Kamis, 21 April 2011

STUDI HADIS : DARI ‘SUNNAH YANG HIDUP’ KE BENTUK VERBAL

STUDI HADIS : DARI ‘SUNNAH YANG HIDUP’ KE BENTUK VERBAL

( Sebuah Pendekatan Sejarah)

Oleh : Anjar Nugroho

A. Pendahuluan

Sejak wafatnya Muhammad Rasulullah s.a.w., persoalan ilmiah yang dihadapi para sahabat adalah persoalan kodifikasi al-Qur’an dalam satu mushhaf. Persoalan kodifikasi inilah yang menjadi wacana pasca “kepergian” Nabi s.a.w. di samping berbagai persoalan yang ikut menyemarakkan konstelasi kehidupan umat Islam pada waktu itu. Pada generasi selanjutnya, yakni di masa tabiinn, kodifikasi al-Qur’an semuanya disandarkan atau dinisbatkan pada diri Rasulullah s.a.w., yaitu berupa kerkataan, perbuatan, dan taqrirnya, yang disebut hadis atau sunnah.

Dalam kodifikasi al-Qur’an, para sahabat r.a. tidak menemukan banyak kendala kerena tugas panitia kodifikasi hanya mengumpulkan naskah-naskah al-Qur’an yang sudah ada di tangan para sahabat r.a. untuk disesuaikan dengan hafalan para sahabat lainnya yang secara mutawatir mereka terima dari Nabi dan secara ilmiah dapat dipastikan sebagai ayat-ayat al-Qur’an.

Pengkodifikasian al-Qur’an berbeda dengan pengkodifikasian al-hadis yang banyak diriwayatkan secara ahad, secara individual1).Hadis ternyata lebih banyak dipelihara dalam ingatan daripada dalam catatan yang dimiliki oleh para sahabat, yang pada masanya diijinkan Nabi untuk mencatat hadis. Hadis yang ada dalam catatan dan ingatan mereka tersebar secara luas ke berbagai daerah Islam yang dikunjungi oleh para sahabat, baik untuk keperluan jihad, dakwah maupun niaga/perdagangan..

Untuk menghimpun hadis-hadis itu diperlukan ketelitian yang sangat tinggi; yakni berupa kerangka ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang akurat, agar yang dinamakan hadis itu bebar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah2). Interval waktu yang cukup lama antara Nabi s.a.w. dengan para penghimpun hadis, dan perbedan visi politik serta madzab pada abad-abad berikutnya, merupakan dimensilain yang menambah rumitnya pembuktian status hadis oleh ulama dari generasi ke generasi.

Fokus Kajian makalah ini adalah memotret sejarah perkembangan hadis dari masa awal (Rasulullah) hingga para mukharrij (peneliti/kolektor hadis). Kajian ini penting dan mendasar sebelum mengkaji secara lebih jauh tentang hadis. Prof. Hasbi ash-Shidieqy (1987) dalam buku Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, menyatakan perlunya mempelajari sejarah hadis, yang kata Hasbi, dengan memeriksa periode-periode yang telah dilalui oleh hadis (sejarah perkembangannya), maka dapat mengetahui proses pertumbuhan dan perkembangan hadis dari masa ke masa yang begitu dinamis dan kompleks. Mempelajari sejarah perkembangan hadis, baik perkembangan riwayat-riwayatnya maupun pembukuannya, sangat diperlukan karena dipandang menjadi satu kesatuan dengan studi hadis3).

Lebih lanjut Hasbi menyatakan bahwa jika dipelajari dengan seksama situasi dan keadaan historis (historical situation) perjalanan dan perkembangan hadis sejak dari permualaan pertumbuhan hingga sekarang, dapat disimpulkan bahwa hadis telah melalui enam masa/periode, dan saat ini telah memasuki periode yang enam4).

Periode pertama, yaitu saat wahyu dan pembentukan hukum dan dasar-dasarnya dari permulaan kenabian hingga beliau wafat pada tahun 11 Hijriyah. Periode kedua, masa khulâfa ar-râsyidin yang dikenal dengan masa pembatasan riwayat. Periode ketiga, masa perkembangan riwayat, yaitu masa sahabat kecil dan tabiin besar. Periode keempat, masa pembukuan hadis (permulaan abad kedua Hijriyah). Periode kelima, masa pentashhikan dan penyaringan (awal abad ketiga). Periode keenam, masa memilah kitab-kitab hadis dan menyusun kitab-kitab jami’ yang khusus (awal abad keenam sampai tahun 656 h.) Periode ketuju, masa membuat syarah, kitab-kitab takhrij, pengumpulan hadis-hadis hukum dan membuat kitab-kitab jami’ yang umum.

B. Hadis pada Masa Rasulullah s.a.w.

Bahwa hadis telah telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat diragukan lagi. Sesunggunhya semasa hidup Rasulullah adalah wajar sekali jika kaum muslimin (para sahabat r.a.) memperhatikan apa saja yang dilakukan maupun yang diucapkan oleh beliau, terutamas sekali yang berkaitan dengan fatwa-fatwa keagamaan. Orang-orang Arab yang suka menghafal dan syair-syair dari para penyair mereka, ramalan-ramalan dari peramal mereka dan pernyataan-pernyataan dari para hakim, tidak mungkin lengah untuk mengisahkan kembali perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan dari seorang yang mereka akui sebagai seorang Rasul Allah5).

Di samping sebagai utusan Allah, Nabi adalah panutan dan tokoh masyarakat. Selanjutnya dalam kapasitasnya sebagai apa saja (Rasul, pemimpin masyarakat, panglima perang, kepala rumah tanggal, teman) maka, tingkah laku, ucapan dan petunjuknya disebut sebagai ajaran Islam. Beliau sendiri sadar sepenuhnya bahwa agama yang dibawanya harus disampaikan dan terwujud secara kongkret dalam kehidupan nyata sehari-hari. Karena itu, setiap kali ada kesempatan Nabi memanfaatkannya berdialog dengan para sahabat dengan berbagai media, dan para sahabat juga memanfaatkan hakl itu untuk lebih mendalami ajaran Islam6).

Meraka para sahabat tidak sekedar mengisahkan kembali pengamatan mereka terhadap Rasul, tetapi apa yang didapat dari Rasul benar-benar menjadi petunjuk dan pedoman dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sebagian sahabat sengaja mendatangi Rasul dari tempat tinggal mereka yang jauh hanya sekadar menanyakan sesuatu hukum syar’i.7) Dikisahkan pula para Kabilah yang tinggal jauh dari kota Madinah secara rutin mengutus salah seorang anggotanya pergi mendatangi Nabi untuk mempelajari hukum-hukum agama. Dan sepulang mereka kembali ke kampungnya, mereka segera mengajari kawan-kawannya.

Hadis Nabi yang sudah diterima oleh para sahabat, ada yang dihafal dan ada pula yang dicatat. Sahabat yang banyak mengahafal hadis dapat disebut misalnya Abu Hurairah 8) , sedangkan sahabat Nabi yang membuat catatan hadis diantaranya ; Abu Bakar Shidiq, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Amr bin Ash, dan Abdullah bin Abbas9).

Minat yang besar dari para sahabat Nabi untuk menerima dan menyampaikan hadis disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya : Pertama, Dinyatakan secara tegas oleh Allah dalam al-Qur’an, bahwa Nabi Muhammad adalah panutan utama (uswah hasanah) yang harus diikuti oleh orang-orang beriman dan sebagai utusan Allah yang harus ditaati oleh mereka10).

Kedua, Allah dan Rasul-Nya memberikan penghargaan yang tinggi kepada mereka yang berpengetahuan11). Ajaran ini telah mendorong para sahabat untuk berusaha memperoleh pengetahuan yang banyak, yang pada zaman Nabi, sumber pengetahuan adalah Nabisendiri.

Ketiga, Nabi memerintahkan para sahabatnya untuk menyampaikan pengajaran kepada mereka yang tidak hadir. Nabi menyatakan bahwa boleh jadi orang yang tidak hadir akan lebih paham daripada mereka yang hadir mendengarkan langsung dari Nabi12). Perintah ini telah mendorong para sahabat untuk menyebarkan apa yang mereka peroleh dari Nabi.

Setelah melihat perkembangan penyebaran hadis pada masa itu, Nabi tampaknya cukup khawatir para sahabat terjerumus dalam penyampaian berita yang tidak benar, karena pada umumnya manusia cenderung untuk “membumbui” berita yang ingin disampaikannya. Di samping itu masyarakat pada umumnya tertarik kepada berita yang sensasional dan didramatisir sedemikian rupa13).

Di samping itu Nabi juga khawatir jika fokus utama kajian sahabat bergeser dari al-Qur’an ke hadis, bahkan tidak mungkin ada percampuran (infiltrasi) baik secara langsung maupun tidak langsung ayat-ayat al-Qur’an oleh teks maupun makna hadis. Kekhawatiran dinyatakan langsung oleh Nabi dengan sabdanya :”Janganlah kalian tulis apa yang kalian dengan dariku, selain al-Qur’an.Barangsiapa yang telah menulis sesuatu yang selain al-Qur’an hendaklah dihapus” (HR. Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri).

Lebih jauh Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan makna filosofis atau faktor-faktor yang melatarbelakangi larangan penulisan teks kenabian selain al-Qur’an yang menurut dia adalah : Pertama, mentadwinkan ucapan-ucapan Nabi, amalan-amalannya, muamalah-muamalahnya adalah sesuatu yang sulit, karena memerlukan beberapa sahabat yang terus-menerus harus menyertai Nabi untuk menulis segala yang terkait dengan tersebut di atas, padahal orang yang dapat menulis pada saat itu tidak banyak (baca:masyarakat ummiyyun).

Kedua, sebagaimana telah disinggung diatas, orang Arab saat itu jarang yang pandai menulis, tapi di sisi lain mereka sangat kuat berpegang pada hafalan dalam segala hal yang mereka ingin menghafalnya. Tetapi ada catatan Hasbi di sisi, mereka-orang Arab itu- mudah untuk mengafal al-Qur’an yang turun secara berangsur-angsur, dibanding menghafal hadis. Dan ketiga, Karena dikhawatirkan akar terjadi percampuran antara teks al-Qur’an dan hadis jika terjadi penulisan hadis.14)

Akan tetapi Muh. Zuhri15) mengutip hasil penelitian yang telah dilakukan Prof. al-A’zami, menyatakan bahwa semua hadis yang menyebut larangan penulisan hadis itu dha’if kecuali hadis riwayat Abu Sa’id al-Khudri jalur dari Hammam, dari Zaid bin Aslam, dari Atha’ bin Yasir, dari Abu Said al-Khudri. Redaksi yang sama dari jalur yang lain dinyatakan dha’if. Sebuah hadis yang sahih ini pun diragukan, apakan marfu’ atau hanya ucapan Abu Said sendiri. Al-A’zami setelah mengadakan penelitian seksama, berkesimpulan, andai hadis ini marfu’, maka dalam konteks larangan penulisan hadis bersama al-Qur’an dalam satu buku.

Al-A’zami membantah pendapat bahwa para sahabat dilarang menulis karena kebanyakan mereka tidak dapat menulis. Banyaknya sekretaris al-Qur’an menggambarkan banyaknya sahabat yang pandai menulis. Andaikata kebanyakan mereka tidak pandai menulis, tidak perlu Nabi menyebut pelarangan menulis Hadis, karena dengan sendirinya mereka tidak menulis16).

Apakah benar hadis sudah ditulis sejak masa Rasulullah s.a.w.? Fazlur Rahman berpendapat hadis belum ada pada periode Rasulullah. Yang ada kala itu adalah sunnah – yaitu praktek keagamaan yang dilakukan secara tradisi karena keteladanan Nabi-, yang setelah Rasulullah wafat, berkembanglah penafsiran individu terhadap teladan Rasul itu. Boleh jadi sebagian sahabat memandang perilaku tertentu sebagai sunnah, tetapi sahabat yang lain, tidak menganggapnya sunnah. Kemudian sunnah yang sudah disepakati kebanyakan orang ini, diekspresikan dalam hadis. Hadis adalah verbalisasi sunnah. Sayangnya, menurut Fazlur Rahman, formalisasi sunnah ke dalam hadis ini telah memasung proses kreatif sunnah dan menjerat para ulama Islam pada rumus-rumus yang kaku17).

Namun, berlawanan dengan tesis Fazlur Rahman, Jalaluddin Rakhmad18) berpendapat bahwa yang pertama kali beredar di kalangan kaum Muslim kala itu adalah hadis. Banyak riwayat menunjukkan perhatian para sahabat untuk menghafal ucapan-ucapan Nabi atau menyampaikan apa yang dilakukan Nabi s.a.w. Ada diantara mereka yang menuliskannya. Misalnya Ali r.a., seperti diriwayatkan Bukhari, mempunyai mushhaf di luar al-Qur’an, yang menghimpun keputusan-keputusan hukum yang pernah dibuat Nabi. Abdullah bin Amr bin Ash juga dilaporkan rajin mencatat apa yang didengarnya dari Nabi. ‘Aisyah juga menyimpan catatan-catatan hadis (mungkin ditulis Abu Bakar). Umar sendiri pernah mengumpulkan catatan-catatan hadis yang berserakan dan membakarnya.

C. Hadis Pada Masa Sahabat dan Tabi’in

Setelah Nabi wafat (11 H/632 M), kendali kepemimpinan umat Islam berada di tangan sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar ash-Shiddiq (wafat 13 H/634 M), kemudian disusul oleh Umar bin Khaththab (wafat 23 H/644 M), Usman bin Affan (wafat 35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/611 M). keempat khalifah ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-Khulafau al-Rasyidin dan periodenya disebut dengan zaman sahabat besar19) (Fazlur Rahman menyebut sahabat senior).

Sesudah Ali bin Abi Thalib wafat, maka berakhirlah era sahabat besar dan menyusul era sahabat kecil. Dalam masa itu muncullah tabi’in besar yang bekerja sama dalam perkembangan pengetahuan dengan para sahabat Nabi yang masih hidup pada masa itu. Di antara sahabat Nabi yang amsih hidup setelah periode al-Khulafa al-Rasyidin dan yang cukup besar peranannya dalam periwayatan hadis diantaranya ‘Aisyah (wafat 57 H/677 M), Abu Hurairah (wafat 58 H/678 M), Abdullah bin Abbas (wafat 68 H/687 M), Abdullah bin Umar bin Khaththab (wafat 73 H/692 M), dan Jabir bin Abdullah (wafat 78 H/697 M)20).

Menurut Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi (w.1347 M), Abu Bakar merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya dalam periwayatan hadis21). Pernyataan al-Dzahabi ini didasarkan atas pengalaman Abu Bakar ketika menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika, ada seorang nenek menghadap kepada khalifah Abu Bakar, meminta hak waris dari harta ynag ditinggalkan oleh cucunya. Abu Bakar menjawab bahwa dia tidak melihat petunjuk al-Qur’an dan praktek Nabi yang memberikan bagian harta waris kepada nenek. Abu Bakar lalu bertanyaa kepada para sahabat. Al-Mughirah bin Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa Nabi telah memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seperenam (1/6) bagian. Al-Mughirah mengaku hadir ketika Nabi menetapkan demikian itu. Mendengar pernyataan tersebut, Abu Bakar meminta agar al-Mughirah menghadirkanseorang saksi. Lalu Muhammad bin Maslamah memberikan kesaksian atas kebenaran pernyataan al-Mughirah itu. Akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan seperenam bagian berdasarkan hadis Nabi yang disampaikan al-Mughirah tersebut22).

Kasus dia atas memberikan petunjuk, bahwa Abu Bakar ternyata tidak bersegera menerima riwayat hadis, sebelum meneliti periwayatannya. Dalam melakukan penelitian, Abu Bakar meminta kepada periwayat hadis untuk menghadirkan saksi.

Bukti lain tentang sikap ketat Abu Bakar dalam periwayatan hadis terlihat pada tindakannya yang telah membakar catatan-catatan hadis miliknya. Putri Abu Bakar, ‘Aisyah, menyatakan bahwa Abu Bakar telah membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus hadis. Menjawab pertanyaan ‘Aisyah, Abu menjelaskan bahwa dia membakar catatannya itu karena dia khawatir berbuat salah dalam periwayatan hadis23). Hal ini membuktikan sikap sangat hati-hati Abu Bakar dalam periwayatan hadis.

Sebagaimana Abu Bakar, khalifah selanjutnya, Umar bin al-Khaththab juga terkenal sangat hati-hati dalam periwayatan hadis. Hal ini terlihat misalnya, ketika Umar mendengar hadis yang disampaikan oleh Ubay bin Ka’ab, Umar baru bersedia menerima hadis dari Ubay, setelah para sahabat yang lain, seperti Abu Dzar menyatakan telah mendengar pula hadis Nabi tentang apa yang dikemukakan oleh Ubay tersebut. Akhirnya Umar berkata kepada Ubay :”Demi Allah, sungguh saya tidak menuduhmu telah berdusta. Saya bertindak demikian karena saya ingin berhati-hati dalam periwayatan hadis Nabi”.24)

Selain itu, Umar juga menekankan kepada para sahabatnya agar tidak meriwayatkan hadis di masyarakat. Alasannya, agar masyarakat tidak terganggu konsentrasinya untuk membaca dan mendalami al-Qur’an25). Abu Hurairah yang dikemudian hari dikenal banyak menyampaikan riwayat hadis, pada zaman Umar terpaksa menahan diri untuk tidak banyak meriwayatkan hadis. Abu Hurairah pernah menyatakan, sekiranya dia banyak meriwayatkan hadis pada zaman Umar, niscaya dia akan dicambuk oleh Umar26).

Gerakan pengetatan periwaytan hadis, bahkan dapat dikatakan penghilangan sebagian hadis oleh dua khalifah itu telah memberikan pengaruh baik positif maupun negatif dalam perkembangan hadis di kemudian hari. Implikasi positif dari gerakan itu adalah otentisitas hadis lebih terjaga sekaligus membuka peluang interpretasi yang lebar bagi umat Islam dalam mengapresiasi keberagamaannya karena tidak terkungkung oleh normativitas hadis. Di sini kreatifitas umat mendapat lahan yang cukup subur sehingga dapat berkembang dengan baik.

Tetapi implikasi negatif dari gerakan pengetatan hadis itu, oleh Rasm Ja’farian telah mengakibatkan hal-hal yang merugikan umat Islam. Pertama, hilangnya sejumlah besar hadis. Urwah bin Zubair pernah berkata :” Dulu aku menulis sejumlah hadis, kemudia aku hapuskan semuanya. Sekarang aku berfikir, alangkah baiknya kalau aku tidak menghancurkan hadis-hadis itu. Aku bersedia memberikan seluruh anakku dan hartaku untuk memperolehnya kembali”

Kedua, terbukanya peluang pemalsuan hadis. Abu al-Abbas al-Hanbali menulis, “Salah satu penyebab timbulnya perbedaan pendapat di antara para ulama adalah hadis-hadis dan teks-teks yang kontradiktif. Sebagian orang menuding Umarlah yang bertanggung jawab atas kejadian itu, karena para sahabat meminta ijin untuk menulis hadis tetapi umar mencegahnya. Seandainya para sahabat menulis apa-apa yang pernah didengarnya dari Rasulullah s.a.w., sunnah akan tercatat tidak lebih dari satu mata rantai saja antara Nabi dan umat sesudahnya”.

Ketiga, periwayatan dengan makna. Karena orang hanya menerima hadis secara lisan, ketika menyampaikan hadis itu, mereka hanya menyampaikan maknanya. Dalam rangkaian periwayatan, redaksinya dapat berubah-ubah. Karena makna adalah masalah persepsi, masalah penafsiran, maka redaksi hadis berkembang sesuai dengan penafsiran orang yang meriwayatkannya.

Keempat, terjadinya perbedaan pendapat di kalangan umat. Bersamaan dengan perbedaan ini, lahirlah akibat yang kelima, yaitu ra’yu menjadi menonjol dalam proses interpretasi keagamaan. Karena sejumlah hadis hilang, orang-orang mencari petunjuk dari ra’yu-nya. Dalam pasar ra’yu yang bebas (dalam kenyatannya, pasar gagasan umumnya tidak bebas) sebagian ra’yu menjadi dominan Ra’yu dominan inilah, menurut Fazlur Rahman, kemudian menjadi sunnah. Sebuah ra’yu menjadi dominan boleh jadi karena proses kreatif dan adanya demokrasi, boleh jadi juga karena ada intervensi dari penguasa27).

Dalam semua kejadian itu, dominasi ra’yu sangat ditopang oleh hilangnya catatan-catatan hadis. Untuk memperparah keadaan, tidak ada rujukan tertulis menyebabkan banyak orang secara bebas membuat hadis untuk kepentingan politis, ekonomis dan sosiologisnya. Kemudian ditambah panjangnya rangkaian periwayatan hadis telah memungkinkan orang-orang menambahkan kesimpulan dan pendapatnya pada hadis-hadis. Tidak mengherankan bila kemudian Fazlur Rahman28) sampai pada kesimpulan, hadis adalah produk pemikiran kaum muslim awal untuk memformulasikan sunnah. Sunnah pada gilirannya kelihatan sebagai produk para ahli hukum Islam, yang kemudian dinisbatkan kepada Nabi. Secara kronologis dapat dijelaskan sebagai berikut : Mula-mula muncul hadis, kemudian ada upaya dua khalifah untuk menghambat kemunculannya, terutama, dalam bentuk tertulis. Timbullah sunnah, yang lebih merujuk kepada tema perilaku yang hidup di tengah-tengah masyarakat, daripada teks. Ketika hadis-hadis dihidupkan kembali, melalui kegiatan pengumpul hadis, kesulitan menguji otentisitas dan validitas hadis menjadi sangat besar.

Bagaimana dengan kegiatan khalifah sesudah Umar bin al-Khaththab, yakni Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib? Dari beberapa sumber yang dapat menjelaskan tentang hal itu, dapat diterangkan bahwa dua khalifah terakhir- sebagaimana dua khalifah sebelumnya- melakukan pula gerakan pengetatan hadis. Walaupun tidak seketat dan seradikal apa yang telah dilakukan oleh Abu Bakar maupun Umar bin al-Khaththab. Sikap sedikit longgar oleh dua khalifah terakhir ini mungkin disebabkan oleh pribadi dua khalifah itu yang tidak sekeras Umar bin al-Khaththab, dan juga karena wilayah kekuasaan Islam semakin luas, sehingga menyulitkan adanya kontrol yang ketat terhadap kegiatan periwayatan hadis. Sehingga pengaruhnya bagi perkembangan hadis ; banyak (baca : lebih banyak dibandingkan pada era dua khalifah awal) aktivitas periwayatan hadis pada era itu.

Secara pribadi Utsman jauh lebih sedikit meriwayatkan hadis29), dibanding dengan empat khalifah yang lain. Sedangkan Ali30) dalam meriwayatkan hadis, disamping lisan juga tertulis31). Sebagaimana telah diketahui, salah satu sahabat yang rajin menulis hadis diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib, yang tulisan hadisnya terkumpul dalam shahifah Ali.

Beberapa sahabat32) Nabi selain Khulafa’ al-Rasyidin telah menunjukkan pula sikap hati-hati mereka baik dalam menerima atau meriwayatkan hadis. Hal ini dapat dilihat, misalnya, pada pernyataan-pernyataan mereka sebagai berikut :

Anas bin Malik pernah berkata, sekiranya dia tidak takut keliru niscaya semua apa yang telah didengarnya dari Nabi dikemukakan pula kepada orang lain. Pernyataan Anas ini memberi petunjuk bahwa tidak seluruh hadis yang pernah didengarnya dari Nabi disampaikannya kepada sahabat lain atau kepada tabi’in, dia berlaku hati-hati dalam meriwayatkan hadis33).

Saad bin Abi Waqqash (w. 55 H/675 M), pernah ditemani oleh al-Sa’ib bin Yazid dalam perjalanan dari Makkah ke Madinah pergi-pulang. Selama dalam perjalanan, Sa’ad tidak menyampaikan sebuah hadis pun kepada al-Sa’ib. Apa yang dilakukan Sa’ad itu tidak lepas dari sikap hati-hatinya dalam periwayatan hadis34).

Sikap hati-hati para sahabat Nabi tersebut bukan hanya ketika menyampaikan hadis saja, melainkan juga ketika menerimanya. Tidak jarang seorang sahabat terpaksa menempuh perjalanan yang sangat jauh hanya untuk mendapatkan atau mencocokkan sebuah hadis saja.

Pada periode sahabat ini telah muncul tradisi kritik terhadap hadis yang dibawa oleh sesama sahabat. Tradisi kritik hadis ini untuk menjaga otentisitas hadis dan agar hadis tidak mudah untuk dipalsukan, baik secara sengaja maupun tidak. Misalnya, sikap Aisyah r.a. ketika mendengar hadis yang menyatakan bahwa orang mati itu diadzab Tuhan karena ditangisi keluarganya. Bunyi hadis itu :”… sesungguhnya orang mati itu diadzab karena tangis keluarganya …”. ‘Aisyah menolak hadis itu dengan nada tanya :”Apakah kalian lupa firman Allah : … seseorang tidak akan menanggung/memikul dosa orang lain…”35)

Dalam kasus lain, Abu Hurairah pernah meriwayatkan hadis “Barangsiapa junub hingga subuh, maka puasanya tidak berguna”. Setelah berita itu sampai kepada ‘Aisyah, ia menolak hadis tersebut seraya mengatakan bahwa ketika Nabi berpuasa, ia mandi jinabat setelah masuk waktu Subuh, kemudian Shalat dan berpuasa mendengar kritik itu Abu Hurairah menyerah dan mengatakan bahwa ‘Aisyah lebih mengetahui persoalan ini, dan mengatakan bahwa ia tidak mendengar langsung dari Nabi, tetapi dari sahabat lain36).

D. Munculnya Hadis-Hadis Maudhu’ (Palsu)

Hadis Nabi yang belum ditadwin (dihimpun) dalam suatu kitab hadis dan kedudukan hadis yang belum signifikan dalam struktur sumber ajaran Islam, telah dimanfaatkan – untuk dipalsukan – oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Kesempatan yang begitu lebar untuk melakukan pemalsuan hadis, plus dengan keuntungan baik politis, ekonomis, maupun sosial yang besar dengan melakukan hal itu, telah mendorong kelompok-kelompok tertentu melakukan tindakan yang –menurut sabda Nabi terkutuk (fal yatabawwa’ maq’adahu man al-nar)-sangat merugikan dunia Islam.

Para ulama berbeda pendapat tentang kapan kegiatan pemalsuan hadis dimulai. Pendapat pertama mengemukakan, bahwa pemalsuan hadis telah ada pada era Rasulullah. Pendapat ini dikemukakan oleh Ahmad Amin (w. 1373 H/1954 M), dengan alasan hadis mutawatir yang menyatakan, bahwa barangsiapa yang secara sengaja membuat berita bohong dengan mengatas namakan Nabi, maka hendaklah orang itu bersiap-siap menempati tempat duduknya di neraka. Kata Ahmad Amin, hadis itu memberi gambaran telah ada individu maupun kelompok pada masa Nabi yang telah melakukan pemalsuan hadis37). Tetapi sayang Ahmad Amin tidak memberi contoh hadis-hadis yang telah dipalsukan tersebut, sehingga apa yang dinyatakan Ahmad Amin ini masih dalam tataran asumsi.

Shahal ad-Din al-Adhabi, menyatakan bahwa pemalsuan hadis yang berkenaan dengan maslah keduaniawian telah terjadi pada masa Nabi dan dilakukan oleh orang munafiq. Sedang pemalsuan yang berkenaan dengan maslah agama (amr dini), pada zaman nabi belum terjadi. Alasannya, ialah hadis yang diriwayatkan oleh al-Thahawi dan al-Thabrani, yang menyatakan bahwa pada masa Nabi ada seorang yang telah membuat berita bohong dengan mengatas namakan Nabi. Orang itu telah mengaku diberi kuasa Nabi untuk menyelesaikan suatu masalah di suatu kelompok masyarakat di sekitar Madinah. Kemudian orang itu melamar seorang gadis dari masyarakat tersebut, tetapi lamaran itu ditolak. Masyarakat tersebut lalu mengirim utusan kepada Nabi untuk mengkonfirmasi berita utusan dimaksud. Ternyata Nabi tidak pernah menyuruh orang yang mengatasnamakan beliau38).

Pemalsuan hadis mulai muncul pada masa Khalifat Ali bin Abi Thalib. Pendapat ini dikemukakan oleh beberapa ulama hadis39). Menurut pendapat ini, keadaan hadis pada zaman Nabi sampai terjadinya pertentangan antara Ali dan Mu’awiyah masih terhindah dari pemalsuan-pemalsuan. Perang yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah (dikenal dengan perang shiffin) telah mengakibatkan jatuhnya banyak korban. Upaya damai yang diusulkan Mu’awiyah dan diterima Ali telah mengakibatkan sekelompok pendukung Ali menjadi kecewa, dan mereka menyatakan keluar dari kelompok Ali yang kemudian dikenal sebagai kelompok khawarij. Kelompok Khawarij ini dalam gerakan selanjutnya tidak hanya memusuhi Mu’awiyah saja, tapi juga Ali. Akibat kemelut politik yag kian rumit itu, akhirnya Ali bin Abi Thalib dapat dikalahkan Mu’awiyah, dan kekuasaan Ali digantikan oleh Mu’awiyah yang kemudian membangun basis kekuasaannya dengan mendirikan daulah bani Umayah40).

Runtuhnya kekuasaan Ali tidak menyurutkan perjuangan para pendukungnya, yakni kelompok syi’ah. Pertikaian segitiga yang berlarut telah mendorong ketiga pihak untuk saling mengalahkan, yang salah caranya ialah dengan membuat hadis palsu untuk mengukuhkan kelompoknya dan memperlemah posisi lawan secara sosial-politik.

Berdasarkan data sejarah, pemalsuan hadis tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Islam saja, melainkan juga telah dilakukan oleh orang-orang yang non Islam. Orang-orang non Islam membuat hadis palsu41), karena didorong oleh keinginan meruntuhkan Islam dari dalam. Dan orang-orang Islam meriwayatkan hadis palsu karena mereka didorong oleh beberapa motif. Motif itu ada yang bernuansa duniawi ada yang agamawi. Secara rinci, motif orang-orang Islam itu adalah; 1) membela kepentingan politik42), 2) membela aliran teologi, 3) membela madzab fiqih43), 4) memikat hati orang yang mendengarkan kisah yang dikemukakannya, 5) menjadikan orang lain lebih zahid, 6) menjadikan orang lain lebih rajin mengamalkan ibadah, 6) mendapatkan perhatian dan pujian dari penguasa, 9) mendapatkan hadiah uang dari orang yang menggembirakan hatinya, 10) menerangkan keutamaan suku bangsa tertentu.

Jumlah hadis palsu tidak sedikit. Seorang yang mengaku sebagai pemalsu hadis mengatakan, bahwa dia telah membuat empat ribu hadis palsu. Seorang pemalsu lainnya mengaku, bila dia ingin memperkuat pendapatnya, maka dia membuat hadis palsu. Ada pula yang mengaku bila ada yang memberi upah sebesar satu dirham saja, dia bersedia untuk membuat sebanyak lima puluh hadis palsu43).

Prof. Muhammad Zuhri44), mengidentifikasi orang-orang yang terkenal sebagai pemalsu hadis, diantaranya ; Abban ibn Ja’far al-Numairi, Ibrahim ibn Zaid al-Aslami, Jabir ibn Yazid al-Ja’fi, Muhammad ibn Syuja’ al-Laitsi, Nuh ibn Abi Maryam, Al-Harits ibn Abdillah al-A’war, Ahmad ibn Abdullah al-Juwaibari.

Untuk menyelamatkan hadis Nabi di tengah-tengah berkecamuknya pembuatan hadis palsu, maka ulama hadis menyusun berbagai kaedah penelitian hadis. Kaedah-kaedah yang mereka susun, tujuan utamanya adalah untuk penelitian keshahihan matan hadis tersebut, maka disusunlah kaedah keshahihan sanad hadis. Dalam konteks ini, munculah berbagai macam ilmu hadis. Yang paling urgen kedudukannya dalam penelitian sanad hadis, diantaranya adalah ‘ilm rijal al-hadits, dan ‘ilm al-jarh wa al-ta’dil45). Ilmu yang disebut pertama lebih banyak membicarakan biografi para periwayat yang satu dengan periwayat yang lain dalam periwayatan hadis. Sedang ilmu yang disebut kedua, lebih menekankan kepada pembahasan kualitas pribadi periwayat hadis, khususnya dari segi kekuatan hafalannya (dhabith), kejujurannya (tsiqah), dan berbagai keterangan lain yang berhubungan dengan penelitian sanad hadis.

E. Proses pen-tadwîn-an hadis

Andaikata Umar bin Khaththab tidak mengurungkan niat untuk menghimpun hadis Nabi dalam satu kitab, maka akan dapat dikendalikan lebih dini upaya-upaya pemalsuan hadis. Akan tetapi Umar, sebagaimana telah disinggung di atas, mengurungkan niat itu, karena dia khawatir umat Islam akan mengabaikan al-Qur’an.

Sesudah era Umar bin al-Khaththab, tidak ada khalifah yang merencanakan menghimpun hadis, kecuali khalifah ‘Umar bin Abd al-Ziz (w. 101 H/720 M). Walaupun demikian pada era antara Umar bin al-Khaththab dan Umar bin Abd al-Aziz tidak ada kegiatan sama sekali untuk men-tadwin hadis. Informasi historis menyebutkan, tidak sedikit, baik di kalangan sahabat Nabi maupun tabiin yang telah melakukan pencatatan hadis. Akan tetapi pencatatan hadis itu masih bersifat per-individu, dalam arti belum menjadi kegiatan kolektif yang mendapat mandat dari pemerintah.

Khalifah Umar bin Abd Aziz yang terkenal berpribadi shalih dan cinta kepada ilmu pengetahuan46), sangat berkeinginan untuk segera menghimpun hadis. Keinginan itu sudah muncul sebenarnya ketika dia masih menjabat sebagai Gubernur di Madinah (86-93 H), pada masa pemerintahan al-Walid bin Abd al-Malik (86-96 H).

Keinginan Khalifah Umar bin Abd Aziz untuk menghimpun hadis diwujudkan dalam bentuk surat perintah. Surat itu dikirim ke seluruh pejabat dan ulama di berbagai daerah pada akhir tahun 100 H. Isi surat perintah itu adalah agar seluruh hadis Nabi di masing-masing daerah agar segera dikumpulkan47).

Salah satu surat khlifah dikirim kepada Gubernur Madinah, Abu Bakr bin Muhammad ‘Amr bin Hazm (w. 117 H/735 M). Isi surat itu ialah; 1) Khalifah merasa khawatir akan punahnya pengetahuan hadis dan meninggalnya para ahli hadis, dan 2) khalifah memerintahkan agar hadis yang ada di tangan ‘Amrah binti Abd al-Rahman dan al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Shiddiq, keduanya murid ‘Aisyah dan berada di Madinah, segera dikumpulkan (di-tadwin). Namun sayang, sebelum Ibn Hazm berhasil menyelesaikan tugasnya, khalifah telah meninggal dunia48). Menurut al-Shiba’I, Ibn Hazm mengumpulkan lalu menulis hadis hanya yang berasal dari Amrah dan al-Qashim.

Ulama yang berhasil menghimpun hadis dalam satu kitab sebelum khalifah meninggal ialah Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri (w. 124 H/742 M). Dia seorang ulama besar di negeri Hijaz dan Syam. Bagian-bagian kitab al-Zuhri segera dikirim oleh khalifah ke berbagai daerah untuk bahan penghimpunan hadis selanjutnya49).

Walaupun khalifah Umar bin ‘Abd al-Aziz telah meninggal dunia, namun kegiatan penghimpunan hadis terus berlangsung. Sekitar pertengahan abad kedua hijriyah, telah muncul berbagai kitab himpunan hadis di berbagai kota. Ulama berbeda pendapat tentang karya siapa yang terdahulu muncul. Ada yang mengatakan bahwa yang paling awal muncul adalah karya ‘Abd al-Malik bin ‘Abd al-‘Aziz bin Juraij al-Bishri (w. 150 H), ada yang menyatakan karya Malik bin Anas (w. 179 H)50), dan ada yang menyatakan karya ulama lainnya. Karya-karya tersebut tidak hanya menghimpun hadis Nabi saja, tetapi juga menghimpun fatwa-fatwa sahabat dan al-Tabi’in.

Karya-karya ulama berikutnya disusun berdasarkan nama sahabat Nabi periwayat hadis. Karya yang berbentuk demikian ini biasa dinamakan al-musnad, jamaknya al-masanid.Ulama yang mula-mula menyusun kitan al-musnad ialah Abu Daud (w. 204 H). Kemudian menyusul ulama lainnya, misanya Abu Bakr ‘Abdullah bin al-Zubair al-Humaidi (w. 219 H) dan Ahmad bin Hanbal (w. 241 H)51).

Berbagai hadis yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis di atas, ada yang berkualitas shahih dan ada yang berkualitas tidak shahih. Ulama berikutnya kemudian menyusun kitab hadis yang khusus menghimpun hadis-hadis Nabi yang berkualitas shahih menurut kriteria penyusunnya. Misalnya, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari (w. 261 H/870 M), dan Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi (w. 261 H/875 M). Kitab himpunan hadis shahih karya al-Bukhari adalah “al-Jami’ al-Musnad al-Shahih al-Mukhtasyar min Umur Rasul Allah SAW wa Sunnatihi wa Ayyumihi” dan dikenal dengan al-Jami’ al-Shahih atau Shahih Bukhari. Kitab himpunan hadis shahih karya Muslim berjudul “al-Musnad al-Shahih al-Mukhtasyar min al-Sunan bi al-Naql al-‘Adl ‘an ‘Adl Rasul Allah SAW” dan dikenal dengan sebutan jami’ al-Shahih atau Shahih Muslim.

Di samping itu muncul pula kitab-kitab hadis yang bab-babnya tersusun seperti bab-bab fiqih dan kualitas hadisnya ada yang shahih dan ada yang dha’if. Karya itu dikenal dengan nama al-sunan. Di antara ulama hadis yang telah menyusun kitab al-Sunan ialah ; Abu Daud (w. 275 H), al-Tirmidzi (w. 279 H), al-Nasa’i (w. 303 H), dan Ibn Majah (w. 273 H)52).

Karya-karya al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i, di atas disepakati oleh mayoritas ulama sebagai kitab-kitab hadis standar dan dikenal sebagai al-kutub al-khamsah (lima kitab hadis standar). Ulama berbeda pendapat tentang kitab standar peringkat keenam. Sebagian ulama menyatakan, yang keenam itu adalah al-sunan karya Ibn Majah, sebagian ulama berpendapat kitab al-Muwaththa’ karya Malik bin Anas dan sebagian ulama lagi berpendapat kitab al-Sunan karya Abu ‘Abdullah bin ‘Abdul Rahman al-Damiri (w. 225 H)53).



DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Ahmad bin Hanbal, Musnad Amad bin Hanbal, Beirut : al-Maktab al-Islami, 1978, juz I

Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah, Sunan Ibn Majah, naskah diteliti dan diberi notasi oleh Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, Beirut : Dar al-Fikr, t.t., jilid II

Abu ‘Amr Yusuf bin Abd al Barr, Jami’ al-Bayan al-‘Ilm wa Fadhil, Mesir : Idarat al-Mathba’ah al-Munirah, t.t., Juz I

Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, Kitab Tadzkirat al-Huffazh, Hiderabat : The Dairati al-Ma’arifi al-Usmania, 1955, juz I

Ahmad Amin, Dhuha Islam, Kairo : Maktabah al-Nahdhat al-Mishriyah, 1974

Ahmad bin Ali bin Hajar al-Ashqalani, Fath al-Bari, ttp : Dar al-Fikr wa Maktabat al-Salafiyyah, 600 H., Juz I

Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabla Tadwin, Cairo : Maktabah Wahdah, 1963

Al-Asqalani, Syarh Nukhbat al-Fikr fi Mushthalah Ahl al-Atsar, Mesir : Maktabah al-Qadiriyah, t.t.

Al-Bukhari, al-Jami’ al-Shalih, Beirut ; Dar al-Fikr, t.t., juz I

Al-Naisaburi, Kitab Ma’rifat Ulum al-Hadis, Kairo : Maktabah al-Mutanabbi, tt., h. 22-24

an-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, Mesir : al-Mathba’at al-Mishriyah, 1924, juz I

Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, Anas Mahyudin (penterj.), Karachi : Central Institute of Islamic Research, 1965.

H.M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta : Bulan Bintang, 1995

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1979, jilid I

Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1999

Ignaz Goldziher, Muslim Studies, London : Goerge Alen, tth, Vol Ĩ, h. 195-196.

Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr al-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, 1979, jilid I

Jalaluddin Rakhmat, “Dari Sunnah ke Hadis, Atau Sebaliknya?”, dalam Budhy Munawar-Rachman (Ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta : Paramadina, 1994

M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis, Ijtihad al-Hakim dalam Menentukan Status Hadis, Jakarta : Paramadina, 2000

Muh. Zuhri, Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologi, Yogyakarta : Tiara Wacana, 2003

Muhammad al-Khudhari, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, Mesir : Mathba’at al-Sa’adah, 1954

Mustafa Amin, Ibrahim al-Tazi, Muhadarat fi ‘Ulu al-Hadits, jami’ah al-azhar, 1971, jilid I

Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, Jakarta : Paramadina, 1999

Sharafuddin al-Musawi, Menggugat Abu Hurairah, Menelusuri Jejak Langkah dan Hadis-Hadisnya, Jakarta : Pustaka Zahra, 2002

Shubhi Shalih, ‘Ulum al-Hadis wa Mushthalahuhu, Beirut : Dar al-Ilm li al-Malayin, 1960



1) Al-Asqalani, Syarh Nukhbat al-Fikr fi Mushthalah Ahl al-Atsar, Mesir : Maktabah al-Qadiriyah, t.t., h.4



2) M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis, Ijtihad al-Hakim dalam Menentukan Status Hadis, Jakarta : Paramadina, 2000, h. 2

3) Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1999, h.26

4) Ibid., h.26-27

5) Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, Anas Mahyudin (penterj.), Karachi : Central Institute of Islamic Research, 1965. h. 45-46

6) Muh. Zuhri, Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologi, Yogyakarta : Tiara Wacana, 2003, h. 28

7) Dalam sebuah hadis dikisahkan Umar bin Khaththab telah memberi tugas kepada tetangganya untuk mencari berita yang berasal dari Nabi. Kata Umar, bila tetangganya hari ini menemui Nabi, maka Umar pada esok harinya menemui Nabi. Siapa yang bertugas menemui Nabi dan memperoleh berita yang berasal atau berkenaan dengan Nabi, maka segera ia menyampaikan kepada yang tidak bertugas. Lihat al-Bukhari, al-Jami’ al-Shalih, Beirut ; Dar al-Fikr, t.t., juz I h. 28. Dalah kisah yang lain Malik bin al-Huwairis menyatakan : Saya (Malik bin al-Huwairis bersama rombongan kaum saya datang kepada Nabi. Kami tinggal di sisi beliau selama dua puluh malam. Beliau adalah seorang penyayang dan akrab. Ketika beliau melihat kami telah merasa rindu kepada keluarga kami, beliau bersabda :” Kalian pulanglah, tinggallah bersama keluarga kalian, ajarlah mereka, dan lakukan shalat bersama mereka. Bila telah masuk waktu shalat, hendaklah salah seorang dari kalian melakukan adzan, dan hendaklah yang tertua bertindak sebagai imam. Lihat : Ibid., h. 117.

8) Abu hurairah telah meriwayatkan hadis sebanyak 5374 buah, yang terdapat dalam Shalih Bukhari 446 buah. Jumlah ini jauh melebihi hadis yang diriwayatkan oleh shahabat yang lain. Abu Bakar “hanya” meriwayatkan 142 hadis, Umar meriwayatkan 437 hadis, Usman meriwayatkan 146 dan 586 telah diriwayatkan oleh Ali. Inilah yang menyebabkan ada sebagian ulama yang “curiga” dengan periwayatan hadis oleh Abu Hurairah yang sedemikian banyak, salah satunya adalah Sharafuddin al-Musawi. Dia menyatakan bahwa tidak masuk akal jika Abu Hurairah yang bersama Nabi hanya 2 tahun (sebelum Nabi maninggal) mampu meriwayatkan hadis melebihi para sahabat yang 23 tahun bersama Nabi. Lihat Sharafuddin al-Musawi, Menggugat Abu Hurairah, Menelusuri Jejak Langkah dan Hadis-Hadisnya, Jakarta : Pustaka Zahra, 2002, h.53-60

9) H.M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta : Bulan Bintang, 1995, h.38

10) Lihat Q.S. al-Ahzab : 21; al-Qalam:4; Ali Imran:132; al-Anfal:46; an-Nur:54; dan al-Hasyr:7

11) Lihat Q.S. al-‘Alaq:1-5; dan az-Zumar:9

12) Lihat hadis Nabi yang terdapat dalam al-Bukhari, op.cit., Juz I, h.23

13) Nabi bersabda :”Telah cukup seseorang dinyatakan berdusta apabila orang itu menceritakan seluruh yang didengarnya” (HR. Muslim dan al-Hakim dari Abu Hurairah). Hadis ini dan berbagai pernyataan sahabat yang semakna dengannya, dinyatakan oleh an-Nawawi (1277) sebagai petunjuk tentang larangan menceritakan semua berita yang telah didengar. Jika semua yang didengar diceritakan, berarti orang itu telah menyampaikan berita bohong. Lihat : an-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, Mesir : al-Mathba’at al-Mishriyah, 1924, juz I, h.75

14) Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., h.34

15) Muh. Zuhri, op.cit., h.34

16) Lihat al-A’zami, Studies in Early Hadits Literature, h. 106-116. Dinulil dari Muh. Zuhri, ibid., h. 34-35

` 17) Fazlur Rahman, op.cit., h.34-57

18) Lihat Jalaluddin Rakhmat, “Dari Sunnah ke Hadis, Atau Sebaliknya?”, dalam Budhy Munawar-Rachman (Ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta : Paramadina, 1994, h. 228-229. Bandingkan dengan Muh. Zuhri, op.cit., h. 36

19) lihat : Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1979, jilid I, h. 57-58; bandingkan dengan Muhammad al-Khudhari, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, Mesir : Mathba’at al-Sa’adah, 1954, h.103

20) Muhammad al-Khudhari, Ibid., h.131 dan 134-135. Dinukil dari H.M. Syuhudi Islamil, op.cit., h.41

21) Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, Kitab Tadzkirat al-Huffazh, Hiderabat : The Dairati al-Ma’arifi al-Usmania, 1955, juz I, h. 2

22) Hadis yang dikemukakan oleh al-Dzahabi tersebut diriwayatkan (di-takhrij) oleh banyak ulama, di antaranya oleh Malik bin Anas, Abu Daud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-darami, dan al-Marwazi. Para periwayat dalam sanad hadis itu berkualitas tsiqah, akan tetapi sanadnya munqathi’, dalam hal ini mursal. Jadi, kualitas sanad hadis itu lemah (dha’if), karena Qubaisyah bin Dzu’aib yang menyatakan menerima hadis dimaksud berasal dari Abu Bakar, menurut penelitian sebagian ulama hadis, ternyata tidak pernah bertemu dengan Abu Bakar. Tetapi menurut al-Dzahabi, Qubaisyah telah meriwayatkan hadis itu dari Abu Bakar. Dengan demikian hadis tersebut muttashil sanadnya. Lihat : H.M. Syuhudi Ismail, op.cit., 42

23) Lihat al-Dzahabi, op.cit., h.5

24) Ibid., h.8

25) Lihat Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah, Sunan Ibn Majah, naskah diteliti dan diberi notasi oleh Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, Beirut : Dar al-Fikr, t.t., jilid II, h.12 diambil dari HM. Syuhudi Islmail, op.cit., h.45

26) al-Dzahabi, op.cit., juz I, h.7. Bandingkan dengan Abu ‘Amr Yusuf bin Abd al Barr, Jami’ al-Bayan al-‘Ilm wa Fadhil, Mesir : Idarat al-Mathba’ah al-Munirah, t.t., Juz I, h.121

27) lihat Jalaluddin Rakhmat, op.cit., h. 229-230

28) Lihat : Fazlur Rahman, op.cit., h. 23-27

29) Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadis dari Utsman bin Affan sekitar empat puluh hadis saja. Itu pun banyak matan hadis yang terulang, karena perbedaan sanad. Matan hadis yang banyak terulang itu adalah hadis tentang tata cara berwudhu. Lihat Abdullah Ahmad bin Hanbal, Musnad Amad bin Hanbal, Beirut : al-Maktab al-Islami, 1978, juz I, h. 57-75

30) Ali bin Abi Thalib cukup banyak meriwayatkan hadis, labih banyak dibanding tiga khalifah yang lain. Ahmad bin Hanbal telah meriwayatkan hadis melalui riwayat Ali sebanyak lebih dari 780 hadis. Sebagian hadis itu berulang-ulang karena perbedaan sanadnya. Lihat Ibid., h. 75-180

31) Hadis riwayat Ali yang tertulis berkisar tentang 1) hukuman denda (diyat) 2) pembebasan orang Islam yang ditawan orang kafir dan 3) larangan melakukan hukum qishash terhadap orang Islam yang membunuh orang kafir. Lihat al-Bukhari, op.cit., juz I, h. 32; juz II, h. 178

32) Definisi sahabat dalam konteks ini mengacu kepada orang yang semasa hidupnya pernah semasa dan berjumpa dengan Nabi, mereka beriman kepada Nabi dan mati sebagai orang Islam. Lihat : Mustafa Amin, Ibrahim al-Tazi, Muhadarat fi ‘Ulu al-Hadits, jami’ah al-azhar, 1971, jilid I, h.131. Bandingkan dengan Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabla Tadwin, Cairo : Maktabah Wahdah, 1963, h.387. Jika difinisi yang diambil, jumlah sahabat sangat banyak, maka al-Naisaburi membagi para sahabat dalam beberapa kelompok (sesuai dengan tingkat keutamaan : 1) Sahabat yang masuk Islam di Makkah, seperti, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dll; 2) Sahabat yang tergabung dalam Dar al-Nadwah; 3) Sahabat yang ikut hijrah ke Habsyi; 4) Sahabat yang membaiat Nabi di Aqabah al-Ula; 5) Sahabat yang membaiat Nabi di Aqabah al-Tsani; 6) Muhajirin yang menemui Nabi di Quba 7) Sahabat yang terlibat dalam perang Badar pertama; 8) Sahabat yang hijrah diantara Badar dan Hudaibiyah; 9) Kelompok Baitur Ridhwan; 10) Sahabat yang hijrah antara Hudaibiyah dan al-Fath, seperti Khalid bin Walid, Amru bin Ash, Abu Hurairah dll; 11) para remaja dan anak-anak yang sempat melihat Rasulullah pada waktu penaklukan Makkah dan Haji Wada’ atau di tempat-tempat lain. Lihat : Al-Naisaburi, Kitab Ma’rifat Ulum al-Hadis, Kairo : Maktabah al-Mutanabbi, tt., h. 22-24

33) Lihat : H.M. Syuhudi Ismail, op.cit., h. 50

34) Ibid.

35) Demikianlah, ‘Aisyah dengan tegas menolak periwayatan suatu hadis yang bertentangan dengan al-Qur’an. Walaupun begitu, hadis yang tertolak ini masih saja tercantum dalam kitab-kitab shahih. Bahkan Ibn Sa’d, dalam bukunya ath-Thabaqat al-Kubra, mengulang-ulang dengan sanad yang berbeda. Lihat : Muhammad al-Ghazali, op.cit., h.29

36) Lihat : Muh. Zuhri, op.cit., h.46-47

37) Ahmad Amin, Dhuha Islam, Kairo : Maktabah al-Nahdhat al-Mishriyah, 1974, h.210-211

38) Dalam hadis tersebut baik yang diriwayatkan al-Thahawi maupun al-Thabrani, ternyata sanadnya lemah (dha’if). Lihat : HM. Syuhudi Ismail, op.cit., h. 105

39) Lihat : Hasbi ash-Shiddieqy, op.cit., h. 57

40) Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta : Universitas Indonesia, 1985, h. 54

41) Yang terkenal dari hadis ini adalah hadis-hadis israilliyat. Contoh hadis-hadis Israilliyat berkaitan dengan hadis tentang penciptaan Adam dan Hawa, sampai proses kejatuhan Adam dan Hawa dari sorga. Lihat : Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, Jakarta : Paramadina, 1999, h. 55-79

42) Contoh hadis model ini adalah “Orang-orang yang dapat dipercaya di hadirat Allah hanya ada tiga orang : aku (Muhammad), Jibril, dan Muawiyah”. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Lihat : Syarafuddin Al-Musawi, op.cit., h.41; bandingkan dengan HM. Syuhudi Ismail, op.cit., h. 109

43) Contoh hadis model ini adalah “di kalangan umatku ada seorang laki-laki yang dikenal dengan nama Muhammad bin Idris. Dia itu lebih berbahaya terhadap umatku daripada iblis. Dan di kalangan umatku ada seorang laki-laki yang dikenal bernama Abu Hanifah. Dia itu merupakan obor bagi umatku.” Lihat Ibid.

43) Lihat : HM. Syuhudi Ismail, op.cit., h. 109. Dia mengutip keterangan itu dari Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr al-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, 1979, jilid I, h.284-286

44) Muh. Zuhri, op.cit., h.79

45) Lihat : HM. Syuhudi Ismail, op.cit., h.110; bandingkan dengan Muh. Zuhri, op.cit., h.79-81

46) Dia juga dikenal sebagai orang yang zuhud (tidak seperti kebanyakan khalifah bani umayyah yang lain), adil, dekat dengan ulama dan juga periwayat hadis, walaupun hadis yang diriwayatkannya tidak banyak. Sufyan asy-Syafri dan asy-Syafi’i menyebut khalifat Umar bin Abd al-Aziz sebagai Khulafa ar-Rasyidin yang kelima. Lihat : HM. Syuhudi Ismail, op.cit., h.113

47) Lihat Ahmad bin Ali bin Hajar al-Ashqalani, Fath al-Bari, ttp : Dar al-Fikr wa Maktabat al-Salafiyyah, 600 H., Juz I, h. 194-195

48) Ibid.

49) Ibid., h. 208

50) karya malik bin Anas yang dikenal dengan nama al-Muwaththa’ tersebut sampai sekarang masih ada. Di dalamnya terdapat 1726 hadis dari Nabi, sahabat dan tabi’in. Menurut hasil penelitian dari jumlah hadis itu terdapat 600 musnad, 228 mursal, 613 mauquf dan 285 maqthu’. Dari segi sanad, hadis yang terkandung di dalamnya ada yang shahih, hasan dan dha’if. Kemudian bila dikonfirmasikan dengan hadis yang ditulis Bukhari dan Muslim, maka diketahui bahwa matan al-Muwaththa’ itu shahih. Lihat Muh. Zuhri, op.cit., h 59. Ignas Goldziher tidak menyetujui karya Malik itu sebagai kitab hadis, dengan alasan antara lain ; 1) belum mencakup seluruh hadis yang ada, 2) lebih menekankan pada hukum dan pelaksanaan ibadah, serta kurang mengarah kepada penyelidikan dan penghimpunan hadis, dan 3) tidak hanya berisi hadis emata, tetapi juga berisi fatwa sahabat (fatwa al-tabi’in) dan konsensus masyarakat Islam di Madinah. Lihat Ignaz Goldziher, Muslim Studies, London : Goerge Alen, tth, Vol Ĩ, h. 195-196.

51) HM. Ismail Syuhudi, op.cit., 115

52) Ibid., h. 116



53) Lihat Shubhi Shalih, ‘Ulum al-Hadis wa Mushthalahuhu, Beirut : Dar al-Ilm li al-Malayin, 1960, h. 117-119
Lebih Dekat dengan Al-Hadist dan Al-Sunnah
Selasa, 23 Maret 2010 13:20 Artikel
E-mail Cetak PDF

Oleh: M. Masykur Ismail



I. Pendahuluan

Istilah Hadits dan Sunnah telah digunakan secara luas dalam studi keislaman untuk merujuk kepada teladan dan otoritas Nabi saw atau sumber kedua hukum Islam setelah al-Qur’an. Meskipun begitu, pengertian kedua istilah tersebut tidaklah serta merta sudah jelas dan dapat dipahami dengan mudah. Para ulama dari masing-masing disiplin ilmu menggunakan istilah tersebut didasarkan pada sudut pandang yang berbeda sehingga mengkonskuensikan munculnya rumusan pengertian keduanya secara berbeda pula.

Dalam makalah ini akan ditelusuri pengertian sunnah dan hadits serta penggunaannya dalam masing-masing disiplin, perkembangan penggunaan kedua istilah tersebut serta perbedaan keduanya. Di samping itu, makalah ini juga akan meninjau kedudukan Sunnah Nabi saw dalam syariat Islam. Penelusuran ini tentu dimaksudkan untuk memperjelas kekaburan pengertian sunnah dan hadits.



II. Pengertian Hadits dan Sunnah

a. Hadits

Kata hadits merupakan isim (kata benda) yang secara bahasa berarti kisah, cerita, pembicaraan, percakapan atau komunikasi baik verbal maupun lewat tulisan.[i] Bentuk jamak dari hadits yang lebih populer di kalangan ulama muhadditsin adalah ahadits, dibandingkan bentuk lainnya yaitu hutsdan atau hitsdan. [ii] Masyarakat Arab di zaman Jahiliyyah telah menggunakan kata hadits ini dengan makna “pembicaraan”, hal itu bisa dilihat dari kebiasaan mereka untuk menyatakan “hari-hari mereka yang terkenal” dengan sebutan ahadits.[iii]

Ada sejumlah ulama yang merasakan adanya arti “baru” dalam kata hadits lalu mereka menggunakannya sebagai lawan kata qodim (lama), dengan memaksudkan qodim sebagai Kitab Allah, sedangkan yang “baru” ialah apa yang disandarkan kepada Nabi saw. Dalam Syarah al-Bukhari, Syaikh Islam Ibnu Hajar berkata: “Yang dimaksud dengan hadits menurut pengertian syara’ ialah apa yang disandarkan kepada Nabi saw. dan hal itu seakan-akan sebagai bandingan al-Qur’an adalah qodim.[iv]

Di dalam al-Qur’an kata hadits disebut sebanyak 28 kali dengan rincian 23 dalam bentuk mufrad dan 5 dalam bentuk jamak (ahadits). Kata ini juga digunakan dalam kitab-kitab Hadits di banyak tempat. Di dalam karyanya Studies in Hadith Methodology and Literature, M.M. Azami,[v] menguraikan pengertian hadits secara lebih rinci. Menurutnya, kata hadits yang terdapat dalam al-Qur’an maupun kitab-kitab Hadits secara literal mempunyai beberapa arti sebagai berikut:

1. Komunikasi religius, pesan, atau al-Qur’an, sebagaimana terdapat dalam QS. al-Zumar: 23

اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا

Artinya: “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur’an”

Juga dalam Hadits Nabi yang diriwiyatkan oleh al-Bukhari: “Sesungguhnya sebaik-baik hadits (cerita) adalah Kitab Allah (al-Qur’an)”

2. Cerita duniawi atau kejadian alam pada umumnya, seperti dalam al-Qur’an QS. al-An’am: 68:

وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آَيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ

Artinya: “Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain”.

Juga dalam Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh al-Bukhari: “Dan orang-orang yang mendengar hadits (cerita) sedangkan mereka benci terhadapnya”

3. Cerita Sejarah (historical stories) sebagaimana terdapat dalam QS. Taha: 9

وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ مُوسَى

Artinya: “Dan apakah telah sampai kepadamu kisah Musa”.

Dan juga terdapat dalam Hadits Nabi: “Ceritakanlah mengenai Bani Israil dan tidak mengapa”

4. Rahasia atau pecakapan yang masih hangat sebagaimana terdapat dalam QS. at-Tahrim: 3

وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا

Artinya: “Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari isteri-isterinya suatu peristiwa”

Juga dalam Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh al-Tirmizy: “Apabila seseorang mengungkapkan hadits (rahasia) kemudian kemudian dia mengembara maka kata-katanya adalah suatu amanah”

Secara terminologi, ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam memberikan pengertian hadits. Di kalangan ulama hadits sendiri pada umumnya mendefinisikan hadist sebagai segala sabda, perbuatan, taqrir (ketetapan), dan hal ikhwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw.[vi] Masuk ke dalam pengertian “hal ikhwal” segala yang diriwayatkan dalam kitab-kita tarikh, seperti hal kelahirannya, tempatnya, dan yang bersangkut paut dengan itu, baik sebelum diutus maupun sesudah diutus. Berdasarkan definisi tersebut, maka bentuk-bentuk Hadits dapat dibedakan sebagai berikut: 1. sabda, 2. perbuatan, 3. taqrir, dan 4. hal ikhwal Nabi saw. Kalangan ulama Ushul mendefinisikan hadits sebagai segala perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi saw. yang berkaitan dengan hukum. Oleh karena itu, tidak masuk dalam kategori hadits sesuatu yang tidak bersangkut paut dengan hukum seperti urusan pakaian.[vii]

Jika kita membuka Kitab-kitab Hadits, maka akan segera kita dapatkan banyak riwayat yang tidak berkenaan dengan ucapan, perbuatan, taqrir Nabi, melainkan berkenaan dengan sahabat-sahabat Nabi. Bahkan ada beberapa riwayat yang berkenaan dengan tabi’in. Jalaluddin Rahmat dalam artikelnya[viii] memberikan contoh tentang hal ini melalui hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan an-Nasa’i yang berisi tentang khutbah yang disampaikan oleh Marwan bin Hakam, juga tentang tangkisan Abu Hurairah kepada orang-orang yang menyatakan bahwa dirinya terlalu banyak meriwayatkan Hadits. Hal ini jelas menjadikan definisi hadits di atas tersebut rancu.

Itulah sebabnya maka muncul istilah hadits mauquf, dan hadits maqtu’, suatu istilah yang mengandung kontradiksi terma, karena bukan hadits bila tidak berkenaan dengan Nabi. Kenyataan ini kemudian mendorong sebagian ulama memperluas definisi hadits. Nur al-Din ‘Itr misalnya, menganggap definisi hadits yang paling tepat adalah “apa yang disandarkan kepada Nabi saw. berupa ucapan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat fisik atau etik dan apa saja yang dinisbatkan kepada para sahabat dan tabi’in”. Akan tetapi definisi ini kurang populer di kalangan Muhadditsin.[ix] Di samping itu, Hasbi As-Shiddieqy juga mengutip pendapat At-Thiby yang berpendapat bahwa: “Hadits itu melengkapi sabda, perbuatan, dan taqrir Nabi saw; melengkapi perkataan, perbuatan, dan taqrir sahabat, sebagaimana melengkapi pula perkataan, perbuatan, dan taqrir tabi’in.” Dengan demikian, terbagilah hadits kepada sembilan bagian.[x]

b. Sunnah

Secara etimologi, Sunnah berarti tata cara.[xi] Dalam kitab Mukhtar al-Shihah disebutkan bahwa sunnah secara etimologi berarti tata cara dan tingkah laku atau perilaku hidup, baik perilaku itu terpuji maupun tercela.[xii] Hasbi Ash-Shiddieqy[xiii] menambahkan bahwa suatu tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai sunnah, walaupun tidak baik.

Di dalam al-Qur’an kita dapat menjumpai beberapa ayat yang menyebutkan kata “sunnah”. M.M. Azami[xiv] menelusuri pengertian istilah “sunnah” di dalam al-Qur’an, menurutnya kata “sunnah” disebutkan dalam beberapa ayat berikut ini:

1. Surat an-Nisa’: 26

يُرِيدُ اللَّهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمْ وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَيَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Artinya: “Allah hendak menerangkan hukum syari’ah-Nya kepadamu dan menunjukkanmu ke jalan yang orang-orang sebelum kamu (yaitu para nabi dan orang-orang saleh), serta hendak menerima taubatmu. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

2. Surat al-Anfal: 38

قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الْأَوَّلِينَ

Artinya: “Katakanlah (wahai Muhammad) kepada orang-orang kafir, apabila mereka menghentikan perbutannya maka dosa-dosa mereka yang telah lalu akan diampuni, dan apabila mereka tetap kembali untuk melakukan perbuatan itu maka sunnah (aturan) orang-orang dahulu sudah berlaku.”

3. Surat al-Isra’: 77

سُنَّةَ مَنْ قَدْ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنْ رُسُلِنَا وَلَا تَجِدُ لِسُنَّتِنَا تَحْوِيلًا

Artinya: “(Kami menetapkan hal itu) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul Kami yang Kami utus sebelum kamu, dan kamu tidak akan menemukan perubahan dalam ketetapan Kami.”

4. Surat al-Fath: 23

سُنَّةَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلُ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلًا

Artinya: “Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, dan kamu tidak akan menemukan perubahan dalam sunnatullah itu.”

Dari ayat-ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam al-Qur’an kata-kata “sunnah” dimaknai dengan arti secara etimologis, yaitu tata cara dan kebiasaan.

Secara terminologi, para ulama ahli hadits mendefinisikan “sunnah” sebagai sabda, pekerjaan, ketetapan, sifat (watak budi atau jasmani); atau tingkah laku Nabi Muhammad saw, baik sebelum menjadi Nabi maupun sesudahnya. Adapun ahli Ushul Fiqih mendefinisikan “sunnah” adalah sabda Nabi Muhammad saw. yang bukan berasal dari al-Qur’an, pekerjaan, atau ketetapannya. Berbeda lagi dengan ahli fiqih yang mendefinisikan “sunnah” sebagai hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad saw. baik ucapan maupun pekerjaan, tetapi hal itu tidak wajib dikerjakan.[xv]

Orang-orang orientalis juga memberikan definisi terhadap sunnah. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa sunnah adalah istilah animisme. Ada juga yang berpendapat bahwa sunnah berarti “masalah ideal dalam suatu masyarakat”. Ada juga yang berpendapat bahwa periode-periode pertama sunnah berarti “kebiasaan” atau “hal yang menjadi tradisi masyarakat”, kemudian pada periode belakangan pengertian sunnah terbatas pada “perbuatan Nabi saw”.[xvi]

Karena adanya perbedaan-perbedaan dalam menentukan pengertian sunnah, baik secara etimologi maupun terminologi, berikut adanya dampak dari perbedaan-perbedaan itu, maka perlu diteliti lebih dulu apa sebenarnya maksud kata “sunnah” itu.



III. Perkembangan Pengertian Hadits dan Sunnah

a. Perkembangan Pengertian Hadits

Istilah “hadits” pada awalnya tidaklah serta merta dipahami sebagai sabda, perbuatan, taqrir dan hal ihwal Nabi saw., sebagaimana definisi di awal. Jika diperhatikan, istilah “hadits” mengalami beberapa perkembangan pengertian yang sangat signifikan. M. Syahudi Ismail mencatat, mula-mula hadits mengandung pengertian berita-berita atau cerita-cerita (kisah), baik berhubungan dengan masa lampu atau maupun yang baru saja terjadi.[xvii] Pengertian seperti ini paralel dengan ucapan Abu Hurairah kepada kaum Anshar. “Apakah kamu ingin aku ceritakan kepadamu tentang hadits (kisah) dari kisah-kisah Jahiliyah”.[xviii]

Pada tahap selanjutnya, istilah hadits digunakan untuk menunjuk khabar (berita-berita) yang berkembang dalam masyarakat keagamaan secara umum, yakni belum dipisahkan antara khabar yang berupa al-Qur’an dan kahabar yang berupa sabda Nabi saw. Hal ini didukung oleh riwayat dari Ibnu Mas’ud yang menyatakan: “Sesungguhnya sebaik-baik hadits adalah Kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad.”[xix] Dalam Hadits tersebut, Ibnu Mas’ud mensifatkan al-Qur’an dengan sebaik-baik hadits.

Pada akhirnya, hadits digunakan secara ekslusif untuk menunjuk Hadits-hadits Rasulullah saw. saja. Penyempitan makna hadits, yakni khusus untuk menunjuk pada Hadits Nabi saja ini, bahkan telah dimulai pada masa Nabi. Hal ini bisa dilihat dari sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, yakni ketika Abu Hurairah bertanya kepada Rasulullah saw. “Siapakah orang yang paling berbahagia dengan syafa’atmu di hari kiamat?”…Kemudian Rasul menjawab, “Wahai Abu Hurairah, sungguh aku telah menyangka bahwa tak ada seorangpun yang bertanya kepadaku mengenai hadits ini yang lebih dahulu dari kamu, karena aku melihat dari perhatianmu terhadap Hadits.”[xx]

Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa penggunaan istilah hadits mengalami perkembangan. Pada awalnya, hadit dipergunakan untuk menunjuk pada cerita-cerita dan berita-berita secara umum, kemudian mengalami pergeseran, hadits dimaksudkan sebagai khabar-khabar yang berkembang dalam masyarakat keagamaan tanpa memindahkan maknanya dari konteks yang umum dan pada akhirnya, hadit secara ekslusif digunakan untuk menunjuk cerita-cerita tentang Rasulullah saw.

Mengapa pergeseran pengertian hadits ini terjadi? Mustafa Azami menjelaskan, bahwa pada masa awal Islam, cerita-cerita dan perkataan Nabi mendominasi atas segala macam komunikasi dan cerita-cerita yang lain di kalangan masyarakat pada waktu itu. Kata hadits semakin lama menjadi semakin ekslusif dan sering digunakan di kalangan bangsa Arab untuk memaksudkan hal-hal yang bersumber pada nabi. Sampai akhirnya dengan berlalunya waktu, perkataan hadits menjadi khusus dipergunakan untuk segala informasi dan komunikasi yang datang dari Nabi saw.

b. Perkembangan Pengertian Sunnah

Istilah sunnah semula telah berkembang dalam masyarakat Arab zaman Jahiliyyah dengan makna jalan yang benar dalam kehidupan personal maupun komunal.[xxi] Tradisi-tradisi Arab dan hal-hal yang sesuai dengan kebiasaan nenek moyang, oleh mereka disebut sunnah. Pengertian ini tetap dipakai dalam masa Islam di Madrasah-madrasah lama di Hijaz dan Irak. Sunnah dimaknai sebagai praktik yang telah menjadi tradisi, walaupun bukan sunnah Nabi saw.

Pada akhir abad kedua Hijriah, khususnya di masa Imam as-Syafi’i, kata sunnah dipakai untuk arti terminologis dengan menambahi “alif dan lam” di depannya, yaitu tata cara dan syari’at Rasulullah saw. Dan ini tidak berarti pengertiannya yang etimologis itu terhapus tetapi tetap digunakan dalam arti luas. Adapun pengertian yang khusus as-Sunnah adalah tata cara dan syari’at Rasulullah saw. Sunnah dalam pengertian terminologis inilah yang mempunyai kedudukan hukum dalam syari’at Islam.[xxii]



IV. Perbedaan Hadits dan Sunnah

Ulama muhadditsin sebagaimana telah ditunjukkan di awal, berpandangan bahwa sunnah dan hadits merupakan dua hal yang identik. Keduanya adalah sinonim sehingga sering digunakan secara bergantian untuk menyebut hal ikhwal tentang Nabi saw. Akan tetapi kajian terhadap berbagai literature awal menunjukkan bahwa sunnah dan hadits merupakan dua hal yang berbeda.

Ketika memberi penjelasan tentang reputasi dan daya intelektual tiga tokoh, yakti Sufyan at-Tsaury (w.161), al-Awza’iy (w.157), dan Malik Ibn Anas (w.179), seorang kritikus terkenal, Abd al-Rahman al-Mahdi (w.198) mengatakan : “Sufyan at-Tsaury adalah pakar dalam hadits tapi bukan pakar dalam sunnah dan al-Awza’iy adalah pakar dalam sunnah tetapi bukan pakar dalam hadits, sedangkan Malik Ibn Anas adalah pakar keduanya.”[xxiii] Pernyataan al-Mahdi ini secara jelas menunjukkan bahwa sunnah dan hadits merupakan dua hal yang berbeda.

Imam Ahmad Ibn Hanbal ketika mengomentari sabda Rasulullah saw. tentang seorang Muslim yang meninggal dunia dalam keadaan ihram mengatakan: “dalam hadits ini terdapat lima sunnah”. Demikian juga Aisyah ketika mengomentari hadits tentang barirah (budak wanita) mengatakan dalam barirah terdapat tiga sunnah.[xxiv]

Ketika menyandarkan suatu hadits kepada Anas Ibn Malik, Abu Dawud menyatakan: “apabila hadits itu telah disandarkan kepada Rasul, maka tentulah demikian, tetapi menurut sunnah adalah begini”.[xxv] Subhi as-Shalih mencatat, ulama muhadditsin terkadang mengatakan: hadits ini menyalahi qiyas, sunnah, dan ijma’.[xxvi]

Kutipan-kutipan tersebut menunjukkan secara jelas bahwa sunnah dan hadits merupakan dua hal yang berbeda. Dalam kaitan ini, Hasbi Ash-Shiddieqy menyimpulkan bahwa hadits adalah amrun ‘ilmiyun nawadhirun: berita yang merupakan pengetahuan dan merupakan kunci, sedangkan sunnah amrun ‘amaliyun: perbuatan yang sudah berlaku di dalam masyarkat Muslim walaupun mengetahuinya memerlukan riwayat.[xxvii]

Senada dengan Hasbi ash-Shiddieqy, Syuhudi Ismail juga memberikan kesimpulan yang jelas tentang perbedaan hadits dan sunnah. Ia membagi kesimpulannya menjadi dua, pertama: bila ditinjau dari segi kualitas amaliyah dan periwayatannya, maka hadits berada di bawah sunnah, sebab hadits merupakan suatu berita tentang suatu peristiwa yang disandarkan kepada Nabi walaupun hanya sekali saja Nabi mengerjakannya dan walaupun diriwayatkan oleh seorang saja. Adapun sunnah merupakan amaliyah yang terus-menerus dilaksanakan Nabi beserta para Sahabatnya, kemudian seterusnya diamalkan oleh generasi-generasi berikutnya sampai pada kita. Kedua: sebagai konsekuensinya, maka ditinjau dari segi kekuatan hukumnya, hadits berada satu tingkat di bawah sunnah.[xxviii] Meskipun keduanya berbeda, tetapi ditilik dari segi subjek yang menjadi sumber asalnya, maka pengertian keduanya adalah sama, yakni sama-sama berasal dari Rasulullah saw. dengan dasar inilah jumhur ulama muhadditsin memandang identik antara sunnah dan hadits.



V. Sunnah dalam Syariat Islam

a. Kedudukan Rasulullah dalam Syariat Islam

Untuk mengetahui kedudukan sunah Rasulullah saw. dalam syari’at Islam, kita perlu melihat dasar-dasarnya dalam al-Qur’an yang menjelaskan kedudukan Rasulullah saw. Di dalam al-Qur’an kita bisa melihat bahwa Rasulullah mempunyai tugas dan peran sebagai berikut:

1. Menjelaskan Kitabullah

Allah berfirman:

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

Artinya: Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka memikirkan. (an-Nahl: 44).

2. Rasulullah merupakan Teladan Baik yang wajib dicontoh oleh setiap Muslim.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan Hari Kiamat dan ia banyak menyebut Allah (al-Ahzab: 21)

3. Rasulullah wajib ditaati

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ

Artinya: Wahai orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya. (al-Anfal: 20)

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ

Artinya: Barangsiapa taat kepada Rasulullah maka berarti ia taat kepada Allah. (an-Nisa’: 80)

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا

Artinya: Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (an-Nisa’: 69)

4. Rasulullah Saw mempunyai wewenang (kekuasaan) untuk membuat suatu aturan.

الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ آَمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ. قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ فَآَمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Artinya: Orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi, yang namanya mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang munkar, dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk, dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung. Katakanlah, “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi, tidak ada Tuhan selain Dia. Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya), dan ikutilah dia supaya kamu mendapatkan petunjuk.” (al-A’rof: 157-158)

Dari keterangan ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa taat kepada Rasulullah saw adalah suatu kewajiban, sebab taat kepada Allah juga disyaratkan taat kepada Rasulullah. Dan setelah Rasulullah wafat kataatan itu diwujudkan dalam menerima dan mengikuti sunnah-sunnahnya. Oleh karena itu umat Islam sejak periode-periode pertama secara praktis telah sepakat untuk menerima dan memakai Sunnah-sunnah Rasulullah saw. Sebagai perwujudannya, hukum-hukum yang mereka terapkan sejak zaman Nabi tidak pernah menyimpang dari ketentuan-ketentuan itu.

b. Kedudukan Sunnah terhadap Al-Qur’an

Sunnah berfungsi menopang al-Qur’an dalam menjelaskan syari’at Islam. Bentuk penopang tersebut dapat dirumuskan ke dalam tiga hal sebagai berikut:

Pertama, Sunnah berfungsi menjelaskan ayat yang masih mubham, merinci ayat yang mujmal, mentakhsis ayat yang umum –meskipun kekuatan sunnah dalam mentakhsis ayat al-Qur’an yang umum masih diperselisihkan ulama, dan menjelaskan ayat al-Qur’an yang nasikh dan mansukh- menurut jumhur ulama yang berpendapat adanya kemungkinan nasakh pada sebagian hukum-hukum al-Qur’an. Diantara contoh-contoh sunnah yang berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Qur’an adalah seperti pejelasan tentang shalat, zakat, dan lain-lainnya. Misalnya, Imam Syafi’i menganggap bahwa hadits di bawah ini

لاَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَلاَ عَلَى خَالَتِهَا وَلاَ عَلَى اِبْنَةِ أُخْتِهَا وَلاَ اِبْنَةِ اَخِيْهَا

Artinya: Tidak boleh dinikahi seorang perempuan bersama dengan bibi dari jurusan bapak, bibi dari jurusan ibu, kemenakannya (anak dari saudara perempuannya), dan kemenakannya (anak dari saudara laki-laki). (HR. Imam Ahmad)

Hadits ini menurut Imam Syafi’i, mentakhsis firman Allah:

وَاُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذلِكُمْ

Artinya: Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (QS. an-Nisa’: 24)

Nampaknya Imam-imam yang lain sependapat dengan asy-Syafi’i dalam kaitannya dengan hadits tadi, mseki masih diperselisihkan tentang kekuatannya, apakah tergolong hadits ahad atau hadits masyhur.

Kedua, sunnah menambah kewajiban-kewajiban syara’ yang ketentuan pokoknya telah ditetapkan nash al-Qur’an. Misalnya, Sunnah datang dengan membawa hukum-hukum tambahan yang menyempurnakan ketentuan-ketentuan pokok tersebut. Di antara contoh hadits semacam ini adalah masalah li’an. Al-Qur’an telah menerangkan dengan jelas dan sempurna masalah ini, kemudian sunnah memberikan ketetapan untuk memisahkan suami-isteri itu dengan jalan perceraian. Perceraian ini mengandung hikmah, karena tsiqoh (kepercayaan) yang menjadi dasar kehidupan berumah tangga telah hilang dari suami-isteri itu.

Ketiga, Sunnah membawa hukum yang tidak ada ketentuan nashnya di dalam al-Qur’an, tidak pula merupakan tambahan terhadap nash al-Qur’an. Di antara contoh sunnah semacam ini adalah pelarangan memakan keledai kampung (al-humur al-ahliyah), daging binatang buas, dan beberapa ketentuan tentang diyat[xxix].

Dari keterangan tersebut di atas jelaslah bahwa memakai al-Qur’an saja dan meninggalkan Sunnah adalah sesuatu yang tidak mungkin dan tidak dibenarkan. Oleh karena itu, Imam Syafi’i mengatakan bahwa setiap orang yang menerima hukum-hukum yang diwajibkan oleh Allah maka berarti ia menerima Sunnah-sunnah Rasul-Nya serta menerima hukum-hukumnya. Begitupula orang yang menerima sunnah-sunnah rasul, ia berarti menerima perintah-perintah Allah. Keduanya merupakan satu kesatuan dalam kaitannya dengan kepentingan istidlal dan dipandang sebagai sumber pokok (ashl) yang satu, yakni nash. Keduanya saling menopang secara sempurna dalam menjelaskan syari’ah.[xxx]

Dalam konteks ini Imam asy-Syatibi berkata: “Di dalam melakukan istinbath hukum, tidak seyogyanya hanya membatasi dengan memakai dalil al-Qur’an saja, tanpa memperhatikan pejabaran (syarah) dan penjelasannya (bayan), yaitu sunnah. Sebab di dalam al-Qur’an terdapat banyak hal yang masih global seperti keterangan tentang sholat, zakat, haji, puasa dan lain-lainnya, sehingga tidak ada jalan lain kecuali harus menengok keterangan dari sunnah.”

c. Kehidupan Keseharian Nabi

Telah dijelaskan di depan bahwa Sunnah Nabi meliputi perkataan, perbuatan, dan keputusan (ketetapan) Nabi. Dan tidak diragukan lagi, bahwa setiap perkataan dan keputusan nabi termasuk ajaran dan hujjah dalam agama. Jika begitu, apakah setiap perbuatan Nabi dalam hal pakaian dan makanan juga termasuk ajaran agama?

Para ulama telah membagi perbuatan-perbuatan Nabi kepada tiga macam:

Pertama, perbuatan yang menyangkut penjelasan syari’at, seperti shalat, puasa, haji, aqad muzara’ah (bagi hasil) dan hutang piutang yang dilakukan Nabi. Aneka ragam perbuatan Nabi semacam itu merupakan syari’at yang harus diikuti. Misalnya, praktek-praktek jual beli yang dijalankan Nabi berarti menunjukkan bahwa jual beli tersebut hukumnya mubah. Dan, setiap perbuatan-perbuatan keagamaan (amal diniyah) yang dilakukan Nabi tidak lain merupakan rincian terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal (global).

Dengan demikian dapat kita katakan, bahwa perbuatan Nabi yang merupakan penjelasan terhadap syari’at terbagi dua macam :

a. Perbuatan-perbuatan yang menjelaskan syari’at yang masih mujmal

b. perbuatan-perbuatan Nabi yang menunjukkan bahwa perbuatan itu hukumnya mubah.

Kedua macam perbuatan ini, hukum-hukumnya berlaku umum, tidak hanya berlaku terbatas pada Nabi saja.

Kedua, perbuatan yang dilakukan Nabi, yang berdasar dalil dinyatakan bahwa perbuatan itu khusus berlaku untuk Nabi, seperti perkawinannya yang lebih dari empat isteri.

Ketiga, perbuatan Nabi yang dikerjakan yang merupakan tuntutan tabi’at kemanusiaan atau adat istiadat yang berlaku di negeri Arab, seperti memakai pakaian, makanan, dan barang-barang halal yang diperoleh serta cara-cara memperolehnya dan sebagainya. Itu semua merupakan perbuatan-perbuatan Nabi yang dilakukan sesuai dengan tabi’at kemanusiaannya dan adat istiadat kaumnya.

Diantara hal-hal yang masih diperdebatkan oleh sebagian ulama, dari segi apakah perbuatan atau kebiasaan Nabi itu termasuk dalam konteks menjelaskan hukum syara’ ataukah dalam konteks adat kebiasaan masayarakat Arab, seperti perbuatan Nabi merawat jenggot. Kebanyakan ulama menganggap bahwa perbuatan itu termasuk Sunnah yang harus diikuti. Mereka menguatkan pendapatnya itu dengan sabda Nabi saw:

قَصُّوا الشَّارِبَ وَاعْفُوا الِّلحْيَ

Artinya: Cukurlah kumismu dan biarkanlah tumbuh panjang jenggotmu

Dengan dalil hadits ini, mereka berpendapat bahwa mencukur kumis dan memelihara jenggot bukanlah merupakan adat, akan tetapi terkait dengan hukum syara’.

Sedang para ulama yang berpendapat bahwa perbuatan Nabi memelihara jenggot itu termasuk adat, bukan penjelasan hukum syara’, mengemukakan alasan bahwa larangan (nahi) tidak mesti mengandung arti keharusan, berdasarkan ijma’ ulama. Perbuatan Nabi itu sebenarnya dilatarbelakangi oleh hal lain, yaitu larangan menyerupai atau meniru orang Yahudi dan orang-orang ‘ajam (non-Arab) yang memelihara kumis dan mencukur jenggot. Alasan ini memperkuat bahwa perbuatan Nabi itu dapat dilihat dari segi adat.

VI. Kesimpulan

Meskipun istilah Hadits dan Sunnah telah umum di kalangan umat Islam bukan berarti keduanya sudah dipahami dengan baik. Justru terdapat beberapa perbedaan pendapat dalam mendefinisikan Hadits dan Sunnah. Hal itu Karena disebabkan oleh perbedaan sudut pandang dari para ulama. Antara ulama ahli Fiqh dan ulama ahli Hadits mempunyai definisi tersendiri yang berimplikasi pada penyikapan terhadap keduanya. Belum lagi perbedaan antara Hadits dan Sunnah yang juga terdapat perbedaan di kalangan ulama. Sebagian ada yang menyamakan antara keduanya dan sebagian yang lain membedakan keduanya dengan menyertai dalil masing-masing.

Adapun kedudukan Sunnah dan Hadits dalam syari’at Islam tidaklah banyak perbedaan pendapat. Jumhur ulama sepakat bahwa Sunnah-Hadits merupakan sumber kedua dalam hukum Islam setelah al-Qur’an. Hal itu sudah diakui oleh kalangan ulama Fiqh dan ulama Hadits, kecuali segelintir kelompok yang membantahnya, yaitu kelompok inkar-sunnah. Berdasarkan dalil-dalil al-Qur’an maupun Hadits sendiri, tidaklah benar hanya berpegang pada al-Qur’an tanpa mempertimbangkan Sunnah-sunnah Rasulullah saw.





DAFTAR PUSTAKA





Al-Qaradhawi, Yusuf. 1997. Fiqih Peradaban: Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan. (terj). (Surabaya: Dunia Ilmu)

Al-Syafi’i. 1358/1940. ar-Risalah, Editor Ahmad Syakir, (Cairo:)

As-Shalih, Subhi. 1995. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits (terj). (Jakarta: Pustaka Firdaus)

As Shiddieqy, M. Hasbi. 1967. Kriteria antara Sunnah dan Bid’ah. (Jakarta: Bulan Bintang)

As Shiddieqy, M. Hasbi. 1991. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. (Jakarta: Bulan Bintang)

As Siba’i, Musthafa. 1978. As Sunnah Wa Makanatuha fi At Tasyri’ Al Islami. (Cetakan kedua) (Dimasyq: al-Maktab al-Islami)

Azami, Muhammad Mustafa. 1977. Studies in Hadith Methodology and Literature (Indianapolis: Islamic Teaching Centre)

Azami, M.M. 2006. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (terj), (Jakarta: Pustaka Firdaus)

Goldziher, Ignaz. 1981. Introduction to Islamic Theology and Law. (terj). (Princeton: Princeton University Press)

Ham, Mashadi. 2000. Evolusi Konsep Sunnah: Implikasinya pada Hukum Islam. (Semarang: Aneka Ilmu)

Ismail, M. Syuhudi. 1988. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis. (Jakarta: Bulan Bintang)

Munawwir, A.W. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. (Edisi Kedua). (Surabaya: Pustaka Progresif)

Rahman, Fazlur. 1979. Islam. (edisi kedua). (Chicago: University of Chicago Press)

Rahmat, Jalaluddin. “Pemahaman Hadis: Perspektif Historis” dalam Al-Hikmah Jurnal Studi-Studi Islam. (Bandung: Yayasan Muthahhari, 17 Vo;. VII / Tahun 1996)

Rasyid, Daud. 2002. Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan. (Jakarta: Akbar)

Zahrah, Muhammad Abu. 2005. Ushul Fiqih. (cetakan ke-9) (Jakarta: Pustaka Firdaus)

Zuhri, Muh. 2003. Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologi. (Yogyakarta: Tiara Wacana)





[i] A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Edisi Kedua, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 242

[ii] M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 20

[iii] Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits (terj), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 15

[iv] Ibid., hlm 16

[v] Muhammad Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature, (Indianapolis: Islamic Teaching Centre, 1977), hlm. 1-2.

[vi] Demikian pendapat al-Hafidh dalam Syarah al-Bukhari, M. Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit. hlm. 22

[vii] Ibid., hlm. 23

[viii] Jalaluddin Rahmat, “Pemahaman Hadis: Perspektif Historis” dalam Al-Hikmah Jurnal Studi-Studi Islam, (Bandung: Yayasan Muthahhari, 17 Vo;. VII / Tahun 1996), hlm. 21-31

[ix] Mashadi Ham, Evolusi Konsep Sunnah: Implikasinya pada Hukum Islam, (Semarang: Aneka Ilmu, 2000), hlm. 33

[x] M. Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., hlm. 23

[xi] Lisanul al-‘Arab: kata “sunan”

[xii] Mukhtar al-Shihah, hlm. 339. Lihat Juga M. Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit. hlm. 24.

[xiii] Ibid, hlm. 24

[xiv] M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (Terj), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), hlm. 16-18.

[xv] Ibid., hlm. 14

[xvi] Fazlurrahman, Islam

[xvii] M. Syuhudi Ismail, Pengantar, hlm. 7; lihat juga M. Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., hlm.35

[xviii] Ibid., hlm. 7-8

[xix] HR. Imam al-Bukhari

[xx] HR. Imam al-Bukhari

[xxi] M. Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., hlm. 37

[xxii] M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, op.cit. hlm. 20

[xxiii] Mashadi Ham, Evolusi Konsep Sunnah, op.cit. hlm. 40. Hasbi ash-Siddieqy, op.cit. hlm.37

[xxiv] Ibid., hlm 41

[xxv] M Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar, op.cit., hlm. 38

[xxvi] Subhiy as-Shaleh, op.cit. hlm. 6

[xxvii] M Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar, op.cit., hlm. 37

[xxviii] M. Syuhudi Ismail, Pengantar, op.cit., hlm. 16

[xxix] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pusataka Firdaus, 2005 cetakan ke-9), hlm. 162

[xxx] Al-Syafi’i, ar-Risalah, Editor Ahmad Syakir, (Cairo: 1358/1940), hlm. 33

Rabu, 20 April 2011

Konsep Ta'wil Dalam Islam

Konsep Ta'wil Dalam Islam
Oleh
Abdurrahman Mardafi
A. PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah firman Allah (Kalamullah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam dengan menggunakan bahasa Arab. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah metode untuk menjelaskan makna-makna yang terkandung dalam lafazh-lafazh kitab suci tersebut. Metode itu dikenal dalam tradisi Islam dengan tafsir, sebuah metode kajian yang bertujuan untuk memahami ayat-ayat Al-Qur'an. Bidang kajian tafsir adalah makna lafazh Al-Qur’an, sementara Al-Qur’an sendiri adalah kitab tasyrî’ yang berbahasa Arab, maka metode tafsir tidak dapat dipisahkan dari sumber bahasa dan syari’at.
Di samping itu, lafazh Al-Qur'an terkadang diungkapkan secara tersirat (implisit) dan tidak tersurat (eksplisit), atau diisyaratkan terutama dalam ayat-ayat Mutasyabihat,[1] sehingga maknanya tersembunyi di bawah permukaan lafazh. Makna tersebut dapat ditemukan dengan menggunakan metode lain yaitu ta'wil, sebuah metode untuk menemukan makna batin (esoteris) dalam pengungkapan teks. Jadi, ta'wil dapat berarti pendalaman makna (intensification of meaning) dari tafsir. Seperti firman Allah "Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati" (Al-An'am: 95), jika yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah mengeluarkan burung dari telur, maka itulah tafsir. Tetapi jika yang dimaksud adalah mengeluarkan orang beriman dari orang kafir, atau orang berilmu dari orang yang bodoh, maka itulah ta'wil.[2]
Dewasa ini, muncul anggapan bahwa ta'wil adalah hermeneutika Islam,[3] seiring dengan maraknya upaya-upaya untuk mengaplikasikan hermeneutika sebagai metode baru dalam kajian Al-Qur'an menggantikan metode yang telah dirumuskan oleh para ulama. Terbukti dengan banyaknya para pemikir muslim kontemporer yang mengusung metode hermeneutika dalam kajian Al-Qur'an, seperti Nasr Hamid Abu Zaid, Mohammed Arkoun, Mohammed Shahrour, Hassan Hanafi, Farid Esack, dan Fazlur Rahman.
Salah satu contoh hasil dari metode penafsiran hermeneutika ini adalah kesimpulan Shahrour tentang ayat hijab dalam QS. Al-Ahzab: 59. Menurut Shahrour, ayat yang turun di Madinah ini harus dipahami dengan pemahaman temporal, karena terkait dengan tujuan keamanan dari gangguan terhadap para wanita ketika tengah bepergian untuk suatu keperluan. Gangguan alam (thabi'i) maupun sosial (ijtima'i); gangguan alam terkait dengan cuaca seperti suhu panas dan dingin, sedangkan gangguan sosial terkait dengan kondisi dan adat istiadat suatu masyarakat. Namun, alasan keamanan ini sekarang telah hilang semuanya. Maka, hendaknya wanita mukminah (dianjurkan bukan diwajibkan) menutup bagian-bagian tubuhnya yang bila terlihat menyebabkannya adanya gangguan, yaitu dengan berpakaian menurut kondisi cuaca sehingga terhindar dari gangguan alam dan menyesuaikan dengan kondisi lingkungan sekitar sehingga tidak mengundang gangguan masyarakat.[4]
Ta'wil berbeda dengan hermeneutika, karena ta'wil harus berdasarkan dengan tafsir, dan tafsir berdiri di atas lafazh harfiah Al-Qur'an. Perbedaan yang lain, orientasi ta'wil adalah penetapan makna, sedangkan orientasi hermeneutika adalah pemahaman yang berubah-ubah dan nisbi mengikuti pergerakan manusianya.[5] Selain itu, dari latar belakang historisnya, metode hermeneutika lahir dari rahim tradisi Barat yang memiliki sejumlah masalah dengan teks-teks kitab suci mereka.[6]
Dari pemaparan di atas, kiranya sangat urgen untuk mengkaji lebih dalam tentang metode ta'wil yang merupakan warisan kekayaan khazanah tradisi Islam yang dianggap identik dengan hermeneutika. Tulisan ini akan membahas tentang konsep ta'wil; definisinya, kaitannya dengan makna, ruang lingkup ta'wil, dan kaidah-kaidah dalam ta'wil.

B. DEFINISI TA'WIL
1. Menurut Bahasa
Secara etimologi, ta'wil berasal dari kata آلَ يَؤُوْلُ أَوْلٌ ((الأَوْلُ yang artinya الرجوع (kembali)[7] dan العاقبة (akibat atau pahala),[8] seperti firman Allah dalam QS. An-Nisa': 59[9] dan hadith من صام الدهر فلا صام ولا آل (Barangsiapa yang berpuasa sepanjang masa, maka berarti ia tidak berpuasa dan tidak ada balasannya).[10] Sedangkan isim makan dan zamannya adalah موئلا atau الموئل yang berarti المرجع tempat kembali, seperti dalam QS. Al-Kahfi: 58.[11] Ada juga yang mengatakan bahwa kata " أَوَّلَ " yang berarti الرجوع إليه و يعتمد عليه(kembali dan bersandar kepadanya), juga memberi pengertian unggul dan memiliki pengikut, seperti dalam firman Allah QS. At-Taubah:108 dan Al-An'am: 163.[12] Kata أَوَّلَ digunakan karena sesudahnya kembali dan bersandar kepadanya.[13]

2. Menurut Istilah
Sedangkan dalam terminologi Islam, Ibnu Manzhur menyebutkan dua pengertian ta'wil secara istilah dalam Lisan Al-Arab; pertama, ta'wil adalah sinonim (muradhif) dari tafsir. Kedua, ta'wil adalah memindahkan makna zhahir dari tempat aslinya kepada makna lain karena ada dalil.[14]
Al-Jurjani dalam kamus istilahnya yang terkenal At-Ta'rifat, menyatakan "Ta'wil secara bahasa bermakna kembali, sedangkan secara istilah bermakna mengalihkan lafazh dari maknanya yang zhahir kepada makna lain (batin) yang terkandung di dalamnya, apabila makna yang lain itu sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah".[15]
Ibnu Al-Jawzi dalam bukunya Al-Idhah li Qawanin Al-Istilah mengatakan bahwa, "Ta'wil adalah mengalihkan lafazh ambigu (muhtamal) dari maknanya yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) karena adanya dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh pembicara adalah makna yang lemah".[16]
Imam Haramain Al-Juwaini dalam bukunya Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqh berkata, "Ta'wil adalah mengalihkan lafazh dari makna zhahir kepada makna yang dimaksud (esoteris) dalam pandangan penta'wil".[17]
Abu Hamid Al-Ghazali dalam bukunya Al-Mustashfa Min Ilmi Al-Ushul mengatakan, "Ta'wil adalah sebuah ungkapan (istilah) tentang pengambilan makna dari lafazh yang ambigu (muhtamal) dengan didukung dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan oleh lafazh zhahir".[18]
Abu Al-Hasan Al-Amidi Rahimahullah salah seorang ulama ushul dalam Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam mengatakan, "Ta'wil adalah mengalihkan lafazh yang muhtamal dari makna zhahirnya berdasarkan dalil yang menguatkannya".[19]
Ibnu Taimiyah dalam bukunya Al-Iklil fi Al-Mutashabih wa At-Ta'wil menyatakan bahwa ulama mutaqaddimin (salaf) berpendapat bahwa ta'wil merupakan sinonim dari tafsir, sehingga hubungan (nisbat) diantara keduanya adalah sama. Seperti yang digunakan oleh Ibnu Jarir At-Thabari dalam tafsirnya Jami' Al-Bayan fi Ta'wil Ayat Al-Qur'an; ta'wil dari ayat ini adalah demikian, para ulama berbeda pendapat tentang ta'wil ayat ini. Kata ta'wil yang dimaksudkan oleh beliau adalah tafsir. Sedangkan ta'wil menurut ulama mutaakhkhirin (khalaf) dari kalangan ulama ushul, kalam, dan tashawwuf adalah mengalihkan makna lafazh yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh), karena ada dalil yang menyertainya.[20]
Lebih terperinci lagi, Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa menegaskan bahwa istilah ta'wil memiliki tiga pengertian; pertama, berarti maksud dari sebuah perkataan baik sesuai dengan zhahir lafazh maupun bertentangan (makna esoteris). Makna inilah yang sering digunakan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, seperti QS. Al-A'raf: 53.[21] Contoh lain, riwayat dari 'Aisyah Radhiyallah 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dalam rukuk dan sujudnya banyak membaca, سبحنك اللهم ربنا و بحمدك اللهم اغفر لي (Maha Suci Engkau ya Allah dan segala puji bagi-Mu, ya Allah ampunilah aku)[22] sebagai ta'wil dari firman Al-Qur'an QS. An-Nashr: 3.[23] Kedua, berarti tafsir sebagaimana yang digunakan oleh kebanyakan para ulama ahli tafsir. Seperti perkataan Mujahid (imam al-mufassirin), "Sesungguhnya orang-orang yang mendalam ilmunya (rasikhun) mengetahui ta'wil ayat-ayat mutasyabihat". Kata ta'wil yang beliau maksudkan adalah tafsir dan penjelasan maknanya. Ketiga, berarti mengalihkan lafazh dari makna zhahirnya karena adanya dalil yang menunjukkan hal itu. Pengertian istilah ini belum ada pada zaman salaf, baru dikenal pada zaman mutaakhkhirin (khalaf) dari kalangan ahli fiqih, kalam, dan tashawwuf.[24]
Jadi, ta'wil dalam istilah salaf adalah sinonim dari tafsir. Kemudian pada masa khalaf mengalami perubahan makna menjadi suatu pengalihan makna lafazh yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) dengan berdasarkan dalil.


3. Ta'wil dalam Al-Qur'an
Kata ta'wil dalam Al-Qur'an disebutkan sebanyak 17 kali. Dari penggunaan kata ta'wil dalam ayat-ayat tersebut, dapat klasifikasikan menjadi tiga macam pengertian;
a. Ta'wil li al-qaul (ta'wil perkataan)
Berarti makna sebuah perkataan dan hakekat yang dimaksudkan. Dalam bahasa Arab, perkataan terbagi menjadi dua; yaitu insya' dan khabar, bagian utama dari insya' adalah amr (perintah). Oleh karenanya, ta'wil dalam hal ini memiliki dua pengertian;
• Ta'wil Amr yaitu dengan mengerjakan apa yang diperintahkan, contohnya hadith riwayat Aisyah Radhiyallah 'anha seperti yang telah disebutkan di atas.
• Ta'wil Ikhbar yaitu terjadinya suatu peristiwa sebagaimana yang dikabarkan, seperti firman Allah QS. Al-A'raf : 53.[25] Allah mengabarkan akan datangnya hari kiamat, sedangkan manusia menunggu ta'wil (terjadinya) yang dikabarkan Al-Qur'an.
b. Ta'wil li al-fi'l (ta'wil perbuatan)
Seperti apa yang dikatakan oleh sahabat Nabi Musa 'Alaihissalam setelah melubangi perahu tanpa seizin pemiliknya, membunuh seorang anak, dan menegakkan kembali bangunan roboh, dalam QS. Al-Kahfi: 82.[26]
c. Ta'wil li ar-ru'ya (ta'wil mimpi)
Ta'wil li ar-ru'ya atau ta'wil al-ahadith (ta'wil mimpi), seperti perkatan Nabi Ya'qub kepada putranya Nabi Yusuf 'Alaihimassalam dalam QS. Yusuf : 6,[27] dan sebaliknya pada ayat: 100.[28]

C. ANTARA TAFSIR DAN TA'WIL
Dari difinisi ta'wil di atas, dapat diambil persamaan dan perbedaan serta keterkaitan antara keduanya. Tafsir dalam terminologi Islam adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alahi wasallam, memahami maknanya, mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya berdasarkan pada ilmu bahasa, nahwu, sharaf, ilmu bayan (balaghah), ushul fiqh, ilmu qira'at, asbab nuzul, dan nasikh dan mansukh.[29]
Ibnu Faris menyatakan bahwa maksud sebuah ungkapan tidak lepas dari tiga hal; makna, tafsir, dan ta'wil. Meskipun berbeda dari segi istilah, namun maksud dari ketiganya saling berdekatan dan terkait. Makna adalah maksud dan tujuan dari sebuah perkataan. Sedangkan tafsir, menyingkap maksud yang tersembunyi dari sebuah ayat. Adapun ta'wil, mengalihkan lafazh dari suatu makna kepada makna lain yang dikandungnya. [30]
Ar-Raghib Al-Isfahani mengatakan, "Tafsir lebih umum dari pada ta'wil. Tafsir lebih banyak digunakan kepada lafazh-lafazh, sedangkan ta'wil lebih banyak digunakan kepada makna-makna, seperti ta'wil mimpi. Ta'wil juga lebih banyak digunakan dalam kitab-kitab suci, sedangkan tafsir banyak digunakan untuk menemukan makna kata-kata dalam sebuah ucapan".[31]
Az-Zarkasyi menambahkan bahwa, tafsir dalam istilah para ulama adalah menyingkap atau menemukan makna-makna Al-Qur'an dan menjelaskan maksudnya, ia lebih umum dari ta'wil yang hanya sekedar membahas lafazh-lafazh yang ambigu atau makna yang zhahir atau permasalah lafazh lainnya. Tafsir lebih banyak digunakan dalam kalimat-kalimat.
Selain itu, tafsir juga membahas lafazh-lafazh yang asing, seperti البحيرة السائبة، dan الوصيلة atau memberi penjelasan singkat tentang maksud sebuah ayat وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ baik perkataan yang mengandung sebuah kisah yang sulit digambarkan kecuali orang yang mengetahui sebenarnya, seperti ayatإِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ atau وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا. Sedangkan ta'wil, terkadang menggunakan lafazh umum dan terkadang lafazh khusus. Seperti kata kufur yang terkadang diartikan ingkar dalam arti yang umum, terkadang juga digunakan untuk pengingkaran terhadap Allah Azza wa Jalla dalam arti yang khusus, dan kata iman yang terkadang diartikan mempercayai (tashdiq) dalam arti yang umum, terkadang juga digunakan untuk membenarkan kebenaran, baik dalam lafazh ambigu yang memiliki beberapa makna.
Al-Bajili mengatakan bahwa tafsir berkaitan dengan riwayah (riwayat) sedangkan ta'wil berkaitan dengan dirayah (ilmu pengetahuan).[32] Hal serupa dinyatakan oleh Abu Nasr Al-Qushairy, "Tafsir terbatas hanya pada mengikuti dan mendengar (riwayat), sedangkan istimbath (kesimpulan) merupakan bagian dari ta'wil.[33] Ini juga pendapat Abu Manshur Al-Maturidi, sehingga ia menyimpulkan bahwa tafsir berlaku untuk para sahabat sedangkan ta'wil untuk para fuqaha' (ulama). Sebab, para sahabat adalah orang-orang yang menyaksikan turunnya wahyu dan mendengar langsung dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam serta mereka tidak akan berbicara tanpa ilmu.[34]
Ta'wil adalah hakekat luar (haqiqah kharijiyah) dari sebuah ayat, sedangkan mengetahui tafsir dan maknanya adalah mengetahui gambaran sebuah ayat secara ilmiah, karena Allah Azza wa Jalla menurunkan Al-Qur'an agar dipahami, dimengerti, direnungkan, dan dipikirkan baik ayat yang muhkamat maupun yang mutasyabihat meskipun tidak diketahui ta'wilnya.[35]
Ta'wil merupakan bagian dari tafsir, jika tafsir menyingkap tabir makna dari sebuah lafazh, maka ta'wil menemukan makna dari lafazh yang ambigu setelah tabir tersingkap. Jadi, ta'wil dapat berarti pendalaman makna (intensification of meaning) dari tafsir. Tafsir menyingkap tabir makna dari lafazh yang tersirat (implisit) sedangkan ta'wil menemukan makna batin (esoteris) dari lafazh yang eksplisit (tersurat) atau ambigu (mutasyabih).[36]
Ada pula yang mengatakan bahwa ta'wil adalah merajihkan suatu makna dari makna-makna yang terkandung dalam sebuah lafazh, sedangkan tafsir adalah menjelaskan makna lafazh yang hanya mengandung satu makna.[37]
Ada juga yang mengatakan bahwa tafsir hanya untuk mengetahui makna dan kosa-kata sebuah ayat, sedangkan ta'wil mengetahui hakekat dari yang dimaksudkan oleh ayat. Seperti tentang melihat Allah ta'ala pada hari kiamat kelak, tafsirnya adalah mengetahui bahwa Allah dapat dilihat pada hari kiamat kelak, sedangkan ta'wilnya adalah hakekat dari peristiwa itu tatkala terjadi.[38]
Ringkasnya, ta'wil adalah pendalaman dari tafsir dalam mengungkap sebuah makna. Jika tafsir merupakan sebuah usaha untuk mengungkapkan suatu makna yang tersembunyi dari sebuah ayat, maka ta'wil lebih dari itu yaitu memilih makna sebuah lafazh yang ambigu yang memiliki banyak makna. Oleh karena itu, tafsir menggunakan riwayat dalam mengungkap makna sebuah ayat, sedangkan ta'wil menggunakan beberapa disiplin ilmu yang dimiliki oleh seorang mujtahid. Selain itu, tafsir biasanya hanya membahas lafazh-lafazh sedangkan ta'wil membahas makna-makna.
Jika definisi ta'wil adalah mengungkap dan memilih makna dari lafazh ambigu yang memiliki pluralitas makna, maka hermeneutika Paul Ricour merupakan hermeneutika yang paling dekat dengan difinisi ta'wil ini. Karena filsafat Ricour terarah pada hermeneutika, terutama pada interpretasi.[39] Hal ini ditegaskan sendiri oleh Ricour bahwa pada dasarnya, filsafat adalah hermeneutik yaitu kupasan tentang makna yang tersembunyi dalam teks yang kelihatan mengandung makna.[40]
Menurut Ricour, setiap kata merupakan sebuah simbol sehingga kata-kata penuh dengan makna dan intensi yang tersembunyi. Ia menambahkan, setiap apa yang diucapkan atau dituliskan memiliki makna lebih dari satu jika dihubungkan dengan konteks yang berbeda. Ricour menyebut ini dengan istilah polisemi, yaitu kata yang memiliki makna lebih dari satu bila digunakan pada konteks yang berbeda.[41]
Dengan demikian, interpretasi sangat dibutuhkan ketika terjadi pluralitas makna. Sedangkan interpretasi adalah sebuah usaha untuk mengungkap makna-makna yang masih terselubung dari multi lapisan makna yang terkandung dalam suatu kata.[42] Oleh karena itulah, Ricour menyatakan bahwa hermeneutika bertujuan untuk menyingkap misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung yang belum diketahui dan tersembunyi dalam simbol tersebut.[43]
Barangkali dari sisi inilah, sebagian orang mengidentikkan hermeneutika dengan ta'wil. Karena ta'wil merupakan usaha untuk memilih dan menetapkan makna dari lafazh yang ambigu, sedangkan hermeneutika juga merupakan usaha mengungkap makna yang masih terselubung dari lapisan makna yang terkandung dalam suatu kata. Padahal, hal ini berbeda dengan konsep ta'wil dalam Islam. Ta'wil dilakukan jika ada dalil yang mengalihkan makna lafazh dari yang eksoteris (zhahir) kepada makna esoteris (batin). Sedangkan hermeneutika tidak memperhatikan makna eksoteris (zhahir) dan langsung kepada makna esoteris (batin). Hal itu karena hermeneutika merupakan metode tafsir bible yang tidak memperhatikan zhahir teks karena bible memiliki masalah dalam otentisitas teksnya. Berbeda dengan ta'wil yang harus memperhatikan zhahir nash karena Al-Qur'an tidak memiliki masalah otentisitas teks sebagaimana bible.

E. DALIL-DALIL TA'WIL
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa ta'wil adalah mengalihkan lafazh dari makna zhahirnya (makna rajih) kepada makna esoteris (makna marjuh) berdasarkan dalil (qarinah). Para ulama menjadikan adanya dalil sebagai syarat utama dalam melakukan ta'wil. Adanya dalil shahih yang menguatkan merupakan ciri ta'wil yang shahih, sedangkan tanpa dalil adalah ta'wil yang batil dan mengikuti hawa nafsu.[44] Menurut para ulama, ada bentuk dalil-dalil yang digunakan untuk merajihkan makna esoteris (makna marjuh) dari pada makna zhahir.
1. Nash Al-Qur'an dan As-Sunnah; seperti firman Allah tentang keharaman bangkai (hewan sembelihan yang tidak menyebut nama Allah) dalam QS. Al-Maidah: 3). Ayat ini menerangkan keharaman segala sesuatu dari bangkai, termasuk kulitnya. Namun ada hadith bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada para sahabat tentang kambing milik Maimunah Radhiyallah 'anha yang mati yang akan dibuang, "Kenapa kalian tidak mengambil kulitnya kemudian kalian samak dan manfaatkan?", para sahabat menjawab, "Tapi ini bangkai?", beliau menjawab, "Yang diharamkan dari bangkai hanyalah memakannya".[45] Dalil dari hadith ini mengalihkan sebuah lafazh dari makna zhahirnya.
2. Ijma'; seperti firman Allah dalam QS.Al-Jumu'ah: 9,[46] secara zhahir ayat ini berlaku kepada semua orang beriman baik laki-laki, perempuan, orang yang merdeka, budak, maupun anak-anak. Tetapi ijma' mengecualikan anak-anak yang belum baligh.
3. Qiyas; diantara para ulama ada yang mensyaratkan harus dengan qiyas jaliy, seperti qiyas budak laki-laki pada budak perempuan dalam hal pembebasannya, sedangkan qiyas fariq tidak berlaku.
4. Hikmah Tasyri' dan kaidah-kaidah dasar syari'at; seperti kewajiban zakat dari empat puluh ekor kambing dengan satu ekor (فِي كُلِّ أَرْبَعِينَ شَاةً شَاةٌ).[47] Menurut ulama Syafi'iyah, membayar dengan seekor kambing sesuai dengan zhahir lafazh hadith dan tidak boleh menggantinya dengan uang (ikhraj al-qiymah) karena lafazhnya jelas, khusus, dan qath'i. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, boleh menggantinya dengan uang (ikhraj al-qiymah) karena hikmah dari mengeluarkan zakat adalah mencukupi kebutuhan orang-orang faqir dan uang lebih bermanfaat untuk mencukupi segala kebutuhan mereka serta lebih sesuai dengan keinginan syari'at.[48]

D. TA'WIL DAN MAKNA
Dalam kaitannya dengan masalah makna, seorang mujtahid ketika akan mengalihkan lafazh dari makna yang kuat kepada makna yang lemah harus memperhatikan hal-hal berikut;
1. Makna lughawi bahasa Arab, seperti kata shalat yang berarti do'a, zakat yang berarti penyucian, dan shaum yang berarti menahan.
2. Istilah-istilah syar'i; kata yang memiliki pengertian khusus dalam syar'i, sehingga makna kata tersebut harus dikembalikan kepada makna syar'i bukan kepada makna lughawi (bahasa).
3. Istilah dalam urf (kebiasaan), baik urf yang bersifat umum seperti kata الدابة untuk makhluk yang berkaki empat (melata) atau kata الغائط untuk kotoran, maupun urf yang bersifat khusus seperti istilah-istilah dalam ilmu nahwu, fiqh, hadith, dan ilmu-ilmu lainnya.[49]
Dalam hal pemilihan dan penetapan makna dari suatu kata yang memiliki pluralitas makna, ta'wil berbeda dengan hermeneutika. Dalam ta'wil, pemilihan dan penetapan makna harus mempertimbangkan tiga hal; makna bahasa, makna adat dan kebiasaan (urf), dan makna syar'i. Sedangkan dalam hermeneutika makna menjadi lepas (otonom) dan mengikuti kondisi tiga hal; intensi atau maksud pengarang, situasi kultural dan kondisi sosial pengadaan teks, dan kepada siapa teks ditujukan.[50]
Dengan demikian, makna dalam ta'wil menjadi baku dan tetap karena mengikuti kaidah yang baku. Sedangkan makna dalam hermeneutika menjadi bias dan relatif karena mengikuti sesuatu yang selalu berubah-rubah. Jika hal ini terjadi pada Al-Qur'an, maka ayat-ayat akan menjadi rancu dan rusak.
Selain memperhatikan tiga hal di atas, dalam mengalihkan lafazh dari makna yang kuat kepada makna yang lemah juga harus mengembalikan kepada makna yang dekat atau berdasarkan dalil. Dalam hal ini, ada tiga macam pengalihan lafazh dari makna zhahirnya;
1. Mengalihkan kepada yang terdekat. Seperti lafazh إذا قمتم إلى الصلاة dalam QS. Al-Maidah: 6,[51] kata القيام dalam ayat ini dita'wilkan (diartikan) ketika hendak dan ingin melaksanakan shalat.
2. Mengalihkan kepada yang jauh, hal ini tidak boleh dilakukan kecuali ada dalil shahih yang menguatkan bahwa yang dimaksud dari lafazh tersebut adalah makna yang jauh. Seperti sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam kepada Ghailan Ath-Thaqafi ketika masuk Islam dan masih memiliki sepuluh orang istri, " "أمسك أربعًا و فارق سائرهن(Pilihlah empat dari mereka dan ceraikanlah sisanya).[52] Ulama Hanafiah menta'wilkan hadith ini dengan perintah untuk menikahi empat orang wanita tersebut dengan akad baru karena mereka membedakan pernikahan kafir dan Islam. Pendapat ini ditentang oleh ulama lain yang berpendapat bahwa tidak perlu mengulangi akad nikahnya dengan alasan Ghailan masih baru masuk Islam dan belum mengetahui hukum-hukum Islam dan seandainya pendapat pertama benar, niscaya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam akan menjelaskan hal itu kepada Ghailan.
3. Ta'wil batil yaitu mengalihkan kepada makna yang tidak terkandung dalam lafazh. Seperti ta'wil yang dilakukan oleh kelompok Rafidhah terhadap firman Allah أَوْ آَخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ (...atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu...).[53] Mereka menta'wilkan lafazh ini dengan selain kabilah kalian, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hazm dalam Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam.[54]

F. BENTUK-BENTUK TA'WIL
Para ulama ushul merupakan kelompok yang paling mendalami kajian ayat-ayat Al-Qur'an, bila dibandingkan dengan kelompok disiplin ilmu lainnya. Hal itu mereka lakukan untuk kepentingan pengambilan hukum (istimbath al-ahkam). Sehingga kajian para ulama ushul merupakan kelanjutan dari kajian para ulama bahasa dan hadith. Dari pendalaman kajian tersebut, mereka menemukan beberapa bentuk ta'wil, diantaranya mengkhususkan lafazh yang umum (takhshish al-umum), membatasi lafazh yang mutlak (taqyid al-muthlaq), mengalihkan lafazh dari maknanya yang hakiki kepada yang majazi, atau dari makanya yang mengandung wajib menjadi makna yang sunnah.[55]
1. Mengalihkan lafazh dari maknanya yang umum kepada yang khusus, dalam bahasa ushul disebut takhshish al-umum (تخصيص العموم). Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 228,[56] yang menerangkan bahwa wanita yang dithalaq oleh suaminya harus menjalani iddah (masa tunggu) selama tiga kali masa haidh atau masa suci (thalathah quru'). Ayat ini berlaku umum, baik istri yang sudah digauli maupun belum, haidh, monopouse, atau dalam kondisi hamil. Kemudian ayat ini ditakhshish dengan ayat yang lain dalam QS.Al-Ahzab:49,[57] yang menerangkan bahwa wanita yang belum digauli tidak memiliki iddah (masa tunggu).
2. Mengalihkan lafazh dari maknanya yang mutlak (muthlaq) kepada yang terbatas (muqayyad), dalam bahasa ushul disebut taqyid al-muthlaq (تقييد المطلق). Seperti firman Allah tentang haramnya darah dalam QS. Al-Maidah:3,[58] menggunakan lafazh mutlak (muthlaq) kemudian dibatasi (taqyid) dengan kata "mengalir" (masfuhan) dalam ayat yang lain yaitu QS.Al-An'am: 145,[59] sehingga yang diharamkan adalah darah yang mengalir.
3. Mengalihkan lafazh dari maknanya yang hakiki kepada yang majazi. Seperti pada firman Allah dalam QS.An-Nisa': 2[60] yang menerangkan untuk menyerahkan harta-harta milik anak yatim, yaitu anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya sebelum mereka baligh. Ayat ini bertentangan dengan ayat berikutnya QS.An-Nisa': 6[61] yang menerangkan untuk menyerahkan harta-harta milik anak yatim pada saat mereka telah baligh dan dewasa. Dengan ayat kedua ini, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan lafazh yatim pada ayat yang pertama bukan makna hakiki (anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya sebelum mereka baligh) tapi makna majazi yaitu ketika mereka telah baligh dan dewasa.[62]
4. Mengalihkan lafazh dari maknanya yang mengandung wajib menjadi makna yang sunnah. Seperti perintah untuk mencatat hutang piutang dalam QS. Al-Baqarah: 282 yang bermakna wajib, kemudian ada dalil (qarinah) dalam ayat lain yang yang mengalihkannya menjadi sunnah yaitu pada ayat selanjutnya QS. Al-Baqarah: 283.

G. RUANG LINGKUP TA'WIL
Allah Azza wa Jalla menurunkan Al-Qur'an dengan dua macam ayat; muhkamat dan mutasyabihat. Ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang sudah jelas maksud dan maknanya. Sedangkan mutasyabihat adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan perkara-perkara gaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain. Secara umum, ayat-ayat mutasyabihat merupakan objek kajian ta'wil (majaal al-ta'wil).
Lebih spesifik lagi Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul dalam Syarh Muqaddimah fi Ushul Tafsir Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa, mantuq memiliki lima macam; nash,[63] zhahir,[64] muawwal,[65] dalalah iqtidha',[66] dan dalalah isharah.[67] Maka nash dan zhahir adalah bagian dari pembahasan tafsir, sedangkan muawwal, dalalah iqtidha', dan dalalah isharah adalah bagian dari pembahasan ta'wil.[68]
Ash-Shaukani dalam Irsyadul Fuhul menjelaskan bahwa ada dua ruang lingkup ta'wil (majaal al-ta'wil); Pertama, kebanyakan dalam masalah-masalah furu', yakni dalam nash-nash yang berkaitan dengan hukum-hukum syariah. Ta'wil dalam ruang lingkup ini tidak diperselisihkan lagi mengenai bolehnya di kalangan ulama. Kedua, dalam masalah-masalah ushul, yakni nash-nash yang berkaitan dengan masalah aqidah. Seperti, nash tentang sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, bahwa Allah memiliki tangan, wajah, dan sebagainya. Selain itu, termasuk juga huruf muqattha'ah di permulaan surat-surat.[69]
1. Ta'wil dalam masalah furu'
Nash-nash hukum syariat (taklifi) merupakan lahan yang subur bagi ta'wil, karena banyak mengandung lafazh ambigu (muhtamal) yang juga menjadi lahan untuk berijtihad. Selain itu, keinginan untuk memahami nash syar'i memicu para ulama untuk melakukan ta'wil. Kendati demikian, ta'wil tidak berlaku pada nash-nash qath'i dan muhkam yang hanya memiliki satu makna dan makna yang dimaksud oleh syari'ah sudah jelas. Sebagaimana dalam kaidah disebutkan tidak ada ijtihad jika ada nash yang qath'i, mufassar, dan muhkam. Seperti bagian-bagian dalam warisan dan hukuman (had) yang disebutkan dalam nash-nash syar'i terhadap pelaku perbuatan dosa-dosa besar.[70]
Menurut ulama Hanifiyah, yang menjadi objek ta'wil adalah an-nash dan azh-zhahir.[71] Meskipun jelas, namun tidak menutup adanya kemungkinan (ihtimal) makna lain, sehingga menuntut adanya tarjih di antara makna-makna yang ada oleh seorang mujtahid dengan berlandaskan pada dalil. Selain an-nash dan azh-zhahir, termasuk juga lafazh yang mujmal (global) jika belum diperjelas (ditafsir). Seperti hukum mengusap kepala yang kadarnya masih mujmal, meskipun maknanya jelas akan tetapi hal ini membuka ruang untuk ta'wil dalam hal kadarnya. Oleh karena itulah para ulama berbeda pendapat tentang huruf ba' dalam firman Allah (وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ).[72] Jika nash ayat yang mujmal ini diperjelas (ditafsir) niscaya tidak akan ada ta'wil di dalamnya.[73]
Ta'wil tidak dapat dilakukan pada lafazh yang khafi karena meskipun tersembunyi tapi maknanya jelas. Begitu juga pada lafazh musytarak, meskipun memiliki banyak makna, namun maknanya dapat diketahui dengan adanya indikasi (qarinah) di luar lafazh dan bukan mengalihkan lafazh dari maknanya yang kuat (rajih) kepada yang lemah (marjuh), bukan dengan pendekatan ushul fiqh tapi pendekatan bahasa.[74]
Jadi, nash-nash Al-Qur'an dan As-Sunnah yang memiliki derajat qath'i ad-dilalah tidak bisa dita'wil karena lafazhnya jelas dan hanya memiliki satu makna, seperti nash tentang masalah ushul, perkara-perkara yang merupakan aksioma keagamaan (ma'lum min ad-din bi adh-dharurah), atau lafazh yang mujmal tapi diperjelas (ditafsir) seperti shalat, zakat, shiyam, haji yang dijelaskan oleh As-Sunnah.[75]
Sedangkan dalam hermeneutika tidak ada klasifikasi teks, semua teks sama dan semua teks dapat ditafsirkan dengan metode hermeneutika. Jika hermeneutika diterapkan kepada Al-Qur'an, maka yang muhkamat menjadi mutasyabihat, ushul menjadi furu', thawabit menjadi mutaghayyirat, qath'i dilalah menjadi zhanniy dilalah, dan yang ma'lum menjadi majhul.[76]

2. Takwil dalam masalah ushul
Objek kajian ta'wil (majaal al-ta'wil) dalam masalah ushul kebanyakan dalam masalah asma' dan sifat Allah Ta'ala. Dalam hal ini, Asy-Syaukani menyebutkan tiga madzhab; Madzhab Pertama, berpendapat nash tidak boleh dita'wil dan harus dipahami secara zhahirnya. Inilah pendapat Musyabbihah (golongan yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk). Madzhab Kedua, berpendapat nash aqidah ada ta'wilnya, tetapi yang tahu ta'wilnya hanya Allah saja (QS Ali ’Imran :7).[77] Jadi, nash tidak boleh dita'wilkan untuk tetap memurnikan aqidah dari tasybih (menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk) dan ta'thil (meniadakan sifat-sifat Allah). Madzhab Ketiga, berpendapat nash aqidah boleh dita'wilkan.[78]
Ibnu Burhan memandang bahwa madzhab pertama adalah batil, sedang madzhab kedua dan ketiga diriwayatkan dari para shahabat. Madzhab kedua adalah madzhab Salafush Shaleh. Sedang madzhab ketiga diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas (dalam satu riwayat), dan Ummu Salamah.[79]
Akar masalah dari perbedaan pendapat di atas adalah pembacaan dan pemahaman terhadap firman Allah QS Ali ’Imran :7. Ada yang berpendapat bahwa pembacaan ayat tersebut berhenti (waqaf) pada lafazh Jalalah (وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ), Sehingga maknanya, tidak ada yang mengetahui ta'wil ayat mutasyabihat kecuali Allah. Inilah pendapat 'Aisyah, 'Urwah, Abu Asy-Sha'tsa, Ubay bin Ka'ab, Ibnu Mas'ud, Malik bin Anas, Umar bin Abdul Aziz, Ibnu Jarir Ath-Thabari, dan lain-lain. Sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa pembacaan ayat tersebut berhenti (waqaf) pada kata ar-rasihkhun fi al-ilm (وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ), sehingga maknanya tidak ada yang mengetahui ta'wil ayat mutasyabihat kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya (ar-rasihkhun fi al-ilm). Inilah pemahaman Ibnu Abbas, Mujahid, Rabi' bin Anas, Muhammad bin Ja'far, dan diikuti mayoritas para mufassir dan ulama ushul.[80]
Dari dua pendapat di atas, Ibnu Taimiyah berusaha mengkompromikan dengan menyatakan bahwa keduanya adalah pendapat ulama salaf. Pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada yang mengetahui ta'wil ayat-ayat mutasyabihat kecuali Allah, maka yang dimaksud adalah hakikat dari ayat tersebut. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa yang mengetahui ayat-ayat mutasyabihat Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya (ar-rasikhun fi al-ilm), maka yang dimaksud adalah makna dari ayat tersebut.[81]
Pendapat Ibnu Taimiyah di atas dikuatkan oleh beberapa dalil, diantaranya pernyataan Ibnu Abbas bahwa tafsir ada empat macam; tafsir yang diketahui oleh orang-orang arab dengan bahasa mereka, tafsir yang diketahui oleh semua orang, tafsir yang diketahui hanya oleh para ulama, dan tafsir yang hanya diketahui oleh Allah Azza wa Jalla.[82] Di sisi lain, Ibnu Abbas juga menyatakan, "Saya termasuk ar-rasikhun fi al-ilm yang mengetahui ta'wil Al-Qur'an (ayat-ayat mutasyabihat)",[83] hal itu berkat do'a Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam kepada Ibnu Abbas, "Ya Allah pahamkanlah ia tentang agama dan ajarilah ia ta'wil".[84] Kedua pernyataan Ibnu Abbas ini tidak akan kontradiksi jika dipahami dengan pendapat Ibnu Taimiyah di atas.
Dalam masalah ta'wil ayat-ayat yang berkenaan dengan asma' dan sifat Allah, para ulama salaf berbeda pandangan dengan ulama khalaf, termasuk Asy-Syaukani. para ulama salaf menetapkan asma' dan sifat Allah sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah sendiri dalam al-Qur'an dan sebagaimana yang ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dalam As-Sunnah tanpa ta'thil (meniadakan sifat), tasybih (menyerupakan dengan makhluk), dan takyif (menanyakan bagaimana hakikatnya), karena tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang serupa dengan Allah Azza wa Jalla.[85] Sebagaimana yang Allah tegaskan sendiri dalam QS. Asy-Syura: 11.[86]
Para ulama salaf juga tidak melakukan ta'wil terhadap asma' dan sifat Allah, seperti jawaban Imam Malik ketika ditanya tentang makna istiwa', "Istiwa' dapat dipahami, bagaimana hakikatnya tidak dapat diketahui, beriman dengan sifat tersebut hukumnya wajib, dan menanyakan tentang hal itu adalah bid'ah".[87] Begitu juga dengan pernyataan Abu Hanifah dalam bukunya Al-Fiqh Al-Akbar, "Dia memiliki tangan, wajah, dan jiwa sebagaimana Allah Ta'ala sendiri sebutkan dalam Al-Qur'an. Dia memiliki sifat tanpa boleh ditanya bagaimana hakikatnya, dan tidak boleh dikatakan (dita'wil) bahwa tangan-Nya adalah kekuasaan-Nya atau nikmat-Nya, karena itu adalah peniadaan (ta'thil) sifat-Nya, perkataan itu adalah pendapat Qadariah dan Mu'tazilah, akan tetapi tangan-Nya adalah sifat-Nya tanpa boleh ditanya bagaimana hakikatnya".[88]
Sedangkan tentang ta'wil pada huruf-huruf muqattha'ah di permulaan surat-surat, para ulama juga berbeda pendapat dan terbagi menjadi dua;
pertama, pendapat yang mengatakan bahwa huruf-huruf terputus (al-huruf al-muqattha'ah) pada permulaan-permulaan surat Al-Qur'an termasuk ayat-ayat mutasyabihat, yang makna dan maksudnya hanya diketahui oleh Allah Azza wa Jalla. Inilah pendapat Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Uthman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas'ud Radhiyallah 'anhum, Amir Ash-Sha'bi, Sufyan Ath-Thawri, Rabi' bin Khuthaim, Abu Hatim bin Hibban, dan ulama-ulama salaf lainnya.[89]
Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa huruf-huruf muqattha'ah memiliki makna dan ta'wil, baik ta'wil yang jauh maupun dekat. Pendapat kedua ini memiliki dua puluh macam ta'wil, diantaranya adalah pendapat yang berdasarkan pada riwayat Ibnu Abbas Radhiyallah 'anhuma yang menyatakan bahwa setiap huruf dalam huruf-huruf muqattha'ah merupakan nama dari asma' dan sifat Allah Azza wa Jalla; alif adalah Allah, lam adalah Al-Lathif (Maha Lemah Lembut), mim adalah Al-Majid (Maha Agung), atau sifat lemah lembut-Nya dan sifat agung-Nya. Dalam riwayat yang lain Ibnu Abbas Radhiyallah 'anhuma menyatakan bahwa alim laf mim berarti ana Allah a'lam (Aku Allah mengetahui), alif lam mim shad adalah ana Allah afshil (Aku Allah memberikan keputusan), dan alif lam ra' adalah ana Allah ara (Aku Allah melihat).[90]
Fakhruddin Ar-Razi mendukung pendapat kedua dan menolak pendapat pertama dengan alasan bahwa tidak boleh dalam Al-Qur'an ada satu ayat pun yang tidak dimengerti maksud dan maknanya, karena Allah memerintahkan untuk metadabburi firman-firman-Nya.[91] Sedangkan menurut Qadhi Abu Bakar bin Al-Arabi yang mendukung pendapat pertama, orang-orang Arab dahulu dengan ketinggian pemahaman mereka terhadap bahasanya sendiri mengakui keunggulan bahasa (balaghah dan fashahah) Al-Qur'an. Seandainya bahasa Al-Qur'an bertentangan dengan kaidah bahasa Arab niscaya mereka orang yang pertama kali menentangnya.[92]
As-Suyuthi memandang bahwa pendapat pertama sebagai pendapat yang kuat (rajih).[93] Selanjutnya, As-Suyuthi dalam Al-Itqan menyebutkan pendapat tentang kegunaan huruf-huruf muqattha'ah yaitu untuk menarik perhatian (tanbih) orang-orang yang mendengarnya, dan huruf-huruf muqattha'ah merupakan ungkapan untuk menarik perhatian (tanbih) yang efektif bagi orang-orang Arab terutama pada masa Islam di Makkah yang mengagungkan syair.[94] Bahkan huruf-huruf muqattha'ah bisa menjadi mukjizat Al-Qur'an karena belum ada syair Arab yang menggunakannya sebagai ungkapan untuk menarik perhatian (tanbih).
H. KAIDAH-KAIDAH DALAM TA'WIL
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa ta'wil harus berdasarkan dengan dalil (qarinah) yang kuat, karena merupakan syarat utama sebagai ta'wil yang shahih, jika tidak berdasarkan pada dalil yang shahih maka ta'wil tersebut adalah ta'wil batil dan mengikuti hawa nafsu. Selain itu, sebelum melakukan ta'wil seorang muawwil juga harus memperhatikan makna zhahir lafazh terlebih dahulu atau tafsir terlebih dahulu. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Az-Zarkasyi bahwa "Lâ mathmaha fi al-wushul ila al-bâthin qabla ihkâm al-zhâhir", tidak ada harapan sampai kepada makna batin teks sebelum meraih makna zhahirnya.[95]
Dalam masalah ini, para ulama telah meletakkan kaidah-kaidah ta'wil selain yang disebutkan di atas, di antaranya sebagai berikut;
1. Adanya pertentangan antara dua dalil yang shahih, jika salah satunya lemah maka yang diambil adalah yang shahih dan tidak ada ta'wil. Seperti antara QS.An-Nisa': 2 dan ayat 6. Pada ayat yang pertama, Allah memerintahkan untuk memberikan harta anak yatim (mutlak), yaitu orang yang ditinggal mati oleh bapaknya sebelum usia baligh. Akan tetapi makna ayat ini bertentangan dengan ayat yang kedua yang bermakna perintah untuk memberikan harta anak yatim ketika sudah usia baligh. Maka, kata yatim pada ayat pertama harus dita'wil dengan mengalihkan maknanya dari makna hakiki kepada makna majazi.[96]
2. Ta'wil tidak boleh menggugurkan nash syar'i lainnya, karena ta'wil merupakan salah satu metode ijtihad yang bersifat zhanni sedangkan nash yang bersifat zhanni tidak bisa mengalahkan nash yang bersifat qath'iy. Seperti QS. Al-Maidah: 6 (وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ) kemudian dibaca kasrah (أَرْجُلِكُمْ) oleh kalangan Syi'ah, mereka memilih kasrah bukan fathah dengan alasan athaf. Hal ini akan berimplikasi kepada pemahaman ayat, bolehnya (cukupnya) mengusap kaki dalam wudhu. Pemahaman ini akan berdampak negatif kepada dua hal; pertama, menggugurkan hadith-hadith shahih yang memerintahkan untuk membasuh kaki. Kedua, lazimnya mengusap kaki hanya sebatas mata kaki. Sehingga pembatasan (qaid) pada mata kaki menjadi tidak berguna. Padahal kerancuan makna dalam kalamullah mustahil terjadi.[97]
3. Lafazh yang ingin dita'wil adalah lafazh ambigu dan bisa dita'wil.[98] Menurut kalangan Hanafiyah, lafazh yang ingin dita'wil harus lafazh nash dan zhahir. Misalkan, lafazhnya adalah lafazh umum yang dapat dikhususkan (ditakhshish), atau lafazh mutlak yang dapat diberi batasan (taqyid), atau lafazh bermakna hakiki yang dapat diartikan secara makna metaforis (majazi), dan sebagainya. Maka, jika ta'wil dilakukan pada nash khusus (bukan nash umum), tidak diterima.[99]
4. Ta'wil (mengalihkan lafazh dari makna zhahir kepada makna batin) harus berdasarkan pada dalil yang shahih dan dalil makna batin harus lebih kuat dari pada makna zhahir.[100] Misalkan mengkhususkan nash umum berdasarkan dalil pengkhusus (takhshish), atau memberikan batasan (taqyid) pada nash mutlak berdasarkan dalil yang memberikan batasan (mentaqyid). Maka, ta'wil yang tanpa dalil, atau dengan dalil tapi dalilnya lemah (marjuh), atau sederajat kekuatannya (musawi) dengan lafazh yang dita'wil, tidak diterima.[101]
5. Orang yang hendak melakukan ta'wil, haruslah berkualifikasi mujtahid yang memiliki bekal ilmu-ilmu bahasa Arab dan ilmu-ilmu syar'i.[102] Orang yang tidak memiliki kualifikasi tersebut dilarang melakukannya karena akan terjatuh pada perbuatan yang dilarang yaitu mengucapkan sesuatu tanpa ilmu.[103]
6. Ta'wil yang dihasilkan harus sesuai dengan makna bahasa Arab, makna syar'i, atau makna urf (kebiasaan orang Arab). Misalnya, menakwil quru` (QS. Al-Baqarah: 228) dengan arti haid atau suci adalah ta'wil sahih, karena sesuai dengan makna bahasa Arab untuk quru`. Ta'wil yang tidak sesuai makna bahasa, syar'i, atau urf, tidak diterima.[104]
7. Jika ta'wil dengan qiyas maka, hendaknya menggunakan qiyas jaliy menurut ulama Syafi'iyah.[105] Bagi mereka, dalam qiyas jaliy telah diketahui secara pasti bahwa tidak ada sisi perbedaan (i'tibar al-fariq) antara far' dan ashl, seperti qiyas antara hamba sahaya laki-laki (al-'abd) dengan hamba sahaya perempuan (al-amah) dalam hukum perbudakan. Sedangkan qiyas khafiy, masih dugaan bukan keyakinan dalam hal tidak adanya sisi perbedaan (i'tibar al-fariq) antara far' dan ashl, seperti qiyas antara anggur dengan khamr ketika diminum dalam jumlah yang sedikit. Karena mungkin khamr memiliki kelebihan (lebih keras) bila dibandingkan dengan anggur.[106]
Selain menetapkan aturan dalam menta'wil, para ulama juga menetapkan beberapa persyaratan bagi orang yang ingin melakukan ta'wil terhadap ayat-ayat Al-Qur'an dengan kriteria yang cukup ketat, yang juga merupakan kriteria bagi seorang mujtahid dan mufassir;
1. Memiliki ilmu tentang Al-Qur'an; mengetahui dan mengusai ayat-ayat Al-Qur'an terutama ayat-ayat hukum dan tidak disyaratkan harus menghafalnya.
2. Memiliki ilmu tentang As-Sunnah; mengetahui dan mengusai hadith-hadith hukum dan mampu menyebutkannya, serta membedakannya mana yang shahih dan mana yang dhaif, mengetahui nasikh dan mansukh, mengetahui ijma', dan perbedaan-perbedaan pendapat para ulama.
3. Mengusai ilmu ushul fiqh sebagai modal ijtihad.
4. Mengusai bahasa Arab dengan baik dan mengetahui makna-makna dari setiap katanya, karena ta'wil-ta'wil batil kebanyakan berasal dari orang ajam yang tidak mengusai bahasa Arab.
5. Mengetahui maqashid shari'ah dengan baik.
6. Beraqidah yang lurus, terpercaya, dan wara'.[107]

I. KESIMPULAN
Beberapa poin yang perlu diperhatikan dari uraian di atas adalah bahwa ta'wil pada masa salaf merupakan sinonim dari tafsir, kemudian istilah ta'wil mengalami perubahan definisi pada masa khalaf yaitu mengalihkan lafazh dari maknanya yang kuat kepada makna yang lemah karena ada indikasi (qarinah) kuat yang menunjukkan hal itu. Indikasi (qarinah) dalam pengalihan makna lafazh tersebut berupa dalil-dalil syar'i dari Al-Qur'an, As-Sunnah, Ijma', Qiyas, dan kaidah-kaidah dasar syari'ah.
Ta'wil memiliki kaitan yang cukup erat dengan tafsir. Ta'wil merupakan pendalaman makna (intensification of meaning) dari tafsir. Ruang lingkup ta'wil lebih dalam dari pada tafsir; tafsir mengungkap makna suatu lafazh yang tersembunyi dan hanya memiliki satu makna, sedangkan ta'wil memilih makna dari sebuah lafazh yang ambigu yang memiliki beberapa makna berdasarkan qarinah. Terkadang ta'wil juga mengungkap makna yang tidak bisa diungkap tafsir. Para ulama juga telah membagi ruang lingkup tafsir dan ta'wil, ruang lingkup ta'wil lebih dalam dan lebih sulit dari pada ruang lingkup tafsir. Dalam kajian ilmu tafsir, nash dan zhahir adalah bagian dari pembahasan tafsir, sedangkan yang terdalam; muawwal, dalalah iqtidha', dan dalalah isharah adalah bagian dari pembahasan ta'wil. Sedangkan dalam kajian ushul fiqh, yang menjadi objek ta'wil adalah an-nash dan azh-zhahir. Sedangkan mufassar dan muhkam adalah bagian tafsir.
Dalam kaitannya dengan masalah makna, pengalihan makna suatu lafazh dari yang kuat kepada makna yang lemah harus memperhatikan; makna lughawi, makna istilah-istilah syar'i, dan makna istilah dalam urf tertentu seperti istilah-istilah dalam ilmu nahwu, fiqh, hadith, dan ilmu-ilmu lainnya. Setiap lafazh harus dikembalikan maknanya kepada tiga macam makna tersebut sesuai dengan qarinah lafazhnya. Jika menunjukkan kepada makna lughawi maka harus dikembalikan kepada makna lughawi, jika menunjukkan kepada makna syar'i maka harus dikembalikan kepada makna syar'i, dan jika menunjukkan kepada makna urf maka harus dikembalikan kepada makna ufr. Terkadang dalam ketiga makna tersebut masih memiliki bagian, seperti makna syar'i terkadang terbagi menjadi hakiki dan majazi.
Ta'wil memiliki tiga macam; pertama, ta'wil yang dekat seperti lafazh idza kuntum ila ash-shalah yang dita'wilkan dengan ketika hendak melaksanakan shalat. Kedua, ta'wil yang jauh seperti hadith Ghailan Ath-Thaqafi yang dita'wilkan oleh ulama Hanafiyah dengan perintah untuk menikahi empat orang wanita tersebut dengan akad baru karena mereka membedakan pernikahan kafir dan Islam. Ketiga, Ta'wil batil yaitu mengalihkan kepada makna yang tidak terkandung dalam lafazh. Seperti firman Allah aw aakharaani min ghairikum (atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu) dita'wilkan oleh Rafidhah dengan selain kabilah kalian.
Dalam masalah ta'wil, para ulama ushul merupakan kelompok yang paling mendalami kajian ayat-ayat Al-Qur'an untuk kepentingan istimbath al-ahkam. Sehingga kajian para ulama ushul merupakan kelanjutan dari kajian para ulama bahasa dan hadith. Dari pendalaman kajian tersebut, mereka menemukan beberapa bentuk ta'wil, diantaranya mengkhususkan lafazh yang bersifat umum (takhshish al-umum), membatasi lafazh yang mutlak (taqyid al-muthlaq), mengalihkan lafazh dari maknanya yang hakiki kepada yang majazi, atau dari makanya yang mengandung wajib menjadi makna yang sunnah. Para ulama ushul juga yang membuat kaidah-kaidah ta'wil di antaranya; orang yang melakukan ta'wil harus memiliki kriteria seorang mujtahid, harus berdasarkan pada dalil yang shahih, dan tidak bertentangan dengan nash yang lain.
Kaidah-kaidah ta'wil yang dibuat oleh para ulama dan konsep pengalihan makna dalam ta'wil ini merupakan perbedaan yang sangat mendasar antara ta'wil dan hermeneutika. Dalam hermeneutika seseorang tidak terikat dengan makna istilah-istilah syar'i, tidak perlu menggunakan dalil-dalil syar'i, tidak memperhatikan apakah hasil penafsiran tersebut sesuai dengan nash-nash syar'i yang lain atau bertentangan, dan tidak memperhatikan orang yang melakukannya apakah memiliki kemampuan atau tidak. Dengan demikian, hasil penafsiran dalam hermeneutika menjadi bias dan relatif tergantung kepada orang yang melakukan penafsiran.









Daftar Pustaka

Al-Amidi, Abu Al-Hasan. Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, (Beirut: Al-Maktab Al-Islami, tt).
Al-Ghazali, Abu Hamid. Al-Mustashfa min Ilmi Al-Ushul , (Beirut: Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah, 2008).
Al-Ghunaimi, Abdul Akhir Hammad. Al-Minhah Al-Ilahiyah fi Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, (Beirut: Dar Ash-Shahabah, 1995).
Al-Haidari, As-Sayyid Kamal Ushul At-Tafsir wa At-Ta'wil; Muqaranah Manhajiyah Baina Ara' At-Thabathaba'i wa Abraz Al-Mufassirin, (Iran: Dar Faraqid, 2006).
Al-Isfahani, Ar-Raghib. Mufradat fi Gharib Al-Qur'an, (Maktabah Nizar Musthafa Al-Baz, tt).
Al-Jurjani, Ali bin Muhammad. Kitab At-Ta'rifat, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 1988).
Al-Juwaini, Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf. Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqh, tahqiq; Abdul Azhim Diyb (Fakultas Syari'ah Universitas Qatar, 1399 H).
Al-Kattani, Muhammad Al-Hasan bin Ali. At-Ta'wil 'Inda Ahl Al-Ilmi, dalam www.saaid.net/book/7/1253.doc.
Al-Maturidi, Abu Manshur. Ta'wilat Ahli As-Sunnah, (Baghdad: Al-Irshad, 1983).
Al-Qari, Ali bin Sulthan Muhammad. Minah Ar-Raudh Al-Azhar fi Syarh Al-Fiqh Al-Akbar, (Beirut: Dar Al-Basya'ir Al-Islamiah, 1998).
Ash-Shuyuthi, Jalaluddin. Al-Itqan fi Ulum Al-Qur'an, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 2008).
As-Sarkhasi, Ahmad bin Abu Sahl. Ushul As-Sarkhasi, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 1993).
As-Subki, Abdul Wahhab bin Ali. Jam'u Al-Jawami' fi Ushul Al-Fiqh, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 2003).
Asy-Syatibi, Abu Ishaq. Al-Muwafaqat, (Khubar: Dar Ibnu Affan, 1997).
Asy-Syaukani, Muhammad 'Ali. Irsyadul Fuhul ila Tahqiq Al-Haq min Ilm Al-Ushul, (Riyadh: Dar Al-Fadhilah, 2000).
Azzam, Abdullah Yusuf Mushthafa. Dilalah Al-Kitab wa As-Sunnah min Haith Al-Bayan wa Al-Ijmal Aw Azh-Zhuhur wa Al-Khafa', Disertasi Doktoral, (Universitas Al-Azhar: Fakultas Syari'ah dan Hukum, Program Pasca Sarjana, 1993).
Az-Zarkasyi, Muhammad bin Abdullah. Al-Burhan fi Ulum Al-Qur'an, (Kairo: Dar Al-Hadith, 2006).
Az-Zuhaili, Wahbah. Ushul Al-Fiqih Al-Islami, (Dar Al-Fikr, 1986).
Bazmul, Muhammad bin Umar bin Salim. Syarh Muqaddimah fi Ushul Tafsir Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah, (Universitas Islam Madinah Munawwarah, 1424 H).
Fahmi Salim, "Beda Ta'wil dengan Hermeneutika", dalam http://www.ikadi.or.id
Ibnu Al-Jawzi, Yusuf bin Abdurrahman. Al-Idhah li Qawanin Al-Istilah, (Kairo: Maktabah Matbuli, 1995). cet 1 tahqiq Mahmud bin Muhammad As-Sayyid Ad-Dugim.
Ibnu Hazm, Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa'id. Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, (Dar Al-Afaq Al-Jadidah, tt).
Ibnu Kathir, Abu Al-Fida' Isma'il bin Umar. Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim, (Beirut: Dar Thayyibah, 1999).
Ibnu Manzhur, Muhammad bin Mukrim. Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shadir, tt).
Ibnu Taimiyah, Ahmad bin Abdul Halim. Al-Iklil fi Al-Mutashabih wa At-Ta'wil, (Iskandariyah: Dar Al-Iman, tt).
------------------------------------. Majmu' Al-Fatawa, (Riyadh: Dar Al-Wafa', 2005).
Ma'rifah, Muhammad Hadi (Muhaqqiq). At-Ta'wil fi Mukhtalaf Al-Madzahib wa Al-Ara', (Teheran: Majma' Al-'Alami li At-Taqrib Baina Madzahib Al-Islamiah, 2006).
Sharour, Muhammad. Nahwa Ushulin Jadidatin li l-Fiqh Al-Islami: Fiqh al-Mar'ah (Al-Washiyah - Al-'Irdh - Al-Qawamah - Al-Ta'addudiyah - Al- Libas), (Damaskus: Al-Ahali, 2000).
Shatat, Kan'an Musthafa Sa'id. At-Ta'wil 'Inda Al-Ushuliyin, Tesis Magister, (Palestina: Jami'ah An-Najah Al-Wathaniyah, 2007).
Sumaryono, E. Hermeneutika; sebuah metode filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1993).
Wijaya, Aksin. Arah Baru Studi Ulum Al-Qur'an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009).



________________________________________
[1] Dalam Al-Qur'an ada dua macam ayat; muhkamat dan mutasyabihat. Ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang sudah jelas maksud dan maknanya. Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan dapat ditentukan arti yang dimaksud dengan kajian yang mendalam (ta'wil) atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya diketahui oleh Allah, seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan perkara-perkara yang ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain. Termasuk juga huruf -huruf yang terputus (huruf muqattha'ah) dalam permulaan-permulaan surat Al-Qur'an. Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur'an, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 2008). hlm.425
[2] Lihat Ibnu Kathir, Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim, (Beirut: Dar Thayyibah, 1999). vol.III. hlm.304.
[3] Pernyataan Nasr Hamid Abu Zaid dalam wawancara dengan wartawan tempo di Hotel Grand Hyatt Jakarta yang dimuat dalam majalah tempo edisi edisi 42/XXXVI/10-16 Desember 2007, "Hermeneutik dalam bahasa Arab adalah ta'wil". Begitu juga dengan pernyataan Aksin Wijaya mengutip Fakhruddin Faiz, "Pendekatan itu (hermeneutika) sudah lama diteorikan di kalangan pemikir Islam klasik, tetapi istilah dan penggunaannya saja yang berbeda", dalam bukunya Arah Baru Studi Ulum Al-Qur'an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009). hlm.176.
[4] Lihat Muhammad Sharour, Nahwa Ushulin Jadidatin li l-Fiqh Al-Islami: Fiqh al-Mar'ah (Al-Washiyah - Al-'Irdh - Al-Qawamah - Al-Ta'addudiyah - Al- Libas), (Damaskus: Al-Ahali, 2000). hlm. 372-373.
[5] Kebenaran yang diperoleh dalam hermeneutika tergantung pada orang yang melakukan interpretasi, dan "dogma" hermeneutika bersifat luwes sesuai dengan perkembangan zaman dan sifat open-mindedness-nya. Lihat E.Sumaryono, Hermeneutika; sebuah metode filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1993). hlm.136.
[6] Lihat Fahmi Salim, "Beda Ta'wil dengan Hermeneutika", dalam http://www.ikadi.or.id /index.php?option=com_content&view=article&id=58:beda-ta'wil-dan hermenetika & catid=43: kajian & Itemid=68 /9.53 a.m /14.03.2010.
[7] Lihat Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shadir, tt). vol.xi hlm. 32
[8] Lihat Ibnu Faris, Mu'jam Maqayis Al-Lughah, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1979). vol.I hlm.162 dan Muhammad bin Abdullah Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-Qur'an, (Kairo: Dar Al-Hadith, 2006). hlm.416.
[9] ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. QS.An-Nisa' :59
[10] Ibnu Manzhur, Lisan...hlm. 32. Teks yang mirip dengan hadith di atas adalah;
مَنْ صَامَ الْأَبَدَ فَلَا صَامَ وَلَا أَفْطَرَ
"Barangsiapa yang berpuasa sepanjang masa, maka berarti ia tidak berpuasa dan tidak ada berbuka" (HR.Nasa'i, kitab Shiyam, bab larangan puasa sepanjang masa, no.2374 dan Ibnu Majah, kitab Shiyam, bab tentang puasa sepanjang masa no.1705. hadith ini dishahihkan oleh Al-Albani).
[11] Ibnu Taimiyah, Al-Iklil fi Al-Mutashabih wa At-Ta'wil, (Iskandariyah: Dar Al-Iman, tt). hlm.30.
.....لَنْ يَجِدُوا مِنْ دُونِهِ مَوْئِلًا
…yang mereka sekali-kali tidak akan menemukan tempat berlindung dari padanya. (QS. Al-Kahfi: 58).
[12] ...لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيه...
Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba') sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. (QS At-Taubah: 108).
لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
Tiada sekutu bagi-Nya dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah). (QS. Al-An'am: 163).
[13] Ar-Raghib Al-Isfahani, Mufradat fi Gharib Al-Qur'an, (Maktabah Nizar Musthafa Al-Baz, tt). vol I hlm 40 dan Ibnu Taimiyah, Al-Iklil…..hlm.31 dan
[14] Lihat Ibnu Manzhur, Lisan…..hlm. 32
[15] Ali bin Muhammad Al-Jurjani, Kitab At-Ta'rifat, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 1988). hlm. 50
[16] Ibnu Al-Jawzi, Al-Idhah li Qawanin Al-Istilah, tahqiq; Mahmud bin Muhammad As-Sayyid Ad-Dugim (Kairo: Maktabah Matbuli, 1995). hlm 111, cet 1
[17] Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf Al-Juwaini, Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqh, tahqiq; Abdul Azhim Diyb (Fakultas Syari'ah Universitas Qatar, 1399 H). vol I hlm. 511
[18] Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mustashfa Min Ilmi Al-Ushul , (Beirut: Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah, 2008). hlm. 312
[19] Abu Al-Hasan Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, (Beirut: Al-Maktab Al-Islami, tt). vol.III hlm.53
[20] Ibnu Taimiyah, Al-Iklil…..hlm. 27-28
[21] هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا تَأْوِيلَهُ يَوْمَ يَأْتِي تَأْوِيلُهُ يَقُولُ الَّذِينَ نَسُوهُ مِنْ قَبْلُ قَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ فَهَلْ لَنَا مِنْ شُفَعَاءَ فَيَشْفَعُوا لَنَا أَوْ نُرَدُّ فَنَعْمَلَ غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ قَدْ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ وَضَلَّ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَفْتَرُونَ .
Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali terlaksananya kebenaran berita (ta'wil) Al-Qur'an itu. Pada hari datangnya kebenaran pemberitaan Al-Qur'an itu, berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu, "Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami membawa yang haq, maka adakah bagi kami pemberi syafa'at yang akan memberi syafa'at bagi kami, atau dapatkah kami dikembalikan (ke dunia) sehingga kami dapat beramal yang lain dari yang pernah kami amalkan?." Sungguh mereka telah merugikan diri mereka sendiri dan telah lenyaplah dari mereka tuhan-tuhan yang mereka ada-adakan. (QS. Al-A'raf: 53).
[22] HR. Bukhari, kitab Adzan, bab tasbih dan do'a dalam sujud, no. 871 dan Muslim, kitab shalat, bab bacaan dalam ruku' dan sujud, no.746
[23] فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat). QS. An-Nasr: 3
[24] Ibnu Taimiyah, Majmu' Al-Fatawa, (Riyadh: Dar Al-Wafa', 2005). vol. iv hlm.68-69
[25] هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا تَأْوِيلَهُ يَوْمَ يَأْتِي تَأْوِيلُهُ يَقُولُ الَّذِينَ نَسُوهُ مِنْ قَبْلُ قَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ فَهَلْ لَنَا مِنْ شُفَعَاءَ فَيَشْفَعُوا لَنَا أَوْ نُرَدُّ فَنَعْمَلَ غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ...
Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya kebenaran) Al-Qur'an itu. Pada hari datangnya kebenaran pemberitaan Al-Qur'an itu, berkatalah orang-orang yang melupakannyasebelum itu, "Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami membawa yang haq, maka adakah bagi kami pemberi syafa'at yang akan memberi syafa'at bagi kami, atau dapatkah kami dikembalikan (ke dunia) sehingga kami dapat beramal yang lain dari yang pernah kami amalkan?." (QS. Al-A'raf : 53).
[26] وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا
Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan (ta'wil) perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.(QS. Al-Kahfi: 82).
[27] وَكَذَلِكَ يَجْتَبِيكَ رَبُّكَ وَيُعَلِّمُكَ مِنْ تَأْوِيلِ الْأَحَادِيثِ وَيُتِمُّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ
Dan demikianlah Tuhanmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari ta'bir mimpi-mimpi dan disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu. (QS. Yusuf : 6).
[28] يَا أَبَتِ هَذَا تَأْوِيلُ رُؤْيَايَ مِنْ قَبْلُ قَدْ جَعَلَهَا رَبِّي حَقًّا
Wahai ayahku inilah ta'bir mimpiku yang dahulu itu, sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan. (QS. Yusuf : 100).
Pembagian ini diambil dari Ibnu Taimiyah, Al-Iklil…..hlm. 28-30, dan As-Sayyid Kamal Al-Haidari, Ushul At-Tafsir wa At-Ta'wil; Muqaranah Manhajiyah Baina Ara' At-Thabathaba'i wa Abraz Al-Mufassirin, (Iran: Dar Faraqid, 2006). hlm.295.
[29] Muhammad bin Abdullah Az-Zarkasyi, Al-Burhan….hlm.22
[30] Ibid. hlm.415-416
[31] Ibid. hlm 416
[32] Ibid
[33] Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur'an, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 2008). hlm.759
[34] Abu Manshur Al-Maturidi, Ta'wilat Ahli As-Sunnah, (Baghdad: Al-Irshad, 1983). hlm.5
[35] Ibnu Taimiyah, Al-Iklil….hlm. 21
[36] Muhammad Hadi Ma'rifah (Muhaqqiq), At-Ta'wil fi Mukhtalaf Al-Madzahib wa Al-Ara', (Teheran: Majma' Al-'Alami li At-Taqrib Baina Madzahib Al-Islamiah, 2006). hlm.14
[37] Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan……..hlm.758 dan Abdullah Yusuf Mushthafa Azzam, Dilalah Al-Kitab wa As-Sunnah min Haith Al-Bayan wa Al-Ijmal Aw Azh-Zhuhur wa Al-Khafa', Disertasi Doktoral, (Universitas Al-Azhar: Fakultas Syari'ah dan Hukum, Program Pasca Sarjana, 1993). hlm.447
[38] Abdullah Yusuf Mushthafa Azzam, Dilalah Al-Kitab…..hlm.447
[39] Lihat E.Sumaryono, Hermeneutika….....hlm.97
[40] Ibid
[41] Ibid.100
[42] Ibid. hlm.97-98
[43] Ibid.hlm.98
[44] Lihat Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mustashfa min Ilmi Al-Ushul , (Beirut: Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah, 2008). hlm. 312 dan Abdul Wahhab bin Ali As-Subki, Jam'u Al-Jawami' fi Ushul Al-Fiqh, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 2003). hlm.54
[45] عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ تُصُدِّقَ عَلَى مَوْلَاةٍ لِمَيْمُونَةَ بِشَاةٍ فَمَاتَتْ فَمَرَّ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ هَلَّا أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا فَدَبَغْتُمُوهُ فَانْتَفَعْتُمْ بِهِ فَقَالُوا إِنَّهَا مَيْتَةٌ فَقَالَ إِنَّمَا حَرُمَ أَكْلُهَا
Dari Ibnu Abbas Radhiyallah 'anhuma, ia berkata: seorang budak perempuan milik Maimunah mendapatkan seekor kambing lalu mati, (hendak dibuang) kemudian Rasulullah Shallallah 'alaihi wasallam lewat lalu bersabda, "Kenapa kalian tidak mengambil kulitnya kemudian kalian samak dan manfaatkan?", para sahabat menjawab, "Tapi ini bangkai?", beliau menjawab, "Yang diharamkan dari bangkai hanyalah memakannya". (HR. Muslim dalam kitab shahihnya; kitab haidh, bab sucinya kulit bangkai dengan disamak, no.542).
[46] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Wahai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS.Al-Jumu'ah: 9).
[47] HR.Bukhari dalam Shahihnya, kitab zakat bab zakat kambing, no.1362 dan Abu Dawud dalam sunannya, kitab kitab zakat bab zakat hewan gembala, no.1340, lafazh hadith di atas milik Abu Dawud dengan matan yang panjang.
[48] Lihat Kan'an Musthafa Sa'id Shatat, At-Ta'wil 'Inda Al-Ushuliyin, Tesis Magister, (Palestina: Jami'ah An-Najah Al-Wathaniyah, 2007). hlm. 30-33 dan Muhammad Al-Hasan bin Ali Al-Kattani, At-Ta'wil ……. hlm. 12-13
[49] Muhammad Al-Hasan bin Ali Al-Kattani, At-Ta'wil 'Inda Ahl Al-Ilmi, dalam www.saaid.net/book/7/1253.doc. hlm.11-12
[50] Lihat E.Sumaryono, Hermeneutika…..hlm.101
[51] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْن...ِ
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki….(QS.Al-Maidah: 6).
[52] Teks hadith tersebut:
عن ابن عمر قال : أسلم غيلان الثقفي وعنده عشر نسوة فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : أمسك أربعا ، وفارق سائرهن
Dari Ibnu Umar Radhiyallah 'anhu berkata: Ghailan Ath-Thaqafi masuk Islam dan ia masih memiliki sepuluh orang istri, kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya, " pilihlah empat dari mereka dan ceraikanlah sisanya". (HR. Ibnu Hibban, dalam Shahihnya kitab haji bab hidayah, no.4231).
[53] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُم ْ أَوْ آَخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ.....
Wahai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu….(QS.Al-Maidah: 106).
[54] Muhammad Al-Hasan bin Ali Al-Kattani, At-Ta'wil ……. hlm.11-12 dan Ibnu Hazm, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, (Dar Al-Afaq Al-Jadidah, tt). vol.3 hlm. 41
[55] Lihat Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqih Al-Islami, (Dar Al-Fikr, 1986). vol.1 hlm. 314 dan Muhammad Al-Hasan bin Ali Al-Kattani, At-Ta'wil ……. hlm.10
[56] وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوء....ٍ
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'…..(QS.Al-Baqarah: 228).
[57] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah (pemberian untuk menyenangkan hati isteri yang diceraikan sebelum digauli) dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya. (QS.Al-Ahzab: 49).
[58]حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ....
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala….(QS.Al-Maidah: 3), begitu juga dalam QS.Al-Baqaqrah:173 dan An-Nahl:115.
[59] قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِير فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ...ٍ
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah…(QS.Al-An'am:145).
[60] …..وَآَتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka…(QS.An-Nisa':2).
[61] وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آَنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُم...ْ
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya….. (QS.An-Nisa':6).
[62] Makna hakiki dari yatim adalah anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya sebelum usia baligh.
[63] Nash adalah lafazh yang memiliki makna yang jelas dan tidak memiliki makna yang lain.
[64] Zhahir adalah adalah lafazh yang memiliki makna lain tapi lemah, seperti kata al-baghi yang memiliki dua arti yaitu ungkapan untuk orang yang bodoh dan orang yang zhalim, akan tetapi kata al-baghi kebanyakan diungkapkan untuk orang yang zhalim.
[65] Muawwal adalah lafazh yang dipalingkan dari maknanya yang kuat kepada makna yang lemah karena ada qarinah (indikasi) yang menunjukkan hal itu.
[66] Dalalah iqtidha' adalah kebenaran petunjuk lafazh suatu makna tergantung kepada sesuatu yang tidak disebutkan, seperti firman Allah QS.Al-Barah:184, "Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau musafir, maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain", ayat ini memerlukan suatu lafazh yang tidak disebutkan yaitu lalu ia berbuka (…sakit atau musafir lalu ia berbuka, maka…). Karena kewajiban qadha' hanya berlaku bagi musafir jika ia berbuka dalam perjalanan.
[67] Dalalah isharah adalah kebenaran petunjuk lafazh suatu makna tidak tergantung kepada sesuatu yang tidak disebutkan, tapi lafazh menunjukkan kepada suatu makna yang tidak dimaksud pada mulanya, seperti firman Allah dalam QS.Al-Baqarah: 187 yang menunjukkan sahnya puasa orang yang di waktu fajar masih dalam keadaan junub. Membolehkan melakukan penyebab sesuatu berarti membolehkan pula melakukan sesuatu itu. Maka membolehkan jima' hingga fajar berarti membolehkan junub pada waktu fajar.
[68] Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, Syarh Muqaddimah fi Ushul Tafsir Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah, (Universitas Islam Madinah Munawwarah, 1424 H). hlm.88
[69] Muhammad 'Ali Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul ila Tahqiq Al-Haq min Ilm Al-Ushul, (Riyadh: Dar Al-Fadhilah, 2000). vol. II hlm. 756 dan Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh........ vol.1 hlm. 314
[70] Lihat Kan'an Musthafa Sa'id Shatat, At-Ta'wil …….. hlm.40-42.
[71] Definisi zhahir dan nash menurut ulama ushul berbeda dengan ulama tafsir, begitu pula dengan urutannya. Menurut ulama ushul, zhahir adalah lafazh yang maknanya terkandung dalam susunan katanya tanpa ada indikasi makna dari luar, dan maksud maknanya tidak terdapat di dalamnya. Seperti firman Allah, "Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba", maksud dari makna lafazh ini tidak terdapat di dalam maknanya yang menyatakan bahwa jual beli hukumnya halal dan riba hukumnya haram, tetapi maksud ayat ini adalah untuk membantah orang yang mengatakan bahwa riba itu sama dengan jual beli. Sedangkan nash adalah lafazh yang maknanya dapat diketahui dengan jelas. Seperti firman Allah, "Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya", ayat ini menunjukkan perintah untuk memotong tangan pencuri. Lihat Ahmad bin Abu Sahl As-Sarkhasi, Ushul As-Sarkhasi, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 1993). vol.I hlm. 164
[72]يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ.....
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki…..(QS.Al-Maidah: 6).
[73] Lihat Kan'an Musthafa Sa'id Shatat, At-Ta'wil …….. hlm. 42.
[74] Ibid
[75] Ibid.hlm.49
[76] Ugi Suharto, "Apakah Al-Qur'an Memerlukan Hermeneutika", dalam Islamia, vol. I no.1 Maret 2004. p.52
[77] .....وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آَمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS.Ali Imran: 7).
[78] Muhammad 'Ali Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul ........ hlm. 756
[79] Ibid, hlm. 757
[80] Lihat Ibnu Kathir, Tafsir Al-Qur'an.………… vol. II. hlm.11.
[81] Lihat Ibnu Taimiyah, Majmu' ………….. vol. v hlm.234-235
[82] Ibid. vol. xvii. hlm.400
[83] Lihat Ibnu Kathir, Tafsir Al-Qur'an.………… vol.II. hlm.11.
[84] HR. Ahmad dalam musnadnya, musnad Ibnu Abbas, no.2274, diriwayatkan juga oleh al-Hakim dalam Mustadraknya, kitab sahabat, bab Abdullah bin Abbas, no.6340, hadith ini dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no.2589.
[85] Lihat Abdul Akhir Hammad Al-Ghunaimi, Al-Minhah Al-Ilahiyah fi Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, (Beirut: Dar Ash-Shahabah, 1995). hlm.78
[86] لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ…. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat (QS. Asy-Syura: 11)
[87] Peryataan Imam Malik (الِاسْتِوَاءُ مَعْلُومٌ وَالْكَيْفُ مَجْهُولٌ وَالْإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ). Seperti pernyataan orang sebelumnya Ummu Salamah dan Rabi'ah bin Abu Abdurrahman (الاستواء معلوم، و الكيف مجهول، و من الله البيان، و على الرسول البلاغ، و علينا الإيمان). Lihat Ibnu Taimiyah, Majmu' …….. vol. xxxiii hlm.178
[88] Ali bin Sulthan Muhammad Al-Qari, Minah Ar-Raudh Al-Azhar fi Syarh Al-Fiqh Al-Akbar, (Beirut: Dar Al-Basya'ir Al-Islamiah, 1998). hlm.121-123
[89] Lihat Ibnu Kathir, Tafsir Al-Qur'an.………… vol.I. hlm.156
[90] Lihat Muhammad bin Abdullah Az-Zarkasyi, Al-Burhan……… hlm.123
[91] Ibid
[92] Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan……..hlm.758
[93] Ibid. hlm. 436
[94] Ibid. hlm. 440
[95] Ibid. hlm.420
[96] Muhammad Al-Hasan bin Ali Al-Kattani, At-Ta'wil ……. hlm.9 dan Kan'an Musthafa Sa'id Shatat, At-Ta'wil …….. hlm. 39
[97] Ibid
[98] Abu Ishaq Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, (Khubar: Dar Ibnu Affan, 1997). vol.III hlm. 330
[99] Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqih.......vol.1 hlm. 314 dan Kan'an Musthafa Sa'id Shatat, At-Ta'wil …….. hlm. 36
[100] Abu Ishaq Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat.....vol.III hlm. 331, Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf Al-Juwaini, Al-Burhan.......vol I hlm. 537, dan Muhammad 'Ali Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul ……… vol II hlm. 759
[101] Ali bin Muhammad Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, (Riyadh: Dar Ash-Shami'i, 2003). vol.III hlm.67
[102] Ibid, dan Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqih.......vol.1 hlm. 315
[103] وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS. Al-Isra': 36).
[104] Muhammad 'Ali Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul .….. vol II hlm. 759
[105] Ibid
[106] Kan'an Musthafa Sa'id Shatat, At-Ta'wil …….. hlm. 39
[107] Lihat Muhammad 'Ali Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul .….. vol II hlm. 1027-1032 dan Muhammad Al-Hasan bin Ali Al-Kattani, At-Ta'wil…..hlm.11-12