MUNASABAH
( Keserasian, keterkaitan, keterhubungan )
Tugas Studi Al-Qur’an
Oleh
S U L U R I
DOSEN PEMBIMBING
Dr. LAILATUL KADAR, M,Ag
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM PEKANBARU
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم
ILMU MUNASABAH
I. Pendahuluan
Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan karunia-Nya kepada kita. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluargana, shahabatnya, dan semua pengikutnya hingga akhir zaman. Diantara bukti kemukjijatan Nabi Muhammad SAW, adalah diberikannya kitab suci al-Qur’an. Dalam al-Qur’an itu sendiri terdapat tanda-tanda kebesaran Sang Pemberi, yaitu dengan gaya bahasa dan susunan yang begitu indah, di antara susunan al-Qur’an ada keserasian antara ayat yang satu dengan yang lai, adanya hubungan saling melengkapi. Hubungan inilah yang dinamakan Ilmu Munasabah yang Insya Allah akan kami bahas pada masalah ini.
II. Pembahasan
2.1. Pengertian
Kata Munasabah secara etimologi, menurut asy-Syuthi berarti al-Musyakalah (keserupaan) dan muqarabah (kedekata). Adapun menurut pengertian terminilogy, Munasabah dapat didefinisikan sebagai berikut.
1. Menurut az-zarkasyi, Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami. Tatkala dihadapkan kepada akal, pasti akal itu akan menerimanya.
2. Menurut Manna’ Alqaththan, Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat, atau antara ayat pada beberapa ayat, atau antara surah di dalam al-Qur’an.
3. Menurut Ibnu al-‘Arabi, Munasabah keterikantan ayat-ayat al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyaisatu kesetuan makna dan keteraturan redaksi.[1]
2.2. Manfaat Ilmu Munasabah
Pengetahuan antara Munasabah ini sangat bermanfaat dalam memahami keserasian antara makna, kejelasan, keterangan, keteraturan susunan kalimatnya dan keindahan gaya bahasa.
Az-Zarkasyi menyebutkan: “Manfaatnya adalah menjadikan sebagian pembicaraan berkaitan dengan sebagian lainnya, sehingga hubungan menjadi kuat, bentuk susunannya menjadi kukuh dan bersesuaian bagian-bagiannya laksana sebuah bangunan yang amat kokoh.” Qadi Abu Bakar Ibnul al-‘Arabi menjelaskan: “Mengetahui sejauhmana hubungan antara ayat satu dengan yang lain sehingga semuanya menjadi seperti satu kata, yang maknanya serasi dan susunannya teratur merupakan ilmu besar.”[2]
Usman berhenti ketika mengumpulkan Qur’an pada tempat setiap ayat dari sebuah surah dalam al-Qur’an, dan sekalipun ayat tersebut telah mansukh hukumnya, tanpa mengubahnya. Ini menunjukkan bahwa penulisan ayat dengan tertibnya adalah taufiqi.[3]
Dengan demikian, tertib ayat-ayat Qur’an seperti yang ada dalam mushaf yang beredar saat ini adala taufiqi, tanpa diragukan lagi. As-Suyuthi menyebutkan hadits-hadits berkenaan dengan surat tertentu mengemukakan : “Pembacaan surat-surat yang dilakukan nabi di hadapan para sahabat itu menunjukkan bahwa tertib atau susunan ayat-ayatnya adalah taufiqi. Sebab, para sahabat tidak akan menyusunnya dengan tertib yang berbeda dengan yang mereka dengar dari bacaan Nabi. Maka sampailah tertib ayat seperti demikian kepada tingkat mutawatir.”[4]
2. 3. Macam-Macam Munasabah.
Ditinjau dari sifatnya, munasabah terbagi menjadi 2 bagian, yaitu : Pertama, zhahirul irtibath, yang artinya munasabah ini terjadi karena bagian al-Qur’an yang satu dengan yang lain nampak jelas dan kuat disebabkan kuatnya kaitan kalimat yang satu dengan yang lain. Deretan beberapa ayat yang menerangkan sesuatu materi itu terkadang, ayat yang satu berupa penguat, penafsir, penyambung, penjelas, pengecualian, atau pembatas dengan ayat yang lain. Sehingga semua ayat menjadi satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan. Sebagai contoh, adalah hubungan antara ayat 1 dan 2 dari surat al-Isra’, yang menjelaskan tentang di-isra’-kannya Nabi Muhammad saw, dan diikuti oleh keterangan tentang diturunkannya Tarurat kepada Nabi Musa as. Dari kedua ayat tersebut nampak jelas bahwa keduanya memberikan keterangan tentang diutusnya nabi dan rasul.[5]
Dan kedua, khafiyul irtibath, artinya munasabah ini terjadi karena antara bagian-bagian al-Qur’an tidak ada kesesuaian, sehingga tidak tampak adanya hubungan di antara keduanya, bahkan tampak masing-masing ayat berdiri sendiri, baik karena ayat yang dihubungkan dengan ayat lain maupun karena yang satu bertentangan dengan yang lain.[6] Hal tersebut tampak dalam 2 model,[7] yakni, hubungan yang ditandai dengan huruf ‘athaf, sebagai contoh, terdapat dalam surat al-Ghosyiyah ayat 17-20 :
__________________________________________________________________
__________________________________________________________________
Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana diciptakan. Dan langit, bagaimana ditinggikan. Dan gunung-gunung, bagaimana ditegakkan. Dan bumi, bagaimana dihamparkan.
Jika diperhatikan, ayat-ayat tersebut sepertinya tidak terkait satu dengan yang lain, padahal hakekatnya saling berkaitan erat. Penyebutan dan penggunaan kata unta, langit, gunung, dan bumi pada ayat-ayat tersebut berkaitan erat dengan kebiasaan yang berlaku di kalangan lawan bicara yang tinggal di padang pasir, di mana kehidupan mereka sangat tergantung pada ternak (unta), namun keadaan tersebut tak kan bisa berlangsung kecuali dengan adanya air yang diturunkan dari langit untuk menumbuhkan rumput-rumput di mana mereka mengembala, dan mereka memerlukan gunung-gunung dan bukit-bukit untuk berlindung dan berteduh, serta mencari rerumputan dan air dengan cara berpindah-pindah di atas hamparan bum yang luas.[8]
Sedangkan model yang kedua, adalah tanpa adanya huruf ‘athaf, sehingga membutuhkan penyokong sebagai bukti keterkaitan ayat-ayat, berupa pertalian secara maknawi. Dalam hal ini ada 3 (tiga) jenis : Tanzhir atau hubungan mencerminkan perbandingan, Mudhaddah atau hubungan yang mencerminkan pertentangan, Istithrad atau hubungan yang mencerminkan kaitan suatu persoalan dengan persoalan lain.[9]
Adapun munasabah dari segi materinya, dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
Pertama, munasabah antar ayat dalam al-Qur’an, yaitu hubungan atau persesuaian antara ayat yang satu dengan yang lain. Dengan penjelasan dan contoh yang telah penulis kemukakan di atas.
Kedua, munasabah antar surat. Dalam hal ini muhasabah antar surat dalam al-Qur’an memiliki rahasia tersendiri. Ini berarti susunan surat dalam al-Qur’an disusun dengan berbagai pertimbangan logis dan filosofis.[10] Adapun cakupan korelasi antar surat tersebut adalah sebagai berikut :
Munasabah antara ayat-ayat dan surat-surat, kembali kepada derajat tamatsul, atau tasyabuh antara maudhu’-maudhu’-nya. Maka jika munasabah itu terjadi pada urusan-urusan yang bersatu dan berkaitan awal dan akhirnya, maka itulah munasabah yang dapat diterima akal dan dipahami. Tetapi jika munasabah itu dilakukan terhadap ayat-ayat yang berbeda-beda sebabnya dan urusan-urusan yang tidak ada keserasian antara satu dengan yang lainnya, maka tidaklah yang demikian itu dikatakan tanasub (bersesuaian) sama sekali. Sangat sulit mencari munasabah antara surah dengan surah, karena jarang sekalisesuatu itu dapat sempurna dengan suatu ayat. Karenanya beriring-iringlah beberapa ayat dalam satu maudhu’ untuk ta’id, tafsir, athaf dan bayan, istisna’, hasr, hingga ayat-ayat yang beriringan-iringan itu nampaklah ayat-ayat yang satu sama lain merupakan sebanding dan bersamaan dalam satu kelompok.[11]
2. 4. Hubungan-hubungan dalam Al-Qur’an Tersebut meliputi:
Para ulama yang menekuni ilmu munasabah Al-Qur’an mengemukakan bahkan membuktikan keserasian yang dimaksud, setidak-tidaknya hubungan itu meliputi:[4]
1. Hubungan antara satu surah dengan surah sebelumnya. Satu surah berfungsi menjelaskan surah sebelumnya, misalnya didalam surah Al-Fatihah ayat 6 disebutkan:
____________________________________________________________________
“Tunjukilah Kami jalan yang lurus,” (Q.S. Al-Fatihah: 6)
Lalu dijelaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 2, bahwa jalan yang lurus itu adalah mengikuti petunjuk Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan:
____________________________________________________________________
“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (Q.S. Al-Baqarah: 2)
2. Hubungan antara nama surah dengan isi atau tujuan surah. Nama-nama surah biasanya diambil dari suatu masalah pokok didalam satu surah, misalnya surah An-Nisa’ (perempuan) karena didalamnya banyak menceritakan tentang persoalan perempuan.
3. Hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surah. Misalnya surah al-Mu’minuun dimulai dengan:
____________________________________________________________________
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,” (Q.S. Al-Mu’minuun: 1)
Kemudian diakhiri dengan:
____________________________________________________________________
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.” (Q.S. Al-Mu’minuun: 117)
4. Hubungan antara satu ayat dengan ayat yang lain dalam satu surah. Misalnya kata “Muttaqin” di dalam surah Al-Baqarah ayat 2 dijelaskan pada ayat berikutnya mengenai cirri-ciri orang-orang yang bertaqwa.
5. Hubungan antara kalimat lain dalam satu ayat. Misalnya dalam surah al-Fatihah ayat 1: “ Segala Puji Bagi Allah”, lalu dijelaskan pada kalimat berikutnya: “Tuhan semesta alam”.
6. Hubungan antara fashilah dengan isi ayat. Misalnya didalam surat al-Ahzab ayat 25 disebutkan:
____________________________________________________________________
“dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan “ (Q.S. Al-Ahzab: 25)
____________________________________________________________________
“dan adalah Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.” (Q.S. Al-Ahzab: 25)
7. Hubungan antara penutup surah dengan awal surah berikutnya. Misalnya penutup surat al-Waqi’ah:
____________________________________________________________________
”Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Maha besar.” (Q.S. Al-Waqi’ah: 96)
Lalu surah berikutnya, yaitu surah al-Hadiid ayat 1:
____________________________________________________________________
“Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Al-Hadiid: 1)
III. PENUTUP
Ilmu munasabah yang merupakan hal baru dalam cabang ulumul Qur’an, telah mendapatkan perhatian khusus dikalangan para ulama. Sebab dengan ilmu ini akan dapat diusahakan sebagai ilmu pencarian korelasi dan hubungan baik antar kata, ayat, maupun surat dalam al-Qur’an. Hal ini bertujuan agar lebih bisa memahami al-Qur’an tersebut secara utuh dan menyeluruh terutama dalam penafsirannya. Konsep ilmu munasabah, memberikan nilai khusus bagi pendidikan. Terutama pada segi pelaksanaan pendidikan mulai dari kurikulum, materi ajar, dan proses pembelajaran sampai pada evaluasi, yang harus mempunyai keterkaitan dan kesesuaian antara unsur yang satu terhadap unsur yang lain.
Daftar Pustaka
Ahsin W, Kamus Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Amzah, 2005
Al-Qathan, Manna Khalil, Studi Ilmu Qur’an, Jakarta: pustaka Islamiyah, 1998
Hasbi, Muhammad, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Semarang: Pustaka rizki Putra, 2002
Shihab, Quraish, dkk, Sejarah dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus,2001
[1] Ashim W. al-Hafizh, Kamus Ilmu Al-Qur’an, Pustaka Amzah, 2005, Cet, I , hal. 197
[2] Manna Khalil al-Qatani, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Pustaka Islamiah, Bogor, 1998, Cet, IV, hal. 138
[3] Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Semarang: Pustaka Rizky Putra, 2002, Cet. II, hal. 43
[3] Manna’ Khalil al-Qattan, hlm. 205-206
[4] Ibid, hlm. 207.
[5] Supiana dan M. Karman, hlm. 164. Lihat juga Usman, hlm. 177.
[6] Ibid, hlm. 164., lihat juga Usman, hlm. 178.
[7] Muhammad Chirzin, hlm. 52.
[8] Usman, hlm. 180.
[9] Muhammad Chirzin, hlm. 53.
[10] Supiana dan M. Karman, hlm. 166.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar