Rasûlullâh saw membawa pasukannya ke mata air Badar agar bisa mendahului pasukan orang-orang Quraisy untuk menguasai mata air itu. Maka pada petang hari mereka sudah tiba di dekat mata air Badr. Di sinilah Al-Hubâb bin Al-Mundzir tampil layaknya seorang penasehat militer, seraya bertanya: "Wahai Rasûlullâh saw, bagaimana pendapat engkau tentang keputusan berhenti di tempat ini ? Apakah ini tempat berhenti yang diturunkan Allah Ta'alaa kepada engkau ? Jika begitu keadaannya, maka tidak ada pilihan bagi kami untuk maju atau mundur dari tempat ini. Ataukah ini sekedar pendapat, siasat dan taktik perang ?" Beliau menjawab : "ini adalah pendapatku, siasat dan taktik perang." Al-Hubâb berkata : "Wahai Rasûlullâh saw menurutku tidak tepat jika kita berhenti di sini. Pindahkanlah orang-orang ke tempat yang lebih dekat lagi dengan mata air daripada mereka (orang-orang musyrik Makkah). Kita berhenti di tempat itu dan kita timbun kolam-kolam di belakang mereka, lalu kita buat kolam yang kita isi air hingga penuh. Setelah kita berperang menghadapi mereka. Kita bisa minum dan mereka tidak bisa". Beliau bersabda : "Engkau telah menyampaikan pendapat yang jitu" (Shafiyyur Rahmân al Mubârakfûry dalam ar-Rahîqul Makhtûm)
Kisah dalam perang Badar tersebut merupakan sekelumit dari kisah Rasûlullâh r yang memperhatikan musyawarah sebelum pengambilan keputusan dalam peperangan atau dalam masalah lain, sebagaimana perintah Allah Y kepadanya untuk selalu bermusyawarah. Allah Ta'alaa berfirman :“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah.
•
159. Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
[246] Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya.
Isi kandungan Ayat :
1.
2.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Q.S. Ali Imran [3]:159).
Walaupun teks ayat tersebut ditujukan kepada nabi Muhammad saw agar bermusyawarah dengan para sahabat dalam persoalan-persoalan tertentu, akan tetapi ayat tersebut merupakan petunjuk bagi setiap muslim untuk melakukannya. Musyawarah juga dilakukan oleh generasi setelah beliau, sebagaimana Umar bin Khattâb yang menunjuk Utsman,'Alî, Thalhah, Az-Zubair, Sa'ad dan Abdurrahman bin 'Auf ra sebagai rijâlusy syurâ menjelang wafatnya. (Ibnu Katsir/4:105)
Dalam al-Qur'an ada tiga ayat yang menyebutkan tentang musyawarah, dengan kata [1]. Tasyâwurin (Q.S. Al-Baqarah [2]:233), berkenaan dengan diperbolehkannya menyapih anak yang masih dalam masa persusuan sebelum sempurna 2 tahun, dengan syarat ada musyawarah dan saling ridha antara kedua orang tua, [2]. syâwir (Q.S. Ali Imrân [3]:159), berkenaan dengan perintah untuk bermusyawarah dalam segala urusan, dan [3] Syûrâ (Q.S. Asy-Syûrâ [42] :38),
38. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.
berkenaan dengan salah satu karakteristik orang beriman adalah melakukan musyawarah diantara mereka dalam berbagai urusan. Dengan hanya disebutkan dalam tiga ayat ini sepintas musyawarah tidak mendapatkan perhatian yang cukup. Namun dugaan tersebut akan sirna ketika kita mau menggali lebih dalam kandungan ayat-ayat tersebut. Pentingnya musyawarah sebagaimana ditulis oleh Al-Qurthûbî (w. 671 H.), mengutip pendapat Ibnu 'Atiyah : "Musyawarah adalah salah satu kaidah syara' dan ketentuan hukum yang harus ditegakkan, maka barangsiapa yang menjabat sebagai kepala negara, tetapi ia tidak bermusyawarah dengan ahli ilmu dan agama (ulama) haruslah dipecat".
Apabila kita menilik berbagai mu'jam bahasa Arab maka kata musyawarah berasal dari kata syawara yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. (At-Thâhir Ahmad Az-Zawî, Tartîbul Qamûs Al-Muhîth/2 hal. 779). Sedangkan musyawarah sendiri bermakna mengambil pendapat (Ibrâhim Musthafâ, Al-Mu'jamul Wasîth, hal. 449). Kata musyawarah pada dasarnya hanya dapat digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya, yaitu mengambil madu. Maka unsur-unsur musyawarah yang harus dipenuhi adalah :
[1]. Al-Haq, yang dimusyawarahkan adalah kebenaran,
[2]. Al-'Adlu, musyawarah mengandung nilai keadilan,
[3]. Al-Hikmah, musyawarah dilakukan dengan bijaksana. [Taufiq Ash-Shawi dalam asy-Syûrâ].
Madu dihasilkan oleh lebah, maka orang-orang yang bermusyawarah selayaknya bagaikan lebah sehingga dalam musyawarah akan didapatkan hasil yang optimal. Rasulullah r mengumpamakan seorang mukmin dengan lebah, dimana lebah merupakan makhluk yang sangat disiplin, kerjasamanya mengagumkan, makanannya sari kembang, dan hasilnya madu. Di manapun hinggap ia tidak merusak dan ia tidak mengganggu kecuali diganggu, bahkan sengatannya dapat dijadikan obat. [HR. Ibnu Hibban, Ibnu 'Asakir dan Bukhari dalam At-Tarikh Al Kabir yang dishahihkan Imam Al Albani dalam kitab As Silsilah As Shahihah no:355 dan 2288].
Ada beberapa sikap yang harus dimiliki sebelum melakukan permusyawaratan, sebagaimana pelajaran dari Allah Ta'alaa dalam (Q.S. Ali Imrân [3]:159). Pertama, bersikap lemah lembut, menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala, karena hal-hal inilah yang dapat merusak dan mengahancurkan sendi-sendi permusyawaratan. Kedua, memberi maaf kepada orang lain yang pernah bersalah maupun berbuat salah dalam bermusyawarah. Ketiga, Mengharap maghfirah dan dekat kepada Allah Ta'alaa, yang akan menununjukkan berbagai hidayah dan ide-ide cemerlang. Keempat, bertawakkal kepada Allah Ta'alaa atas hasil usaha yang telah dilakukan.
Dalam konteks ketatanegaraan Islam, para ulama' mengistilahkan musyawarah dengan syûrâ sebagaimana tercantum dalam (Q.S. Asy Syurâ [42]:38).
"Orang-orang yang mematuhi seruan rabb mereka, melaksanakan shalat (dengan sempurna), serta urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antar mereka, dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka".
Sedangkan lembaga yang melaksanakan musyawarah adalah Ahlusy-syûrâ. Nama lain dari Ahlusy-syûrâ adalah ahlul halli wal 'aqdi, yaitu lembaga perwakilan yang menampung dan menyalurkan aspirasi atau suara masyarakat. Anggota ini terdiri dari orang-orang yang berasal dari berbagai kalangan dan profesi. Merekalah yang antara lain bertugas menetapkan dan mengangkat kepala negara sebagai pemimpin pemerintahan. Al Mawardi menyebut ahlul halli wal 'aqdi dengan ahlul ikhtiyâr, karena merekalah yang berhak memilih khalifah, sedangkan Ibnu Taimiyah menyebutnya dengan ahluhsy syawkah.
Adapun hal-hal yang harus dimusyawarahkan adalah hal-hal yang tidak qath'î dan belum ditentukan atau dirincikan oleh Allah Ta'alaa . Rasyîd Ridla berpendapat bahwa ahlusy syûrâ hanya memusyawarahkan hal-hal yang berkenaan dengan agama, lain dengan Ar-Râzi dan Muhammad Abduh yang berpendapat bahwa selain urusan agama, ahlusy syûrâ juga memusyawarahkan hal-hal yang berkenaan dengan masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, pemerintahan, keluarga dan lain-lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar