Jumat, 08 Juli 2011

SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DAN PERADABAN ISLAM PADA

PERIODE KLASIK [650 – 1800 M]

Harun Nasution, membagi Sejarah Perkembangan Peradaban Islam ke dalam

tiga periode yaitu [1] periode klasik [650-1250 M], dibagi dalam dua masa : [a] masa

kemajuan Islam I [650-100], [b] masa disintegrasi [1000 – 1250 M]. [2] Periode

pertengahan [1250 – 1800], dan [3] Periode Modern [1800 M]1. Untuk periode modern

akan dibicarakan pada bagian tersendiri. Periode klasik ini dapat dibagi ke dalam dua

masa, yaitu masa Kamajuan Islam I dan masa Disintegrasi.

1. Masa Kemajuan I [650 – 1000 M]

Masa ini merupakan masa ekspansi, integrasi dan keemasan Islam. Dalam hal

ekspansi, sebelum Nabi Muhammad wafat di tahun 632 M, seluruh Semenanjung

Arabia telah tunduk di bawak kekuasaan Islam, dan ekspansi ke daerah-daerah di luar

Arabia dimulai pada zaman Khalifah pertama Abu Bakar al-Siddik2.

a. Masa Khulafa al-Rasyidin

b.

Nabi Muhammad tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan

menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat.

Tanpaknya beliau menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri

untuk menentukannya. Setelah beliau wafat dan jenazahnya belum dimakamkan,

sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di balai kota Bani Sa’idah di Madinah

untuk musyawarah menentukan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin.

Musyawarah tersebut berjalan cukup “alot”, karena masing-masing pihak baik kaum

Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam.

Tetapi dengan semangat ukhuwah Islamiah yang tinggi, Abu Bakar terpilih sebagai

pemimpin umat Islam3. Menurut Hassan Ibrahim Hassan, bahwa semangat

keagamaan Abu Bakar, mendapatkan penghargaan yang dari umat Islam4, sehingga

masing-masing pihak [Muhajirin dan Anshar] dapat menerima Abu Bakar dan

membaitkannya sebagai pemimpin umat Islam.

1] Masa Khalifah Abu Bakar [632-634 M]

Sebagai pemimpin umat Islam setelah Rasul, Abu Bakar disebut Khalifah

Rasulillah [pengganti Rasul] yang dalam perkembangan selanjutnya disebut khalifah

saja. Abu Bakar menjadi khalifah di tahun 632 M dan usia kepemimpinannya hanya

dua tahun, karena pada tahun 634 M Abu Bakar meninggal dunia5. Masanya yang

singkat itu banyak dipergunakan untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri ,

terutama tantangan atau sikap membangkan dari suku-suku bangsa Arab yang tidak

mau tunduk pada pemerintahan Madinah6.

Alasan yang sangat substansial dari sikap membangkan adalah “mereka

menganggap bahwa perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad, dengan

sendirinya tidak mengingat lagi dan batal, setelah Nabi wafat”. Dngan dasar ini, maka

mereka kemudian mengambil sikap menentang Abu Bakar, sebagai pemimpin umat

Islam. Karena sikap membangkang, menentang dan keras kepala yang dapat

membahayakan agama dan pemerintahan, maka Abu Bakar menyelesaikan persoalan

tersebut dengan apa yang disebut Perang Riddah [perang melawan kemurtadan].

Dalam perang Riddah ini, Khalid ibn al-Walid adalah jenderal yang banyak dalam

mengatasi perang tersebut7.

Setelah Abu Bakar, menyelesaikan persoalan dalam negeri, kemudian mulai

mengirimkan kekuatan-kekuatan ke luar Arabia. Khalid ibn al-Walid dikirim ke Irak

dan dapat menguasai al-Hirah di tahun 634 M8. Ke Syria dikirim ekspediri di bawah

pimpinan tiga jenderal yaitu Amr Ibn al-Aas, Abu Ubaidah, Yazid ibn Abi Sufyan, dan

Syurabbil ibn Hasanah. Sebelumnya pasukan dipimpin oleh Usamah yang masih

berusia 18 tahun. Kemudian untuk memperkuat tentara ini, Khalid ibn al-Walid

diperintahkan meninggalkan Irak, melalui gurun pasir yang jarang dilalui dan ia sampai

ke Syria delapanbelas hari kemudian9.

Pada tahun 634 M Abu Bakar meninggal dunia, sementara barisan depan

pasukan Islam berada di Palestina, Irak dan kerajaan Hirah. Ketika Abu Bakar sakit

dan merasa ajalnya sudah dekat, maka ia bermusyawarah dengan para pemuka

sahabat dan mengangkat Umar ibn Khattab sebagai penggantinya dengan maksud

untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan

umat Islam10. Kebijakan Abu Bakar tersebut, diterima umat Islam dan secara beramairamai

membaiat Umar ibn Khattab untuk menjadi khalifah kedua.

2] Masa Khalifat Umar ibn Khattab [634 – 644 M]

Umar ibn Khattab, menyebut dirinya sebagai khalifah Khalifati Rasulillah

[pengganti dari pengganti Rasulullah]. Selain itu, Umar ibn Khattab

memperkenalkan istilah Amir al-Mu’minin [Komandan orang-orang yang beriman].

Usaha-usaha yang telah dilakukan Abu Bakar dilanjutkan oleh khalifah kedua Umar ibn

Khattab.

Di zaman Umar ibn Khattab, gelombang ekspansi [perluasan daerah kekuasaan

dan da’wah] pertama terjadi yaitu ibu kora Syria Damaskus jatuh pada tahun 635 M

dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah dipertempuran Yarmuk, maka

seluruh daerah Syria jatuh di bawah kekuasaan dan da’wah Islam. Syria dijadikan

sebagai basis, maka ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan ‘Amr ibn ‘Aas

dan ke Irak di bawah pimpinan Sa’ad ibn Abi al-Waqqas. Iskandaria, ibu kota Mesir

ditaklukkan dan jatuh di bawah kekuasaan Islam pada tahun 641 M. Kemudian al-

Qadisiyah sebuah kota dekat Hirah di Iraq jatuh tahun 637 M dan dari sana serangan

dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Madain jatuh pada tahun itu juga dan pada tahun 641

M, Mosul dapat dikuasi. Dengan demikian, pada masa khalifah Umar ibn Khattab,

wilayah kekuasaan dan da’wah Islam telah meliputi Jazirah Arabiah, Palestina, Syria,

Irak, Persia dan Mesir11.

Pada zaman Umar ibn Khattab, perluasan daerah da’wah terjadi dengan cepat,

sehingga khalifah Umar ibn Khattab segera mengatur administrasi negara dengan

mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi

pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi, yaitu : Mekkah, Madinah, Syria,

Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang

perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan system pembayaran gaji

dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif

dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan

kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum12. Selain itu, Umar juga

mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan menciptakan tahun hijrah13.

Periode pemerintahan Umar ibn Khattab selama sepuluh tahun [13-23 H/634-644

M] dan masa jabatannya berakhir dengan kematian, karena dibunuh oleh Abu Lu’lu’ah

seorang budak dari Persia. Untuk menentukan penggantinya, Umar ibn Khattab tidak

menempuh jalan yang dilaukakn Abu Bakar. Umar ibn Khattab, menunjuk enam orang

sahabat, yaitu : [1] Usman, ibn Affan [2] Ali ibn Abi Thalib, [3] Thalhah, [4] Zubair, [5]

Sa’ad ibn Abi Waqqas, dan [6] Abdurrahman ibn Auf, dan meminta mereka untuk

memilih salah seorang diantaranya menjadi khalifah. Setelah Umar ibn Khattab wafat,

tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Usman ibn Affan sebagai khalifah

ketiga, tentu saja melalui persaingan yang agak ketat dengan Ali ibn Abi Thalib14.

3] Masa Khalifah Usman ibn Affan [644 – 655 M]

Pemerintahan Usman ibn Affan berlangsung selama 12 tahun dan terjadi

perluasan wilayah kekuasaan dan da’wah sampai ke Armenia, Tunisia, Cyprus,

Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan berhasil

disebut. Ekspansi Islam pertama berhenti sampai di sini15.

Pada masa pemerintahan Usman ibn Affan, di kalangan umat Islam mulai terjadi perpecahan karena soal pemerintahan. Muncul perasaan tidak puas dan kecewa

terhadap sistem pemerintahannya. Kepemimpinan Usman ibn Affan memang sangat

berbeda dengan kepemimpinan Umar ibn Khattab, hal ini mungkin disebabkan

umurnya yang lanjut [diangkat dalam usia 70 tahun] dan sifatnya yang lemah lembut16.

Selain itu, salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat kecewa terhadap

kepemimpinan Usman adalah kebijakannya mengangkat keluarga dalam kedudukan

tinggi. Yang terpenting diantaranya adalah Marwan ibn Hakam dan dialah pada

dasarnya yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Usman hanya menyandang

gelar khalifah17.

Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting,

Usman laksana boneka di hadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan

terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan

dan harta kekayaan negara, oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh

Usman sendiri. Akhirnya pada tahun 35 H/655 M, Usman dibunuh oleh kaum

pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang kecewa18 terhadap kebijakan

pemerintahannya dan sebagai penggantinya adalah Ali ibn Abi Thalib. Jasa Khalifah

Usman diantaranya membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar

dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Usman juga membangun jalan-jalan,

jembatan-jembatan, mesjid-mesjid dan memperluas mesjid Nabi di Madinah19.

4] Masa khalifah Ali ibn Abi Thalib [656 – 661 M]

Setelah Usman ibn Affan wafat, masyatakat Islam beramai-ramai membait Ali ibn

Abi Thalib sebagai khalifah ke empat. Ali ibn Abi Thalib memerintah hanya enam tahun

dan nasibnya sama dengan khalifah Umar ibn Khattab dan Usman ibn Affan yaitu mati

terbunu. Selama masa pemerintahannya, Ali menghadapi berbagai tantangan dan

pergolakan, sehingga pada masa pemerintahannya tidak ada masa sedikit pun yang

dapat dikatakan stabil20.

Setelah menduduki jabatan sebagai khalifah, Ali ibn Abi Tahlib, mulai memecat

para gubernur yang diangkat oleh Usman. Ali, yakin bahwa pemberontakanpemberontakan

yang terjadi karena keteledoran mereka. Selain itu, dia juga menarik

kembali tanah yang dihadiakan Usman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil

pendapatannya kepada negara dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan

di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan pada masa khalifah Umar

ibn Khattab21.Ali ibn Abi Thalib mendapatkan tantangan dari pihak pendukung Usman Ibn

Affan, terutama Mu’awiah, Gubernur Damskus, dari golongan Talhah dan Zubeir di

Mekkah dan dari kaum Khawarij. Ali ibn Abi Thalib, menghadapi penberontakan

Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunu

Usman ibn Affan dan meraka menuntut bela terhadap darah Usman yang telah

ditumpahkan secara zalim. Ali sebenarnya ingin menghindari perang, sehingga Ali

mengirimkan surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk

menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan tersebut ditolah dan

pertempuran kedua belah pihak tidak dapat dihindari. Berkobarkan pertempuran yang

dahsat yang disebut dengan “Perang Jamal” [Perang Berunta] dan Aisyah [iteri Nabi]

terlibat dalam perang melawan Ali ibn Abi Thalib dengan menunggang unta. Ali ibn Abi

Thalib berhasil mengalahkan lawannya, Zubair dan Thalhah terbunuh ketika hendak

melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah22.

Kebijakan Ali ibn Abi Thalib, juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari

gubernur Damaskus Mu’awiyah yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi

yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan mereka. Jadi, setelah Ali ibn Abi

Thalib, berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, kemudian

Ali bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentaranya.

Pasukan Ali bertemu dengan pasukan Mu’awiyah di Shiffin dan pertempuran tidak

dapat dihindari. Pertempuran yang terjadi di sini antara Ali dengan Mu’awiyah dikenal

dengan nama “perang shiffin”. Perang ini diakhiri dengan tahkim [arbitrase], tapi

tahkim tersebut ternyata tidak menyelesaikan persoalan, bahkan menyebabkan

timbulnya golongan ketiga yaitu golongan al-Khawarij, orang-orang yang keluar dari

barisan Ali ibn Abi Thalib yang berbalik menentang Ali dan Mu’awiyah.

Diakhir ujung masa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib, umat Islam terpacah menjadi

tiga kekuatan politik, yaitu : [1] golongan Mu’awiyah, [2] golongan Syi’ah [pengikut] Ali,

dan [3] golongan al-Khawarij [kumpulan orang-orang yang keluar dari barisan Ali ibn

Abi Thalib]. Tanpaknya keadaan ini tidak menguntungkan Ali ibn Abi Thalib, sebab

pasukannya semakin lemah dan sementara posisi Mu’awiyah semakin kuat. Maka

pada tanggal 20 Ramadhan 40 H [660 M], Ali ibn Abi Thalib terbunu oleh salah

seorang anggota Khawarij.

Kedudukan Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah kemudian dijabat oleh anaknya

Hasan selama beberapa bulan. Tetapi kedudukan Hasan-pun lemah, sementara

Mu’awiyah semakin kuat dan akhirnya Hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian ini

dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik di bawah

Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Tetapi di sisi lain, perjanjian itu juga menguntungkan

Mu’awiyah yang menyebabkannya menjadi seorang penguasa absolut dalam Islam.

Maka tahun 41 H [661 M], tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah Islam sebagai

tahun Jama’ah [‘am jama’ah]23. Dari sisi tercatat sebagai sejarah berakhirnya apa

yang disebut dengan nama Khulafa’ur Rasyidin, dan kemudian sebagai awal

dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam.

Dari masa khulafa al-Rasidin ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan,

sebagai perkembangan pemikiran dan pedaban Islam, yaitu :

1. Setelah Rasul wafat muncul sistem pemerintahan Islam yang disebut dengan

Khalifah.

2. Sistem pemelihan khalifah, yaitu : Abu Bakar dipilih melalui musyawarah, Umar ibn

Khattab, melalui wasiat dari Abu Bakar, Usman ibn Affan, melalui musyawarah

enam orang sahabat untuk memilih, dan Ali ibn Abi Thalib, dibaiat langsung oleh

masyarakat Islam.

3. Kemajuan dari aspek perluasana kekuasaan dan da’wah serta aspek peradaban

Islam, yaitu pada masa Abu Bakar, perluasan wilayah kekuasaan dan da’wah

samapi ke Syria. Pada masa Umar ibn Khattab, perluasan wilayah kekuasaan dan

da’wah Islam meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria, dan sebagian besar wilayah

Persia dan Mesir. Selain perluasan wilayah, Umar ibn Khattab, juga melakukan

perbaikan pada system administrasi pemerintahan menjadi delapan wilayah

propinsi, diatur dan ditertibkan system pembayaran gaji dan pajak tanah,

pengadilan didirikan untuk memisahkan lembaga yudikatif dengan eksekuitf,

membangun system keamanan dengan dibentuk jawabatan keamanan [kepolisian],

dibentuk jawatan pekerjaan umum, mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang,

dan menentukan tahun hijrah. Pada masa Usman ibn Affan, membangun

bendungan untuk menjaga arus banjir, pengaturan pembagian air ke kota-kota,

membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, measjid-mesjid, termasuk

memperluas mesjid Nabi di Madinah. Pada masa Ali ibn Abi Thalib, secara politik

dan pemikiran mucul tiga golongan, yaitu: golongan Muawiyah, golongan syi’ah

[pengkut] Ali, dan golongan khawarij.

4. Ekspansi dan da’wah Islam ke negara-negara yang sangat jauh dari pusat

kekuasaan Islam dalam waktu tidak lebih dari setengah abad, merupakan

kemenagan yang menakjubkan dari suatu bangsa yang sebelum belum

mempunyai pengalaman politik yang memadai. Faktor-faktor yang menyebabkan

ekspansi dan da’wah Islam itu demikian cepat, antara lain adalah24: [1] Islam, di

samping merupakan ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan,

juga merupakan agama yang mementingkan soal pembentukan masyarakat. [2]

Dalam dada para sahabat Nabi tertanam keyakinan tebal tentang kewajiban

menyerukan ajaran-ajaran Islam [da’wah] ke seluruh penjuru dunia. Di samping itu,

suku-suku bangsa Arab gemar berperang. Oleh karena itu, semangat d’awah dan

kegemaran berperang tersebut membentuk suatu kesatuan yang padu dalam diri

umat Islam. [3] Bizantium dan Persia, dua kekuatan yang menguasai Timur Tengah

pada waktu itu, mulai memasuki masa kemunduran dan kelemahan, baik karena

sering terjadi peperangan antara kedua kekuatan tersebut maupun karena

persoalan-persoalan dalam negeri masing-masing negara tersebut. [4]

Pertentangan aliran agama di wilayah Bizantium mengakibatkan hilangnya

kemerdekaan beragama bagi rakyat. Rakyat tidak senang karena pihak kerajaan

memaksakan aliran yang dianutnya. Mereka juga tidak senang karena pajak yang

tinggi untuk biaya peperangan melawan Persia. [5] Islam datang ke daerah-daerah

yang dimasukinya dengan sikap simpati dan toleran, tidak memaksa rakyat untuk

mengubah agamanya dan masuk Islam. [6] Bangsa Sami di Syria dan Palestina

dan bangsa Hami di Mesir memandang bangsa Arab lebih dekat kepada mereka

daripada bangsa Eropa, Bizantium, yang memerintah mereka. [7] Mesir, Syria, dan

Irak adalah daerah-daerah yang kaya. Kekayaan itu membantu penguasa Islam

untuk membiayai ekspansi dan da’wah ke daerah yang lebih jauh.

Dengan demikian mulai dari masa Abu Bakar sampai kepada masa Ali

dinamakan periode Khilafah Rasyidin. Para khalifahnya disebut dengan al-khulafa’ alrasyidun,

[khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk]. Ciri masa ini adalah pada

khalifah betul-betul menurut teladan Nabi. Mereka dipilih melalui musyawarah atau

disebut dengan proses demokrasi25. Tetapi ada hal yang sangat menyedihkan dari

periode khulafah Rasyidin ini adalah khalifah Umar ibn Khattan, Usman ibn Affan, dan

Ali ibn Abi Thalib, meninggal dalam keadaan terbunu oleh lawan-lawan politik mereka

pada masa pemerintahan mereka. Kemudian setelah periode ini, pemerintahan Islam

berbentuk kerajaan dan kekuasaan diwariskan secara turun temurun. Khalifah pada

masa khilafah rasyidin tidak pernah bertindak sendiri ketika negara menghadapi

kesulitan, tetapi mereka selalu bermusyawarah dengan para sahabat dan pembesarpembesar

yang lain. Sedangkan pada masa kerajaan Islam, rajanya sering bertindak

otoriter.

b. Masa Dinasti Umayyah dan Abasiyah

Pada masa ini sistem pemerintahan Islam tidak lagi berbetuk khilafah tetapi

bernetuk kerajaan. Kekuasaan diwariskan secara turun temurun, sehingga

demokratis berubah menjadi monarchiheridetis [kerajaan turun temurun]. Dalam

sejarah perkembangan Islam ada dua kerajaan besar yang sangat popular yaitu

khilafah Bani Umayyah dan Bani Abasiyah.

1] Khilafah Bani Umayyah

Memasuki masa kekuasaan Muawiyah menjadi awal kekuasaan Bani Umayyah

dalam bentuk yang berbeda dengan masa khilafah rasyidin. Pemerintahan yang

bersifat demokratis pada masa khilafah rasyidin berubah menjadi monarchiheridetis

[kerajaan turun temurun]. Artinya, ada perubahan pemikiran politik dalam sistem

pemerintahan Islam. Sisi lain yang perlu dicermati adalah kekhalifahan Muawiyah

diperoleh melalui kekerasan, diplomasi, tipu daya dan tidak melalui musyawarah

dengan sistem pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun

temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyat untuk menyatakan setia

terhadap anaknya Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi ala Persia dan

Bizantium. Walaupun di satu sisi, Muawiyah tetap mempertahankan istilah khalifah,

namun dia memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan

jabatan tersebut. Muawaiyah menyebutnya Khalifah Allah dalam pengertian

“penguasa” yang diangkat oleh Allah26.

Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun. Ibu kota negara

dipindahkan Muawiyah dari ke Damaskus, tempat ia berkuasa sebagai gubernur

sebelumnya. Khalifah-khalifah besar dinasti Bani Umayyah adalah Muawiyah ibn Abi

Sufyan [661-680 M], Abd al-Malik ibn Marwan [685-705 M], al-Walid ibn Abdul Malik

[705-715 M], Umar ibn Abd al-Aziz [717 – 720 M], dan Hasyim ibn Abd al-Malik [724 –

743 M]27.

Pada masa Bani Umayyah, ekspansi dan da’wah Islam yang tehenti pada masa

khalifah Usman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib, dilanjutkan kembali oleh dinasti ini.

Perluasaan kekuasaan dan da’wah yang dilakukan dinasti Muawiyah, dimulai dari

menguasai Tunisia, kemudian di disebelah timur, Muawiyah menguasai daerah

Khurasan samapi ke sungai Oxus, Afganistan sampai ke Kabul, kota Bizantium dan

Konstantinopel. Ekspansi ketimur kemudian dilanjutkan oleh khalifah Abd al-Malik

dengan menguasai Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand, bahkan

sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke

Maltan28.

Ekspansi dan da’wah Islam ke Barat dilakukan oleh al-Walid ibn Abdul Malik.

Pada masa pemerintahan Walid merupakan masa ketenteraman, kemakmuran,

ketertiban dan umat Islam merasa hidup bahagia. Masa pemerintahan walid berjalan

kurang lebih sepuluh tahun dan tercatat suatu ekspediri militer dari Afrika Utara menuju

wilayah barat daya, benua Eropa pada tahun 711 M. Maka setelah al-Jazair dan

Marokko ditunduhkan, panglima perang Islam Tariq bin Ziyad menyebrangi selat

antara Marokko dengan benua Eropa selat Gibraltar [Jabal Tarqi]. Tentara Spanyol

dikalahkan dan Spanyol menjadi sasaran ekspansi dan da’wah Islam selanjutnya. Ibu

kota Spanyol, Kordova dengan mudah dikuasai, kemudian menyusul kota-kota lain

seperti Seville, Elvira, dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah

jatuhnya Kordova29. Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena

mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat

kekejaman penguasa.

Di zaman Umar ibn Abd al-Aziz, perluasan kekuasaan dilakukan ke Prancis

melalui pegunungan Piranee yang dipimpin oleh Rahman ibn Abdullah al-Ghafiqi dan

melanjutkan perluasan ke Bordeau, Poitiers. Dari sana al-Ghafiqi menyerang Tours,

dan dalam pertempuran yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi terbunu dan

pasukannya mundur ke Spanyol. Dengan keberhasil ekspansi dan da’wah Islam ke

beberapa daerah, baik ditimur maupun barat, wilayah kekuasaan dan da’wah Islam

pada masa Bani Umayyah sangat luas. Daerah-daerah kekuasaan dan da’wah Islam

meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia

Kecil, Persia, Afhanistan, Pakistan, Purkmenia, Uzbek dan Kirgis di Asia Tengah30.

Pada masa Dinasti Bani Umayyah, selain perluasan kekuasaan dan da’wah, Bani

Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang. Muawiyyah

mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang

lengkap dengan perlatannya di sepanjang jalan. Muawiyah juga berusaha menertibkan

angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan khusus

seorang hakim [qadhi – seorang spesialis dibidangnya] mulai berkembang menjadi

profesi tersendiri. Abd al-Malik, mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang

dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Pada tahun 659, Abd al-Malik

mencetak uang sendiri dengan menggunakan kata-kata dan tulisan Arab. Abd al-Malik,

berhasil melakukan pembenahan adiministrasi pemerintahan dan memberlakukan

bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Al-Walid ibn Abd

al-Malik [705-715] [putra Abd al-Malik], berkemauan keras dan berkemampuan

melaksanakan pembangunan. Al-Walid ibn Abd al-Malik, membangun panti-panti untuk

orang catat dan semua personil yang terlibat dalam kegiatan humanis ini digaji oleh

negara secara tetap31. Al-Walid ibn Abd al-Malik, juga membangun jalan-jalan raya

yang menghubungkan satu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedunggedung

pemerintah dan mesjid-mesjid yang megah32.

Keberhasil banyak dicapai oleh Dinasti Bani Umayyah, tetapi hal ini tidak berarti

persoalan politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Dalam perjalanan pemerintahan

Muawiyah ada hal-hal yang tidak ditaati dalam isi perjanjian dengan Hasan ibn Ali

ketika Muawiyah akan naik tahta khalifah. Isi perjanjian tersebut adalah “persoalan

penggantian pemimpin setelah Muawiyah diserahkan kepada pemilihan umat Islam”.

Maka api politik semakin membara ketika Muawiyah mendeklarasikan pengangkatan

anaknya Yazid sebagai putera mahkota yang menyebabkan munculnya gerakangerakan

oposisi di kalangan rakyat yang berakibat terjadinya perang saudara beberapa

kali dan berkelanjutan.

Analisis situasi politik. Sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau

menyatakan setia kepada Yazid ibn Muawiyah ketika naik tahta sebagai khalifah.

Kemudian Yazid ibn Muawiyah mengambil sikap dengan mengirimkan surat perintah

kepada gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil

sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali

Husein ibn Ali dan Abdullah ibn Zubair sebagai lawan politik. Bersamaan dengan itu,

Syi’ah [pengikut Ali] melakukan konsolidasi [penggabungan] kekuatan kembali.

Perlawanan terhadap Bani Umayyah dimulai oleh Husein ibn Ali, maka pada tahun 680

M, ia pindah dari Mekkah ke Kufah atar permintaan golongan Syi’ah yang ada di Irak,

sebab umat Islam ini tidak mengakui Yazid sebagai khalifah. Kemudian mereka

mengangkat Husein ibn Ali sebagai khalifah. Akhirnya pertempuran antara kekuatan

Yazid ibn Muawiyah dengan Husein ibn Ali tidak terelahkan dan dalam pertempuran

yang tidak seimbang di Karbela [sebuah daerah di dekat Kufah], tentara Husein

mengalami kekalahan dan Husein sendiri mati terbunuh dan yang sangat menyedihkan

kepala Husein dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedangkan tubuhnya dikubur di

Karbela33.

Tanpaknya gerakan politik dan perlawanan orang-orang Syi’ah tidak padam

dengan terbunuhnya Husein, tetapi gerakan mereka bahkan menjadi lebih keras dan

gigih dan tersebar luas. Banyak gerakan politik dan pemberontakan yang dipelopori

kaum Syi’ah dan yang termashur di antaranya adalah pemberontakan Mukhtar di Kufa

pada tahun 685-687 M. Mukhtar, mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum

Mawali [umat Islam bukan Arab] yang berasal dari Persia, Armenia dan lain-lain yang

dianggap sebagai warga negara kelas dua pada Dinasti Bani Umayyah. Tetapi,

Mukhtar sendiri terbunuh dalam melawan gerakan oposisi lainnya, gerakan Abdullah

ibn Zubair34, namun di satu sisi ibn Zubair juga tidak berhasil menghentikan gerakan

Syi’ah.

Gerakan politik dan perlawanan terhadap Bani Umayyah juga muncul dari

gerakan oposisi di Mekkah yaitu Abdullah ibn Zubair karena menolak sumpah setia

pada Yazid ibn Muawiyah. Abdullah ibn Zubair, baru menyatakan dirinya secara

terbuka sebagai khalifah setelah Husein Ibn Ali terbunu. Tentara Yazid, kemudian

mengepung Mekkah dan dua pasukan bertemu dan pertempuran pun tak terhindarkan.

Namun peperangan terhentiu karena khalifah Yazid wafat dan tentara Yazid ditarik

kembali ke Damaskus. Kekuatan dan gerakan Abdullah ibn Zubair baru dapat

dihancurkan pada masa khalifah Abd al-Malik. Tentara Abd al-Malik dipimpin al-Hajjaj

berangkat menuju Thaif kemudian ke Madinah dan meneruskan perjalanan ke Mekkah,

Ka’bah diserbu dan keluarga ibn Zubair dan sahabatnya melarikan diri, sementara ibn

Zubair melakukan perlawanan dan akhirnya mati terbunuh pada tahun 73 H – 692 M35.

Selain gerakan-gerakan di atas, gerakan-gerakan anarkis yang dilancarkan

kelompok Khawarij dan Syi’ah juga selalu dapat diredamkan. Maka dengan

keberhasilan memberantas gerakan-gerakan tersebut, membuat orientasi

pemerintahan dinasti Bani Umayyah dirahkan kepada pengamanan daerah-daerah

kekuasaan di wilayah timur [meliputi kota-kota di sekitas Asia Tengah] dan wilayah

Afrika begian utara dan bahkan membuka jalan untuk menaklukan Spanyol.

Hubungan pemerintah dengan golongan oposisi membaik pada masa

pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz [717 – 720 M]. Ketika dinobatkan sebagai

khalifah, Umar ibn Abd al-Aziz menyatakan bahwa akan “memperbaiki dan

meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah Islam lebih baik dari pada menambah

perluasan wilayah”36. Hal ini menunjukkan bahwa khalifah Umar ibn Abd al-Aziz

menentukan sikap perioritas utama adalah pembangunan dalam negeri. Meskinpun

masa pemerintahannya sangat singkat, tetapi Umar ibn Abd al-Aziz berhasil menjalin

hubungan baik dengan golongan Syi’ah. Selain itu, Umar ibn Abd al-Aziz juga memberi

kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan

dan kepercayaannya. Pajak diperingan dan kedudukan kaum mawali disejajarkan

dengan muslim Arab37.

Sepeninggal Umar ibn Abd al-Aziz, kekuasaan Bani Umayyah berada di bawah

khalifah Yazid ibn Abd al-Malik [720 – 742 M]. Khalifah Yazid ibn Abd al-Malik, sangat

gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat.

Masyarakat pada mada khalifah Umar ibn Abd al-Aziz, hidup dalam ketenteraman dan

kedamaian, sedangkan pada zaman Yazid ibn Abd al-Malik kedaan berubah menjadi

kacau. Maka dengan latar belakang kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan

konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid ibn Abd al-Malik. Kerusuhan terus berlanjut

hingga masa pemerintahan khalifah Hisyam ibn Abd Malik [724 – 743 M]. Pada masa

pemerintahan Hisyam ibn Abd Malik sebagai emberio berakhirnya dinasti Bani

Umayyah, karena muncul satu kekuatan baru dari kalangan Bani Hasyim yang

didukung oleh golongan mawali yang menjadi tantangan berat dan ancaman yang

sangat serius. Maka, dalam perkembangan berikutnya kekuatan baru tersebut mampu

menggulingkan dinasti Bani Umayyah dan menggantikannya dengan dinasti Bani

Abbas.

Menurut sejarawan, bahwa sebenarnya Hisyam ibn Abd al-Malik adalah seorang

khalifah yang kuat dan terampil, tetapi karane gerakan oposisi terlalu kuat sehingga

khalifah tidak berdaya mematahkan gerakan-gerakan oposisi tersebut. Kemudian

sepeninggal Hisyam ibn Abd al-Malik, muncul khalifah-khalifah Bani Umayyah yang

lemah dan juga bermoral buruk. Keadaan ini memperkuat gerakan-gerakan oposisi

dan akhirnya pada tahun 750 M, daulat Bani Umayyah digulingkan Bani Abbas yang

bersekutu dengan Abu Muslim al-Khurasani. Khalifah terakhir dari dinasti Bani

Umayyah yaitu Marwan bin Muhammad melarikan diri ke Mesir, kemudian ditangkap

dan dibunuh di Mesir38.

Dari perjelanan sejarah pemerintahan dan kekuasaan dinasti Bani Umayyah ini,

ada beberapa faktor kelemahan yang menyebabkan dan membawa kehancuran dinasti

tersebut. Faktor-faktor tersebut, antara lain : [1] Sistem pemerintahan khalifah melalui

garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan

senioritas. Ketidak jelasan sistem pergantian khalifah, menyababkan terjadinya

persaingan tidak sehat di kalngan anggota keluarga istina39. [2] Latar belakang

terbentuknya dinasti Bani Umayyah tidak dapat dipisahkan dari konflik-konflik politik

yang terjadi di masa Ali ibn Abi Thalib. Siswa-siwa pengkut Ali [Syi’ah] dan Khawarij

terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir

maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah.

Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.

[3] Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara

[Bani Qays] dan Arabia Selatan [Bani Kalb] yang sudah ada sejak zaman sebelum

Islam makin meruncing. Perselihan suku-suku ini mengakibatkan para penguasa Bani

Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalan persatuan dan kesatuan40. Selain itu,

sebagian besar golongan mawali [non Arab], terutama di Irak dan wilayah begian timur

lainnya, merasa tidak puas karena status mawali menggambarkan suatu inferioritas,

ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani

Umayyah41. [4] Lemahnya pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh

sikap hidup mewah di lingkungan istana, sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup

memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Selain itu,

golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap

perkembangan agama sangat kurang. [5] Penyabab utama tergulingnya kekuasaan

dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan

al-Abbas ibn Abd al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani

Hasyim dan golongan Syi’ah dan kaum mawali yang merasa dikelasduakan oleh

pemerintahan Bani Umayyah.

2] Khilafah Bani Abbas

Khilafah Abbasiyah melanjutkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Pendiri dan

penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad saw,

sehingga dinamakan khilafah Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdulah al-

Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas dan kekuasaannya

berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H [750 M] sampai

dengan 656 H [1258 M]. Pola pemerintahan yang diterapkan dinasti berbeda-beda

sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan perubahan pola

pemerintahan dan politik itu, para sejarawan membagi masa pemerintahan Bani Abbas

menjadi lima periode42, yaitu : [1] Periode Pertama [132 H/750 M – 232 H/847 M,

disebut periode pengaruh Persia Pertama. [2] Periode Kedua [232 H/847 M - 334

H/945 M], disebut masa pengaruh Turki pertama. [3] Periode Ketiga [334 H/945 M –

447 H/1055 M], masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khilafah

Abbasiyah dan periode ini disebut juga dengan masa pengaruh Persia kedua. [4]

Periode Keempat [447 H/1055 M – 590 H/1194 M], masa kekuasaan dinasti Bani

Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah dan masa ini disebut juga masa

pengaruh Turki kedua. [5] Periode Kelima [590 H/1194 M – 656 H/1258 M], masa

khilafah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar

kota Bagdad.

Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya.

Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat

kekuasaan politik dan agama sekaligus. Kemakmuran masyarakat mencapai tingkat

tertinggi. Pada periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan

filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir,

pemerintah dinasti Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat

dan ilmu pengetahuan terus berkembang43.

Pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat yaitu dari tahun

750 M sampai 754 M. Pembina sebenarnya adalah Abu Ja’far al-Mansur [754-775 M].

al-Mansur, sangat keras menghadapi lawan-lawannya dari Bani Umayyah, Khawarij,

dan juga Syi’ah yang merasa dikucilkan dari kekuasaan. Untuk mengamankan

kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan beginya satu persatu

disingkirkannya. Bahkan pamannya sendiri yaitu Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali

sebagai gubernur yang ditunjuk oleh khalifah sebelumnya di Syria dan Mesir, karena

tidak bersedia membaiatnya, keduanya dibunuh oleh Abu Muslim al-Khurasani atas

perintah al-Manshur dan Abu Muslim sendiri karena dikhawatirkan akan menjadi

pesaing dan membayakan baginya, dihukum mati pada tahun 755 M.

Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Untuk

menjaga stabilitas negara yang baru berdiri, al-Manshur memindahkan ibu kota negara

ke kota yang baru dibangunnya, Bagdad dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun

762 M. Di ibu kota yang baru ini al-Manshur melakukan koordinasi dan penertiban

pemerintahannya, mengangkat sejumlah personil untuk menduduki jabatan di lembaga

eksekutif dan yudikatif. Menciptakan tradisi baru dengan mengangkat Wazir sebagai

koordinator departemen44 dan wazir pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak,

berasal dari Balkh, Persia. Selain itu, al-Manshur juga membentuk lembaga protokol

negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara serta membenahi angkatan

bersenjata. Menunjuk Abd al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman

negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak dinasti Bani Umayyah ditingkatkan

perannya dengan ditambah tugas yaitu selain mengantar surat, juga ditugasi untuk

menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan

dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku

gubernur setempat kepada khalifah45.

Masa khalifah al-Manshur berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang

sebelumnya membebaskan diri dari pemerintahan pusat dan memantapkan keamanan

di daerah perbatasan. Merebut benteng-benten di Asia, kota Malatia, wilayah

Coppadocia dan Cicilia pada tahun 756-758 M. Ke utara, pasukannya melintasi

pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosporus. Berdamai dengan kaisar

Constantine V dan selama genjatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti

tahunan. Pasukannya berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus,

Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oksus dan India46.

Pada masa al-Manshur, terjadi perubahan pengertian khalifah. al-Manshur,

mengatakan “Inna ana Sultahan Allah fi ardhihi” [sesungguhnya saya adalah

kekuasaan Tuhan di bumi-Nya]. Dari sini, konsep khilafah dalam pendangannya dan

berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan “mandat dari Allah” dan bukan dari

manusia, bukan pula sekedar pelanjut Nabi sebagaimana pada masa al-Khulafa’ al-

Rasyadun. Selain itu, ada yang berbeda dengan khalifah-khalifah dinasti Bani

Umayyah, yaitu khalifah-khalifah Abbasiyah memakai “gelar tahta”, seperti al-Manshur

adalah “gelar tahta” Abu Ja’far, “gelar tahta” itu lebih popular dari pada nama

sebenarnya47.

Dasar-dasar pemerintahan daulat Bani Abbasiyah diletakan dan dibangun oleh

Abu al-Abbas dan Abu Ja’far al-Manshur. Puncak keemasan dari dinasti Bani

Abbasiyah berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu : [1] al-Mahdi [775-785 M], [2]

al-Hadi [775-786 M], [3] Harun al-Rasyid [786-809 M], [4] al-Ma’mun [813-833 M], [5]

al-Mu’tashim [833-842 M], [6] al-Wasiq [842-847 M], dan [7] al-Mutawakkil [847-861 M].

Katakan saja, pada masa khalifah al-Mahdi, perekonomian mulai meningkat dengan

peningkatan di sector pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan

seperti perak, emas, tembaga, dan besi. Selain itu, dagang transit antara Timur dan

Barat juga banyak membawa kekayaan dengan Bashrah menjadi pelabuhan yang

strategis dan penting48.

Popularitas daulat Bani Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun

al-Rasyid [786-809 M] dan putranya al-Ma’mun [813-833 M]. Pada masa ini, kekayaan

negara banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit,

lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya sudah terdapat

sekitar 800 orang dokter. Selain itu, permandian-permandian umum juga dibangun.

Maka dapat dikatakan bahwa tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada

zaman khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan,

dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa

inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.

Khalifah al-Ma’mun, pengganti al-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta

pada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penterjemahan buku-buku Yunani, dan al-

Ma’mun menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama

lain yang ahli. al-Ma’mun, banyak mendirikan sekolah dan salah satu karya besarnya

yang terpenting adalam pembangunan Bait al-Hikmah yang digunakan sebagai pusat

penerjemahan dan juga berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang

besar. Maka pada al-Ma’mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan

ilmu pengetahuan49.

Khalifah al-Mu’tashim [833-842 M], sebagai anak dari ibu yang berasal dari Turki,

mendatangkan orang-orang Turki untuk menjadi tentara pengawal50. Banyak

memberikan peluang kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan dan

keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Dinasti Abbasiyah,

mengadakan perubahan dalam sistem ketentaraan yaitu praktek orang-orang muslim

mengikuti perang sudah terhenti, tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit

professional. Dengan demikian, kekuatan militer dinasti Bani Abbasiyah menjadi

sangat kuat. Tetapi dalam periode ini, banyak tantangan dan gerakan politik yang

mengganggu stabilitas pemerintahan, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun

dari laur, seperti gerakan-gerakan dari sisa-sisa Bani Umayyah dan kalangan intern

Bani Abbas, revolusi al-Khawarij di Afrika Utara, gerakan Zindik di Persia, gerakan

Syi’ah, dan konflik antar bangsa dan aliran pemikiran keagamaan51, tetapi semua

gerakan tersebut dapat dipadamkan oleh pemerintahan Bani Abbas.

Dari paparan di atas, dapat dikatakan bahwa Dinasti Bani Abbasiyah pada

periode pertama lebih menekankan pembeinaan peradaban dan kebudayaan Islam

dari pada perluasan wilayah kekuasaan. Inilah perbedaan yang menonjol antara

dinasti Bani Abbasiyah dengan Bani Umayyah. Selain itu, ciri-ciri yang menonjol dari

dinasti Bani Abbasiyah yang tak terdapat pada zaman Bani Umayyah, adalah : [1]

Berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi jauh dari

pengaruh Arab. Sedangkan dinasti Umayyah sangat berorientasi kepada Arab. Ada

pengaruh kebudayaan dalam sistem pemerintahan Abbasiyah, yaitu : [a] pada periode

pertama dan ketiga pemerintahan Abbasiyah dipengaruhi oleh kebudayaan Persia

yang sangat kuat, [b] pada periode kedua dan keempat pemerintahan Abbasiyah,

bangsa Turki sangat dominan dalam politik dan pemerintahan dinasti Abbasiyah. [2]

Dalam penyelenggaraan negara, pada masa Bani Abbasiyah ada jabatan wazir, yang

membawahi kepala-kepala departemen. Sedangkan jabatan ini tidak ada di dalam

pemerintahan Bani Umayyah. [3] Ketenteraan professional baru terbentuk pada masa

pemerintahaan Bani Abbasiyah. Sbelumnya, pada dinasti Bani Umayyah belum ada

tentara khusus yang professional. [4] Perbedaan lain, pada masa Bani Umayyah

merupakan masa ekspansi daerah kekuasaan dan da’wah Islam, sedangkan pada

masa Bani Abbasiyah adalah masa pembentukan dan perkembangan kebudayaan dan

peradaban Islam52.

Puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa

pemerintahan Bani Abbasiyah. Akan tetapi, ini tidak berarti seluruhnya berawal dari

kreativitas penguasa Bani Abbasiyah sendiri, tetapi sebagian di antaranya sudah

dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Katakan saja, dalam bidang pendidikan,

misalnya diawal Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika

itu,lembaga-lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat53, yaitu: [1] Maktab/Kuttab dan

mesjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar

becaan, hitungan dan tulisan, dan tempat para rema belajar dasar-dasar ilmu agama,

seperti tafsir, hadis, fikih dan bahasa. [2] Tingkat pendalaman. Para pelajar yang ingin

menperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau

beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang

dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di mesjid-mesjid atau di

rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa, pendidikan dapat

berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli

ke istana.

Lembaga-lembaga tersebut berkembang pada masa pemerintahan Bani

Abbasiyah, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa

itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana

ada orang-orang yang membaca, menulis, dan berdiskusi54. Jadi, perkembangan

lembaga-lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan

kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa

Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani

Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Selain itu kemajuan yang

cicapai oleh dinasti Bani Abbasiyah, paling tidak ditentukan oleh dua hal, yaitu : [1]

Terjadinya asimilasi antara bansa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu

mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan

Bani Abbasiyah, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Maka terjadi

asimilasi yang berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Maka bangsa-bangsa itu

telah memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam.

Pengaruh Persia, sangat kuat dalam bidang pemerintahan dan di samping itu, bangsa

Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra55. Selain itu,

pengaruh India juga terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika, dan

astronomi56. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan

dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat. [2] Gerakan terjemahan, berlangsung

dalam tiga fase, yaitu : [a] Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun

al-Rasyid. Pada fase ini banyak yang diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang

astronomi dan manthiq. [b] Fase kedua, berlangsung mulai masa khalifah al-Ma’mun

hingga tahun 300 H, yaitu banyak buku-buku yang diterjemahkan adalah dalam bidang

filsafat dan kedokteran. [c] Fase ketiga, berlangsung setelah tahun 300 H, terutama

setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin

meluas57.

Pengaruh dari kebudayaan yang sudah maju tersebut terutama melalui gerakan

terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi

juga ilmu pengetahuan agama. Perkembangan yang pesat dalam bidang tafsir, artinya

sejak awal sudah dikenal dua metode penafsiran, yaitu : Pertama, metode tafsir bi alma’tsur,

yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi dan para

sahabat. Kedua, metode tafsir bi al-Ra’yi, yaitu metode rasional yang lebih banyak

bertumpu kepada pendapat dan pikiran daripada hadis dan pendapat sahabt. Kedua

metode tafsir ini memang berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah.

Akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi al-ra’yi [tafsir rasional],

dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal yang

sama juga terlihat dalam ilmu fikih dan terutama dalam ilmu teologi. Maka

perkembangan logika di kalangan umat Islam sangat mempengaruhi perkembangan

dua bidang ilmu tersebut58.

Imam-imam mazhab hokum yang empat juga muncul pada masa pemerintahan

Abbasiyah pertama. Imam Hanifah [700-767 M] dalam pendapat-pendapat hukumnya

dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah. Kota yang berada di tengahtengah

kebudayaan Persia yang hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat

kemajuan yang lebih tinggi59. Dengan demikian, mazhab ini lebih banyak

menggunakan pemikiran rasional daripada hadis. Muridnya dan sekaligus pelanjutnya,

Abu Yusuf menjadi Qodhi al-Qudhat di zaman Harun al-Rasyid. Sedangkan Imam

Malik [713-795 M] banyak menggunakan hadis dan tradisi masyarakat Madinah,

sehingga berbeda dengan Imam Abu Hanifah. Maka pendapat dua tokoh mazhab

hokum itu ditengahi oleh Imam Syafi’I [767-820 M] dan Imam Ahmad ibn Hanbal [780-

855 M]. Dalam perkembangan selanjutnya, selain empat pendiri empat mazhab besar

tersebut, pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah banyak muncul mujtahid mutlak

lain yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan mazhabnya pula,

tetapi karena pengikutnya tidak berkembang dan akhirnya pemikiran dan mazhab

tersebut hilang dengan sendirinya.

Aliran-aliran teologi sudah bermunculan pada masa Bani Umayyah, seperi

Khawarij, Murjiah, dan Mu’tazilah. Akan tetapi perkembangan pemikiran mereka masih

terbatas. Teologi rasional Mu’tazilah muncul di ujung pemerintahan Bani Umayyah,

namun pemikiran-pemikiran mereka yang lebih kompleks dan sempurna baru

dirumuskan pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah periode pertama, setelah terjadi

kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran rasional dalam Islam60.

Tokoh perumus pemikiran Mu’tazilah yang terbesar adalah Abu al-Huzail al-Allaf [135-

235 H/752-849 M] dan al-Nazzam [185-21 H/801-835 M]. Aliran Asy’ariyah, yang

merupakan aliran tradisional di bidang teologi yang dicetuskan oleh Abu al-Hasan al-

Asy’ari [873-935 M] yang juga lahir pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah ini juga

banyak sekali terpangaruh oleh logika Yunani. Hal ini dapat terjadi, karena al-Asy’ari

sebelumnya adalah pengikut aliran Mu’atazilah. Hal yang sama juga terjadi pula pada

bidang sastera. Penulisan hadis, juga berkembang pesat pada masa Bani Abbasiyah

dan hal ini mungkin saja disebabkan oleh tersedianya fasilitas dan transportasi,

sehingga memudahkan para pencari dan penulis hadis bekerja.

Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan

umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia, dan sejarah. Dalam

lapangan astronomi terkenal nama al-Farazi sebagai astronomi Islam yang pertama

kali menyusun astrolobe. Al-Fargani, dikenal di Eropa dengan namaal-Faragnus,

menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh

Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis61. Dalam bidang kedokteran dikenal nama

al-Razi dan Ibn Sina. Al-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit

cacar dengan measle. Al-Razi, di Eropa dikenal dengan nama Rhazes, mengarang

buku mengenai penyakit cacar dan campak, yang telah diterjemahkan ke dalam

bahasa Latin, Inggris dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Bukunya Al-Hawi, membahas

berbagai cabang ilmu kedokteran yang terdiri dari 20 jilid. Menurut Harun Nasution,

buku al-Razi yang berjudul al-Hawi merupakan salah satu dari kesembilan karangan

yang merupakan seluruh perpustakaan Fakultas Kedokteran Paris di tahun 1395 M62.

Selain itu, al-Razi, juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran

anak63. Perkembangan selanjutnya, ilmu kedokteran berada di tangan Ibn Sina yang

juga seorang filosof64 dan berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia.

Di antara karya Ibn Sina dalam ilmu kedokteran adalah al-Qanun fi al-Thibb yang

merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah. Bukunya yang

termashur adalah al-Syifa’ dan ensiklopedia tentang fisika65. Dalam bidang optika Abu

Ali al-Hasan ibn al-Haythami, yang namanya di Eropa menjadi Alhazen, terkenal

sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda

yang dilihat. Menurut teorinya yang kemudian ternyata terbukti kebenarannya,

bendalah yang mengirim cahaya ke mata dan karena menerima cahaya itu mata

melahat benda yang bersangkutan. Di bidang kimia, terkenal nama Jaabir ibn Hayyam

yang terkenal sebagai bapak al-kimia66. Dia berpendapat bahwa logam seperti timah,

besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan mencampurkan

suatu zat tertentu. Di bidang matematika, terkenal nama Muhammad ibn Masa al-

Khawarizmi yang juga mahir dalam bidang astronomi. Muhammad ibn Masa al-

Khawarizmi, yang menciptakan ilmu aljabar. Kata “aljabar” berasal dari judul bukunya,

al-Jabr wa al-Muqabalah67. Dalam bidang sejarah, terkenal nama al-Mas’udi dan dia

juga ahli dalam ilmu geografi dan di antara karyanya adalah Muruj al-Zaahab wa

Ma’adin al-Jawahir.

Dalam bidang filsafat, tokoh-tokoh yang terkenal anadalah al-Farabi, Ibn Sina,

dan Ibn Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa,

kenegaraan, etika, dan enterpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Ibn Sina, juga banyak

mengarang buku tentang filsafat dan yang terkenal di antaranya adalah al-Syifa’. Suatu

ensiklopedia tentang fisika, metafisika, dan matematika yang terdiri dari 18 jilid. Di

Eropa, Ibn Sina dengan tafsiran yang dikarangnya tentang filsafat Aristoteles lebih

terkenal daripada Al-Farabi. Ibn Rusyd, di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes,

yang banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di Barat terdapat

aliran yang disebut dengan Averroisme. Dalam lapangan penyusunan hadis-hadis Nabi

menjadi buku, terkenal nama Muslim dan Bukhari. Dalam bidang fikih atau hukum

Islam terkenal nama-nama, seperti Malik ibn Anas, al-Syafi’I, Abu Hanifah dan Ahmad

ibn Hanbal. Dalam bidang tafsir, terkenal nama al-Tabari [839-923 M] 68.

Kemajuan politik dan kebudayaan yang pernah dicapai oleh pemerintahan Islam

pada masa klasik, kemajuan yang tidak ada tandingannya di kala itu. Maka pada ini,

kemajuan politik berjalan seiring dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan,

sehingga Islam mencapai keemasan, kejayaan dan kegemilangan. Masa keemasan ini

mencapai puncaknya terutama pada masa pemerintahan dan kekuasaan Bani

Abbasiyah pada periode pertama. Tetapi pada perkembangan selanjutnya, setelah

periode ini berakhir, Islam mengalami masa kemunduran.

2. Masa Disintegrasi [1000 – 1250 M]

Disintegrasi dalam bidang politik sebenarnya telah mulai terjadi pada akhir dinasti

Bani Umayyah, tetapi memuncak di zaman dinasti Bani Abbasiyah terutrama sekali

pada khalifah-khalifah yang menjadi boneka dalam tangan tentara pengawal. Daerahdaerah

yang jauh letaknya dari pusat pemerintahan di Damaskus dan kemudian

Bagdad melepaskaan diri dari kekuasaan khalifah dipusat dan bermunculan dinastidinasti

kecil69.

Dalam periode pertama, sebenarnya banyak tantangan dan gangguan yang

dihadapi dinasti Abbasiyah. Beberapa gerakan politik yang merongrong pemerintahan

dan mengganggu stabilitas mucul di mana-mana, baik gerakan dari kalangan intern

Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Namun, semua gerekan tersebut dapat diatasi

dengan baik oleh pemerintahan Bani Abbasiyah. Keberhasilan Dinasti Bani Abbasiyah

dalam nenanggulangi gejolak dalam negeri, semakin memantapkan posisi dan

kedudukan mereka sebagai pemimpin yang tangguh. Tetapi keadaan ini sangat

berbeda dengan priode sesudahnya yaitu setelah periode pertama belalu, para

khalifah berada dalam kemewahan, tetapi sangat lemah, dan mereka berada di bawah

pengaruh kekuasaan yang lain70.

Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai

dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup

mewah, bahkan cenderung mencolok. Setiap khalifah cenderung ingin lebih mewah

dari pendahulunya. Kehidupan mewah khalifah-khalifah ini juga ditiru oleh para

hartawan dan anak-anak pejabat. Kecenderungan kemewahan-mewah, ditambah

dengan kelemahan khalifah dan faktor lainnya menyebabkan roda pemerintahan

terganggu dan rakyat menjadi miskin. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara

professional asal Trki yang semula diangkat oleh khalifah al-Mu’tashim untuk

mengambil kendali pemerintahan. Usaha mereka berhasil, sehingga kekuasaan

sesungguhnya berada di tangan mereka, sementara kekuasaan Bani Abbasiyah mulai

pudar dan ini merupakan awal dari keruntuhan dinasti Bani Abbasiyah, meskipun

setelah itu usianya masih dapat bertahan lebih dari empat ratus tahun71.

Kebijakan khalifah al-Mu’tashim terhadap unsur Turki, dilatarbelakangi oleh

adanya persaiangan antar golongan Arab dan Persia pada masa khalifah al-Ma’mun

dan sebelumnya. Perebutan kekuasaan antara al-Amin dan al-Ma’mun juga

dilatarbelakangi dan diperkuat oleh persaingan antara golongan Arab yang mendukung

al-Amin dan golongan Persia yang mendukung al-Ma’mun72. Jadi masuknya unsur

Turki dalam pemerintahan Bani Abbasiyah semakin menambah persaingan antar

bangsa. Tetapi al-Mu’tashim dan khalifah sesudahnya al-Watsiq mampu

pengendalikan mereka. Akan tetapi, pada khalifah al-Mutawakkil adalah khalifah yang

lemah dan merupakan awal kemunduran politik Bani Abbasiyah. Pada masa

pemerintahannya tentara Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat dan setelah al-

Mutawakkil wafat, mereka yang mengendalikan untuk memilih dan mengangkat

khalifah. Kekuasaan tidak lagi berada di tangan Bani Abbas, meskipun mereka tetap

memegang jabatan khalifah. Sebanranya, ada usaha untuk melepaskan diri dari para

perwira Turki, tetapi selalu gagal. Dari dua belas khalifah pada periode kedua ini,

hanya empat orang yang wafat dengan wajar, selebihnya kalau bukan dibunuh,

mereka ditunkan dari tahta dengan paksa73. Dengan demikian, wibawa khalifah

merosot tajam. Maka setelah tentara Turki lemah dengan sendirinya, di daerah-daerah

muncul tokoh-tokoh kuat yang kemudian memerdekakan diri dari kekuasaan pusat dan

mendirikan dinasti-dinasti kecil. Inilah permulaan mada disintegrasi dalam sejarah

politik Islam74.

Dari uraian di atas, dapat dicermati beberapa sebab kemunduran pemerintahan

Bani Abbasiyah, adalah :

1. Masa disintegrasi ini terjadi setelah pemerintahan periode pertama Bani Abbasiyah

mencapai masa keemasannya. Pada masa berikutnya pemerintahan dinasti ini

mulai menurun, terutama di bidang politik. Dimana salah satu sebabnya adalah

kecenderungan penguasa untuk hidup mewah dan kelemahan khalifah dalam

memimpin roda pemerintahan.

2. Dinasti-dinasti75 yang memerdekan diri dari Baghdad, akibat dari kebijakan yang

lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada

persoalan politik. Propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari

genggaman penguasa Bani Abbas dengan berbagai cara, yaitu : [1]

pemberontakan yang dilakukan oleh pemimpin lokal dan mereka berhasil

memperoleh kemerdekaan penuh, seperti daulat Umayyah di Spanyol dan

Idrisiyah76 di Marokko, [2] seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah,

kedudukannya semakin bertambah kuat, seperti daulat Aghlabiyah di Tunisia dan

Thahiriyyah di Khurasan. [3] Bani Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Marokko,

propinsi-propinsi itu pada mulanya tetap patuh membayar upeti, karena

pemerintahan Baghdad stabil dan khalifah mampu mengatsi pergolakan yang

muncul. Tetapi pada saat wibawa khalifah sudah mulai lemah dan memudar,

mereka melepaskan diri dari pemerintahan Baghdad, bahkan mereka

menggerogoti kekuasaan khalifah dan berusaha menguasai khalifah itu sendiri.

3. Keruntuhan kekuasaan Bani Abbasiyah mulai terlihat sejak awal kesembilan.

Fenomena ini muncul bersamaan dengan datangnya pemimpin-pemimpin yang

memiliki kekuatan militer di propinsi-propinsi tertentu yang membuat mereka kuat

dan benar-benar independen77. Sebab, kekuasaan militer Abbasiyah pada saat itu

75 Dinasti-dinasti yang lahir dan melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khalifah Abbasiyah, diantaranya adalah

: Pertama, Dari berbangsa Persia, diantaranya : [a] Thahiriyyah di Khurusan [205-259 H/820-872 M], [b] Shafariyah di Fars

[254-290 H/868-901 M], [c] Samaniyah di Transoxania [261-389 H/873-998 M], [d] Sajiyyah di Azerbaijan [266-318 H/878-

930 M], [e] Buwaihiyyah, bahkan sampai menguasai Baghdad [320-447 H/932-1055 M] [Jurji Zaidan,1978, History of

Islamic Civilization, Kitab Bhavan, New Delhi, hlm. 240., dalam Badri Yatim, 1999, hlm. 65]. Kedua, Berbangsa Turki,

diantaranya : [a] Thuluniyah di Mesir [254-292 H/837-903 M], [b] Ikhsyidiyah di Turkistan [320-560 H/932-1163 M], [c]

Ghaznawiyah di Afganistan [351-585 H/962-1189 M], dan [d] Dinati Seljuk dan cabang-cabangnya : [1] Seljuk besar atau

Seljuk Agung, didirikan oleh Rukn al-Din Abu Thalib Tuqhrul Bek ibn Mikail ibn Seljuk ibn Tuqaq. Seljuk ini menguasai

Baghdad dan memerintah selama sekitar 93 tahun [429-522 H/1037-1127 M]. [2] Seljuk Kirman di Kirman [433-583 H/1040-

1187 M]. [3] Seljuk Syria atau Syam di Syria [487-511 H/1094-1117 M]. [4] Seljuk Irak di Irak dan Kurdistan [511-590

H/1117-1194 M]. [5] Seljuk Rum atau Asia kecil di Asia Kecil [470-700 H/1077-1299 M] [Jurji Zaidan,1978, hlm. 242-244.,

dalam Badri Yatim, 1999, hlm. 65]. Ketiga, Berbangsa Kurdi, diantaranya : [a] al-Barzuqani [348-406 H/959-1015 M].

[b] Abu Ali [380-489 H/990-1095 M]. [c] Ayubiyah [564-648 H/1167-1250 M]. Keempat, Bangsa Arab, diantaranya : [a]

Idrisiyyah di Marokko [172-375 H/788-985 M]. [b] Aghlabiyyah di Tunisia [184-289 H/800-900 M]. [c] Dulafiyah di

Kurdistan [210-285 H/825-898 M]. [d] Alawiyah di Tabaristan [250-316 H/864-928 M]. [e] Hamdaniyah di Aleppo dan

Maushil [317-394 H/929-1002 M]. [f] Mazyadiyyah di Hillah [403-545 H/1011-1150 M]. [g] Ukailiyyah di Maushil [386-

489 H/996-1085 M]. [h] Mairdasiyyah di Aleppo [414-472 H/1023-1079 M]. Kelima, yang mengaku dirinya sebagai

khalifah, yaitu : [a] Umawiyah di Spanyol, dan Fathimiyah di Mesir [Jurji Zaidan,1978, hlm. 247-263., dalam Badri

Yatim, 1999, hlm. 65-66]. Dari latar belakang lahir dinasti-dinasti, terlihat jelas ada persaingan antarbangsa, terutama

antara Arab, Persia, dan Turki. Selain itu, lahirnya dinasti ini juga dilatarbelakangi oleh paham keagamaan dan ada yang

berlatarbelakang Syi’ah dan Sunni.

76 Idris ibn Abdullah adalah salah satu dari keturunan Ali dapat membentuk Kerajaan Idrisi yang bertahan dari tahun 788 M

sampai tahun 974 M, dengan Fas [Fez] sebagai ibu kota. Di Tunisia dinasti Aghlabi berkuasa dari tahun 800 M sampai

969 M. Kerajaan ini dibentuk oleh Ibrahim ibn Aghlab, Gubernur yang diangkat oleh Harun al-Rasyid [Harun Nasution,

1985, hlm. 75].

77 W. Montgomery Watt, 1988, Politik Islam dalam Lintasan Sejarah, P3M, Jakarta, hlm. 152.

mulai mengalami kemunduran dan sebagai pengganti, para penguasa Abbasiyah

mempekerjakan orang-orang professional di bidang kemiliteran, khususnya tentara

Turki. Pengangkatan anggota meliter Turki ini, dalam perkembangan selanjutnya

ternyata menjadi ancaman besar terhadap kekuasaan khalifah.

4. Pada periode pertama pemerintahan dinasi Abbasiyah, sudah muncul fanatisme

kebangsaan berupa gerakan syu’ubiyah [kebangsaan/anti Arab]. Gerakan inilah

yang banyak memberikan inspirasi terhadap gerakan politik dan persoalanpersoalan

keagamaan. Nampaknya, para khalifah Abbasiyah tidak sadar akan

bahaya politik dari fanatisme kebangsaan dan aliran keagamaan itu. Fanatisme ini,

berkembang dalam hampir semua aspek kehidupan, seperti dalam kesusasteraan

dan karya-karya ilmiah, tetapi penguasa Abbasiyah tidak bersungguh-sungguh

menghapuskan fanatisme tersebut, sehingga ada di antara mereka justru

melibatkan diri dalam konflik kebangsaan dan keagamaan78.

5. Faktor-faktor penting lain yang menyebabkan kemunduran Bani Abbasiyah pada

periode ini, sehingga banyak daerah memerdekan diri adalah : [1] Luasnya wilayah

kekuasaan daulat Abbasiyah, sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit

dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para

penguasa dan pelaksana pemerintah sangat rendah. [2] Dengan profesionalisme

militer, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi. [3] Keuangan negara

sangat sulit, karena biaya yang dikeluarkan untuk militer bayaran sangat besar.

Maka pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggung memaksa

pengiriman pajak ke Baghdad79.

6. Perebutan Kekuasaan di Pusat Pemerintahan. Faktor lain yang menyebabkan

peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat

pemerintahan. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan

sebelumnya. Membiarkan jabatan tetap dipegang oleh Bani Abbas, karena khalifah

sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu

gugat lagi, sedangkan kekusaan dapat didirikan di pusat maupun daerah yang jauh

dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka.

7. Perang Salib [perang suci] ini terjadi pada tahun 1095, saat Paus Urbanus II

berseru kepada Umat Kristen di Eropa untuk melakukan perang suci80,

memperoleh kembali keleluasaan berziarah di Baitul Maqdis yang dikuasai oleh

Penguasa Seljuk yang menetapkan beberapa peraturan yang memberatkan bagi

Umat kristen yang hendak berziarah ke sana. Perag Salib ini, dipicu oleh peristiwa

penting dalam gerakan ekspansi yang dilakukan oleh Alp Arselan adalah peristiwa

Manzikart, tahun 464 H [1017 M]. Tentara Alp Arselan yang hanya berkekuatan

15.000 prajurit, dalam peristiwa itu berhasil mengalahkan tentara Romawi, Ghuz,

al-Akraj, al-Hajr, Perancis, dan Armenia. Peristiwa besar ini menanmkan benih

permusuhan dan kebencian orang-orang Kristen terhadap umat Islam, yang

kemudian mencetuskan Perang Salib. Kebencian ini bertambah setelah dinasti

Seljuk dapat merebut Bait al-Maqdis pada tahun 471 H dari kekuasaan dinasti

Fathimiyah yang berkedudukan di Mesir. Kemudian penguasa Seljuk menerapkan

beberapa peraturan bagi umat Kristen untuk berziarah ke Bait al-Maqdis dan

peraturan itu dirasakan sangat menulitkan umat Kristen. Maka untuk memperoleh

kembali keleluasan berziarah ke tanah suci Kristen, pada tahun 1095 M, Paus

Urbanus II berseru kepada umat Kristen di Eropa supaya melakukan perang suci.

III. LEMBAR LATIHAN

Pada lembar latihan ini, mahasiswa diminta untuk menjawab atau memecahkan

masalah pada akhir kuliah, sebagai berikut.

1. Kemukakan sistem penggantian khalifah pada zaman Khulafa al-Rasyidin

2. Kemajuan apa yang dicapai empat khalifah al-Rasyidin?

3. Kemukakan Kebijakan Ali ibn Abi Thalib, yang mengakibatkan perlawanan

Mu’awiyah!

4. Diakhir pemerintahan khalifah Ali ibn Abi Thalib muncul tiga golongan.

Kemukakan tiga golongan tersebut dan kemukakan gerakan-gerakan golongan

tersebut!

5. Kemukakan beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai perkembangan

pemikiran dan peradaban Islam pada masa khulafa al-Rasyidin!

6. Faktor-faktor apasajakah yang menyebabkan ekspansi dan da’wah Islam

demikian cepat?

7. Bagaimana model sistem pemerintahan Islam setelah periode khulafa al-

Rasyidin!

8. Apa yang menyebabkan golongan khawarij keluar dari barisan khalifah Ali ibn

Abi Thalib?

9. Kemukakan kemajuan yang dicapai pada masa dinasti bani Umayyah!

10. Kemukakan kemajuan yang dicapai dinasti bani Abbasiyah!

11. Hal-hal apasajakah yang menonjol dari kemajuan dua diansti tersebut yang

merupakan perbedaan dari keduanya?

Silahkan saudara latihan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, agar memudahkan saudara

ketika mengikuti Ujian Semestes.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar