Jumat, 03 Juni 2011



بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

ILMU MUNASABAH

Oleh: Hairul Anwar & Maulana Yusuf

I. Mukadimah

Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan karunia-Nya kepada kita. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluargana, shahabatnya, dan semua pengikutnya hingga akhir zaman. Diantara bukti kemukjijatan Nabi Muhammad SAW, adalah diberikannya kitab suci al-Qur’an. Dalam al-Qur’an itu sendiri terdapat tanda-tanda kebesaran Sang Pemberi, yaitu dengan gaya bahasa dan susunan yang begitu indah, di antara susunan al-Qur’an ada keserasian antara ayat yang satu dengan yang lai, adanya hubungan saling melengkapi. Hubungan inilah yang dinamakan Ilmu Munasabah yang Insya Allah akan kami bahas pada masalah ini.

II. Pembahasan

2.1. Pengertian

Kata Munasabah secara etimologi, menurut asy-Syuthi berarti al-Musyakalah (keserupaan) dan muqarabah (kedekata). Adapun menurut pengertian terminilogy, Munasabah dapat didefinisikan sebagai berikut.

1. Menurut az-zarkasyi, Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami. Tatkala dihadapkan kepada akal, pasti akal itu akan menerimanya.

2. Menurut Manna’ Alqaththan, Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat, atau antara ayat pada beberapa ayat, atau antara surah di dalam al-Qur’an.

3. Menurut Ibnu al-‘Arabi, Munasabah keterikantan ayat-ayat al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyaisatu kesetuan makna dan keteraturan redaksi.[1]

2.2. Manfaat Ilmu Munasabah

Pengetahuan antara Munasabah ini sangat bermanfaat dalam memahami keserasian antara makna, kejelasan, keterangan, keteraturan susunan kalimatnya dan keindahan gaya bahasa.

Az-Zarkasyi menyebutkan: “Manfaatnya adalah menjadikan sebagian pembicaraan berkaitan dengan sebagian lainnya, sehingga hubungan menjadi kuat, bentuk susunannya menjadi kukuh dan bersesuaian bagian-bagiannya laksana sebuah bangunan yang amat kokoh.” Qadi Abu Bakar Ibnul al-‘Arabi menjelaskan: “Mengetahui sejauhmana hubungan antara ayat satu dengan yang lain sehingga semuanya menjadi seperti satu kata, yang maknanya serasi dan susunannya teratur merupakan ilmu besar.”[2]

Neraca yang dipegang dalam menerangkan macam-macam Munasabah antara ayat-ayat dan surat-surat, kembali kepada derajat tamatsul, atau tasyabuh antara maudhu’-maudhu’-nya. Maka jika munasabah itu terjadi pada urusan-urusan yang bersatu dan berkaitan awal dan akhirnya, maka itulah munasabah yang dapat diterima akal dan dipahami. Tetapi jika munasabah itu dilakukan terhadap ayat-ayat yang berbeda-beda sebabnya dan urusan-urusan yang tidak ada keserasian antara satu dengan yang lainnya, maka tidaklah yang demikian itu dikatakan tanasub (bersesuaian) sama sekali.

Sangat sulit mencari munasabah antara surah dengan surah, karena jarang sekali sesuatu itu dapat sempurna dengan suatu ayat. Karenanya beriring-iringlah beberapa ayat dalam satu maudhu’ untuk ta’id, tafsir, athaf dan bayan, istisna’, hasr, hingga ayat-ayat yang beriringan-iringan itu nampaklah ayat-ayat yang satu sama lain merupakan sebanding dan bersamaan dalam satu kelompok.[3]

Hubungan-hubungan dalam Al-Qur’an Tersebut meliputi:

Para ulama yang menekuni ilmu munasabah Al-Qur’an mengemukakan bahkan membuktikan keserasian yang dimaksud, setidak-tidaknya hubungan itu meliputi:[4]

1. Hubungan antara satu surah dengan surah sebelumnya. Satu surah berfungsi menjelaskan surah sebelumnya, misalnya didalam surah Al-Fatihah ayat 6 disebutkan:

$tRÏ÷d$# xÞºuŽÅ_Ç9$# tLìÉ)tGó¡ßJø9$# ÇÏÈ

“Tunjukilah Kami jalan yang lurus,” (Q.S. Al-Fatihah: 6)

Lalu dijelaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 2, bahwa jalan yang lurus itu adalah mengikuti petunjuk Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan:

y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9 ÇËÈ

“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (Q.S. Al-Baqarah: 2)

2. Hubungan antara nama surah dengan isi atau tujuan surah. Nama-nama surah biasanya diambil dari suatu masalah pokok didalam satu surah, misalnya surah An-Nisa’ (perempuan) karena didalamnya banyak menceritakan tentang persoalan perempuan.

3. Hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surah. Misalnya surah al-Mu’minuun dimulai dengan:

ôs% yxn=øùr& tbqãZÏB÷sßJø9$# ÇÊÈ

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,” (Q.S. Al-Mu’minuun: 1)

Kemudian diakhiri dengan:

4 ¼çm¯RÎ) Ÿw ßxÎ=øÿムtbrãÏÿ»s3ø9$# ÇÊÊÐÈ

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.” (Q.S. Al-Mu’minuun: 117)

4. Hubungan antara satu ayat dengan ayat yang lain dalam satu surah. Misalnya kata “Muttaqin” di dalam surah Al-Baqarah ayat 2 dijelaskan pada ayat berikutnya mengenai cirri-ciri orang-orang yang bertaqwa.

5. Hubungan antara kalimat lain dalam satu ayat. Misalnya dalam surah al-Fatihah ayat 1: “ Segala Puji Bagi Allah”, lalu dijelaskan pada kalimat berikutnya: “Tuhan semesta alam”.

6. Hubungan antara fashilah dengan isi ayat. Misalnya didalam surat al-Ahzab ayat 25 disebutkan:

4 s"x.ur ª!$# tûüÏZÏB÷sßJø9$# tA$tFÉ)ø9$# ÇËÎÈ

“dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan “ (Q.S. Al-Ahzab: 25)

4 šc%x.ur ª!$# $ƒÈqs% #YƒÍtã ÇËÎÈ

“dan adalah Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.” (Q.S. Al-Ahzab: 25)

7. Hubungan antara penutup surah dengan awal surah berikutnya. Misalnya penutup surat al-Waqi’ah:

ôxÎm7|¡sù ËLôœ$$Î/ y7În/u ËLìÏàyèø9$# ÇÒÏÈ

”Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Maha besar.” (Q.S. Al-Waqi’ah: 96)

Lalu surah berikutnya, yaitu surah al-Hadiid ayat 1:

yx¬7y ¬! $tB Îû ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ( uqèdur âƒÍyèø9$# ãLìÅ3ptø:$# ÇÊÈ

“Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Al-Hadiid: 1)

Daftar Pustaka

Ahsin W, Kamus Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Amzah, 2005

Al-Qathan, Manna Khalil, Studi Ilmu Qur’an, Jakarta: pustaka Islamiyah, 1998

Hasbi, Muhammad, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Semarang: Pustaka rizki Putra, 2002

Shihab, Quraish, dkk, Sejarah dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus,2001



[1] Ashim W. al-Hafizh, Kamus Ilmu Al-Qur’an, Pustaka Amzah, 2005, Cet, I , hal. 197

[2] Manna Khalil al-Qatani, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Pustaka Islamiah, Bogor, 1998, Cet, IV, hal. 138

[3] Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Semarang: Pustaka Rizky Putra, 2002, Cet. II, hal. 43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar