menjelaskan bahwa Syahinsyah yang sombong itu akan dibunuh oleh anaknya sendiri pada malam selasa, 10 Jumadil Awal tahun ke-7 Hijriah. Apa yang diucapkan Rasulullah ternyata sesuai dengan kenyataan.
Kemudian surat dakwah dikirim kepada An-Najasyi (Raja Ethiopia), Al-Munzir bin Sawi (Raja Bahrain), Hudzah bin Ali (Raja Yamamah), dan Al-Haris (Gubernur Romawi Syam). Diantara penguasa-penguasa tersebut yang menerima surat dakwah Rasulullah SAW, hanyalah Al-Munzir bin Sawi penguasa Bahrain yang menyatakan masuk Islam dan mengajak para pembesar Negara dan rakyatnya agar masuk Islam.
B. Stategi Dakwah Rasulullah SAW Priode Madinah
Pokok-pokok pikiran yang dijadikan strategi dakwah Rasulullah SAW priode Madinah adalah:
1. Berdakwah dimulai dari diri sendiri.
2. Cara (metode) melaksanakan dakwah sesuai dengan petunjuk Allah SWT.
3. Berdakwah hukumnya wajib bagi Rasulullah SAW dan umatnya.
4. Berdakwah dilandasi dengan niat ikhlas karena Allah SWT.
Masyarakat Islam atau masyarakat Madani adalah masyarakat yang menerapkan ajaran Islam pada seluruh aspek kehidupan, sehingga terwujud kehidupan bermasyarakat yang baldatun tayyibatun wa rabbun gafur, yakni masyarakat yang aman, baik, tentram, damai, adil dan makmur dibawah naungan ridha Allah SWT dan ampunan-Nya.
Usaha-usaha Rasulullah SAW dalam mewujudkan masyarakat islam seperti tersebut adalah:
a. Medirikan Masjid
Masjid yang pertama didirkan oleh Rasulullah SAW di Madinah adalah Masjid Quba, yang berjarak ± 5 Km sebelah barat daya Madinah. Masjid Quba ini dibangun pada 12 Rabiul Awal tahun pertama Hijriah (20 September 622 M).
Setelah Raslullah menetap di Madinah, pada setiap hari Sabtu, beliau mengunjungi masjid Quba untuk shalat berjamaah dan menyampaikan dakwah Islam.
Masjid kedua yang dibangun oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya adalah masjid Nabawi di Madinah. Masjid ini dibangun secara gotong royong oleh kaum Muhajirin dan Ansar, yang peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan peletakan batu kedua, ketiga, keempat, dan kelima dilakukan oleh para sahabat termuka yakni: Abu Bakar r.a., Umar bin Khatab r.a., Utsman bin Affan r.a., dan Ali bin Abu Thalib k.w.
Mengenai fungsi atau peranan masjid pada masa Rasulullah SAW adalah:
• Sebagai sarana pembinaan umat Islam di bidang akidah, ibadah, dan akhlak.
• Sebagai sarana ibadah, khususnya shalat lima waktu, shalat Jum’at, shalat Tarawih, shalat Idul Fitri, dan Idul Adha.
• Sebagai tempat belajar dan mengajar tentang agama Islam yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Hadist.
• Sebagai tempat pertemuan untuk menjalin hubungan persaudaraan sesama Muslim (ukhuwah islamiyah) demi terwujudnya persatuan.
• Sebagai sarana kegiatan social.
• Menjadikan halaman masjid dengan memasang tenda, sebagai tempat pengobatan para penderita sakit, terutama para pejuang Islam yang menderita luka akibat perang melawan orang-orang kafir.
• Menjadikan masjid tempat bermusyawarah dengan sahabatnya.
b. Mempersaudarakan antara Kaum Muhajirin dan Ansar.
Muhajirin adalah para sahabat penduduk Mekah yang hijrah ke Madinah.
Ansar adalah para sahanbat penduduk asli Madinah yang memberikan pertolongan kepada kaum Muhajirin.
Rasulullah SAW bermusyawarah dengan Abu Bakar r.a. dan Umar bin Khattab tentang mempersaudarakan antara Muhajirin dan Ansar, sehingga terwujud persatuan yang teguh. Hasil musyawarah memutuskan agar setiap orang Muhajirin mencari dan mengangka, seorang dari kalangan Ansar menjadi saudara senasab (seketurunan), dengan niat ikhlas karena Allah SWT, demikian juga sebaliknya orang Ansar.
Kaum Ansar dengan ikhlas memberikan pertolongan kepada kaum Muhajirin berupa tinggal, sandang pangan, dan lain-lain yang diperlukan. Namun Muhajirin tidak diam berpangku tangan, mereka berusaha sekuat tenaga untuk mencari nafkah agar dapat hidup mandiri.
Kaum Muhajirin yang belum mempunyai tempat tinggal dan mata pencaharian oleh Rasulullah SAW ditempatkan di bagian Masjid Nabawi yang beratap yang disebut Suffa dan mereka dinamakan Ahlus Suffa (penghuni Suffa). Kebutuhan-kebutuhan mereka dicukupi oleh kaum Muhajirin dan Ansar secara bergotong royong. Kegiatan Ahlus Suffa itu antara lain mempelajari dan menghafal Al-Qur’an dan Hadist, kemudian diajarkan kepada yang lain. Sedangkan apabila ada peperangan antara kaum Muslimin dengan kaum Kafir, mereka ikut beperang.
c. Perjanjian Bantu-Membantu antara Umat Islam dan Umat Non-Islam
Pada waktu Rasulullah SAW menetap di Madinah, penduduknya terdiri dari tiga golongan, yaitu umat Islam, umat Yahudi (Bani Qainuqa, Bani Nazir, dan Bani Quraizah), dan orang Arab yang belum masuk Islam.
Rasulullah membuat perjanjian dengan penduduk Madinah non-Islam dan tertuang dalam Piagam Madinah. Isi Piagam Madinah antara lain:
(1) Setiap golongan penduduk Madinah berhak menjatuhkan hukuman kepada orang yang membuat kerusakan dan memberi keamanan kepada orang yang mematuhi peraturan.
(2) Setiap individu penduduk Madinah mendapat jaminan kebebasan beragama. Apabila Madinah diserang musuh, maka penduduk Madinah harus bantu-membantu dalam mempertahankan kota madinah.
(3) Segala perkara dan perselisihan besar yang terjadi di kota Madinah harus di ajukan kepada Rasulullah SAW untuk diadili sebagaimana mestinya.
d. Meletakkan Dasar-Dasar Politik, Ekonomi, dan Sosial yang Islami demi Terwujudnya Masyarakat Madani
Islam tidak hanya mengajarkan bidang akidah dan ibadah, tetapi juga mengajarkan bidang politik, ekonomi, dan social, yang semuanya bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist.
Pada masa Rasulullah SAW, penduduk Madinah mayoritas beragama Islam, sehingga masyarakat Islam sudah terbentuk, maka adanya pemerintahan Islam merupakan keharusan. Rasulullah SAW selain sebagai seorang nabi dan rasul, juga tampil seorang kepala Negara (Khalifah).
Sebagai kepala Negara Rasulullah SAW sudah meletakkan dasar bagi system politik Islam, yakni musyawarah. Dengan musyawarah umat Islam dapat mengangkat wakil-wakil rakyat dan kepala pemerintah, serta membuat peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh seluruh rakyatnya. Dengan syarat, peraturan tidak menyimpang dari Al-Qur’an dan Hadist.
Dalam bidang ekonomi Rasullah SAW telah meletakkan dasar bahwa system ekonomi Islam itu harus dapat menjamin terwujudnya keadilan social.
Dalam bidang social kemasyarakatan, Rasulullah SAW telah meletakkan dasar antara lain adanya persamaan derajat diantara semua individu, semua golongan, dan semua bangsa. Sesuatu yang membedakan derajat manusia ialah amal shalehnya atau hidupnya yang bermanfaat.
Rangkuman
Dakwah Rasulullah SAW priode Madinah dilakukan selama sepuluh tahun. Dakwah ditujukan kepada umat Islam yang belum masuk Islam. Dakwah priode Madinah ini mendapat hambatan dari kaum Kafir Quraisy, Yahudi di Madinah, dan sekutu-sekutunya. Mereka musuh-musuh Muslim bertekad untuk melenyapkan Islam dan kaum Muslimin. Untuk menghadapi tantangan dan tekad dan musuh-musuh Islam tersebut, dan setelah turun ayat Al-Qur’an yang isinya izin dari Allah SWT untuk berperang, maka terjadilah beberapa kali peperangan seperti Perang Badar, Perang Uhud, dan Perang Ahzab. Pada tahun ke-6 H terjadi Perjanjian Hudaibiyah antara umat Islam dan kaum kafir Quraisy. Perjanjian ini menguntungkan umat Islam, antara lain umat Islam memperoleh kekuasaan untuk berdakwah, sehingga dalam waktu dua tahun saja berbagai kabilah Arab berduyun-duyun masuk Islam. Pada tahun ke-8 H kaum kafir Quraisy melanggar perjanjian Hudaibiyah. Hal ini memberi kesempatan kepada Rasulullah SAW dan umat untuk membebaskan Mekah dari penguasa kaum kafir Quraisy yang zalim. Rasulullah SAW dengan dengan bala tentara sebanyak 10.000 orang berangkat menuju Mekah dan tanpa perlawanan kaum kafir Quraisy menyerah dan menyatakan diri masuk Islam. Tidak lama setelah pembebasan kota Mekah, terjadi lagi perang Hunain dan Taif. Dalam peperangan ini kaum Musryrikin mengalami kekalahan dan seluruhnya masuk Islam. Pada tahun ke-9 dan ke-10 H berbagai kabilah bangsa Arab menghadap Rasulullah SAW menyatakan mendukungnya. Demikianlah seluruh Jazirah Arab sudah masuk Islam dan wilayah pemerintahan Islam yang berpusat di Madinah.
Dakwah Rasulullah SAW terhadap orang-orang diluar Jazirah Arabia, dilakukan dengan mengirim utusan membawa surat dakwah kepada Heracilus, Muqauqis dan lain-lain.
Strategi dakwah Rasulullah SAW pada priode Madinah berlandaskan kepada pokok-pokok pikiran: dakwah hendaknya dimulai dari diri sendiri; metode dakwah sesuai dengan petunjuk Allah SWT dalam Surah An-Nahl, 16 : 125; berdakwah itu hukumnya wajib dan dilandasi dengan niat ikhlas karena Allah SWT. Selain itu, Rasulullah SAW dan para sahabatnya melakukan usaha-usaha untuk mewujudkan masyarakat Islam atau masyarakat Madani di Madinah.
Oleh : M. ARIF
SISWA SMAN 3 SIAK 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar