Rabu, 23 Maret 2011

Ibn Rushd

Ibn Rushd Sebagai Model Peradaban Islam
(Averroes as a Model of Islamic Civilization)
By Luthfi Assyaukanie
Source: Bentara Kompas, 02 September 2006
Sejak fajar kebangkitan Islam merekah pada awal abad ke-19, para pembaru Muslim berusaha mencari tokoh-tokoh di masa silam untuk dijadikan model pembaruan dan kemajuan. Sebagian mereka menganggap al-Ghazali sebagai model, sebagian lain menganggap Ibn Taymiyah, dan sebagian lainnya menganggap Ibn Rushd.
Pilihan-pilihan model ini terkait erat dengan karakter proyek pembaruan yang diusung para pembaru Muslim. Mereka yang mengambil al-Ghazali sebagai model, misalnya, cenderung bersikap akomodatif terhadap ortodoksi keagamaan. Sementara mereka yang menjadikan Ibn Taymiyah sebagai model, cenderung bersikap puritan dan terobsesi untuk menjadikan kehidupan kaum Muslim persis seperti kehidupan pada zaman Nabi.
Sementara itu, bagi mereka yang menjadikan Ibn Rushd sebagai model kemajuan berangkat dari keyakinan bahwa tokoh ini merupakan pemikir par excellence dan figur raksasa yang telah memberikan kontribusi besar, bukan hanya bagi kaum Muslim, tapi juga bagi kemanusiaan secara umum.
Ibn Rushd adalah filsuf Muslim yang hidup pada abad ke-12, ketika peradaban Islam mulai mengalami kemunduran. Ia hidup di Andalusia, sebuah kerajaan Islam di Spanyol yang berkuasa antara abad ke-8 hingga ke-15. Ibn Rushd lahir dari keluarga terdidik yang secara turun-temurun selalu mendapat tempat terhormat dalam keluarga kerajaan.
Ibn Rushd layak dijadikan model kamajuan bagi peradaban Islam bukan hanya karena posisinya sebagai filsuf agung, tapi karena ia juga seorang tokoh agama yang menguasai ilmu-ilmu tradisional Islam. Ibn Rushd adalah figur lengkap yang tidak dimiliki tokoh-tokoh besar Islam lainnya. Tidak ada nama tokoh Islam yang begitu berpengaruh bagi peradaban Barat modern seperti Ibn Rushd.
Berbeda dari kebanyakan tokoh Islam yang hanya peduli dengan persoalan keislaman, perhatian Ibn Rushd jauh melampaui sekat-sekat agama. Pemikirannya bersifat universal yang bisa dimanfaatkan oleh umat manusia.
Jika Islam dianggap sebagai agama rahmatan lil alamin (bermanfaat bagi seluruh alam), maka tokoh panutan yang layak menjadi simbol haruslah tokoh yang rahmatan lil alamin juga. Sudah pasti tokoh itu bukanlah al-Ghazali atau Ibn Taymiyah, yang dalam tulisan-tulisannya cenderung memihak kelompok-kelompok tertentu sambil memusuhi kelompok-kelompok lain. Al-Ghazali, misalnya, memusuhi para filsuf dan penganut agama minoritas (seperti Batiniyah). Begitu juga, Ibn Taymiyyah hanya peduli dengan proyek “otentisitas Islam” (al-asalah al-islamiyah) dan bersikap antagonis pada filsafat dan pemikiran spekulatif.
Ibn Rushd tidak memiliki catatan bahwa ia pernah membenci kelompok tertentu, baik dalam Islam maupun di luar Islam. Ia sangat apresiatif terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan. Ia juga sangat menjunjung tinggi ilmu-ilmu tradisional. Ibn Rushd tak pernah memusuhi para pemikir bebas, juga tak pernah melecehkan ulama, simply karena dia sendiri adalah seorang pemikir bebas dan seorang ulama. Tidak seperti al-Ghazali dan Ibn Taymiyah yang berpretensi telah menemukann kebenaran akhir, Ibn Rushd selalu membuka ruang bagi kemungkinan datangnya kebenaran baru. Baginya, sumber kebenaran tidak hanya datang dari wahyu, tapi juga dari hikmah para filsuf dan pemikir.
Sepanjang hidupnya, Ibn Rushd selalu berusaha mengharmonisasikan dua sumber kebenaran yang diyakininya, yakni wahyu dan akal. Baginya, tidak ada pertentangan antara wahyu dan akal, antara agama dan ilmu, antara syari’ah dan falsafah.
Untuk mewujudkan pandangannya, Ibn Rushd menulis banyak buku yang merefleksikan dua sumber kebenaran itu. Ia menulis buku-buku agama (fikih) dan buku-buku falsafah. Namun, karya paling monumental yang berbicara tentang harmonisasi dua sumber kebenaran itu adalah risalah tipis berjudul Fasl al-Maqal fi ma Bayna al-Syari’ah wa al-Falsafah min al-Ittisal (Kata Putus tentang Kelanggengan antara Agama dan Falsafah).
Agama dan Falsafah
Gagasan utama Fasl al-Maqal adalah penyatuan dua sumber kebenaran yang kerap dipertentangkan para ulama ortodoks, yakni akal dan wahyu. Kitab ini dimulai dari pertanyaan sederhana: apakah menggunakan akal-pikiran bertentangan dengan agama? Apakah belajar Falsafah diharamkan Islam? Lewat analisa serta argumen yang kokoh, Ibn Rushd menjawab bahwa tidak ada pertentangan antara agama dan akal, tidak ada larangan dalam Islam untuk mempelajari Falsafah.
Dalil Ibn Rushd dalam mengemukakan jawaban ini adalah bahwa akal dan wahyu sama-sama merupakan karunia Allah. Kedua-duanya tak bisa dipisah-pisahkan. Meminjam istilah Ibn Rushd sendiri, akal dan wahyu bagaikan “saudara sesusuan” (ukht al-radi’ah) yang tak mungkin dipisahkan. Akal memerlukan wahyu karena ada masalah-masalah di dunia ini, khususnya yang berkaitan dengan alam gaib (metafisika), yang tak bisa dicapai akal. Sementara wahyu juga memerlukan akal karena tanpa akal, wahyu tak bisa dipahami.
Dalam buku ini, Ibn Rushd menggunakan istilah “hikmah” dan “syari’ah.” Penggunaan dua istilah ini sesungguhnya agak kurang populer dalam wacana ketegangan antara akal dan wahyu dalam Islam. “Hikmah” adalah istilah al-Qur’an yang tak pernah dipertentangkan oleh para ulama, termasuk yang ortodoks. Begitu juga “syari’ah” merupakan istilah al-Qur’an. Dilihat dari perspektif ini, memang tidak ada pertentangan antara “hikmah” dan “syari’ah.” Di sini, saya melihat kejelian dan kecerdikan Ibn Rushd dalam memilih istilah. Ia tidak menggunakan kata “falsafah,” karena istilah ini memiliki konotasi negatif di kalangan ulama. Ia menggunakan istilah “hikmah” terutama karena istilah ini berasal dari bahasa Arab dan bisa ditemukan di dalam sumber utama Islam.
Al-Qur’an menyebut kata “hikmah” sebanyak 20 kali. Secara umum, kata ini berarti “pengetahuan” dan “kebijaksanaan.” Kata “hikmah” hampir selalu disandingkan dengan kata “al-kitab,” dan mendapatkan perlakukan yang sama dengan kitab suci (al-Qur’an). Hikmah dihargai begitu tinggi sehingga ia setara dengan al-Qur’an, Taurat, dan Injil (Q.S. 3:48; 5:110). Menurut al-Qur’an, siapa saja yang menguasai hikmah, maka dia telah mendapatkan kebaikan yang besar (Q.S. 2:269). Al-Qur’an tidak pernah mempertentangkan hikmah dengan kitab suci, atau hikmah dengan wahyu. Sebaliknya, hikmah selalu disebut secara bersandingan.
Sebagian besar ahli tafsir mengartikan “hikmah” sebagai pengetahuan atau kebijaksanaan. Akar kata “h-k-m” sendiri berarti bijaksana. Ibn Rushd juga mengartikan hikmah dengan pengetahuan, bahkan menurutnya, hikmah bukan sekadar pengetahuan biasa, seperti Fisika, Matematika, atau Ilmu Alam. Tapi, hikmah adalah pengetahuan yang mendasar, yang fundamental, yang asasi. Inilah yang oleh para sarjana klasik di Yunani disebut “falsafah.” Bagi Ibn Rushd, hikmah adalah falsafah, sementara syari’ah adalah ajaran-ajaran agama yang terkandung dalam kitab suci. Jika doktrin-doktrin syari’ah berasal dari kitab suci sementara kitab suci selalu disebutkan secara bersamaan dengan hikmah, dengan demikian, menurut Ibn Rushd, tidak ada pertentangan antara hikmah dan syari’ah, antara agama dan falsafah.
Ibn Rushd begitu menghargai falsafah dan akal, karena tanpa akal, ayat-ayat al-Qur’an dan maksud penciptaan manusia secara umum tidak banyak memiliki arti. Akal dan al-Qur’an tidak bisa dipertentangkan. Jika kita menjumpai ayat-ayat al-Qur’an yang seolah-olah bertentangan dengan akal, menurut Ibn Rushd, ayat-ayat itu haruslah dita’wilkan seperti dia katakan secara tegas dalam Fasl al-Maqal:
fa in kana muwafiqan fa la qawla hunalika, wa idza kana mukhalifan thuliba ta’wiluhu (jika di sana tak ada pertentangan antara wahyu dan akal maka tak ada yang perlu dikatakan. Tapi, jika ada pertentangan, maka wahyu haruslah ditafsirkan). (Fashl al-Maqal, h. 97).
Ta’wil atau tafsir adalah solusi terbaik untuk memahami wahyu. Jika kita menghadapi ayat-ayat al-Qur’an yang tampak bertentangan dengan semangat kemanusiaan atau bertentangan dengan semangat dasar Islam, maka bukannya membuang ayat-ayat itu, atau sebaliknya menyalahkan nilai-nilai kemanusiaan tersebut, tapi tugas kita adalah menafsirkannya dan menta’wilnya agar sesuai dengan nilai-nilai dasar agama dan kemanusiaan.
Islam dan Barat
Ibn Rushd adalah seorang ulama yang mengagumi falsafah Yunani. Tidak seperti al-Ghazali yang cenderung mengecilkan falsafah demi untuk membela “ilmu-ilmu agama” (‘ulum al-din), Ibn Rushd tidak pernah mengecilkan ilmu pengetahuan. Baginya, ilmu agama dan ilmu umum (falsafah) sama pentingnya. Di tengah permusuhan dan sikap antagonis kaum Muslim yang terus meningkat terhadap falsafah dan ilmu-ilmu klasik (‘ulum al-awail), Ibn Rushd malah memutuskan menekuni disiplin ini.
Ketika para ulama sibuk menafsirkan al-Qur’an dan membuat puluhan jilid penjelasan (syarh) atas buku-buku hadis, Ibn Rushd memutuskan untuk menulis tafsir Metafisika, sebuah karya penting Aristotle. Tentu saja, dia bukan tidak mampu menulis kitab tafsir al-Qur’an atau kitab syarah hadis. Tapi, dia memandang terlalu banyak buku-buku jenis ini, sementara ada kekosongan dalam kajian falsafah dalam tradisi keilmuan Islam.
Kajian Ibn Rushd terhadap falsafah Yunani tidak tanggung-tanggung. Ia mengambil Aristotle, puncak falsafah Yunani, sebagai obyek kajiannya. Ini berbeda dari para pendahulunya, seperti Al-Farabi dan Ibn Sina, yang memilih Plato sebagai fokus kajian mereka. Ibn Rushd memilih Aristotle bukan tanpa alasan. Selain sebagai puncak dari pemikiran Yunani, Aristotle juga dikenal sebagai seorang “realis” yang percaya sepenuhnya pada fungsi akal. Berbeda dari Plato yang “idealis” (dalam pengertian meyakini eternalitas ide di alam metafisika), Aristotle lebih meyakini sistem dan cara kerja akal-pikiran. Aristotle adalah seorang rasionalis sejati yang meletakkan dasar-dasar Ilmu Logika.
Pilihan Ibn Rushd terhadap Aristotle membuatnya menjadi filsuf besar yang menentukan masa depan karir dan namanya. Kendati di dunia Islam sendiri dia kurang mendapatkan penghargaan, di dunia Barat, sejak abad ke-12, namanya berkibar di pusat-pusat studi dan lembaga-lembaga ilmu pengetahuan. Di Universitas Paris, karya Ibn Rushd dipelajari secara serius dan pandangan-pandangannya didiskusikan secara luas. Beberapa sarjana di sana, seperti Siger of Brabant, Boëthius of Dacia, dan Goswin of La Chapelle bahkan mendirikan kelompok kajian khusus tentang Ibn Rushd (Renan, Averroès et L’averroïsme, 1986).
Ibn Rushd dipandang sangat berjasa bagi dunia intelektual Eropa karena dialah orang yang secara sangat meyakinkan memberikan argumen pentingnya independensi dunia akademi dari kuasa Gereja. Pada abad pertengahan, ketika Gereja Katolik masih sangat berkuasa, ilmu pengetahuan harus tunduk pada kebijakan agama. Dunia akademi tidak lain kecuali perpanjangan dari misi Gereja yang lebih luas. Karena itu, para birokrat dan sarjana yang menguasai pusat-pusat pendidikan tinggi, umumnya, adalah para penguasa agama yang diresmikan oleh Gereja. Kontrol agama begitu kuat di dalam dunia akademis. Para petinggi agamalah yang menentukan sebuah kurikulum perguruan tinggi dan apa saja yang patut diajarkan di sana.
Para pengikut ajaran Ibn Rushd atau yang biasa disebut Latin Averroists adalah orang yang merasa paling tidak nyaman dengan kondisi dunia akademis pada masa itu. Mereka mulai mempertanyakan aturan-aturan yang mengekang dan mempertanyakan independensi ilmu pengatahuan. Di tengah dominasi Gereja yang begitu kuat, sangatlah sulit melawan otoritas agama yang menganggap bahwa wayu dan kitab suci berada lebih tinggi di atas segalanya, dan fungsi manusia adalah melayani dan menjalankan apa yang dikatakan wahyu atau kitab suci itu.
Tepat di sinilah karya Ibn Rushd, Fasl al-Maqal, memainkan perannya. Para pengikut Ibn Rushd mengerti betul bahwa argumen agama haruslah dilawan dengan agama. Kendati Injil tidak persis memuat ayat-ayat yang dikutip Ibn Rushd, penjelasan Ibn Rushd tentang sejajarnya posisi falsafah dengan agama –dengan mengutip sumber-sumber agama sendiri- sangatlah membantu mereka membuka jalan melawan hegemoni Gereja.
Penutup
Dunia Islam modern sangat membutuhkan tokoh seperti Ibn Rushd, yang mampu menguasai tradisi Islam dan tradisi Barat sekaligus. Pada zaman Ibn Rushd, “Barat” yang dimaksud adalah Yunani, sedangkan pada masa modern, “Barat” adalah Eropa dan perluasannya seperti Amerika Serikat dan Australia. Di tengah ramainya orang yang mempertentangkan antara Islam dan Barat akhir-akhir ini, figur Ibn Rushd sangatlah penting. Islam dan Barat bukanlah sesuatu yang harus dipertentangkan, tapi justru harus diharmonisasikan. Kaum Muslim harus belajar dari Barat dan bersikap terbuka pada kemajuan dan pencapaian-pencapaian yang telah dihasilkan peradaban Barat. Tentu saj, tanpa harus dikatakan, tidak semua yang datang dari Barat harus diterima dan ditelan begitu saja. Sikap kritis dan selektif harus tetap dipertahankan.
Bagi Ibn Rushd, kata kuncinya adalah “kritis” dan “selektif,” dalam hal ini bukan hanya kepada peradaban dan pencapaian Barat, tapi juga kepada tradisi dan khazanah intelektual Islam sendiri. Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan dalam lingkungan agama yang kuat, Ibn Rushd berhasil memperlihatkan kepada kita bahwa ia tidak tertarik arus untuk ikut-ikutan “menghidupkan ilmu-ilmu agama” dan membelanya secara membabi-buta, seperti dilakukan al-Ghazali. Baginya, kebenaran tidak hanya ada dalam ilmu-ilmu agama, tapi juga pada falsafah dan ‘ulum al-awail yang datang dari luar Islam. Jika kaum Muslim mau maju, mereka haruslah mampu membuka diri dan mengambil kebaikan-kebaikan yang ada di luar sana.
Luthfi Assyaukanie. Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina dan Peneliti Senior Freedom Institute, Jakarta.
19 May 2010, 05:00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar