KRITIK METODOLOGIS ATAS TAFSIR AL-QURAN:

Kajian Terhadap Pemikiran al-Zahabi dan Arkoun

Oleh: Muhsin Hariyanto

I. PENDAHULUAN

Al-Quran adalah kitab Allah yang diturunkan untuk menjadi pedoman hidup bagi manusia dan sekaligus menjadi penjelasan atas fungsi utamanya.[1] fungsi tersebut ditunjukkan juga oleh Allah dalam beberapa ayat al-Quran.[2] Agar fungsi tersebut dapat direalisasikan, maka tidak boleh tidak al-Quran tersebut harus dipahami oleh umat manusia.[3]

Dalam upaya untuk merealisasikan fungsi tersebut, manusia berusaha untuk mencari kejelasan makna pesan-pesan al-Quran tersebut, yang salah satunya adalah menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Upaya ini telah dimulai oleh Rasulullah saw. sendiri sebagai mufassir pertama dan utama dan dilanjutkan oleh para mufassir pelanjutnya. Rasulullah saw. menafsirkan ayat-ayat al-Quran melalui sunnahnya,[4] sedang para pewarisnya menafsirkan al-Quran dengan hadis-hadis Rasulullah saw., di samping berusaha memahami al-Quran dengan penjelasan al-Quran itu sendiri, dan menggunakan kemampuan akal mereka untuk melakukan ijtihad melalui penggunaan kemammpuan pengetahuan bahasa, adat-istiadat Arab, hal ihwal kaum Yahudi-Nasrani (riwayat-riwayat Israiliyyat dan Nashraniyyat) serta kekuatan intuitif mereka.[5] Kemudian, pada masa selanjutnya (Tabi’in) diwarnai dengan pengayaan teori tafsir yang di samping merujuk pada tafsir sahabat, juga dengan ra’yu sebagai alat penalar, meskipun corak ra’yunya belum sejelas pola tafsir bi al-ra’yi pada masa berikutnya.. Al-zahabi, dalam konteks ini, menyebutkan ada lima sumber tafsir Tabi’in: (1) al-Quran, (2) al-Hadis, (3) tafsir sahabat, (4) cerita Israiliyyat dan (5) ra’yu atau ijtihad para tabi’in sendiri.[6]

Al-zahabi berpendapat bahwa pada masa tabi’in inilah kita bisa melihat adanya peluang ‘inhiraf’7 dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran. Masalah yang diangkat oleh al-zahabi dalam bukunya: Al-Ittijâhat al-Munharifah Fî Tafsîr al-Qurân al-Karîm Dawâfi’uhâ Wa Daf’uhâ, merupakan masalah yang penting dan berat, karena membicarakan tentang orientasi-orientasi penyimpangan dan motivasi yang melatarbelakanginya dengan mengetengahkan argumentasi-argumentasi dalam mendeskripsikan dan menawarkan solusinya secara komprehensif.

Al-zahabi mengingatkan kepada para pembacanya, bahwa Tafsir al-Quran bukanlah atau tidak identik dengan al-Quran. Semua hanyalah merupakan karya intelektual para mufassir yang yang juga adalah manusia yang bisa salah. Tafsir adalah tempat yang subur untuk beribadah dalam dimensi intelektualitas manusia sekaligus merusak citra kesucian al-Quran dengan cara — misalnya – menumbuhsuburkan pendapat-pendapat mazhab, kelompok kepentingan dan keinginan-keinginan pribadi yang tidak selaras dengan substansi pesan-pesan al-Quran sendiri.

Al-zahabi mencermati bahwa kecenderungan-kecenderungan menyimpang itu merupakan fenomena kontemporer. Sejak zaman Rasulullah saw pun kecenderungan itu sudah ada, meskipun teredam – secara sistemik – oleh situasi sosio-religius yang kurang kondusif untuk melakukan penyimpangan. Secara logika — menurut al-zahabi – bisa kita duga bahwa pada zaman sahabat bukan tidak mungkin ada peluang untuk melakukan penyimpangan itu, karena pada waktu itu di samping kontrol sosialnya sudah tidak sebaik pada masa Rasulullah saw, otoritas intelektual para sahabat yang dapat diasumsikan memiliki kenisbian dalam melakukan klaim kebenaran atas setiap pendapat. Pada masa Rasulullah saw, setiap perbedaan pendapat atas penfasiran ayat-ayat al-Quran dapat secara langsung dikonfirmasikan kepada Rasulullah saw. Tetapi, pada masa sahabat, konfirmasi sebaik apa pun tidak akan dapat dipahami sebagai sebuah justifikasi final dan ‘serba-benar’. Namun untuk menyatakan bahwa kecenderungan ke arah tersebut benar-benar ada, al-zahabi merasa belum dapat menemukan evidensi yang cukup kuat, karena semangat di samping karena semangat keagamaan yang relatif masih kokoh di kalangan para mufassir generasi sahabat, kritisisme antarsahabat – dalam konteks tafsir al-Quran masih menjadi tradisi intelektual yang berkembangan dan sangat dihormati oleh masing-masing pihak. Di sinilah prinsip tasamuh itu tumbuh subur dan memainkan peran penting dalam perkembangan pemikiran Islam, khususnya dalam bidang tafsir al-Quran. Gejala ke arah penyimpangan, meskipun belum dapat kita katakan telah menyimpang, karena di dalamnya terdapat hal-hal yang memberikan peluang ke arah itu, menurut al-zahabi, terlihat dalam beberapa karya tafsir klasik maupun modern, dengan adanya beberapa sistem, orientasi dan metode penafsiran masing-masing. Kecenderungan-kecenderungan itu semakin tampak, di tandai dengan munculnya pola-pola baru dalam menafsirkan al-Quran, terutama dengan semakin menguatkan gairah orang Islam untuk memberikan makna yang lebih memuaskan keinginan mereka dalam memahami al-Quran, dengan berusaha mengelaborasi metodologi tafsirnya yang tidak seluruhnya steril dari semangat kepentingan.8

Statemen Al-zahabi terlihat tidak membedakan antara kemungkinan adanya kesalahan – sebagai konsekuensi dari keterbatasan intelektualitas manusia dihadapkan pada kebenaran mutlak yang dimiliki oleh Tuhan — dan penyimpangan penafsiran – sebagai konsekuensi dari vested-interestnya, padahal keduanya berbeda secara diametral. Yang pertama merupakan ketidaksengajaan sedang yang kedua merupakan tindakan sengaja.

Sementara itu, kita memperoleh informasi yang berbeda dari seorang intelektual Muslim yang terdidik di dunia Barat Mohammed Arkoun dengan “Bacaan al-Quran”nya yang kritis dan transformatif. Dalam pandangan Arkoun sejarah pengajaran al-Quran dimulai pada awal abad VII M. (tepatnya pada tahun 610 M.), yakni ketika Muhammad – secara teologis – “diangkat oleh Allah menjadi Rasul (perantara)-Nya” pada usia empat puluh tahun.

Peristiwa itu terjadi selama hampir 23 tahun, berakhir ketika menjelang Muhammad wafat sekitar tahun 632 M. Hari yang diperingati oleh sebagian umat muslim, termasuk Indonesia, sebagai Nuzul al-Quran (turunnya wahyu), yang merupakan persitiwa pertama kali ayat al-Quran ‘diturunkan’, yaitu surat al-‘Alaq, ayat 1-5.

Seharusnya peringatan Nuzul al-Quran menjadi momentum untuk merefleksikan secara lebih substantif makna al-Quran. Karena sejak pengkodifikasian al-Quran pada masa Khalifah ‘Utsman bin Affan, maka al-Quran dalam sebuah mushaf (Korpus Resmi Tertutup) terus menerus digunakan untuk memandu sejarah umat Islam. Jadi hitam-putih sejarah umat Islam sangat dipengaruhi bagaimana Muslim memandang al-Quran.

Sampai di sini benar apa yang dikatakan Nasr Abu Zayd[7] bahwa al-Quran pada tingkat tertentu merupakan produsen kebudayaan (muntij ats-tsaqafi) bagi orang Islam. Kebudayaan yang dilahirkan dari interpretasi al-Quran tidak berpersoalan ketika memang secara substantif selaras dengan semangat al-Quran sebagai pembebas manusia dari budaya patriarkhis, budaya kekerasan dan sikap a humanis.

Mengenai hal ini kita dapat bercermin kepada sifat revolusioner dan liberatif Nabi Muhammad. Kondisi masyarakat Arab tempat Muhammad dilahirkan dan dibesarkan antara lain sangat tidak menghargai perempuan. Perempuan tidak dapat memainkan peral yang independen dalam bidang sosial, ekonomi dan politik. Misalnya status perempuan dalam perkawinan sangat buruk, mereka harus hidup dengan seorang suami yang mempunyai lebih dari duabelas isteri. Wanita dianggap sebagai beban hidup dan banyak kasus penguburan bayi perempuan hidup-hidup dalam tradisi Arab jahiliyah.

Lalu Muhammad datang dengan membawa misi pembebasannya dengan seruan larangan mengubur bayi perempuan hidup-hidup (QS. 81-89), memberikan batasan jumlah perempuan yang boleh dinikahi (QS. 4: 3), dan perempuan diberi hak waris (QS. 4:7). Sikap liberatif Muhammad yang lain dalam bidang pengentasan kemiskinan, anak yatim, pemerdekaan budak, seruang berpengetahuan dan lain-lian merupakan bukti upaya revolusionernya dalam membebaskan problem kemanusiaan..

Tetapi, tidak jarang sebagian golongan Muslim menginterpretasikan al-Quran secara tekstual sehingga melahirkan interpretasi yang jauh dari semangat pembebasan al-Quran.

Eksploitasi ayat-ayat al-Quran untuk melegitimasi bentuk kekerasan semisal konsep jihad yang lebih dimaknai sebagainperang suci (holy war) akhir-akhir ini di Indonesia cukup marak. Kasus-kasus eksploitasi ayat al-Quran seperti konsep tentang negara Islam dan anjuran sikap tidak kompromi dengan agama lain tidak jarang mengemuka di masyarakat kita belakangan ini.

Sampai di sini sebenarnya umat Muslim memiliki problem yang cukup serius bagaimana seharusnya memaknai al-Quran dan bagaimana membacanya.

Pemahaman seorang Muslim atas al-Quran yang paling umum adalah wahyu itu terberi (given/tanzil), yakni wahyu yang diturunkan dalam struktur gramatika dan wacana (discourse) al-Quran. Inilah yang menyebabkan adanya sakralisasi yang berlebihan atas al-Quran di kalangan umat Muslim. Al-Quran dipersepsikan sebagai teks suci dari Allah yang sacred dan transenden, sehingga makna tekstualnya harus ditaati dan dijadikan petunjuk dalam segala aspek kehidupan tanpa melihat wacana sosio-historisnya terlebih dahulu.

Tidak pelak lagi diskursus yang muncul adalah truth claims (klaim-klaim kebenaran) tanpa mempedulikan pergeseran budaya.

Baik kiranya kita belajar dari pemikiran seorang intelektual post-modernis Muslim yang mendapat gelar sarjana sastra dari Universitas Sorbonne Perancis, Mohammed Arkoun. Ia memandang wahyu tidak bisa hanya dipahami secara simplistis. Harus ada pengklasifikasian yang jelas mengenai tingkat-tingkat pemaknaan atas wahyu. Arkoun menyebutkan adanya tiga tingkat makna wahyu.

Pertama, wahyu sebagia parole (firman, sabda, kalam) Allah yang transenden, tak terbatas (infinite), untuk menunjuk realitas semacam ini biasanya al-Quran menggunakan terma al-lauh al-Mahfuzh (the well preserved table) atau umm al-Kitab (the Archetype Book).

Tingkat kedua, menunjuk penampakan wahyu dalam sejarah. Berkenaan dengan al-Quran, konsep wahyu tingkat kedua ini menunjuk realitas firman Allah sebagaimana diwahyukan dalam bahasa Arab kepada Muhammad selama duapuluh tiga tahun.

Secara original, wahyu pada tingkat ini berbentuk oral (lisan); ia dimemorisasikan dan ditransmisikan secara lisan selama masa yang lama sebelum kemudian ditulis. Dalam penjelasan Komaruddin Hidayat, di sini al-Quran bukan lagi dipahami sebagai kalam Tuhan in toto dan verbatim, melainkan sudah merupakan “produk bersama’ yang di dalamnya terdapat gagasan Tuhan yang kemudian dipahami dan diterjemahkan oleh Muhammad ke dalam lisan Arab (Komaruddin, 1996: 86).

Meminjam analisis tokoh linguistik Perancis Ferdinand de Saussure (1857-1913), jika pada tingkat pertama wahyu mengacu pada parole Tuhan, pada tingkat kedua ini bisa kita katakan sebagai dimensi langue dari al-Quran.

Tingkat ketiga, menunjuk wahyu dalam bentuk Korpus Resmi Tertutup atau wahyu yang sudah tertulis dalam mushaf (jilidan) dengan huruf dan berbagai tanda baca yang ada di dalamnya.. Pengertian wahyu di sini menunjuk pada mushaf ‘Utsmani, yang darinya pada tahun 1924 diterbitkanlah edisi standar al-Quran di Kairo, Mesir. Wahyu pada tingkat ketiga ini merupakan rekaman dari langue Tuhan yang menyejarah pada tingkat kedua, dan pada saat yang sama dalam beberapa hal, telah mereduksi kekayaan sifat oral yang dimilikinya.

Menurut Saussure, fenomena bahasa secara umum ditunjukkan dengan istilah langage. Dalam langage terdapat dikotomi antara parole dan langue. Parole adalah bagian dari bahasa yang sepenuhnya individual. Satu hal yang menjadi karakteristik dari parole adalah adanya keunikan bahasa dari tiap pribadi. Demikian pula yang terjadi pada al-Quran, parole Allah itu sangat individual yang tak mungkin makna mutlaknya dapat digapai manusia. Manusia hanya sampai menggapai makna relatif-Nya. Sedangkan langue adalah suatu sistem kode yang diketahui oleh semua anggota masyarakat pemakai bahasa tersebut, seolah-olah kode-kode tersebut telah disepakati bersama di masa lalu di antara pemakai bahasa tersebut.

Langue merupakan suatu institusi sosial dan sekaligus sistem nilai. Sebagai sistem sosial langue tidak direncanakan sendiri, emnurut Roland Barthes, itulah sisi sosial dari langue.

Satu hal yang penting dicatat bahwa al-Quran yang berupa langue, tentunya bersifat sosiologis-historis karena sudah masuk sistem budaya, sosial dan politik Arab pada tahun 610 –632 M. Al-Quran yang ada dalam bentuk mushaf saat ini tidak serta merta menunjuk pada parole Tuhan, tetapi lebih pada kondisi sosio-historis tersebut. Karena berupa langue seharusnya kita menempatkan al-Quran sebagai praktek wacana dan bersifat sosiologis. Makna-makna darinya, khususnya yang bersifat relasi kemanusiaan, yakni apa yang dihasilkan oleh pangalaman Madina (tajribah Madinah/l’experience de Medine) tidak mutlak transenden, tapi malah bersifat sosiologis. Keterlibatan Nabi Muhammad dan para sahabat Nabi turut memberi bentukan atas konstruksi wahyu yang dihasilkan. Mohammed Arkoun sering menyebutnya dengan istilah angan-angan sosial (l’emaginaire social) bersama antara Muhammad dan Sahabat serta peran antagonis para musuh Nabi turut memberi kontribusi atas wacana apa yang dihasilkan oleh al-Quran.

Arkoun memandang bahasa wahyu yang primer sebenarnya adalah bahasa lisan (oral) atau kata yang diujar. Dalam perjalanan sejarahnya, al-Quran yang semula bahasa lisan ini kemudian dibakukan dalam bentuk tulis. Pembakuan tersebut dimulai sejak abad ke-4 H atau 10 M., yankni ketika mayoritas umat Muslim sepakat bahwa ujaran-ujaran yang dikumpulkan dalam pembakukan resmi di zaman Khalifah ‘Utsman merupakan totalitas wahyu. Akibat pembakuan ini, menurut Arkoun, mengantarkan al-Quran yang semula berupa tradisi lisan menjadi sebagai Korpus Resmi tertutup (Corpus Officiel Clos).

Disebut korpus (corpus), untuk menunjukkan pengertian satuan besar teks-teks yang dihimpun dalam sebuah jilid buku. Korpus itu resmi (officiel) karena pembuatannya ditentukan dan diawasi oleh sebuah kekuasaan politik yang telah terlibat dalam pertikaian. Adapun disebut tertutup (clos) karena tak satu kata, tidak juga satu vokal pun yang dapat ditambahkan, dihapus atau diubah setelah terwujudnya konsensus kaum Mukminin tentang keutuhan dan kelengkapan wahyu.

Akibat pemahaman bahwa wahyu Tuhan dipresentasikan oleh mushaf ‘Utsmani adalah utuh, lengkap dan transenden, membuat cara berpikir umat Muslim didominasi oleh nalar grafis (tulis). Inilah yang menjadi cara berpikir Muslim selama ini, bahkan hingga sekarang dalam memandang wahyu. Teks (grafis) kemudian sering beralih fungsi menjadi preteks (dalih) yang sering hanya diulangi dan berfungsi sebagai pengabsahan kekuasaan kelompok tertentu. Padahal, perubahan bentuk wahyu yang semula bahasa lisan kemudian dibakukan ke dalam bentuk tulis seharusnya membawa pergeseran pula dalam memandangnya. Dengan cara pandang inilah baru dimungkinkan keberanian membaca al-Quran secara lebih kritis.

Lantas pertanyaan yang muncul adalah bagaimana seharusnya membaca al-Quran? Bagi Arkoun, jawabannya terpusat pada apa yang ia sebut mengacu pada wacana al-Quran. Jadi pembacaan terhadap al-Quran seharusnya selalu diproyeksikan pada tingkat pengertian wahyu yang menyejarah dan masih menjadi wacana yang “hidup” pada definisi wahyu tingkat kedua sebagaimana dijelaskan di muka. Apa yang dimaksudkan Arkoun ini mungkin menjadi lebih jelas lagi bila kita bandingkan dengan apa yang selama ini diperbuat oleh paara penafsir al-Quran.

Sebagian atau malah hampir seluruh penafsir al-Quran, bila kita amati, manafsirkan wahyu pada tingkat Korpus Resmi Tertutup. Pada tingkat ini sebenarnya proses interpretasi bergerak pada pruduktivitas teks dan tidak lagi pada produktivitas wacana, secara linguistis. Sehingga pemahaman yang diperoleh adalah bahwa teks tertulislah yang ditafsirkan dan bukan lagi wacana semula. Sehingga interpretasi yang dihasilkan selalu terkungkung pada batas-batas grafis-tekstualis dan tidak pernah dapat beyond text (melampaui teks).

Tidak mengherankan apabila model pembacaan terhadap Kitab Suci masih diselimuti nalar grafis-tekstualis, Islam dan agama-agama wahyu (non-arkhais) lainnya akan selalu menghadapi problem serius dalam merespons perkembangan masyarakat.

Kita bisa lihat bagaimana agama-agama sangat ‘keteteran’ baik secara teologis maupun metodologis merespons problem seperti HAM, gender, pluralisme, perkawinan beda agama dan lain-lain yang tidak bisa dibendung lagi. Karena memang teks Kitab Suci tidak merekam perkembangan budaya semisal itu, ataupun kalau merekam malah bertentangan dengan semangat perkembangan.

Kita mesti menyadari betul ada distansi pengalaman budaya dan kemanusiaan antara pengalaman yang dihasilkan dalam Kitab Suci dan progresivitas budaya dan kemanusiaan kita saat ini. Sebagai orang yang masih mengidentifikasi diri beriman, tesis yang dikemukakan untuk menjembatani seharusnya adalah menjadikan hubungan keduanya dialektis. Perlu adanya dialektika antara tradisi (at-turats) dan modernitas (al-hadatsah). Dengan nuzul al-Quran semestinya kita mulai menggagas al-Quran sebagai pembebas yang sesuai dengan semangat profetis (nubuwwah) para Nabi, bukan sebagai pengungkung budaya manusia.[8]

II. NORMATIVITAS DAN HISTORISITAS PENAFSIRAN AL-QURAN

Meminjam istilah M. Amin Abdullah, antara normativitas dan historisitas tidak selalu seiring.9 Demikian juga pada kasus penafsiran al-Quran. Pada saat trunnya, al-Quran memiliki latar belakang sejarah. Sehingga teks-teks al-Quran pun memuat doktrin-doktrin yang menyejarah. Oleh karena itu, menafsirkan al-Quran secara tekstual tanpa mempertimbangkan latar belakang sejarahnya menjadi persoalan tersendiri. Tetapi, memahami latar belakang sejarah kewahyuan al-Quran juga merupakan sesuatu persoalan yang tidak mudah dicari solusinya. Keterjebakan kita pada pemahaman normatif akan menjadikan diri kita terkungkung dalam wilayah teks-grafis al-Quran, sementara pemahaman historis yang tidak cerdas pun akan membawa ke arah penafsiran yang meluas ke arah pemahaman yang liberal keluar dari makna tekstualnya, yang boleh jadi di satu pihak akan dapat menemukan makna-makna kontekstual, tetapi di lain pihak akan dapat menyimpangkan makna-makna tekstualnya yang lebih bersifat universal. Oleh karena itu, diperlukan pemanfaatan dialektis terhadap kedua kemungkinan tersebut.

Al-Quran, sebagaimana penulis nyatakan di atas, antara lain berfungsi sebagai petunjuk (hudan). Keberadaannya yang ‘tetap’ dalam sebuah mush-haf yang terpelihara kemurniannya dalam jaminan Allah bukan berarti telah benar-benar menjadi petunjuk bagi umat manusia. Al-Quran akan dapat menjadi petunjuk manakala ia bisa dipahami dan diamalkan oleh umat manusia. Untuk keperluan itu al-Quran harus dijelaskan maknanya ke dalam penjelasan yang lebih bisa dipahami daripada al-Quran sebagai al-Quran. Dengan kata lain al-Quran memerlukan tafsir sedemikian rupa agar dapat menjadi pedoman yang lebih bisa dimengerti dan diamalkan.10

Sebuah pertanyaan yang terangkai selalu muncul dalam kaitan ini: (1) Siapakah yang memiliki kompetensi untuk menafsirkan al-Quran?; (2) Sejauhmana kompetensinya? dan (3) Apakah patokan-patokan dasarnya?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, terlebih dahulu bisa disimak pendapat Ibnu ‘Abbas dalam sebuah pernyataannya tentang al-Quran. Menurutnya, dalam kaitannya dengan tafsir, ayat-ayat al-Quran bisa diklasifikasikan menjadi empat macam. Pertama: ayat-ayat yang dapat dipahami oleh secara umum oleh orang-orang Arab dengan kemampuan bahasanya; kedua: ayat-ayat al-Quran yang bisa dipahami maknanya secara jelas oleh semua orang; ketiga: ayat-ayat al-Quran yang tidak dapat dipahami maknanya kecuali oleh para ulama dan keempat: ayat-ayat al-Quran yang hanya diketahui maknanya secara jelas oleh Allah saja.[9]

Dari pernyataan Ibnu ‘Abbas tersebut di atas, kita bisa mengambil pengertian bahwa: (1) tidak semua ayat al-Quran dapat dipahami maknanya oleh kalangan awam (Arab); (2) tidak semua ayat al-Quran dapat dipahami maknanya oleh orang Arab yang mahir dalam berbahasa Arab; (3) tidak semua ayat al-Quran dapat dipahami maknanya oleh para mufassir dan (4) ada ayat-ayat khusus yang pemahaman hakikinya hanya dimiliki oleh Allah. Quraish Shihab mnerangkan bahwa: ayat-ayat yang hanya dapat dipahami oleh Allah adalah ayat-ayat mutasyabihat; sementara ayat-ayat yang sulit untuk dipahami oleh kalangan awam dan orang yang hanya sekadar memahami bahasa Arab adalah ayat-ayat yang harus ditafsirkan, yang pada kasus inilah para mufassir yang memiliki kompetensi keilmuan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran diasumsikan akan dapat membantu untuk menafsirkannya; sementara itu, sebagian ayat al-Quran yang dipat dipahami secara sederhana dengan kemampuan berbahsa Arab, cukuplah diserahkan kepada para pengkaji al-Quran yang memiliki kemampuan berbahasa Arab; sedangkan ayat-ayat yang sudah jelas maknanya dapat diserahkan kepada seluruh anggota massyarakat yang memiliki sedikit kecakapan berbahasa Arab dan kemampuan intelektual yang diperlukan untuk memahaminya sendiri tanpa bantuan para mufassir.[10]

Meskipun seorang mufassir itu telah memiliki kemampuan untuk menafsirkan al-Quran, kemungkinan untuk membuat kekeliruan tetap ada. M. Quraish Sihab menyatakan bahwa seorang mufassir dapat berbuat salah dalam menafsirkan al-Quran dikarenakan, antara lain, karena: (1) terjebak oleh subyektivitasnya; (2) kekeliruan dalam menerapkan metoda atau kaedah; (3) kedangkalan dalam ilmu alat; (4) kedangkalan pengetahuan mengenai materi uraian (pembicaraan) ayat; (5) tidak memperhatikan konteks, baik asbabun nuzul, munasabah antarayat maupun kondisi sosial yang melatarbelakangi turunnya ayat dan (6) tidak memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicaraan ditujukan.[11]

Sementara itu, Al-zahabi meringkas kemungkinan kesalahan para mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran ke dalam dua faktor penting: (1) kecenderungan untuk meyakini kebenaran salah satu makna di antara banyak makna yang mungkin diterapkan, kemudian memakai keyakinannya untuk menafsirkan semau lafal al-Quran, dan (2) kecenderungan untuk menafsirkan al-Quran berdasarkan makna yang dipahami oleh tutur bahasa Arab saja, tanpa memperhatikan siapa yang berbicara dengan (menggunakan) al-Quran itu, kepada siapa diturunkannuya dan siapa yang dibicarakan oleh al-Quran itu.[12]

Dari kedua macam uraian tersebut, kita peroleh kesimpulan bahwa: meskipun secara teoretik para ulama telah memberikan batasan-batasan ideal, sebagaimana hasil kesimpulan yang kita peroleh dari pernyataan Ibnu ‘Abbas tersebut di atas, dan juga — mungkin — patokan-patokan yang dijelaskan oleh para ulama, dalam praktiknya selalu saja ada kemungkinan para mufassir itu berbuat kesalahan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran berkaitan dengan kompetensinya masing-masing.

Oleh karena itu, betapa pun kita harus berhati-hati untuk berpihak pada tafsir para mufassir ketika kita berusaha merujuk pada pendapat-pendapatnya di seputar makna ayat-ayat al-Quran yang ditafsirnya. Klaim-klaim kebenaran atas sesuatu karya tafsir sudah tidak mungkin dapat kita pertanggungjawabkan. Sementara itu, penolakan-penolan secara a priori terhadap karya-karya tafsir para mufassir yang selama ini dinyatakan oleh mayoritas umat Islam sebagai karya-karya tafsir yang tercela harus kita cermati kembali untuk menuju pada kritisisme yang proporsional.

Penyimpangan-penyimpangan penafsiran juga akan terjadi manakala para mufassir dengan sengaja memaksakan prakonsepsi-prakonsepsi atau gagasan tertentu ke dalam tafsirnya tanpa memperhatikan kaedah sastera kitab suci al-Quran dan konteks historisitasnya.[13]

III. PENYIMPANGAN PENAFSIRAN AL-QURAN: “KERESAHAN TEOLOGIS AL-ZAHABI”

Penyimpangan penfasiran dapat dipilah – secara makro – menjadi dua hal. Pertama: penyimpangan metodologis, yang berpijak pada pemilihan metode yang berpihak pada kepentingan-kepentingan yang sarat dengan keinginan untuk melakukan kesalahan penafsiran. Kedua: penyimpangan substantif, yang bermuara pada kesalahan-kesalahan produk-produk penafsiran, yang sengaja didisain sejak semula oleh ‘sang mufassir’ dengan segenap kemampuannya untuk memutarbalikkan makna tesktual dan kontekstualnya. Hanya saja untuk memahami apakah telah terjadi kesalahan atau penyimpangan bukanlah merupakan hal yang mudah. Oleh karena itu, tanpa pengakuan jujur dari sang mufassir bahwa dia telah dengan sengaja melakukan penyimpangan, maksimal kita – para kritikus – hanya akan dapat menduga atau berasumsi dan kemudian melalukan pembuktian-pembuktian ilmiah yang berpihak pada argumentasi-argumentasi teoretik yang kita akui sebagai alas argumentasi yang paling ‘absah’ untuk melakukan kritik evaluatif terhadapnya. Kritik evaluatif ini – misalnya – telah dilakukan oleh Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean dalam bukunya: “Tafsir Kontekstual al-Quran” yang secara jujur mereka akui banyak terinspirasi oleh ide-ide Fazlur Rahman.[14]

Secara metodologis, para pakar ilmu tafsir telah merumuskan kaedah-kaedah baku (yang dibakukan, pen,) penafsiran al-Quran, yang berisi seperangkat kaedah dan aturan yang harus (baca: “wajib) diindahkan oleh para mufassir ketika ketika menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Dalam pandangan (normatif) para pakar Ilmu al-Quran (konvensional) apabila seseorang mufassir menafsirkan al-Quran tanpa menerapkan metode yang dibakukan tersebut, penafsiranya dapat diasumsikan berpotensi untuk keliru[15], dan bila kekeliruan itu disengaja, maka dapat dianggap sebagai sebuah penyimpangan.

Sebagaimana penjelasan Muhammad Husein al-zahabi tersebut di atas, dengan meminjam tesis Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean kita bisa memperkirakan dan melihat kemungkinan-kemungkinan bentuk penyimpangan penafsiran ayat-ayat al-Quran.

Pertama: Berkaitan dengan subyektivitas mufassir[16], kita bisa memprediksi kecenderungan-kecenderungan para mufassir ketika menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Apakah steril dari keinginan-keinginan untuk memaksakan pendapatnya berkaitan dengan teori-teori yang mendasarinya atau fanatisme mazhabnya, determinasi keilmuannya, minat kajiannya atau bahkan kecenderungan-kecenderungan lain yang berkaitan dengan keinginan pribadi dan atau kelompoknya.

Amal melihat kecenderungan menyimpang ini terjadi pada penefsiran teologis, filosofis dan sufistis. Penafisran teologis pada umumnya mendekati al-Quran secara atomistik dan parsial serta terlepas dari konteks kesejarahan dan kesusasteraannya, demi membela sudut pandang tertentu. Pemaksaan gagasan-gagasan asing ke dalam al-Quran juga merupakan gejala yang mewabah di dalamnya.[17] Dalam kasus ini, Al-zahabi memberikan kritik keras terhadap Az-Zamakhsyari, ketika dia mencoba untuk menawarkan ide-ide Mu’tazilah dalam penafsirannya.[18] Misalnya pada kasus penafsiran kata nâzhirah pada surat al-Qiyamah, 75: 23, terkesan adanya bias i’tizal, yang oleh karenanya sulit dipertanggungjawabkan obyektivitasnya.[19] Sementara itu, Amal melihat contoh penafsiran kelompok Asy’ariyah dan Mu’tazilah tentang keabadian al-Quran yang masing-masing berpendapat selaras dengan asumsi dasar teologisnya tentang makna keabadian tersebut. Kelompok Asy’ariyah meyakini bahwa al-Quran atau Kalam Allah itu abadi (qadim). Al-Quran merupakan Perintah Tuhan, dan “kata kreatif” kun (ada) merupakan seluruh bentuk sifat kata yang abadi. Sebaliknya Mu’tazilah menyatakan bahwa: “tidak ada yang abadi kecuali Tuhan”, sehingga al-Quran dipahami sebagai sesuatu yang baru.

Upaya pemaksaan prakonsepsi ini ke dalam al-Quran, memang tidak bisa dipungkiri akan selalu ada, dan – secara sosiologis – laya ada. Tetapi – persoalannya – apakan keyakan sosiologis itu dapat dijadikan sebagai dalih pembenaran teologis bahwa al-Quran dapat ditafsirkan begitu saja tanpa upaya pengendalian diri dari kecenderungan terhadap kepemihakan individual yang bersifat “pre judice?” Penafsiran-penafsiran itu – dalam pandangan Amal – jelas-jelas telah memperlakukan al-Quran secara tidak adil dan dapat dianggap gagal dalam pesan-pesan universal al-Quran yang lebih bersifat koheren dan bermakna.[20]

Al-zahabi, secara jernih, memaparkan bahwa kecenderungan-kecenderungan tersebut berlalu untuk semua orang dari seluruh kelompok yang secara sengaja telah bersikap a priori bahwa mazhabnyalah yang benar dan yang lain adalah salah, baik dari kalangan Sunni-Syi’ah dengan seluruh derivasinya maupun kelompok lain yang memiliki akar pemikiran teologis yang berbeda.[21]

Kedua: Berkaitan dengan konteksnya, baik pembicaraan, ruang dan waktu atau dalam sosial-kemasyarakatannya yang lebih luas. Dalam hal ini dapat kita lihat melalui beberapa kasus. Di antaranya tafsir kata mubshirah pada surat al-Isra’, 17: 59, dalam hal ini Az-Zamakhsyari berada posisi yang mendekati kebenaran, karena telah menafsirkannya secara kontekstual, berkaitan dengan kemukjizatan Nabi Saleh ketika menghadapi kaum Tsamud. Andaikata kata tersebut diartikan menurut pengertian denotatifnya, maka pengertiannya menjadi kabur dan sulit dipahami.[22].

Ketiga: Berkaitan dengan kekurangan dalam hal penguasaan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan persyaratan sebagai seorang mufassir, apakah berkaitan dengan ilmu pokok atau pun ilmu bantunya. Dalam hal ini M. Quraish Shihab menguraikan secara panjang lebar dalam sebuah karya tulisnya.[23] Dia katakan bahwa para ilmuawan yang tidak memiliki dasar-dasar keilmuan tafsir dan ilmu-ilmu bantunya sering membuat kesimpulan dengan agak ceroboh. Misalnya seorang ahli ilmu tafsir yang sama sekali buta terhadap ilmu bantu akan sulit memahami ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah keilmuan atau pengetahuan alam, demikian juga seorang ilmuwan yang menguasai ilmu bantu, tetapi buta terhadap ilmu tafsir akan mengalami kesulitan untuk memahami makna ayat-ayat al-Quran dalam pengertian pokoknya. Apalagi bila kedua ilmunya (dasar dan bantu) tidak dikuasi dan kemudian memberanikan diri untuk menafsirkan al-Quran, maka kemungkinan berbuat salahnya semakin besar.

Dua contoh yang dipaparkan oleh M. Quraish Shihab dijelaskan oleh Al-zahabi dengan beberapa kasus penafsiran ayat al-Quran.

Pertama, ketika menafsirkan kata faqtha’u pada surat al-Maidah, 5: 38 ada salah seorang mufassir yang menafsirkan bahwa kata tersebut bukan menunjukkan hukum wajib, tetapi ibahah. Di sini Al-zahabi bertanya: Kapankah si mufassir dapat menafsirkan amar tersebut bukan merupakan sesuatu yang wajib?[24] Kemudian, ketika menafsirkan ayat 61 dari surat al-Baqarah, Thanthawi Jauhari menguraikan panafsirannya dengan teori-teori kedokteran pada saat itu, yang menurut pendapat al-zahabi terlalu jauh menyempang dari pengertian tekstualnya. Sehingga penafsirannya justeru membias sangat jauh. Cara inilah yang, menurut al-zahabi, dianggap cukup mengkhawatirkan untuk terjadinya penyimpangan penafsiran. Apalagi bila tidak ada kajian kritis terhadapnya.[25]

Dalam kaitannya dengan kemungkinan terjadinya kesalahan dalam menafsirkan al-Quran, penulis membedakannya dengan kemungkinan terjadinya penyimpangan. Penyimpangan-penyimpangan penafsiran merupakan kegiatan yang secara sistematik direncanakan, oleh karena itu kewaspadaam terhadapnya jauh lebih bisa dimengerti daripada kesalahan-kesalahan penafsiran yang diakibatkan oleh hal-hal yang tidak secara sistematik direncanakan. Penulis melihat bahwa kekhawatiran yang dikemukakan Al-zahabi maupun M. Quraish Shihab berkaitan dengan keduanya (kesalahan dan penyimpangan). Sehingga kita sulit untuk memilah pada sisi mana kritik itu harus diberikan. Padahal jelas terbukti bahwa kesalahan-kesalahan penafsiran lebih mudah dikoreksi oleh para pakarnya daripada penyimpangan-penyimpangan yang secara sistematik bahkan juga bisa dilakukan oleh para pakar yang secara tidak bertanggungjawab memaparkan penjelasan-penjelasan terhadap makna-makna ayat al-Quran. Arkoun, misalnya, membuat statemen: Kesalahan-kesalahan penafsiran telah dibuat oleh para mufassir kontemporer yang menawarkan ketidakteraturan semantik dan kebingungan yang berbahaya tentang al-Quran dan apa yang dideduksi darinya dalam konteks ideologi pembebasan mutakhir. tafsir jenis ini menyebabkan orang melupakan fungsi utama wahyu untuk mengungkapkan makna-makna. Mereka benar-benar telah mengambil jarak dengan Tuhan.[26] Menurut penulis, kesalahan yang disebut Arkoun bukanlah bermakna kesalahan seperti yang penulis maksudkan, tetapi penyimpangan-penyimpangan yang diakibatkan oleh sebuah tindakan sistematik yang dilakukan dengan penuh kesengajaan untuk mencoba memaknai al-Quran selaras dengan prakonsepsi-prakonsepsinya yang sulit dipertanggungjawabkan sebagai alas untuk menafsirkan al-Quran. Sementara itu, kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh para mufassir ketika mereka dengan kesungguhannya menuangkan semangat iman dan ilmunya ke dalam kegiatan ilmiahnya dalam menafsirkan al-Quran, betapa pun harus diapresiasi secara positif. Bahkan, sikap empati yang diberikan oleh para mufassir terhadap mitra intelektualnya ketika menafsirkan al-Quran patut dicontoh. Misalnya, ketika masing-masing pihak berupaya secara sinerjik memaknai al-Quran dalam karya tafsirnya. Bisa kita lihat pada karya-karya M. Quraish Shihab di samping “membumikan al-Quran:, yang kaya perbandingan.

IV. MAKNA KETERBUKAAN DALAM PENAFSIRAN AL-QURAN: “MENIMBANG KEGELISAHAN ARKOUN”

Untuk melengkapi analisis tentang tafsir al-Quran dari kemungkinan adanya penyimpangan dan salah makna, bukan hanya Al-zahabi dan Quraish Shihab yang memiliki kepedulian. Dari pendapat awalnya yang menyatakan bahwa al-Quran “terbuka” untuk ditafsirkan, Arkoun juga mengingatkan dengan tegas bahwa: kajian Qurani dan Kajian tentang al-Quran ternyata, pada akhirnya, harus berhadapan dengan kenyataan bahwa pembacaan atas nama dan terhadap al-Quran niscaya akan menghasilkan keragamaan yang luar biasa.Banyak pakar yang cukup otoritatif telah melakukan keduanya (Kajian Qurani dan Kajian tentang al-Quran). Dalam konteks kajian al-Quran baik pada sisi pertama (Kajian Qurani) maupun kedua (Kajian tentang al-Quran) ini Arkoun dengan karya monumentalnya “Lectures du Coran” telah menjadi bagian dari “khazanah” tersebut.[27]

Dalam konteks pemahaman terhadap al-Quran, kita memaklumi bahwa fungsi utama pewahyuan al-Quran yang sakral ke dunia yang profan ini adalah sebagai hidayah[28] bagi manusia dalam melaksanakan tugas pengabdian dan kekhalifahannya secara universal dalam pola aplikasi pada ruang dan waktu hidup Rasulullah saw yang bersifat temporal dan lokal dengan sejumlah nilai historisitasnya, sehingga manusia menemukan jalannya yang benar dalam memandang dunia sebagai titik tolak dalam membangun kebudayaan dan peradabannya. Oleh karena itu, al-Quran merupakan “respon Ilahi” terhadap situasi dan kondisi umat manusia dalam bentuk ekspresi kebahasaan melalui struktur kesadaran (qalb) Muhammad saw dengan latar belakang kondisi sosio-kulturo-historis dan ‘logosfer’ Arab.[29] Logosfer, yang dimaksudkan di sini, adalah: “ruang bahasa tempat setiap kelompok manusia menata, membentuk kembali, menyampaikan makna sesuai dengan pengalaman sejarahnya.”[30] Hal ini mengindikasikan bahwa al-Quran terkait dengan sisi historikalitas dan transhistorikalitasnya. Sisi historikalitasnya dapat dipahami dari pola-pola aplikasi ruang dan waktu Rasulullah saw masih hidup dan sisi transhistorikalitasnya sebagai aturan universal dapat dipahami dari: (1) kemampuan bahasanya dalam mengungkapkan kebenaran yang teruji; (2) kondisi sosio-historis dan sosio linguistik Arab (sewaktu al-Quran diwahyukan) yang merepresentasikan puncak keruntuhan dan pencerahan moral; (3) kemampuan qalb Muhammad saw mentransformasikan wahyu ke dalam bahasa Arab tanpa distorsi yang dengannya Beliau dapat melampaui kesusasteraan Arab pada waktu itu dan menegakkan moralitas. Muhammad saw mengajarkan dan mengaplikasikan padangan dunia Qurani ini sebagai pengganti pandangan dunia Jahiliyah, yang disebut dengan: “Islamisasi Nilai Budaya Arab Jahiliyah”. al-Quran, bagi setiap muslim pada masa kenabian, telah melahirkan wacana dekonstruktif sebagai kritik dari dalam kungkungan logosentrisme[31] dengan sekaligus melakukan rekonstruksi total.[32]

Teks al-Quran, sebagaimana kita ketahui, telah melahirkan berbagai literatur pembacaan dengan cara pandang yang beragam, yang jika kita lihat dengan cermat akan kita temukan khazanah pembacaan dengan seluruh madzhab serta alirannya dan kita pun akan tahu bahwa sesungguhnya al-Quran hanyalah “alat” untuk membangun teks-teks lain yang dapat memenuhi kebutuhan dan selera suatu masa tertentu setelah masa turunnya. Seluruh pembacaan itu ada dengan sendirinya serta untuk dirinya sendiri. Seluruhnya merupakan karya intelektual serta produk budaya yang lebih terikat dengan konteks budaya yang melatarbelakanginya, dengan lingkungan sosial atau aliran teologi yang menjadi “payungnya” daripada konteks al-Quran itu sendiri.[33]

Dalam kajian semakna dengan apa yang penulis kemukakan, Mohammed Arkoun adalah salah satu figur yang layak untuk dikedepankan. Karena di samping telah menawarkan wacana, juga telah membuat para pembaca tulisannya “resah” dan berlomba-lomba untuk menanggapinya secara beragam. Bahkan, menurut Meuleman, banyak ditemukan pertentangan-pertentangan dalam karya-karya intelektual kelahiran Aljazair ini.[34]

Mohammad Arkoun dalam statemen pokoknya menyatakan bahwa: “al-Quran adalah sebuah teks terbuka. Tak satupun penafsiran dapat menutupnya secara tetap dan “ortodoks.” Sebaliknya, semua aliran yang disebut muslim merupakan gerakan ideologis yang mendukung dan mensahkan kehendak kekuatan bergai kelompok sosial yang bersaing untuk memperoleh kekuasaan.Tentang wahyu ilahi Arkoun menyatakan: (1) al-Quran adalah sejumlah pemaknaan potensial yang diusulkan kepada semua umat manusia yang sesuai untuk mendorong pembangunan doktrin yang sama beragamnya dengan keadaan sejarah pemunculannya; (2) pada tahap pemaknaannya yang potensial, al-Quran mengacu pada agama transejarah atau dengan kata lain: pada transedensi. Pada tahap pemaknaan yang diaktualisasi dalam doktrin teologis, yuridis, politis, etis dan sebagainya, al-Quran menjadi mitologi dan ideologi yang kurang lebih dirasuki oleh makna transendensi; (3) al-Quran adalah sebuah buku teks terbuka. Tak satu pun penafsiran dapat menutupnya secara tetap dan ortodoks. Sebaliknya semua aliran yang disebut muslim merupakan gerakan ideologis yang mendukung dan mensahkan kehendak kekuatan berbagai kelompok sosial yang bersaing untuk memperoleh kekuasaan; (4) De jure, teks al-Quran tidak mungkin disempitkan menjadi ideologi, karena teks itu menelaaah khususnya berbagai situasi batas kondisi manusia: keberadaan, cinta kasih, hidup, mati.

Dengan kata lain, Arkoun berpendapat bahwa wahyu ilahi merupakan amanat yang sangat kaya dan luas, sehingga dapat diberikan makna konkret dalam sekian keadaan yang berbeda, yang dilalui umat manusia. Itulah yang dimaksudkan dengan pemaknaan. Yaitu pemberian makna, sebagai terjemah dari istilah Perancis “signification”.[35] Atau pun denngan aktualisasi. Istilah “aktualisasi” dalam hal ini dipakaidalam arti: proses menjadikan aktual, yaitu mengembangkan sesuai dengan keadaan nyata tertentu dari sesuatu yang sebelumnya hanya bersifat “potensial”.[36] Jelaslah pendapat Arkoun bahwa, walaupun setiap kelompok cenderung mempertahankan penafsiran sendiri sebagai satu-satunya penafsiran yang sah, sebenarnya berbagai aktualisasi itu tidak sama dengan wahyu ilahi. Jelas juga mengapa Arkoun meletakkan arti “ortodoks” [37] antara tanda petik.

Dalam kaitannya dengan kajian di atas, Arkoun menyatakan bahwa pemikiran Islam belum membuka diri terhadap modernitas, dan oleh karenanya pemikiran Islam tidak mampu menjawab tantangan zaman yang dihadapi oleh umat Islam kontemporer. Pemikiran Islam masih bersifat naif. Termasuk di dalamnya pemikiran yang berdasar atau terhadap al-Quran.[38]

Arkoun, dalam kajiannya tentang al-Quran, berusaha menunjukkan kepada para pembacanya mengenai betapa besarnya sumbangan yang dapat diharapkan bagi kajian Islam dari analisis linguistik, semiotik dan hermeneutik. Linguistik atau ilmu bahasa dapat menerangkan bagaimana al-Quran dirumuskan menurut sistem kebahasaan tertentu, yang sangat berpengaruh. Semiotika, yang berkembang dari ilmu bahasa menjelaskan bahwa al-Quran berfungsi dan dipahami dengan cara tertentu karena merupakan sehimpunan tanda yang saling merujuk dan memaknai. Hermeneutika dapat dirumuskan sebagai ilmu penafsiran, yang menjelaskan bagaimana al-Quran dipahami dengan berbagai cara. Namun, dalam penelasannya, Arkoun memanfaatkan berbagai perkembangan ilmiah mutakhir seperti itu bukan tanpa sikap kritis. Persoalan yang mendapat perhatian khusus dalam karya tulisnya tentang al-Quran adalah status khas al-Quran sebagai kitab wahyu ilahi dan perbedaan antara kalam Allah dengan pembicaraan, penulisan dan pemahaman manusia menyangkut kalam Allah.

Arkoun, menolak baik pembacaan[39] al-Quran yang terkungkung dalam tradisi tertentu maupun suatu kemoderenan tertentu yang tidak terbuka pada yang pada beberapa tempat disebut “wujud”. Itulah sebabnya pada berbagai kesempatan ia mengungkapkan keinginannya untuk mengembangkan pembacaan al-Quran — atau penghayatan ibadat haji dalam artikel terakhir – sebagai jalan menuju “Wujud Terakhir” yang sesuai dengan kesadaran dan keadaan manusia modern.

Buku ini merupakan kumpulan tulisan Arkoun yang terdiri dari 7 (tujuh) bab, yang diawali dengan Mukadimah Kajian akhir dan berbagai perspektif kajian al-Quran., yang di dalamnya berisi tentang pandangan dan gagasan Imam As-Suyutuhi mengenai Ilmu-ilmu al-Quran, kontribusi dan batas-batas Orientalisme dan diakhiri dengan kajian al-Quran dalam berbagai perspektif, dalam rangka membantu para pembacanya untuk membuat suatu perbandingan metodik dua penjelajahan, yaitu Ilmu Muslim dan Karya Orientalis.[40]

Dalam kaitannya dengan pembacaan al-Quran Arkoun, kita dapat merujuk pada komentar-komentar Meuleman[41]. Ia ungkapan secara ringkas apa yang telah dikerjakan oleh Arkoun dalam karyanya “Lectures du Coran”.

Dalam pendahuluannya mengenai Hasil Akhir dan Berbagai Perspektif Kajian all-Quran, Arkoun menyajikan sebuah tinjauan umum mengenai kajian al-Quran sampai saat ini, baik di kalangan Muslim maupun Orientalis, menggarisbawahi batas dan kekurangannya dan memberi garis-garis besar bagi pengkajian al-Quran, yang diharapkannya untuk masa depan. Dalam analisis kritisnya tentang tradisi pengkajian al-Quran, Arkoun menaruh perhatian khusus pada tatanan yang dianggap dapat diketahui dan diteliti dan cara pemaparannya, hubungan antara nalar – dalam arti daya pikir dan pola berpikir – ilmiah dan nalar keagamaan dan batas-batas keduanya. (hal. 1-43)

Tulisannya mengenai “Bagaimana Mengkaji al-Quan” yang berisi tentang Makna al-Quran dan al-Quran di hadapan Pemikiran Kontemporer, difokuskan pada analisis linguistik dan antropologis, sebagai sarana untuk mendalami pemahaman para pembaca al-Quran. Di dalam ia pun menaruh perhatian khusus pada sifat al-Quran sebagai karya yang memiliki matra transendental dan pada cara manusia saat ini memahami matra ini. Dalam rangka upayanya tersebut, ia juga menunjukkan jalan menuju pengkajian al-Quran dan semua kitab suci yang melampai batas umat beragama tertentu. (hal. 44-73).

Mengenai otentisitas al-Quran, Arkoun menjelaskan bahwa persoalan tesebut, yang biasanya dibahasa dalam batas teologis, hanya dapat didalami dengan bantuan kajian historis, antropologis dan linguistis. Dalam uraiannya, Arkoun menolak dua pendirian ekstrem: (1) menggambarkan al-Quran sebagai sesuatu yang seraba transeden, tanpa hubungan apa pun dengan sejarah manusia yang konkret; (2) mereduksi al-Quran pada gejala historis saja, yang timbul pada saat tertentu dalam perkembangan manusia. Demikian, walaupun Arkoun mengakui bahwa al-Quran lahir dalam konteks historis tertentu dan dipahami sesuai dengan tradisi dan kebudayaan manusia tertentu, Ia berupaya untuk menggali suatu makna yang tetap relevan dengan kebutuhan manusia modern. (74-90)

Dalam buku ini Arkoun mencoba untuk mengetengahkan hasil pembacaannya terhadap dua surat dalam al-Quran. Pertama: Surat al-Fatihah dan kedua: Surat Al-Kahfi. Melalui bacaannya terhadap surat al-Fatihah, Ia berkeinginan untuk menjelaskan bagaimana sarana analisis ilmu bahasa mutakhir memungkinkan untuk melampaui pembacaan – penafsiran dan pemahaman – al-Quran yang tradisional, yang cenderung apologetik dan sesuai dengan kepentingan kelompok tertentu. Dalam tulisannya dalam pembacaannya terhadap surat al-Fatihah, Ia pun menekankan bahwa analisis linguistik, historis dan antropologis akan dapat saling melengkapi. (hal. 91-119) Sedang melalui pembacaannya terhadap surat al-Kahfi, Arkoun – bertolak dari penafsiran klasik – menjelaskan bahwa penafsiran tersebut, melalui proses perasionalan, penyelarasan dan seleksi, telah mengembangkan suatu kerangka yang — untuk selanjutnya – memaksakan diri atas pemahaman al-Quran dalam seluruh tradisi Islam. Pada akhirnya, Arkoun mengemukakan berbagai usulan untuk melampaui kerangka tersebut melalui kajian baru tentang al-Quran dan cara al-Quran serta semua kitab wahyu dipahami dan berfungsi dalam masyarakat manusia. (hal. 120-146)

Mengenai mukjizat, Arkoun mengungkapkan penyesalannya bahwa, baik dalam pemikiran teologis maupun rasional elit-elit peradaban modern, hal ajaib tersingkirkan dan dianggap sebagai khas pandangan dunia manusia dan masyarakat terbelakang. Sebenarnya, menurut Arkoun, keajaiban merupakan unsur penting al-Quran. Itulah yang diterangkan melalui berbagai catatan pertama, yang antara lain, menarik perhatian pada kenyataan bahwa dalam al-Quran suatu persepsi yang terbuka pada keajaiban membuka jalan untuk pemahaman Wujud tansenden yang merangkumi dunia. Pandangannya tentang mukjizat ini mendapat tanggapan serius dalam seminar oleh para peserta yang diwakili oleh 15 (limabelas) orang pakar-pakar yang cukup kompeten dalam bidang masing-masing untuk membahasnya dan bahkan menjadi perdebatan yang sangat terbuka. (hal. 147- 217)

Pada bagian artikelnya tentang Islam dan Politik, Arkoun mencoba mengetengahkan kajian tentang Hubungan antara Islam dan Politik, yang membahas apa dan bagaimana yang dalam tradisi Islam disebut dengan Din, Daulah dan Dunya, berkaitan dengan berbagai tahap perkembangan Islam. Melalui kajian ini Arkoun menjelaskan bahwa pengalaman Islam tidak tanpa kaitan dengan gejala-gejala serupa dalam daerah dan agama lain, dan bahwa di belakang berbagai teori yang telah muncul mengenai persoalan tersebut, tersembunyilah berbagai pergeseran dan transendentalisasi kebenaran fakta dan peristiwa yang pernah terjadi. (hal. 218-233)

Dalam tulisan akhirnya, Arkoun menjelaskan persoalan Haji dalam konteks pemikiran Islam. Ia nyatakan bahwa pada mulanya haji lahir sebagai ritus agama-agama dan masyarakat pra Islam tertentu, kemudian diubah oleh Islam dengan sejumlah tradisi baru yang diarahkan pada sesuatu yang lebih transendental. Dalam tulisannya, Arkoun ingin menunjukkan jalan untuk menghidupkan kembali haji sebagai simbol keterarahan tersebut. Dalam pandangan Arkoun, tujuan itu hanya dapat dicapai dengan menngintegrasikan haji ke dalam sistem tindakan historis masyarakat modern, sebagaimana pernah terintegrasi dalam sistem tindakan historis Pada akhirnya kita harus memahami, bahwa upaya pembacaan yang serius atas nama atau terhadal al-Quran, seyogyanya dilakukan sebagai usaha menemukan kembali “mitos” Qurani, sebagaimana yang dimaksud oleh Arkoun, yang terkandung dalam susunan mitis al-Quran, sebagaimana yang telah berhasil ditangkap dan ditemukan oleh Rasulullah saw dalam mentransformasikan pandangan-pandangan dunianya menggantikan padangan dunia jahiliyah. Seperti itulah, kurang lebih, harapan Arkoun dalam kumpulan tulisannya ini.

V. PENUTUP

Dari keseluruhan pembahasan yang ada dalam makalah ini, kita dapat memperoleh pemahaman awal bahwa kebenaran absolut al-Quran yang ditawarkan oleh Allah SWT untuk menjadi rujukan tunggal dalam seluruh bagian kehidupan umat manusia selamanya tetap memerlukan penjelasan, yang pada akhirnya akan menawarkan sajian tafsir-tarfsir yang masing-masing memiliki kebenaran relatif. Seberapa mungkin para mufassir berusaha menemukan kebenaran, merek hanya akan mencapai puncak untuk menuju kebenaran itu sendiri. Kebenaran hakiki hanya milik Allah, termasuk serangkaian firman-Nya.

Menafsirkan al-Quran di samping memerlukan kemampuan substantif dan metodologis keilmuan, juga memerlukan kehati-hatian dalam menuangkan kemampuannya. Tafsir adalah karya intelektual, yang oleh karenanya juga akan menuju kebenaran ilmiah juga, yang oleh karenanya tidak selalu akan dibenarkan oleh semua orang dan mengundang kritik ilmiah juga.

Ketika para ulama mempersyaratkan Iman, maka yang dimaksud adalah keyakinan akan kebenaran al-Quran itu sendiri di sisi Allah, bukan kebenaran tafsir atasnya. Oleh karena itu, sejauh orang tidak menggugat kebenaran ilahiah al-Quran dan kemudian menafsirkan ayat demi ayat al-Quran dengan otoritasnya sebagai seorang ilmuwan tafsir, maka ia pun berhak disebut mufassir. Dia akan dikritik oleh yang lain ketika melakukan kesalahan dan bahkan akan digugat ketika melakukan penyimpangan-penyimpangan. Pelanggaran terhadap etika keilmuan tafsir akan mengundang celaan, tetapi pelanggaran terhadap kaedah-kaedah yang relatif, karena dibuat olen manusia, selama secara argumentatif dapat dipertanggungjawabkan, bukan merupakan aib bagi seorang mufassir.

Seandainya seorang Al-zahabi dan Arkoun memberikan rambu-rambu dan penilaian, itu adalah hak keduanya. tetapi keduanya tidak bisa mempersalahkan tafsir para mufassir yang kompeten dalam bidangnya dan bertanggung jawab dalam karyanya.

Untuk itu, apa yang dinyatakan oleh Al-zahabi dan Arkoun dalam pembahasan di atas, hanyalah merupakan alas untuk menjelaskan bahwa kesalahan dan penyimpangan penafsirsan itu akan terjadi bila si mufassir berbuat salah atau dengan sengaja menyimpang dari kebenaran yang hakiki. Selebihnya “tidak”. dan oleh karenanya rambu-rambu yang dibuat oleh keduanya, termasuk Ibnu ‘Abbas, sekadar dapat menjadi peringatan bahwa kita, para mufassir, harus berhati-hati dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran dan jangan mempunyai keinginan untuk berbuat salah atu menyimpang dari kebenaran hakiki.

Akhirnya, dalam makalah ini, penulis hanya mencoba untuk mengingatkan bahwa masih ada tugas besar bagi kita, di samping untuk membaca karya-karya tafsir para mufassir, baik yang sudah terbukukan maupun yang masih ada dalam lembaran-lembaran naskah, membaca secara kritis-kritik antar mufassir oleh para kritikusnya dan telaah kritis kita terhadapnya, juga harus membaca al-Quran baik dalam bentuk teks-grafis maupun historikalitas dan transhistorikalitasnya secara kritis dan bertanggung jawab.

DAFTAR PUSTAKA

Amal, Taufik Adnan dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual al-Quran, Bandung: Mizan, 1992.

Abdullah, M. Amin, Studi Islam:Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Abu Zayd, Nasr Hamid, Tekstualitas al-Quran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

Arkoun, Mohammad., Rethinking Islam, a.b. Yudian Wahyudi dan Lathiful Khuluq, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

——, Kajian Kontemporer al-Quran, a.b. Hidayatullah, Bandung: Pustaka, 1998.

——, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, a.b. Rahayu S. Hidayat, Jakarta: INIS, 1994.

Meuleman, Johan Hendrik., “Pengantar Penyunting”, dalam Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan Quran, a.b. Machasin, Jakarta: INIS, 1997.

——, “Nalar Islami dan Nalar Modern: Memperkenalkan Pemikiran Mohammed Arkoun”, dalam Ulumul Qur’an, Nomor 4, Vol. IV Th. 1993.

——, “Islam dan Pascamodernisme dalam Pemikiran Arkoun”, makalah pada Seminar Sehari tentang: Pokok-pokok Pemikiran Mohammed Arkoun, 13 Juli 1994 di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

——, (ed), Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme, Memperbincangkan Pemikiran Mohammed Arkoun, Yogyakarta: LkiS, 1996.

Rachman, Budhy Munawar., Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1994.

Suhadi, “Arkoun: Al-Quran sebagai Parole dan Langue”, Bernas, 14 Desember 2000.

Tamara, Nasir, “Mohammed Arkoun dan Islamologi Terapan”, dalam Ulumul Qur’an, No. 3, Vol. 1, 1989/1410.

Ulil Abshar Abdallah, “Metode Kritik Akal Islam: Wawancara dengan Mohammed Arkoun, dalam Ulumul Quran, Edisi Khusus, No. 5 & 6, Vol. V, Tahun 1994.

Denfer, Ahmad von., Ilmu al-Quran (An Introduction to Science of the Quran), a.b. A. Nashir Budiman, Jakarta: Rajawali, 1988.

Qaththan, Manna’ al-., Mabahits fi ‘Ulum al-Quran, Makkah: Dar al-Su’udiyyah, 1971.

Shihab, M. Quraish., Membumikan al-Quran, Bandung: Mizan, 1992.

Zahabi, Muhammad Husain al-., Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I, Kairo: Dar al-Kitab al-’Arabi, 1961.

——, Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran al-Quran (Al-Ittijahat al-Munharifah fi tafsir al-Quran al-Karim, Dawafi’uha wa Daf’uha), a.b. Hamim Ilyas dan Machnun Husein, Jakarta: Rajawali, 1986.

Zarqani, ‘Abdul ‘Azhim al-., Manahil al-’Irfan fi ‘Ulum al-Quran, Kairo: Isa al-Babi al-Halabi, t.t.

Zamakhsyari, Abu al-Qasim Mahmud ibn ‘Umar al-., Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta;wil, Jur II, Mesir: Al-Halabi, t.t.

Zarkasyi, Badruddin al-., Al-Burhan fi ‘Ulum al-Quran, Jilid II, Mesir: Al-Halabi, 1957.


[1] QS Al-Baqarah, 2: 185.

[2] Lihat: QS Al-Baqarah 2: 97; Ali ‘Imran, 3: 138 dan Al-Maidah, 5: 46.

[3] Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulumil Quran (Makkah: Dar al-Su’udiyyah, 1971), hal. 280.

[4] Az-Zarqani, ‘Abdul ‘Azhim, Manahil al-’Irfan fi ‘Ulum al-Quran (Kairo: Isa al-Babi al-Halabi, t.t.), hal. 22.

[5] Muhammad Husain Al-zahabi, At-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I (Kairo: Dar al-Kitab al-’Arabi, 1961), hal. 58.

[6] Ibid, hal. 99.

7Kata inhirâf, yang dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “penyimpangan” dipahami oleh Al-zahabi sebagai sesuatu yang bersifat “potensial”. Lihat: Muhammad Abdullah as-Saman, “Kata Pengantar” dalam Muhammad Husein al-zahabi, Penimpangan-penyimpangan dalam penafsiran al-Quran (al-Ittijahat al-Munharifah Fi Tafsir al-Quran al-Karim Dawafi’uha wa Daf’uha), terj. Hamim Ilyas dan Machnun Husein (Jakarta: Rajawali, 1986).

8Nasr Hamid Abu Zayd, Tektualitas al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000)

[8] Suhadi, “Arkoun: Al-Quran Sebagai Parole dan Langue”, Bernas, 14 Desember 2000.

[9] Az-Zarkasyi, Badruddin, Al-Burhan fi ‘Ulum al-Quran, jilid II (Mesir: Al-Halabi, 1957), hal. 164.

[10] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran (Bandung: Mizan, 1992), hal. 79.

[11] Ibid, hal. 80.

[12] Muhammad Husain Al-zahabi, Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran al-Quran (Al-Ittijahat al-Munharifah fi Tafsir al-Quran al-Karim, Dawafi’uha wa Daf”uha), ab. Hamim Ilyas dan Mahnun Husein (Jakarta: Rajawali, 1986), hal. 14.

[13]Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual al-Quran (Bandung: Mizan, 1992), hal. 16.

[14]Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, “Kata Pengantar” dalam Tafsir Kontekstual al-Quran: Sebuah Kerangka Konseptual (Bandung: Mizan, 1992) hal. 9-11.

[15]Nashiruudin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Quran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998) hal. 2.

[16] Subyektivitas mufassir yang penulis maksudkan di sini lebih banyak mengacu pada pengertian “kepemihakan” para mufassir terhadap teori-teori tafsir tertentu atau asumsi-asumsi dasar, utamanya kepemihakannya pada manhaj dan pendapat aliran pemikiran keagamaan tertentu.

[17] Taufiq Adnal Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Op.cit., hal. 17.

[18] Al-zahabi, Op.Cit., 20.

[19] Az-Zamakhsyari, Abu al-Qasim Mahmud ibn ‘Umar, Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil, juz II (Mesir: Al-Halabi, 1966), hal. 509.

[20] Taufiq Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Op.cit, hal. 33.

[21] Al-zahabi, Op.cit, hal. 9.

[22] Al-zahabi, Op.Cit.

[23] Lihat: M. Quraish Shihab, Op.Cit., hal. 100-110.

[24] Al-zahabi, Op.Cit., 126-127.

[25] Ibid.

[26] Mohammed Arkoun, Rethinking Islam (Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers), ab. Yudian W. Aswin dan Lathiful Khuluq, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, hal. 67.

[27] Ulil Abshar Abdallah, “Metode Kritik Akal Islam: Wawancara dengan Mohammed Arkoun”, Ulumul Qur’an, Edisi Khusus, No. 5 & 6, Vol. V, Tahun 1994, hal. 157.

[28] QS. al-Baqarah, 2: 2-4, 185, QS. Ali ‘Imran, 3: 3-4, 138.

[29] Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual al-Quran, Bandung: Mizan, 1989, hal. 42.

[30] Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, Jakarta: INIS, 1994, hal. 196.

[31] Sebutan Arkoun untuk Skriptualisme, yaitu: aliran yang berpegang pada teks-teks syari’at secara kaku. Lihat: Jalaluddin Rakhmat, “Tinjauan Kritis Atas Sejarah Fiqh: dari Fiqh al-Khulafa’ al-Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme”, dalam Budhy Munawar Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1994;

[32] Ibid, hal. 11 dan 24-25.

[33] Ulil Abshar Abdallah, “Metode Kritik Akal Islam: Wawancara dengan Mohammed Arkoun”, Ulumul Qur’an, Edisi Khusus, No. 5 & 6, Vol. V, Tahun 1994, hal. 157.

[34] Johan Hendrik Meuleman, “Nalar Islami dan Nalar Moden: Memperkenalkan Pemikiran Mohammed Arkoun”, Ulumul Qur’an, Nomor 4, Vol. IV, Th. 1993, hal. 93.

[35] Ibid, hal. 105.

[36] “Aktual” di sini dipertentangkan dengan “potensial”, bukan dengan “kuno” atau “jumud”, sebagaimana terjadi dalam perbincangan mengenai “(re)aktualisasi” hukum Islam.

[37] Disebut “ortodoks” karena para pakar yang diakreditasi oleh otoritas-otoritas politik memberikan tendensi pada ide bahwa mustahil membenarkan firman Tuhan secara benar, mengetahui tradisi profetik secara tuntas dalam rangka mendeduksi dari sumber yang fundamental semua ketentuan hukum yang merupakan Hukum Ilahi. Dengan cara ini, selama dua abad pertama setelah hijrah, dari kira-kira tahun 632 sampai 850, apa yang kita sebut fiqh dan ushul fiqh dikembangkan. Ilmu ini merupakan usaha intelektual Islam secara tipikal (ijtihad) yang bertujuan mensakralkan dan mentrandentalisasi di hadapan fakta corpus yuridis yang dikembangkan di pengadilan-pengadilan.

[38] Meuleman, Nalar …, hal. 97.

[39] Istilah “pembacaan” di dalam makalah ini merupakan terjemah dari kata “lecturer” dalam bahasa Perancis, yang menurut dalam pandangan Arkoun semakna dengan “qira-ah”, sehingga dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan: “penafsiran dan pemahaman”. Lihat: Meeleman, ketika menjelaskan istilah lectures dalam: Meuleman, “Nalar …”, hal. 93 dst.

[40] Mohammed Arkoun, Kajian Kontemporer al-Quran, Bandung: Pustaka, 1998, hal. 31.

[41] Johan Hendrik Meuleman, “Pengantar Penyunting”, dalam Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan Quran, a.b. Machasin, Jakarta: INIS, 1997.