Jumat, 24 Februari 2012

PERBANDINGAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN MENURUT Ki HAJAR DEWANTARA dan HASAN AL BANA Drs. SULURI

PERBANDINGAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN MENURUT
Ki HAJAR DEWANTARA dan HASAN AL BANA
Drs. SULURI

A. KONSEP PENDIDIKAN K.HAJAR DEWANTARA

Berbicara tentang Ki Hajar Dewantara, tentunya tidak lepas relevansinya dari sejarah pemikirannya yang mendasari berdirinya Taman Siswa di 1922. Terkait dengan hal itu sejarah pemikiran atau intellectual history dapat didefinisikan sebagai usaha manusia untuk memahami pengalaman manusia dimasa lampau di dalam menganalisa pemikiran-pemikiran yang hadir pada masa itu.
Semua perbuatan manusia pasti dipengaruhi pemikiran, karenanya sebagai sosok yang berpikir manusia tidak bisa lepas dari dunia kontemplatif. Manusia selalu bercita-cita ingin maraih kehidupan yang sejahtera dan bahagia dalam arti yang luas, baik lahiriah maupun batiniah, duniawi dan ukhrawi. Namun, cita-cita demikian tidak mungkin dicapai jika manusia itu sendiri tidak berusaha keras meningkatkan kemampuannya seoptimal mungkin melalui proses kependidikan karena di dalam proses kependidikan terdapat suatu kegiatan secara bertahap berdasarkan perencanaan yang matang untuk mencapai cita-citanya. Semakin tinggi ekspektasi manusia, semakin besar pula tuntutan kepada progresivitas mutu pendidikan sebagai sarana untuk mencapai cita-cita tersebut.
itu, pendidikan menjadi refleksi dari cita-cita kelompok manusia, sekaligus menjadi lembaga yang mampu mengubah dan meningkatkan cita-cita tersebut untuk tidak terbelakang dan statis. Sadar akan hal itu, RM Suwardi Suryaningrat atau yang lebih dikenal dengan Ki Hajar Dewantara telah mendekati proses pendidikan itu dalam sebuah pemikiran cerdas untuk mendirikan sekolah taman siswanya, jauh sebelum Indonesia mengenal arti kemerdekaan. Kembali pada faktual historis pada pendidikan kolonial sebelum masa pergerakan Nasional, yang menjadi cikal bakal lahirnya taman siswa, tampak sekali bahwa Belanda belum bersungguh-sungguh terhadap pengajaran rakyat. Pengajaran bagi bumi putera selalu mengalami penundaan. Perluasan sekolah selalu mengalami hambatan dan tantangan. Langkah demikian sengaja dilaksanakan oleh Belanda agar bangsa Indonesia tetap tidak berpendidikan. Mereka menyadari bahwa perluasan sekolah-sekolah bagi rakyat merupakan bahaya besar bagi kedudukannya sebagai penjajah.
Sekolah yang mereka dirikan bukan untuk mendidik bangsa Indonesia menjadi manusia cerdas dan terampil, akan tetapi tujuan utamanya adalah memberi kemudahan bagi pemerintah Belanda untuk memenuhi kebutuhan akan pegawai rendah . Konsepsi Taman Siswa pun coba dituangkan Ki Hajar Dewantara dalam solusi menyikapi kegelisahan-kegelisahan rakyat terhadap kondisi pendidikan yang terjadi saat itu. Kelahiran Taman Siswa 3 Juli 1922 dinilai sebagai titik balik dalam pergerakan Indonesia. Kaum revolusioner yang mencoba menggerakkan rakyat dengan semboyan asing dan ajaran marxis, terpaksa memberikan ruang untuk gerakan ini, benar-benar berasaskan kebangsaan dan bersikap non kooperatif dengan pemerintah kolonial. Sebuah wujud ekspresivitas tinggi dalam memberikan kesadaran kepada Bangsa Indonesia umumnya bahwa kita sebagai bangsa haruslah memikirkan pendidikan agar dapat membentuk manusia susila yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah airnya yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah airnya.
Berangkat dari pemahaman itulah, perlunya kita untuk mengetahui kembali pemikiran cerdas yang pernah digulirkan oleh Ki Hajar Dewantara dalam upayanya tersebut, bagaimana asas dan dasar yang diterapkan Taman Siswa dalam usaha untuk merintis pendidikan di Indonesia. Apakah pendidikan Indonesia sekarang sudah menggambarkan pola pikir pendidikan yang dikembangkan Ki Hajar Dewantara dahulu. Hal menarik untuk dikaji secara mendalam lagi, karena bisa saja eksplanasi yang didapatkan dari kajian ini menjadi carian solusi yang berguna untuk dunia pendidikan di Indonesia.
Orientasi Asas Dan Dasar Taman Siswa Dari Ki Hajar Dewantara Pernyataan asas Taman Siswa di tahun 1922 diupayakan sebagai asas perjuangan yang diperlukan pada waktu itu menjelaskan sifat taman siswa pada umumnya. Asas yang memuat 7 pasal tersebut secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut. Pasal ke-1 dan 2 mengandung dasar kemerdekaan bagi tiap-tiap orang untuk mengatur dirinya sendiri. Bila diterapkan kepada pelaksanaan pengajaran maka hal itu merupakan upaya di dalam mendidik murid-murid supaya dapat berperasaan, berpikiran dan bekerja merdeka demi pencapaian tujuannya. Pasal 1 juga menerangkan perlunya kemajuan sejati untuk diperoleh dalam perkembangan kodrati. Dasar ini mewujudkan “sistem-among” yang salah satu seginya ialah mewajibkan guru-guru sebagai pemimpin yang berdiri di belakang tetapi mempengaruhi dengan memberi kesempatan anak didik untuk berjalan sendiri. Inilah yang disebut dengan semboyan “Tut Wuri Handayani”. Pasal ke-3 menyinggung masalah kepentingan sosial, ekonomi dan politik kecenderungan dari bangsa kita untuk menyesuaikan diri dengan hidup dan penghidupan ke barat-baratan telah menimbulkan kekacauan.
Sistem pengajaran yang terlampau memikirkan kecerdasan pikiran yang melanggar dasar-dasar kodrati yag terdapat dalam kebudayaan sendiri. Pasal ke-4 menyangkut tentang dasar kerakyatan untuk memepertinggi pengajaran yang dianggap perlu dengan memperluas pengajarannya. Pasal ke-5 memiliki pokok asas untuk percaya kepada kekuatan sendiri. Pasal ke-6 berisi persyarat dalam keharusan untuk membelanjai sendiri segala usaha Taman Siswa. Dan pasal ke-7 mengharuskan adanya keikhlasan lahir-batin bagi guru-guru untuk mendekati anak didiknya. Pernyataan asas yang berisi 7 pasal tersebut, sesungguhnya merupakan pengalaman dan pengetahuan Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan barat yang mengusahakan kebahagian diri, bangsa dan kemanusiaan.
Adapun Dasar Taman Siswa di tahun 1947 merupakan susunan dasar yang memuat perincian dasar-dasar yang terpakai di dalam Taman Siswa sejak berdirinya di 1922 hingga seterusnya, baik yang terkandung di dalam keterangan asas-asasnya maupun yang terdapat di dalam segala peraturannya. Dasar Taman Siswa tahun 1947 terkenal dengan nama Panca Dharma yang memuat : 1. Dasar Kemerdekaan 2. Dasar Kebangsaan 3. Dasar Kemanusiaan 4. Dasar Kebudayaan 5. Dasar Kodrat Alam Kesemua dasar ini sama sekali tidak bertentangan dengan asas 1922 yang menjadi pijakan awal Ki Hajar Dewantara dalam merintis pendidikan di Indonesia, karena poin-poin penting yang termaktub dalam dasar Taman Siswa ini hanyalah mempertegas dari hal-hal yang telah dikemukan dalam Asas Taman Siswa.
Berkaca dari hal ini, mungkin kita bisa mengakui kapabilitas seorang Ki Hajar Dewantara dalam merumuskan pemikiran-pemikiran yang sejatinya belum dimiliki oleh sebagian kalangan pada saat itu. Pemikiran cerdas di dalam memberikan tuntunan dasar akan pentingnya keteladanan, keuletan dan kesabaran di dalam belajar telah menjadi esensi penting di dalam modal utama untuk memperbaiki kualitas pendidikan saat ini. Apalagi kenyataan sekarang di dalam dunia pendidikan, sangatlah berbeda jauh dengan apa yang diperlihatkan Ki Hajar Dewantara dahulu. Bahkan boleh dikatakan bahwa pendidikan sekarang tidak bisa memaknai pola pikir pendidikan yang dikembangkan Ki Hajar Dewantara dahulu. Misalnya saja di dalam poin ke-7 di dalam asas Taman Siswa, yang sedikit sekali diterapkan oleh kalangan pendidik. Keikhlasan lahir batin bagi pendidik untuk meningkatkan kualitas pendidikan, kurang begitu ditanamkan dewasa ini, mengingat semua pengabdian mesti tereprisalkan dalam bentuk materi (uang).
Oleh karena itu, dalam era sekarang eksistensi roh pendidikan seperti yang dikembangkan Ki Hajar Dewantara hendaknya tetap menjadi pola-pola pikir yang terus didayakan oleh generasi muda, karena bagaimanapun juga mengubah Indonesia menjadi lepas dari belenggu penjajahan tidak lain adalah karena pendidikan.

Dalam berbagai sumber tulisan tentang pendidikan Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan harus dimulai dari persamaan persepsi pemangku pendidikan tentang mendidik itu sendiri. Menurut Kihajar Dewantara mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia (humanisasi), yakni pengangkatan manusia ke taraf insani. Di dalam mendidik ada pembelajaran yang merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Jadi sesungguhnya pendidikan adalah usaha bangsa ini membawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami manusia (humanis). Menurut Ki Hajar Dewantara tujuan pendidikan adalah “penguasaan diri” sebab di sinilah pendidikan memanusiawikan manusia (humanisasi). Penguasaan diri merupakan langkah yang harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang mamanusiawikan manusia. Ketika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu juga menentukan sikapnya. Dengan demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa. Dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara ada 2 hal yang harus dibedakan yaitu sistem “Pengajaran” dan “Pendidikan” yang harus bersinergis satu sama lain. Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik). Keinginan yang kuat dari Ki Hajar Dewantara untuk generasi bangsa ini dan mengingat pentingnya guru yang memiliki kelimpahan mentalitas, moralitas dan spiritualitas. Beliau sendiri untuk kepentingan mendidik, meneladani dan pendidikan generasi bangsa ini telah mengubah namanya dari ningratnya sebagai Raden Mas soewardi Suryaningrat menjadi Ki hajar dewantara. Perubahan nama tersebut dapat dimakna bahwa beliau ingin menunjukkan perubahan sikap ningratnya menjadi pendidik, yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan Negara ini. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan spiritualitas, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Yang utama sebagai pendidik adalah fungsinya sebagai model keteladanan dan sebagai fasilitator kelas. Nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan. Menerjemahkan dari konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara tersebut, maka banyak pakar menyepakati bahwa pendidikan di Indonesia haruslah memiliki 3 Landasan filosofis, yaitu nasionalistik, universalistic dan spiritualistic. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan harga diri; setiap orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya. Output pendidikan yang dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Dalam pemikiran kihajar dewantara, metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh. Metode ini secara teknik pengajaran meliputi ‘kepala, hati dan panca indera’ (educate the head, the heart, and the hand).

B.KONSEP PENDIDIKAN HASAN AL-BANNA

1.BIOGRAFI HASAN AL-BANNA
Hasan al-Banna dilahirkan pada tanggal 17 Oktober 1906 di Al-Mahmudiyah Provinsi Buhairah Mesir. Pada masa kecil, Hasan al-Banna dididik langsung oleh ayahnya Syeikh Ahmad bin Abdurrhaman bin Muhammad al-Bana as-Sadati yang mengajarkan al-Qur’an, al-Hadits, Fiqih, bahasa dan tasawwuf. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya ke sekolah dasar al-Mahmudiyah, kemudian masuk ke sekolah pendidikan guru di Damanhur.
Pada usia enam belas tahun Hasan al-Banna melanjutkan pendidikannya ke Darul Ulum, Kairo. Kemudian pada tahun 1927 dalam usia 21 tahun ia berhasil menyelesaikan studinya dengan baik. Tidak lama kemudian ia menjadi guru di Madrasah Ibtidaiyah. Dari sejak itu, sampai dengan kurang lebih sembilan belas tahun di samping mengajar di pagi hari, beliau juga giat berdakwah pada sore hari dan hari-hari libur. Selain itu pada waktu berlibur ia gunakan untuk mengunjungi berbagai wilayah untuk menyampaikan dakwah.
Selanjutnya, data sejarah menyebutkan bahwa Hasan al-Banna juga termasuk salah seorang pengikut tasawuf Syadzaliah, dan menjalani kehidupan sebagai zahid dan beruzlah. Hal ini antara lain terlihat dari kehidupannya yang amat sederhana baik dalam hal pakaian maupun makanan.
Dari latar pendidikan tersebut tidaklah mengherankan jika Hasan al-Banna kemudian tampil sebagai sosok da’i, pejuang, propagandis dan politikus yang gigih dalam memperjuangkan cita-citanya. Perpaduan antara semangat Islam dan bakat memimpin yang dimilikinya itu tampak jelas ketika ia masih muda belia. Ketika masa remaja, misalnya, ia berhasil mengkoordinir organisasi di kalangan pelajar. Sumber-sumber sejarah menyebutkan bahwa Hasan al-Banna memang memiliki kecenderungan berserikat dan mengorganisasi massa. Di sekolah menengah saja ia sudah terpilih sebagai ketua Jam’iyatul Adabiyah, sebuah perkumpulan karang mengarang. Bersama pelajar lainnya, ia membentuk Al-Jam’iyatul Hasafiyatul Khairiyah, semacam organisasi pembaharuan. Ia kemudian menjadi anggota Makarimul Akhlak Islamiyah, satu-satunya organisasi sejenis di Kairo.
Keterpaduan moral dan intelektual pada diri Hasan al-Banna sebagai pendiri Ikhwan al-Muslimin, selanjutnya kita akan mengkaji lebih jauh gerakan Ikhwan al-Muslimin tersebut khususnya di bidang pendidikan.
2.IKHWANUL MUSLIMIN
Dari segi bahasa ikhwan al-muslimin berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata ikhwan dan al-muslimin. Kata ikhwan adalah bentuk jamak dari kata al-akh. Bentuk jamak lainnya dari kata tersebut adalah ikhwan, ukhwatun, ukhwanun, ukhana dan ukha’un yang berarti saudara atau persaudaraan. Sedangkan kata muslimin merupakan bentuk jamak dari kata muslim yang berarti orang-orang yang beragama Islam atau orang-orang yang berserah diri, patuh dan tunduk kepada Allah, agar selamat dan sejahtera di dunia dan akhirat.
Dalam bahasa Inggris ikhwan al-muslimin dikenal dengan istilah moslem brotherhood yang berarti persaudaraan orang-orang muslim, dan berarti pula anak laki-laki dari orang tua yang sama, seseorang yang terikat dengan orang Islam sebagai anggota masyarakat, sesama anggota masyarakat agama.
Selanjutnya kata brother dalam konteks ikhwan al-muslimin mengandung dua pengertian. Pertama berarti perasaan bersaudara dengan orang lain, dan kedua sekelompok orang yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama. Dengan demikian, ikhwan al-muslimin merupakan sekumpulan orang yang antara satu dan yang lainnya terikat oleh tali persaudaraan yang mempunyai kepentingan dan tujuan yang sama.
Sebagai sebuah organisasi sosial dan kemasyarakatan, kehadiran Ikhwan al-Muslimin tidak dapat dilepaskan dari perkembangan masyarakat yang terjadi di Mesir pada masa itu. Sebagaimana gerakan pembaharuan Islam pada umumnya, Ikhwan al-Muslimin muncul sebagai reaksi terhadap sosio moral di Kairo. Masyarakat Kairo pada saat pada saat itu kurang peduli lagi terhadap nilai-nilai Islam. Dari hari ke hari para ulama tradisional di Mesir dinilai kurang lagi mampu berbuat untuk menghentikan tingkah laku kaum modernis kecuali hanya melemparkan sumpah serapah terhadap berbagai masalah bid’ah.
Selanjutnya sejarah mencatat bahwa dunia Islam pada saat itu, khususnya Mesir terlampau banyak dikendalikan oleh Barat baik dari segi moral maupun politik. Keadaan tersebut diawali ketika bulan Nopember 1914 Inggris mengumumkan perang melawan Kesultanan Otsman Turki, dan kemudian pada bulan berikutnya Inggris memproklamirkan Mesir sebagai wilayah protektoratnya. Sebagai akibat dari intervensi dan imperialisme Barat tersebut, umat Islam semakin terbuai oleh budaya lokal yang jumud serta lemah dalam mengamalkan nilai-nilai spiritual yang murni. Akibatnya, kehidupan keagamaan menjadi cenderung formalis dan penuh kemunafikan. Sementar praktek mistis membawa masyarakat kepada kehidupan takhayul dan memadamkan sifat orisinil Islam yang dikenal kreatif.
Selain faktor-faktor tersebut di atas, faktor lainnya yang menyebabkan berdirinya Ikwan al-Muslimin adalah masalah kekacauan dalam bidang pendidikan. berbagai sumber mencatat, bahwa dalam sistem pendidikan terjadi dualisme. Di satu pihak sekolah pemerintah hanya mementingkan pengetahuan umum dan mengabaikan masyarakat, sedangkan di pihak lain sekolah agama melupakan pengetahuan umum.
Selain itu, situasi politik yang terjadi di Mesir pada saat itu juga mempengaruhi kelahiran organisasi ini. Sumber-sumber terpercaya menyebutkan bahwa di bidang politik luar negeri, dunia Islam terpecah ke dalam kelompok negar-negara kecil, dan dalam keadaan itu pula kaum imperialis merampas negara-negara Arab untuk dieksploitasi sumber kekayaan alamnya.
Beberapa faktor tersebutlah yang oleh para peneliti dan sejarawan dinilai sebagai yang melatar-belakangi bangkitnya Hasan al-Banna untuk membentuk suatu organisasi, yaitu pada saat setelah ia menyelesaikan studinya di Darul Ulum. Organisasi tersebut tepatnya didirikan di Ismailiyah, sebuah kota yang terletak di sebelah Timur Laut Kairo, Mesir, pada tahun 1928.
Sebagaimana diketahuai bahwa tema-tema sentral yang menjadi kerangka pemikiran Ikhwan al-Muslimin untuk melakukan gerakannya adalah berkaitan dengan masalah moral masyarakat, ekonomi, fungsionalisasi agama yang dinilainya sudah kurang mampu membendung pengaruh sekuler. Selain itu dasar yang paling penting yang dijadikan doktrin Ikhwan al-Muslimin dalam melancarkan pembaharuannya sebagaimana dikemukakan Ali Gharizah ada lima, yaitu Allah tujuan kami, Rasulullah tauladan kami, Al-Qur’an undang-undang dasar hidup kami, jihad adalah jalan perjuangan kami, dan syahid di jalan Allah adalah cita-cita luhur kami.
Kelima doktrin tersebut selanjutnya digunakan untuk menjadi dasar dalam perjuangannya, baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi, kebudayaan, maupun pendidikan dan lain sebagainya.
1. KONSEP PENDIDIKAN HASAN AL-BANNA
Hasan al-Banna adalah seorang arsitek sebuah perubahan. Bahkan, seolah-olah ia dilahirkan untuk membangun kembali harga diri umat yang sedang runtuh dan melorot. Pembangunan kembali itu diawali dengan mendirikan madrasah terbesar dalam sejarah gerakan dakwah; Madrasah Hasan Al-Banna.
Penyebutan Madrasah Hasan al-Banna ini disematkan oleh salah satu kader terbaik ikhwanul muslimin, syaikh Yusuf Qardhawi, sebuah madrasah yang memiliki dua tujuan besar dalam pembangunan umat Islam. Dua tujuan itu ialah ilmiyah dan amaliyah, berilmu dan beramal.
Konsep pendidikan Ikhwan al-Muslimin ditujukan bagi pemecahan berbagai masalah sosial yang dihadapi. Dengan kata lain, Ikhwan al-Muslimin melihat pendidikan sebagai alat untuk membantu masyarakat dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan. Atas dasar konsep tersebut, Ikhwan al-Muslimin mengajukan berbagai permasalahan pendidikan sebagai berikut :
1. 1. Sistem Pendidikan
Salah satu pemikiran Hasan al-Banna di bidang pendidikan berkaitan dengan upaya mengintegrasikan sistem pendidikan yang dikotomis antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Melalui upaya ini Ikhwan al-Muslimin bermaksud memberi nilai agama pada pengetahuan umum, dan memberi makna progresif terhadap pengetahuan dan amaliah agama, sehingga sikap keagamaan tersebut tampil lebih aktual. Dalam hubungan ini Ikhwan al-Muslimin berusaha memperbaharui makna iman yang telah lapuk oleh peradaban modern, yaitu dengan cara kembali kepada sumber-sumber ajaran yang orisinil. Upaya-upaya tersebut dapat terlihat dari bingkai pendidikan Ikhwan al-Muslimin yang berorientasi ketuhanan, universal, terpadu, seimbang dan bermuatan keterampilan yang positif dan konstruktif.
Orientasi ketuhanan dalam pendidikan amat penting, karena aspek ketuhanan atau keimanan merupakan hal yang terpenting dalam pendidikan Islam. Aspek keimanan ini sangat mendasar pengaruhnya, terutama jika dihubungkan dengan tujuan pertama pendidikan Islam, yaitu mewujudkan manusia-manusia yang memiliki keimanan yang kokoh. Yaitu iman yang tidak hanya terbatas pada pengertian dan perkataan, tetapi juga harus diimplementasikan dengan praktek-praktek ibadah dan ritualitas agama yang menumbuhkan sikap positif untuk kehidupan pribadi dan masyarakat.
Selanjutnya yang dimaksud dengan universal dan terpadu adalah bahwa pendidikan Islam tidak hanya mementingkan satu segi tertentu saja, dan tidak pula mengharuskan adanya spesialisasi yang sempit melainkan mencakup semua aspek secara terpadu dan seimbang. Pendidikan Islam tidak hanya mementingkan ruhani dan moral seperti yang terdapat pada paham kaum sufi, dan tidak pula hanya menekankan pendidikan rasio seperti yang didambakan kaum filosofis, dan tidak juga hanya mementingkan latihan keterampilan dan disiplin sebagaimana pendidikan dalam kemiliteran, tetapi pendidikan Islam itu mementingkan sesama dimensi secara seimbang.
Ciri universalisme dan terpadu dalam pendidikan Islam juga harus mementingkan aspek ruhani. Dalam hubungan ini Muhammad Quthb mengatakan bahwa ruh adalah suatu kekuatan yang tidak terlihat dan tidak kita ketahui materi dan cara kerjanya. Ia adalah alat untuk mengadakan kontak dengan Allah sesuai dengan fitrahnya, yaitu alat yang membawa manusia kepada Tuhan. Untuk mencapai tujuan penyatuan ruhaniah dengan Tuhan, manusia dianjurkan agar menciptakan hubungan yang terus menerus antara ruh dengan Allah pada saat dan kegiatan bagaimanapun, baik pada saat berpikir, merasa maupun berbuat.
Selain membina aspek ruhani, pendidikan Islam juga harus membina intelektualitas atau cara berpikir yang benar. Hal ini dinilai penting oleh Ikhwan al-Muslimin, mengingat eksistensi manusia terdiri dari unsur ruhani, akal dan jasmani. Ketiga unsur tersebut harus terpadu dan tidak dapat dipisah-pisahkan.
Khusus mengenai akal, Ikhwan al-Muslimin menilai bahwa akal merupakan potensi atau kekuatan besar yang diberikan Allah kepada manusia. Islam sangat menghargai akal dan menempatkannya sebagai salah satu dasar dari adanya pembebanan hukum, dan sebagai tolak ukur yang membedakan antara baik dan buruk. Dalam kaitan ini Ikhwan al-Muslimin manilai bahwa berpikir dengan menggunakan akal merupakan kegiatan mental yang bernilai ibadah. Sedangkan mencari bukti-bukti atas sesuatu merupakan keharusan, dan belajar merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslimin. Dengan demikian, tidaklah aneh jika pendidikan Islam sama sekali tidak dipisahkan dari pendidikan keimanan atau pendidikan jiwa. Hal ini dapat dimengerti, karena sikap seseorang merupakan cermin dari pemikiran dan pandangannya terhadap dunia, kehidupan dan manusia itu sendiri.
Sejalan dengan pemikiran tersebut di atas, Ikhwan al-Muslimin juga mementingkan pendidikan jasmani. Wujud nyata dari pendidikan jasmani ini menurut Yusuf al-Qardhawi adalah mengambil bentuk pemeliharaan kebersihan, pemeliharaan kesehatan secara preventif dan pengobatan. Untuk itu, kepada setiap anggota Ikhwan al-Muslimin ditekankan agar membiasakan hidup bersih, tidak merokok dan mengurangi minum kopi dan teh, karena hal itu akan mengganggu kesehatan. Pendidikan jasmani ini ditujukan : (1) agar setiap muslim berbadan sehat dan berupaya memelihara kesehatan fisik dan mental, (2) agar setiap muslim dapat beraktivitas dengan lincah dan positif, (3) agar setiap muslim mempunyai daya tahan tubuh yang senantiasa prima.
Sejalan dengan cita-cita tersebut di atas, Ikhwan al-Muslimin juga mementingkan pendidikan sosial merupakan salah satu misi perjuangannya. Dalam kaitan ini, Yusuf al-Qardhawi mengatakan bahwa beribadah merupakan konsekuensi hubungan dengan Allah, sedangkan kepedulian sosial merupakan konsekuensi hubungan antara sesama manusia, dan perjuangan merupakan pengejawantahan hubungan dengan musuh-musuh agama.
1. 2. Karakter Pendidikan Islam
Sejalan dengan uraian tersebut di atas, Ikhwan al-Muslimin selanjutnya membahas karakter pendidikan. menurutnya, bahwa karakter pendidikan Islam tidak hanya terletak pada optimalisasi pengembangan potensi dan sumber daya manusia, tetapi harus pula didasarkan pada kejernihan iman dan niat yang positif, karena tanpa itu semua penerapan sains dari hasil karya manusia hanya akan menimbulkan bumerang, bahkan dapat mendatangkan bahaya kehidupan dari yang tidak diperkirakan sebelumnya.
Untuk mewujudkan karakter pendidikan demikian, maka perlu didasarkan pada rasa persaudaraan yang kokoh, keterpautan dan kepedulian dengan sesama anggota, bahkan kalau perlu siap menghadapai penderitaan. Dalam kaitan ini, sejarah mencatat beberapa tokoh Ikhwan al-Muslimin yang daging dan darahnya dimakan dan diminum stroom, tetapi mereka tidak mau menyatakan sesuatu yang dapat menyakiti dan membahayakan saudara-saudaranya sampai mati sekalipun. Demi memperjuangkan sikapnya itu, maka tidak sedikit pemuda-pemuda Ikhwan al-Muslimin yang harus menanggung siksaan, hanya karena tidak mau mengakui atau menunjukkan orang-orang yang diincar oleh penguasa zalim.
1. 3. Lembaga Pendidikan
Selain berbicara tentang sistem dan karakteristik pendidikan, Ikhwan al-Muslimin juga berbicara tentang lembaga pendidikan. dalam hubungan ini, Ikhwan al-Muslimin mengajukan lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan lembaga pendidikan non formal atau luar sekolah.
Salah satu upaya untuk menangani pendidikan sekolah, Ikhwan al-Muslimin membentuk komite khusus di bidang pendidikan di kantor pusat, dan panitia yang bertugas mendirikan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan (SL), dan Sekolah Teknik untuk anak laki-laki dan perempuan yang keadaannya berbeda dengan sekolah-sekolah swasta lainnya. Ke dalam seluruh jenjang pendidikan formal tersebut Ikhwan al-Muslimin memberikan ciri Islam yang sangat kuat. Dalam hubungan ini, Mariyam Jamilah mengatakan bahwa Hasan al-Banna, selaku pendiri Ikhwan al-Muslimin tidak bosan-bosannya mengimbau pemerintah agar menata kembali pendidikan yang berasaskan Islam dan memperhatikan pentingnya penyusunan kurikulum yang berbeda antara siswa dan siswi, dan secara khusus ia memohon agar pengajaran ilmu-ilmu eksakta tidak dibaurkan dengan paham materialisme modern.
Selanjutnya berkenaan dengan pendidikan luar sekolah, Ikhwan al-Muslimin berpandangan bahwa pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar-mengajar yang tidak harus berjenjang dan berkesinambungan melalui keluarga kelompok belajar, kursus dan satuan pendidikan lainnya yang sejenis. Dalam kaitan ini, Ikhwan al-Muslimin menyelenggarakan pendidikan keagamaan, kursus, kejuruan untuk anak putus sekolah, pendidikan privat bagi anak laki-laki dan perempuan, serta pendidikan kewiraswastaan bagi mereka yang tidak mampu lagi untuk meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Selain itu Ikhwan al-Muslimin juga menyelenggarakan pendidikan dengan sistem halaqah, yaitu pendidikan yang diselenggarakan secara berkelompok dan membentuk lingkaran. Pendidikan ini merupakan suatu aktivitas yang paling esensial bagi para anggota Ikhwan. Dalam hubungan ini, Said Hawa mengatakan bahwa sesungguhnya keterlibatan Ikhwan dalam halaqah ini merupakan suatu keharusan, karena halaqah adalah unsur pokok dalam pergerakan. Hal ini pernah dilakukan Abu Darda di masjid, yaitu ketika ia mengajarkan Al-Qur’an semenjak matahari terbit, hingga salat dzuhur, dengan membagi-bagi murid sebanyak sepuluh orang setiap kelompok yang dipandu oleh seorang guru dalam setiap kelompok.
1. 4. Metode Pendidikan Islam
Sejalan dengan kegiatan pendidikan tersebut, Ikhwan al-Muslimin menawarkan berbagai metode pendidikan yang dapat digunakan sesuai dengan bidang studi yang diajarkan. Di antara metode pendidikan tersebut, adalah metode pendidikan melalui teladan, teguran, hukuman, cerita-cerita, pembiasaan dan pengalaman-pengalaman konkret. Secara keseluruhan metode tersebut dapat dijumpai dasarnya baik dalam Al-Qur’an maupun praktek yang dilakukan Rasulullah SAW dalam membina para sahabat dan kader-kadernya.
C. ANALISIS
Berdasarkan uaraian tersebut terlihat jelas bahwa konsep pendidikan yang ditawarkan Ikhwan al-Muslimin sejalan dengan visi dan orientasi perjuangannya, yaitu membebaskan masyarakat dari keterbelakangan, baik dalam kehidupan keagamaan, ekonomi, politik, sosial, ilmu pengetahuan, maupun kebudayaan. Dengan demikian, Ikhwan al-Muslimin menempatkan pendidikan sebagai alat untuk meningkatkan harkat dan martabat ummat Islam khususnya yang berada di Mesir pada saat itu. Untuk mencapai visi dan misi tersebut, Ikhwan al-Muslimin telah menggunakan semua jenis dan model pendidikan, dari yang bersifat formal sampai kepada yang bersifat non formal untuk mewujudkan visi dan misinya itu. Demikian pula berbagai metode yang dipandang efektif dan berdaya guna dapat digunakan sebagai cara untuk menerapkan pendidikan.
Seluruh kegiatan pendidikannya itu terlihat didasarkan pada ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an dan praktek kehidupan Rasulullah dan para sahabatnya. Dalam kaitan ini, maka Ikhwan al-Muslimin dapat digolongkan kepada kelompok sunni dan salafi, karena selalu merujuk kepada kemurnian ajaran Islam.
Pemikiran cerdas di dalam memberikan tuntunan dasar akan pentingnya keteladanan, keuletan dan kesabaran di dalam belajar telah menjadi esensi penting di dalam modal utama untuk memperbaiki kualitas pendidikan saat ini. Apalagi kenyataan sekarang di dalam dunia pendidikan, sangatlah berbeda jauh dengan apa yang diperlihatkan Ki Hajar Dewantara dahulu. Bahkan boleh dikatakan bahwa pendidikan sekarang tidak bisa memaknai pola pikir pendidikan yang dikembangkan Ki Hajar Dewantara dahulu. Misalnya saja di dalam poin ke-7 di dalam asas Taman Siswa, yang sedikit sekali diterapkan oleh kalangan pendidik. Keikhlasan lahir batin bagi pendidik untuk meningkatkan kualitas pendidikan, kurang begitu ditanamkan dewasa ini, mengingat semua pengabdian mesti tereprisalkan dalam bentuk materi (uang).
Oleh karena itu, dalam era sekarang eksistensi roh pendidikan seperti yang dikembangkan Ki Hajar Dewantara hendaknya tetap menjadi pola-pola pikir yang terus didayakan oleh generasi muda, karena bagaimanapun juga mengubah Indonesia menjadi lepas dari belenggu penjajahan tidak lain adalah karena pendidikan. Bangsa kita yang terbelenggu atau terjajah oleh bangsannya sendiri, dengan krisis diberbagai bidang yang sangat menyolok krisis social yang berada ditangan para penggerak pembangunan di Negara Indonesia. Pendidikan belum menjawab tantangan zaman dan sangat dibutuhkan akan rumusan baru dalam duni pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar