Kamis, 17 Maret 2011

Salahkah Ajaran Syekh Siti Jenar?

Recipe Salahkah Ajaran Syekh Siti Jenar? Jul 16, '07 9:04 PM
for everyone
Category: Other

Ingredients:
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setelah membaca Sufi edisi 07 Nopember 2000 lalu, saya masih menyimpan sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan tragedi dibunuhnya al-Hallaj.

Tapi dalam kesempatan ini, saya ingin menanyakan tentang kematian yang dialami oleh Syekh Siti Jenar. Dalam kisah Walisongo disebutkan, bahwa Syekh Siti Jenar pun mengalami nasib yang sampir sama dengan al-Hallaj. Jika al-Hallaj dihukum mati atau dieksekusi oleh para penguasa, fuqaha dan ulama yang “iri” waktu itu, maka Syekh Siti Jenar dieksekusi oleh Walisongo lantaran ajaran Wahdatul Wujudnya yang dianggap syirik.

Dari kisah tentang kedua tokoh ini, saya punya pendapat bahwa “Ana al-Haqq” sebagaimana yang diucaplan oleh al-Hallaj itu sebenarnya tidak salah. Para penguasa dan ulama agaknya terlanjur menvonis salah kepada al-Hallaj. Sehingga mereka menghukumnya tanpa terlebih dahulu menanyakan apa yang dimaksud dengan ucapannya itu. Namun untuk kasus Syekh Siti Jenar, terdapat beberapa pertanyaan yang ingin saya ajukan melalui rubrik “Masail Sufiah” ini.

1. Apakah tindakan Walisongo yang telah membunuh Syekh Siti Jenar itu benar?
2. Bisakah tokoh ini menjadi salah satu pembahasan Sufi edisi mendatang?
3. Jika benar apa yang dimaksud dengan ucapan Syekh Siti Jenar itu sama sebagaimana yang dimaksudkan dengan ucapan al-Hallaj, apakah tidak berarti bahwa tindakan Walisongo itu juga salah?

Sekian saja pertanyaan dari saya. Semoga saya mendapatkan jawaban yang memuaskan tentang kisah menarik ini.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Dewi Ratih
di Depok Jawa Barat

Jawab:

Sejarah Syekh Siti Jenar, salah satu dari generasi para Wali di tanah Jawa, memang berbeda dengan Husein bin Manshur al-Hallaj, walaupun tragedi historisnya hampir bermiripan, tetapi sebenarnya kasusnya juga berbeda. Jika al-Hallaj memang memiliki otentitas sejarah dengan data-data akurat, bahkan karya-karyanya yang bisa dibaca oleh generasi sufi, seperti Kitab Ath-Thawasin dan yang lainnya, lain lagi dengan Syekh Siti Jenar.

Data tentang Syekh Siti Jenar ini, lebih banyak menggunakan data sekunder. Sehingga para sejarawan Islam sendiri banyak yang tidak bisa menunjukkan orisinalitasnya, lebih banyak interpretasi dari para penulis sejarah itu sendiri. Film Walisongo yang sangat terkenal dengan eksekusi terhadap Syekh Siti Jenar juga tidak sepenuhnya benar. Apalagi di kemudian hari banyak sekali sejarah dengan versi yang berbeda-beda. Ironisnya, sejarah yang tidak akurat itu dianut oleh sekelompok aliran kebatinan di Jawa yang mengklaim dirinya bermadzhab Syekh Siti Jenar, yang sangat ekstrem, yakni tidak perlu bersyari’at dalam menjalankan agamanya (Islam).

Apakah benar bahwa sesungguhnya yang dibunuh itu adalah Syekh Siti Jenar? Itulah awal polemik sesungguhnya. Sebab versi lain juga mengatakan pada dasarnya Syekh Siti Jenar tidak dibunuh, tetapi hidup sampai akhir hayat dalam ‘uzlahnya. Nama beliau adalah Abdul Jalil, dan kelak populer sebagai Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang.

Apa yang diucapkan oleh Syekh Siti Jenar, kemudian dianggap kontroversial itu memang sama dengan pandangan al-Hallaj. Namun pandangannya tentang Manunggaling Kawulo Gusti, tidak bisa sama sekali diartikan sama dengan pantheisme atau Wahdatul Wujud. Terminologi “Ittihad” dalam pandangan al-Hallaj juga bukan berarti pantheisme atau Wahdatul Wujud. Ittihad berarti menyatu. Apa yang menyatu? Yang menyatu adalah syuhudnya, bukan wujudnya. Sebagaimana ketika Anda sedang bercermin, hati Anda secara otomatis mengatakan: “Itulah aku”. Sebuah ungkapan reflektif di luar kesadaran. Anda sebenarnya menyatu dengan gambar yang memantul dalam cermin itu. Tetapi ketika Anda katakan kepada banyak orang bahwa cermin itu adalah Anda sendiri, tentu salah. Sebab cermin ya cermin, Anda ya Anda. Kalau ada interaksi antara Anda dengan cermin, itu semata karena adanya pantulan yang Anda saksikan, dan yang pertama kali menyaksikan adalah hati Anda. Kesaksian itulah yang disebut syuhud. Jadi yang menyatu bukan wujudnya tetapi syuhudnya.

Karena itu, istilah Wahdatul Wujud adalah salah besar kalau dialamatkan kepada kedua belah pihak (baik Syekh al-Hallaj maupun Syekh Siti Jenar). Kalimat Wahdatul Wujud, muncul pertama kali dari lisan seorang ulama yang anti terhadap gerakan tasawuf yang menuduh Ibnu ‘Arabi itu musyrik karena menganut pantheisme atau Wahdatul Wujud. Ulama itu tidak lain adalah Ibnu Taimiyah.

Dalam seluruh naskah ulama salaf sufi, ternyata tidak satu pun kata Wahdatul Wujud ada di sana. Bahkan kalangan pemikir Islam modern dan pakar filsafat Islam masih “terjerumus” dalam terminologi tersebut, dengan mengklaim tasawuf identik dengan Wahdatul Wujud. Suatu kesalahan yang sangat rancu dalam pandangan kefilsafatan Islam.

Mengapa mereka demikian? Karena mereka tidak menyelami tasawuf secara ‘amaliyah, dan bahkan belum menghayati sampai pada tingkat ahwal yang hakiki. Apa yang mereka katakan tidak lebih dari pandangan ilmiah yang keliru belaka.

Mengenai drama eksekusi Syekh Siti Jenar, kalau toh kita toleran terhadap tragedi itu, semata hanya untuk menjunjung syari’at agar tidak lepas dari hakikat. Atau dengan kata lain jangan sampai orang yang memasuki dunia hakikat terkena tipu daya dan mengklaim dirinya telah sampai kepada Allah, padahal masih di “pintu gerbang”-Nya belaka. Hal yang sama, jangan sampai orang-orang syari’at sombong dengan fiqihnya, karena fiqih tanpa hakikat akan terjerumus dalam ke-zindik-an yang tragis.

Jadi, lebih baik kita vakumkan dulu sebelum ada penelitian yang lebih konprehensif mengenai sejarah Syekh Siti Jenar. Dengan begitu kita tidak segera menjatuhkan vonis kepada Walisongo.

Lebih dari itu, aliran kebatinan perlu juga merefleksi ulang terhadap ajaran yang tidak bersyari’at. Harus diingat bahwa syari’at itu bukanlah sarana mencapai hakikat. Karena ditinjau dari segi lain, syari’at itu juga hakikat dan hakikat adalah syari’at. Syari’at datangnya dari Allah, karena itu menjalankan syari’at itu merupakan perintah Allah, bukan sarana untuk mencapai Allah. Hakikat juga disebut syari’at, karena hakikat juga aturan-aturan Ilahi dalam jiwa manusia, karena itu posisinya sama, dan satu sama lain tidak boleh dipisahkan.

---(ooo)---

Directions:
Sumber : www.sufinews.com

Prev: Mengenal Rabi’ah al-Adawiyah
Next: Membongkar Tabir Mitos Syekh Siti Jenar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar