Senin, 13 Desember 2010

Psikologi Anak Versi Ibnu Qoyyim

Psikologi Anak Versi Ibnu Qoyyim
Selasa, 14 Desember 2010
Surel Cetak PDF
anakPemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah tentang psikologi perkembangan dan pendidikan anak bermuara dari pemikirannya tentang konsep manusia dan pendidikan secara umum, terutama pandangannya yang luas tentang hubungan ruh dan badan dalam hidup dan kehidupan manusia. Di bawah ini karya sarjana S2 UIN, yang juga guru di Buntet Pesantren dalam sebuah makalah ilmiyahnya.
A. PENDAHULUAN

Di kalangan intelektual muslim nama Ibn Qayyim al-Jauziyyah dengan berbagai karyanya sudah tidak asing lagi. Walaupun hidup pada awal abad pertengahan dalam sejarah pemikiran dan peradaban Islam (1250-1800 M) yang dikalim sebagai abad kejumudan atau stagnasi pemikiran,1 namun hal demikian tidak berlaku bagi Ibn Qayyim, beliau terkenal sangat produktif menghasilkan karya ilmiah. Ide dan pemikirannya masih terpelihara dan terus tersebar melalui karya tulis yang tidak sedikit jumlahnya. Ia menggeluti berbagai ilmu dan bidang pemikiran, terutama ilmu tafsir, fiqh, dan ilmu Qulûb.2

Walaupun lebih dikenal sebagai seorang ahli fiqh dan muhaddits, namun ide dan pemikiran Ibn Qayyim meliputi berbagai disiplin ilmu, termasuk bidang psikologi dan pendidikan. Dapat dikatakan bahwa ia merupakan tokoh di bidangpendidikan yang memiliki wawasan keilmuan yang sangat luas dan banyak memberikan kontribusi bagi dunia pendidikan Islam.

Dalam konteks disiplin ilmu psikologi, Ibn Qayyim merupakan salah satu ilmuwan psikologi karena hasil karyanya banyak mengungkap masalah-masalah tasawuf dan sekaligus pula seorang psikiater.3

Menganalisis pendidikan secara utuh melibatkan banyak aspek yang menjadi bagian teori maupun praktek pelaksanaan pendidikan, di antaranya adalah aspek psikologi dan anak didik. Psikologi dan pendidikan merupakan dua aspek yang integral, saling berkaitan baik dari sudut pandang teoritis maupun praktis.4 Sementara itu, fase kanak-kanak merupakan fase yang sangat pening dalam pertumbuhan dan perkembangan manusia dalam hubungannya dengan pendidikan. Tahun-tahun usia prasekolah, dari usia sekitar 2 tahun sampai 5 tahun adalah fase paling penting, kalau tidak yang terpenting dari seluruh tahapan perkembangan.5

Ibn Qayyim al-Jauziyyah merupakan tokoh pendidikan yang menaruh perhatian cukup besar terhedapa perkembangan psikologis anak sejak sebelum dilahirkan (masa pranatal), bahkan sejak penanaman benih (masa prakonsepsi) sehingga pindah dari alam dunia ke alam barzah.6

B. PEMBAHASAN

1. Biografi Ibn Qayyim al-Jauziyyah
Ibn Qayyim al-Jauziyyah adalah seorang ahli fiqh, muhaddits, mufassir, ahli nahwu, ushuli, dan mutakallim yang hidup pada abad 8 H/13 M. Nama lengkapnya adalah Abu 'Abdillah Syams al-Din Muhammad ibn Abi Bakr ibn Ayub Ibn Sa'ad ibn Harits ibn Makkiy Zayn al-Din al-Zur'iy al-Dimsyqy. Ia lahir pada tanggal 7 Safar tahun 691 H bertepatan dengan tanggal 29 Januari 1292 M di Azra, salah satu desa di Damaskus, Syiria.7

Kelahiran Ibn Qayyim al-Jauziyyah (1292-1350), pada masa peradaban dan pemikiran Islam secara umum sedang mengalami masa kemunduran atau masa stagnasi pasca jatuhnya Baghdad oleh serangan tentara Mongol..8 Hal ini ditandai dengan menurunnya produktifitas bidang pemikiran yang bersifat penemuan dan ijtihad baru, dan bahkan dipenuhi oleh kegiatan taqlid kepada para imam mazhab. Walaupun pemerintahan Islam masih berlanjut sampai berakhirnya pemerintahan Turki Utsmani, namun secara umumdalam bidang ilmu pengetahuan, umat Islam mengalami kemunduran. Tokoh-tokoh pemikir Islam saat itu realtif sedikit, di antaranya Ibn Taimiyah, Ibn Qayyim al-Jauziyyah, dan Muhammad Ibn 'Abd al-Wahab.9

Ibn Qayyim banyak belajar berbagai cabang ilmu kepada Ibn Taimiyah, antara lain ilmu Ushul Fiqh, Fiqh Hambali, Hadits sehingga awal keberhasilan ilmunya diimplementasikan dalam karya-karya tulisnya yang banyak dipengaruhi oleh pola pikir gurunya tersebut.

Ilmu yang diperoleh tidak sekedar diketahui, tetapi juga diamalkan, sehingga ia dikenal sebagai ilmuwan yang rajin melaksnakan ibadah, baik yang wajib maupun yang sunnah. Perjalanan hidupnya penuh dengan berzikir, cinta, dan fakir kepada Allah Swt. dan senantiasa melakukan inabah kepada-Nya.10 Corak intelektualitas dan kepribadian Ibn Qayyim merupakan perpaduan antara sejumlah ulama dan pemikir yang pernah menjadi guru, yaitu antara lain: Abû Bakr ibn Ayyûb Qayyim al-Jawziyyah (ayahnya); Abû Bakr ibn al-Musnad Zayn al-Dîn Ahmad ibn ‘Abd al-Dâ’im ibn Ni’mah al-Muqaddasi (wafat tahun 718 H); Ahmad ibn ‘Abd al-Halîm ibn ‘Abd al-Salâm al-Numayrî, Syaikh al-Islâm Qâdhî Taqî al-Dîn Sulaymân ibn Taymiyyah (ia berguru kepadanya selama kurang lebih 17 tahun sejak tahun 712 H sampai 728 H saat meninggal); dan Sulaymân Taqî al-Dîn Abû al-Fadhl ibn Hamzah ibn Ahmad ibn Qudâmah al-Muqaddasi al-Hakîm (wafat tahun 715 H) serta ulama-ulama lain, baik yang bermazhab Syafi’i maupun Hanbali. Dari sekian guru tersebut, Ibn Taymiyyah yang paling banyak mempengaruhi corak pemikiran Ibn Qayyim.11

Ibn Qayyim al-Jawziyyah adalah seorang ulama besar yang memiliki keluasan ilmu dan ketajaman pemikiran. Hal ini dilatarbelakangi oleh perjalanan studi yang memadai dan dikelilingi oleh komunitas ulama-ulama besar di masanya serta komunitas pendidikan yang mendukung sehingga orientasi kehidupannya tidak lepas dari suasana kelimuan dan upaya dakwah untuk memurnikan ajaran ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.

Keluasan ilmu dan keproduktifan Ibn Qayyim dapat terlihat dari karya-karya ilmiahnya yang meliputi berbagai disiplin ilmu, antara lain:

* Bidang Tafsir, antara lain: Tafsîr al-Qayyim, al-Tibyân fî Aqsâm al-Qur’ân, Tafsîr al-Fâtihah, Tafsîr al-Mu’âwidzatain, dan Ushul al-Tafsîr.
* Bidang Hadits, antara lain: Hadîts al-Manâr al-Munif fî al-Shahîh wa al-Dha’îf, Tahdzîb al-Sunnah Abî Dâwud, dan Al-Wabîl al-Shayyib min Kalam al-Thayyîb.
* Bidang Fiqh dan Ushul Fiqh, antara lain: Ahkâm al-Nisâ’, Akhbâr al-Nisâ’, I’lâm al-Muwaqi’în ‘an Rabb al-‘Âlamîn, al-I’lâm bi Ittisâ’i Thurûq al-Ahkâm, al-Muhadzdzab, dan Ahkâm Ahl al-Dzimmah.
* Bidang Ilmu Kalam/Teologi dan Filsafat, antara lain: Aqd Muhkâm al-Ahbâ’ bayn al-Kalâm al-Thayyib wa al-‘Amal al-Shâlih al-Marfû’ ilâ Rabb al-Samâ’, Syifâ’ al-‘Alîl fî Masâ’il al-Qadhâ’ wa al-Qadar wa al-Hikmah wa al-Ta’lîl, al-Shirâth al-Mustaqîm fî Ahkâm Ahl al-Jahîm, dan al-Sunnah wa al-Bid’ah.
* Bidang Akhlaq dan Tasawwuf, antara lain: Miftâh Dâr al-Sa’âdah, Dawâ’ al-Qulûb, Thibb al-Qulûb, Zâd al-Ma’âd fî Hudâ Khayr al-‘Ibâd, Madârij al-Sâlikîn bayn Manâzil Iyyâka Na’budu wa Iyyâka Nasta’în, al-Rûh, dan Hadî al-Arwâh ila Bilâd al-Afrâh.
* Bidang-bidang lain, antara lain: Asmâ’ Mu’allafât Ibn Taymiyyah, Buthlân al-Kimiya min Arba’ah Wajhan, al-Tuhfat al-Makkiyyah, dan Jalâ’ al-Afhâm fî al-Shalâh wa al-Salâm ‘alâ Khayr al-Anâm.12


2. Hakekat Manusia Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah

Pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah tentang psikologi perkembangan dan pendidikan anak bermuara dari pemikirannya tentang konsep manusia dan pendidikan secara umum, terutama pandangannya yang luas tentang hubungan ruh dan badan dalam hidup dan kehidupan manusia.

Menurut Ibn Qayyim, hakekat manusia merupakan perpaduan yang terdiri dari beberapa unsur yang saling berkaitan dan tidak mungkin dipisahkan antara satu dan lainnya. Hal ini dapat dilihat dari salah satu pendapatnya, bahwa hakekat eksistensi diri manusia itu ada pada ruh dan hatinya bukan pada jasad dan badannya”.13

Ibn Qayyim dalam manhaj tarbiyahnya memandang hakekat manusia secara utuh, sempurna, dan menyeluruh. Manusia dalam pandangannya adalah perpaduan antara ruh, akal, dan jasad.14

Selanjutnya, menurut Ibn Qayyim ada empat unsur pada konstitusi manusiayang menyebabkan juga ada empat macam unsur watak manusia. Keempat unsur tersebut tidak berkembang sekaligus tetapi satu demi satu pada tahap perkembangan yang berlainan.

Unsur pertama yang diciptakan adalah unsur kehewanan, yaitu nafsu atau syahwat. Tujuannya adalah agar manusia mencapai kesehatan badan, sebagai alat dari ruh, dengan demikian umat manusia akan kekal. Ia bertanggung jawab atas kualitas kehewanan yang ada pada manusia, misalnya makan, minum, tidur, dan seks. Unsue kedua adalah kebuasan, yaitu sifat marah. Tujuannya adalah menjaga dari segala yang dapat melukai jasmani. Unsur ketiga adalah unsur kenakalan. Diperkenalkan pada sekitar umur tujuh tahun. Unsur terakhir adalah penjelmaan unsur ke-Tuhanan. Unsur ini hadir dalam ruh semenjak ia diciptakan disebabkan ia adalah wujud ke-Tuhanan.15

Ibnu Qayyim berasumsi bahwa pendapat yang mengatakan manusia terdiri atas dua unsur, jasmani dan rohani, masih materialis. Untuk dapat mengetahui perilaku dan menafsirkan manusia perlu mengetahui hakekat manusia itu sendiri, dan hakekat manusia terletak pada hatinya. Siapa yang ingin mengubah perilaku seseorang maka harus dimulai dengan memperbaiki hatinya.16

Pandangan Ibn Qayyim tentang manusia cenderung didasarkan pada paradigma intuitif dan wahyu yang tidak memisahkan antara realitas fisik dan metafisik, serta antara yang profan dan transenden. Konsep-konsep Ibn Qayyim merupakan hasil kerja intuisi atau hasil perenungan terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah.

Ibn Qayyim al-Jawziyyah memandang manusia adalah objek kerja pendidikan (tarbiyah), sehingga pendidikan yang berhasil adalah yang dapat menjadikan manusia mampu mewujudkan tujuan penciptaannya. Menurutnya, manusia diciptakan agar mengetahui hakekat Tuhannya, kemudian meng-esakan-Nya, memurnikan ibadah, kembali dan bertawakkal kepada-Nya, mengikhlaskan amal, cinta dan ridha kepada-Nya, menjalankan seluruh perintah dan menjauhi semua larangan-Nya. Tujuan-tujuan ini, kemaslahatannya tidak kembali melainkan untuk manusia itu sendiri.17

3. Dimensi Pendidikan Anak menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah

Pandangan Ibn Qayyim yang berkaitan dengan aspek praktis pendidikan anak, didasarkan pada dua konsep utama. Pertama, bahwa anak-anak dengan kebutuhannya yang khas, berhak mendapatkan perhatian dan perawatan khusus. Kedua, bahwa cara bayi dan anak-anak diperlakukan mempunyai pengaruh yang panjang terhadap sifat fisik maupun psikologis mereka.18

Dalam konteks ini, Ibn Qayyim menegaskan bahwa tarbiyah (pendidikan) adalah proses membentuk, merawat, dan mengembangkan potensi manusia secara sungguh-sungguh melalui pembinaan, pengarahan, dan teladan yang baik (qudwah). Tanpa pendidikan yang baik melalui pembinaan akhlak anak, kebahagiaan dalam hidup tidak mungkin dapat diperoleh.19

Di antara pandangannya tentang pendidikan anak, Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam kitabnya yang khusus mengenai anak, Tuhfat al-Maudûd bi Ahkâm al-Maulûd, mengatakan:

ومما يحتاج اليه الطفل غاية الإحتجاج الاعتناء بأمر خلقه، فإنه ينشأ عما عوده المربي فى صغره من حر، وغضب ولجاج وعجلة وخفة مع هواه، وطيش وحدة وجشع, فيسعب عليه في كبره تلا في ذلك، وتصير في هذه الأخلاق صفاة وهيئات راسخة، وله تخرز منها غاية التخرز فصحته ولا بد يوما، ولهذا تجد اكثر الناس منحرفة أخلاقهم وذلك من قبل التربية التى نشأ عليها.20

Anak kecil di masa kanak-kanaknya sangat membutuhkan seseorang yang membina dan membentuk akhlaknya, karena ia akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan apa yang menjadi kebiasaan (yang ditanamkan oleh para pendidik). Jika seorang anak selalu dibiasakan dengan sifat pemarah dan keras kepala, tidak sabar dan selalu tergesa-gesa, menurut hawa nafsu, gegabah dan rakus, maka semua sifat itu akan sulit diubah di masa dewasanya. Maka jika seorang anak dibentengi, dijaga dan dilarang melakukan semua bentuk keburukan tersebut, niscaya ia akan benar-benar terhindar dari sifat-sifat buruk itu.

Oleh karena itu, jika ditemukan seorang dewasa yang berakhlak buruk dan melakukan penyimpangan, maka dipastikan akibat kesalahan pendidikan di masa kecilnya dahulu.

Di samping itu Ibn Qayyim al-Jawziyyah menegaskan bahwa:

وكذلك يجب أن يجتنب الصبي إذا عقل: مجالس اللهو والباطل والغناء والفواخش والبدع ومنلطق السوء، فإنه إذا علق بسمعه، عسر عليه مفارقته فى الكبر، وعز على وليه استنقاذه منه، فتغير العوائد من اصعب الأمور، يحتاج صاحبه إلى استجداد طبيعة ثانية، والخروج عن حكم الطبيعة عسر جدا.21

Anak yang masih kecil seharusnya dijauhkan dari lingkungan hura-hura, kebatilan, tempat hiburan, mendengarkan suara keji, dan jorok, bid’ah, dan pembicaraan kotor. Sebab jika sudah menjadi kebiasaan dan menjadi pecandu berat dalam menyaksikan dan mendengarkan hal-hal tersebut, pada saat usia remaja (dewasa) akan sulit untuk dibebaskan dari kebiasaan tersebut. Merubah kebiasaan dan perilaku merupakan perkara yang paling sulit untuk dilakukan.22

Anak-anak akan berkembang dan tumbuh paling baik dalam ketertiban dan keteraturan serta jauh dari hal-hal yang tidak baik. Mereka akan lebih bahagia kalau mereka mengetahui apa yang diharapkan, berupa yang baik dan indah, walaupun dalam kenyataannya anak-anak tanpa kompromi akan menelan semua yang dilihat dan didengarnya sekalipun buruk. Di sinilah peran orang tua dan pendidik untuk merencanakan dan menciptakan suasana yang kondusif untuk tumbuh kembang anak-anak ke arah yang baik.

Selanjutnya Ibn Qayyim menegaskan:

ويجنبه الكسل والبطالة والدعة والراحة، بل ياخذه باضدادها ولا يريحه إلا بما يجم نفسه وبدنه للسهل, فإن الكسل والبطالة عواقب سوء ومغبة ندم، وللجد والتعب عواقب حميدة.23

Bahwa seorang anak hendaknya dijauhkan dari sifat malas, santai dan tidak mempunyai aktifitas positif, tetapi justru harus dibiasakan bekerja keras, sportif dan melakukan berbagai kesibukan. Karena pada dasarnya orang yang paling bahagia adalah mereka yang dapat bekerja dan melakukan aktifitas-aktifitas positif dan kontributif, sehingga membiasakan anak dengan keseriusan dan kesungguhan belajar dan beraktifitas akan berdampak positif pada pola hidupnya di kemudian hari.

Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah, tanggung jawab tarbiyah (pendidikan) anak itu berada di pundak orang tua dan pendidik (murabbi) apalagi ketika anak masih dalam masa awal pertumbuhan. Mereka sangat membutuhkan pembina yang selalu mengarahkan akhlak dan perilakunya, karena anak-anak pada masa itu sangat tidak mampu untuk membina diri mereka sendiri, sehingga mereka membutuhkan seorang qudwah yang menjadi panutan untuk diri anak dalam sikap dan perilakunya.24

Dari beberapa pandangan Ibn Qayyim tersebut di atas, jelaslah bahwa anak-anak adalah sosok yang harus diakui eksistensinya sebagai obyek dan subyek pendidikan. Dengan demikian, ia harus mendapatkan pendidikan yang baik dengan cara mengarahkan, membimbing dan menumbuh-kembangkan potensi-potensi positif yang dimilikinya untuk persiapan di kehidupannya yang akan datang. Orang yang paling bertanggung jawab ini adalah orang tuanya., sebab kebanyakan kerusakan pada anak diakibatkan oleh orang tua yang mengabaikan hak-hak anak dan tidak mengajari mereka kewajiban agama dan Sunnah serta potensi-potensi yang dimilikinya.

4. Fase Perkembangan Anak menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah

a. Fase Perkembangan Anak Sebelum Lahir (Periode Pranatal)

Periode Pranatal merupakan periode pertama dalam rentang kehidupan manusia dan merupakan periode paling singkat dari seluruh periode perkembangan manusia, namun dalam banyak hal merupakan periode yang sangat penting dalam keseluruhan tahap perkembangan, karena memberi dasar bagi perkembangan selanjutnya.25

1} Masa Sebelum Hamil (Masa Prakonsepsi)
Islam memandang bahwa proses pendidikan harus dimulai sejak anak masih dalam kandungan bahkan sejak calon suami memilih calon istri yang di kemudian hari menjadi orang tua dari anak. Karena, sifat-sifat fisik maupun psikis (kepribadian) orang tua dapat diturunkan secara genetik kepada anaknya.26 Hal ini diisyaratkan oleh Rasulullah Saw. dalam sabdanya:

تخيروا لنطفكم فإن العرق دساس.

“Pilihlah tempat menanam nuthfahmu (istri), karena pengaruh keturunan itu sangat kuat.” (HR. Abû Dâwud)

Yang dimaksud pendidikan pada periode sebelum kehamilan adalah sebelum melakukan aktifitas jima’ kedua orang telah menjabarkan harapan-harapan dan kegiatan jima’ merupakan bagian dari konsep-konsep pendidikan yang pertama kali diletakkan sebagai pondasi untuk membangun kepribadian seorang anak didik. Uraian ini difahami dari penafsiran Ibn Qayyim atas firman Allah yang berbunyi:

... فالان باشروهن وابتغوا ما كتب الله لكم.27

Ibn Qayyim memberikan penafsiran ayat tersebut sebagai berikut:

لما حفف الله عن الامة بإباحة الجماع ليلة الصيام الى طلوع الفجر أرشدهم سبحانه وتعالى الى ان يطلبوا رضاه فى مثل هذا اللذة ولا يباشروهن بحكم مجرد الشهوة بل يبتغوا بها ما كتب الله لهم من الاجر. والولد يخرج من اصلابهم يعبد الله ولا يشرك به شيئا.28

Dari penafsiran tersebut tergambar bahwa salah satu tujuan yang paling penting dalam sebuah pernikahan adalah hadirnya seorang anak.

2) Masa Setelah Kelahiran

Sejak anak baru terlahir ke dunia, pokok-pokok pendidikan mulai diberikan secara tepat, yaitu:
- Penyambutan yang hangat akan kelahirannya
- Mengadzankan di telinga anak29

b. Fase Perkembangan Anak Sejak Lahir Hingga Usia Dua Tahun
Konsep Islam dalam pendidikan kepada anak yang baru lahir di antaranya dikemukakan oleh Ibn Qayyim al-Jawziyyah, yaitu:
- Mentahniq (meletakkan kurma dan menggosok-gosokkan ke langit-langit bayi dengan jari telunjuk)
- Melaksanakan Aqiqah
- Membedong
- Mencukur rambut
- Pemberian nama yang baik
- Menyusui, dan
- Menyapih anak

c. Fase Perkembangan Anak Sejak Usia Dua Tahun Hingga Mumayyiz (5 s/d 7 Tahun)
Ibn Qayyim memandang bahwa anak-anak di awal masa pertumbuhan dan perkembangannya harus segera diberikan pendidikan melalui arahan, bimbingan dan pembinaan semaksimal mungkin sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang sebagai anak-anak yang shaleh, memiliki kepribadian yang baik.30

Menurut fuqaha, seorang anak disebut mumayyiz ketika ia berumur antara 5 sampai dengan 7 tahun dan tidak jauh berbeda menurut pendapat Ibn Qayyim.

Pendidikan pada masa ini dalam bentuk nasehat-nasehat yang arti dan tujuannya kepada pemeliharaan keutuhan pribadi anak, jangan meusak pendengarannya dengan kata-kata yang tidak pantas, sifat-sifat sosialnya, membatasi aktifitasnya.

d. Fase Perkembangan Anak Menjelang Puber (9 s/d 10 Tahun)
Pada usia ini perkembangan akal semakin matang. Anak juga semakin kuat secara fisik dan semakin mampu melakukan ibadah serta semakin faham, oleh karena itu, ia boleh dipukul jika meninggalkan shalat sebagaimana diperintah Nabi Saw. Selain itu, ketika berusia sepuluh tahun, kondisi anak itu berbeda. Ia lebih mengenal dan lebih memahami. Oleh karena itu menurut Ibn Qayyim, pada usia tersebut, para ulama fiqh mewajibkan mereka untuk beriman.31

e. Fase Perkembangan Anak Masa Puber (12 s/d 15 atau 16 Tahun)
Masa ini merupakan masa detik-detik menunggu datangnya waktu ihtilam (masa baligh). Pertumbuhan fisik jasmani berlangsung secara cepat, lebih cepat dari perkembangan jiwanya. Oleh karena cepatnya pertumbuhan fisik yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan jiwanya, ia membutuhkan bantuan dan perhatian lebih.

f. Fase Perkembangan Anak Masa Baligh (15 atau 16 Tahun)
Menurut Ibn Qayyim masa baligh adalah masa ihtilam pada setiap anak dan setiap anak tidak sama waktunya mulai usia 12 tahun sampai dengan 15 tahun.

Pada masa inilah anak sudah mempunyai tanggung jawab sendiri dalam kaitannya dengan syari’at agama. Maka pendidikan pada usia ini lebih ditekankan pada pemberian tanggung jawab.

C. KESIMPULAN
Ibn Qayyim al-Jawziyyah merupakan tokoh pendidikan Islam dan sekaligus seorang psikologis. Pemikirannya tentang psikologi perkembangan dan pendidikan anak memberikan kontribusi yang sangat besar bagi khazanah pendidikan Islam.

Pokok utama pemikirannya tentang psikologi dan pendidikan anak berangkat dari konsep praktis mendidik dan membesarkan anak yang didasarkan pada dua hal: pertama, bahwa anak-anak, dengan kebutuhannya yang khas, berhak mendapat perhatian dan perawatan khusus, kedua, bahwa cara bayi dan anak-anak diperlakukan mempunyai pengaruh yang panjang terhadap sifat fisik maupun psikologis mereka.

CATATAN KAKI:

1. 1Kelahiran Ibn Qayyim (1292-1350 M) hanya berselang 35 tahun dari tragedi jatuhnya Baghdad oleh tentara Mongol. Serangan Hulagu Khan tidak saja telah menghancurkan dominasi politik dunia Islam melainkan juga membumihanguskan sebagian kekayaan ilmiah umat Islam dan pembunuhan para ulama, pembakaran, dan pemusnahan karya-karya intelektual umat Islam yang ada di Baghdad. Hal ini secara langsung maupun tidak langsung menjadi salah satu penyebab kemunduran umat Islam. Lihat Suwito dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, (Bandung: Angkasa, 2003), Cet. ke-1, h. 221
2. 2Ilmu Qulûb adalah ilmu yang mebahas dimensi esoteris (batin) dlam Islam. Ilmu Qulub identik dengan ilmu tasawwuf yang menjadi kebalikan dari ilmu Jawârih (ilmu yang tampak, seperti ilmu fiqh) yang bersifat eksoteris. Lihat Abdul Mujib, Konsep Ruh Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam Perspektif Psikologi, (Disertasi Program Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2005), h. 29
3. 3Konteks ajaran-ajaran tasawwuf identik dengan psikologi, corak psikologi dalam hasil pemikiran Ibn Qayyim adalah psikologi-tashawwuf-akhlâqi atau psikologi-sufi-akhlâqi. Ibn Qayyim telah pula memiliki konsep dan bahkan melakukan praktek kedokteran jiwa sehingga pantas jika disebut sebagai psikiater. Abdul Mujib, Konsep Ruh Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam Perspektif Psikologi, h. 48 dan 50
4. 4Psikologi sebagai disiplin ilmu terbagi ke dalam berbagai bidang kajian, namun secara spesifik yang terkait erat dengan pendidikan adalah Psikologi Perkembangan dan Psikologi Pendidikan. Kaitan yang lebih luas lagi dapat dipahami bahwa psikologi yang menjadi alat bagi proses pendidikan lebih jauh adalah secara langsung difungsionalkan oleh pelaksana pendidikan sebagai alat pembantu untuk efektifitas dan efisiensi pendidikan itu sendiri. Lihat Chalijah Hasan, Dimensi-dimensi Psikologi Pendidikan, (Surabaya: Al-Ikhlash, 1994), Cet. ke-1, h. 21
5. 5Tahun-tahun pertama merupakan saat yang kritis bagi perkembangan anak. Fase kanak-kanak merupakan fase diletakkannya dasar struktur perilaku kompleks yang dibangun sepanjang kehidupan anak. Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, jilid I, terjemah dari Child Development (London: McGraw, 1978) oleh Meitasari Tjandrasa dan Muslichah Zarkasih, (Jakarta: Erlangga, 1995), Cet. ke-4, h. 25-26. Lihat pula Ediasri T. Atmodiwirjo, dalam Singgih D. Gunarsa, ed., Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Jakarta: Gunung Mulia, 1995), Cet. ke-7, h. 6
6. 6Bukti besarnya perhatian Ibn Qayyim terhadap perkembangan psikologis anak tampak dalam buah karyanya Tuhfât al-Maudûd bi Ahkâm al-Maulûd yang memuat pemikiran-pemikirannya tentang psikologi (perkembangan) dan pendidikan anak sejak masa pranatal, bahkan sejak masa prakonsepsi.
7. 7Lihat Ibn Katsir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, (Beirut: Maktabah al-Ma'arif, 1996), Juz XIV, tc., h. 234. Lihat pula Abdurrahman al-Nahlawy, A'lam Tarbiyah fi Tarikh al-Islamy, Ibn Qayim al-Jauziyyah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), Cet. ke-1, h. 11
8. 8Jatuhnya Baghdad bukan saja mengakhiri kekhalifahan Abbasiyah, tetapi juga merupakan titik awal dari kemunduran politik dan peradaban Islam. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), Cet. ke-1, h. 111
9. 9Lihat Burhanudin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam, Kasus Sumatra Thawalib, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1950), Cet. ke-2, h. 2
10. 10Tentang kepribadian dan ketinggian akhlaq Ibn Qayyim al-Jawziyyah, salah seorang muridnya, Ibn Katsir (Ismâ’îl ‘Imâd al-Dîn Abû al-Fidâ’ ibn Umar ibn Katsîr, w. 774 H) menuturkan:Lihat Ibn Katsir, Syadzarah al-Dzahab, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), tc., h. 168
11. 11Abdul Mujib, Konsep Ruh Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam Perspektif Psikologi, (Disertasi Program Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 26
12. 12 Lihat Abdul Mujib, Konsep Ruh Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam Perspektif Psikologi, h. 31-33. Lihat pula Suwito dan Fauzan, ed., Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, (Bandung: Angkasa, 2003), Cet. ke-1, h. 222
13. 13 Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Miftâh Dâr al-Sa’âdah, Jilid I (Beirut: Dâr al-Kutûb al-Ilmiyyah, tt), tc., h. 107. Namun, hal itu bukan berarti bahwa setiap unsur yang ada dalam diri manusia bekerja sendiri-sendiri dan terpisah dari yang lainnya. Demikian itu karena hakekat manusia bukan hanya terdiri dari unsur badan saja yang tidak ada kaitannya dengan unsur ruh dan akal, ataupun sebaliknya. Tetapi hakekat manusia adalah ibarat satu bangunan yang terpadu. Lihat lebih lanjut, Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2001), Cet. ke-2, h. 138
14. 14 Hasan bin Ali al-Hijazy, Al-Fikr al-Tarbiyah ‘inda Ibn Qayyim al-Jauzyah, terjemah: Muzaidi Abdullah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), Ket. ke-1, h. 15. Bandingkan dengan pernyataan berikut, bahwa Islam memandang manusia sebagai maujud multidimensi yang penciptaannya dimulai dari materi yang tidak mempunyai kecerdasan, namun setelah meniti peringkat-peringkat kesempurnaan ia berubah menjadi satu bentuk yang lebih utama dari materi. Lihat Ibrahim Amini, Agar Tidak Salah dalam Mendidik Anak, terjemah dari Ta’lim wa Tarbiyyat oleh Ahmad Subandi dan Salman Fadhlullah, (Jakarta: Al-Huda, 2006), Cet. Ke-1, h. 14
15. 15 Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1987), Cet. ke-1, h. 294
16. 16 Muhammad Muhammad, ‘Awidhah al-Imâm al-Hâfidz Ibn Qayyim al-Jawziyyah, (Beirut: Dâr al-Kutûb al-Ilmiyyah, 1994), tc., h. 41
17. 17 Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Uddat al-Shâbirîn wa Hâdirat al-Syârikîn, dalam Hasan bin Ali al-Hijazy, Al-Fikr al-Tarbiyah ‘inda Ibn Qayyim al-Jauzyah, terjemah: Muzaidi Abdullah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), Cet. ke-1, h. 29
18. 18 Lihat Mulyadi Kartanegara, Mozaik Khazanah Islam: Bunga Rampai dari Chicago, (Jakarta: Paramadina, 2000), Cet. ke-1, h. 93.
19. 19 Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Tuhfat al-Maudûd bi Ahkâm al-Maulûd, (Kairo: Maktabah al-Matnaby, tt), h. 151.
20. 20 Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Tuhfat al-Maudûd bi Ahkâm al-Maulûd, h. 152
21. 21 Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Tuhfat al-Maudûd bi Ahkâm al-Maulûd, h. 152
22. 22 Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Ibid., h. 152.
23. 23 Lihat Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Tuhfat al-Maudûd bi Ahkâm al-Maulûd, (Kairo: Maktabah al-Matnaby, tt), h. 153.
24. 24 Hasan bin Ali al-Hijazy, Al-Fikr al-Tarbiyah ‘inda Ibn Qayyim al-Jauzyah, terjemah: Muzaidi Abdullah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), Cet. ke-1, h. 80
25. 25 Sri Rumini dan Siti Sundari, Perkembangan Anak dan Remaja, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), Cet. Ke-1, h. 1
26. 26 Ada lima aspek yang dapat diturunkan dari seseorang kepada anaknya, yaitu: 1) Jasmaniah, seperti: warna kulit, bentuk tubuh, sifat rambut, dan sebagainya; 2) Intelektual, seperti: kecerdasan dan atau kebodohan; 3) Tingkah laku, sperti: tingkah laku terpuji, tercela, lemah lembut, keras kepala, taat, durhaka; 4) Alamiyah, yaitu pewarisan internal yang dibawa sejak kelahiran tanpa pengaruh dari faktor eksternal; dan 5) Sosiologis, yaitu pewarisan yang dipengaruhi oleh faktor eksternal. Lihat Manshur Ali Rajab, Ta’ammulât fî Falsafat al-Akhlâq, (Mesir: Maktabah al-Anjalu al-Mishriyyah, 1961), tc, h. 111-112
27. 27 QS. Al-Baqarah [1]: 187
28. 28 Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Tuhfat al-Maudûd bi Ahkâm al-Maulûd, terjemah: Fauzi Bahreisy, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001), Cet. Ke-1, h. 26
29. 29 Lihat Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Tuhfat al-Maudûd bi Ahkâm al-Maulûd, h. Lihat pula Mulyadi Kartanegara, Mozaik Khazanah Islam: Bunga Rampai dari Chicago, (Jakarta: Paramadina, 2000), Cet. ke-1, h. 95-96
30. 30 Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Uddat al-Shâbirîn, dalam Hasan bin Ali al-Hijazy, Al-Fikr al-Tarbiyah ‘inda Ibn Qayyim al-Jawziyyah, terjemah: Muzaidi Abdullah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) Cet. Ke-1, h. 109
31. 31 Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Tuhfat al-Maudûd bi Ahkâm al-Maulûd, terjemah: Fauzi Bahreisy, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001), Cet. Ke-1, h. 243
32. DAFTAR PUSTAKA:
33. DAFTAR KEPUSTAKAAN
34. Al-Hijazy, Hasan bin Ali, Al-Fikr al-Tarbiyah ‘inda Ibn Qayyim al-Jauzyah, terjemah: Muzaidi Abdullah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), Cet. ke-1
35. Al-Jawziyyah, Ibn Qayyim, Miftâh Dâr al-Sa’âdah, Jilid I (Beirut: Dâr al-Kutûb al-Ilmiyyah, tt), tc.
36. --------, Uddat al-Shâbirîn wa Hâdirat al-Syârikîn, dalam Hasan bin Ali al-Hijazy, Al-Fikr al-Tarbiyah ‘inda Ibn Qayyim al-Jauzyah, terjemah: Muzaidi Abdullah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), Cet. ke-1
37. -------, Tuhfat al-Maudûd bi Ahkâm al-Maulûd, terjemah: Fauzi Bahreisy, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001), Cet. Ke-1
38. -------, Tuhfat al-Maudûd bi Ahkâm al-Maulûd, (Kairo: Maktabah al-Matnaby, tt).
39. Al-Nahlawy, Abdurrahman, A’lam Tarbiyah fi Tarikh al-Islamy, Ibn Qayyim al-Jawziyyah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), Cet. ke-1
40. Amini, Ibrahim, Agar Tidak Salah dalam Mendidik Anak, terjemah dari Ta’lim wa Tarbiyyat oleh Ahmad Subandi dan Salman Fadhlullah, (Jakarta: Al-Huda, 2006), Cet. Ke-1
41. Atmodiwirjo, Ediasri T., dalam Singgih D. Gunarsa, ed., Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Jakarta: Gunung Mulia, 1995), Cet. Ke-7
42. Daya, Burhanudin, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam, Kasus Sumatra Thawalib, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1950), Cet. ke-2
43. Hasan, Chalijah, Dimensi-dimensi Psikologi Pendidikan, (Surabaya: Al-Ihlas, 1994), Cet. ke-1, h. 21
44. Hurlock, Elizabeth B., Perkembangan Anak, Jilid I, terjemah dari Child Development (London: McGraw, 1978) oleh Meitasari Tjandrasa dan Muslichah Zarkasih, (Jakarta: Erlangga, 1995), Cet. ke-4
45. Kartanegara, Mulyadi, Mozaik Khazanah Islam: Bunga Rampai dari Chicago, (Jakarta: Paramadina, 2000), Cet. ke-1
46. Katsir, Ibn, Syadzarah al-Dzahab, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), tc.
47. -------, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Beirut: Maktabah al-Ma’arif, 1996) Juz XIV, tc.
48. Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1987), Cet. ke-1
49. Muhammad, Muhammad, ‘Awidhah al-Imâm al-Hâfidz Ibn Qayyim al-Jawziyyah, (Beirut: Dâr al-Kutûb al-Ilmiyyah, 1994), tc.
50. Mujib, Abdul, Konsep Ruh Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam Perspektif Psikologi, (Disertasi Program Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005)
51. Nata, Abudin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2001), Cet. ke-2
52. Rajab, Manshur Ali, Ta’ammulât fî Falsafat al-Akhlâq, (Mesir: Maktabah al-Anjalu al-Mishriyyah, 1961), tc
53. Rumini, Sri dan Siti Sundari, Perkembangan Anak dan Remaja, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), Cet. Ke-1, h. 1
54. Suwito dan Fauzan, ed., Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, (Bandung: Angkasa, 2003), Cet. ke-1
55. Yatim, Badri, Sejarah Peradaba

وكان ابن القيم كثير الصلاة والتلاوة حسن الخلق كثير التودد لا يحسد حسدا احدا ولا يستعيبه ولا يحقد على احد وكان يطيل الصلاة جدا ويمد ركوعها وسجودها. وكان اذا صلى الصبح جلس مكانه يذكر الله حتى يتعالى النهار.
Terakhir Diperbaharui Drs. Suluri M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar