Rabu, 23 Mei 2012

Pelaksanaan Program Pembelajaran Berbasis Karakter Dalam Membentuk Akhak Siswa SMA Negeri 3 Siak PROPOSAL TESIS Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Tugas Penyelesaian Studi Pasca Sarjana Pendidikan Islam Oleh : SULURI PROGRAM PASCA SARJANA PENDIDIKAN ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SARIF KASIM 2012 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dunia pendidikan adalah dunia yang sangat dinamis, selalu bergerak, selalu terjadi perubahan dan pembaharuan. Sekolah seolah terus berpacu memunculkan dan mengejar keunggulannya masing-masing. Memasuki Era Globalisasi menjadi satu tantangan tersendiri bagi pengelola pendidikan untuk menyesuaikan kurikulum dan sarana pendidikan mereka dengan berbagai teknologi canggih agar bisa menghasilkan siswa yang mampu bersaing di Era ‘Global Village’. Ditengah begitu semangatnya berbagai lembaga pendidikan mengejar keunggulan teknologi, terbersit satu pertanyaan, ‘sebesar itu jugakah semangat kita untuk mengejar keunggulan karakter siswa-siswa kita?’ Pendidikan merupakan salah satu unsur yang dapat menciptakan kemajuan peradaban dan kualitas hidup bangsa. Dalam penyelenggaraan pendidikan faktor pembentukan karakter dan kecakapan hidup merupakan hal yang perlu diperhatikan. Beberapa hadits berikut menunjukkan betapa pentingnya sekolah-sekolah kita untuk memperhatikan masalah pembentukan akhlak pada anak-anak didiknya: “Innama bu’itstu liutammima makaarimal akhlaaq” “Sesungguhnya Aku (Muhammad) diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak manusia.” (H.R. Malik) “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” Sekolah adalah tempat yang sangat strategis bahkan yang utama setelah keluarga untuk membentuk akhlak/karakter siswa. Bahkan seharusnya setiap sekolah menjadikan kualitas akhlak/karakter sebagai salah satu Quality Assurance yang harus dimiliki oleh setiap lulusan sekolahnya. Tentunya kita semua berharap siswa-siswi yang dididik di sekolah kita menjadi hamba Allah SWT yang beriman. Pemerintah kita mencanangkan dalam Pasal 3 UU No. 20/2003, bahwa: ‘Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab’. Dan sekarang resapilah hadits berikut: “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya diantara mereka.” (H.R. Tirmidzi dari Abu Hurairah) Jika ternyata baiknya akhlak menjadikan sempurnanya iman, maka tidak ada alasan bagi sekolah kita untuk menomor duakan keseriusan dalam upaya pembentukan akhlak/karakter dibanding keseriusan mengejar keunggulan teknologi. Bahkan yakinlah, bahwa jika anak didik kita memiliki akhlak/karakter yang baik, Insya Allah merekapun akan lebih mudah kita pacu untuk mengejar prestasi lainnya. Pendidikan menurut Machiavelli dalam Doni Koesoema (2007:52) merupakan sebuah fenomena antropologis yang usianya hampir setua dengan sejarah maniusia itu sendiri. Niccolo Machiavelli memahami pendidikan dalam kerangka proses penyempurnaan diri manusia secara terus menerus. Ini terjadi karena secara kodrati manusia memiliki kekurangan dan ketidaksempurnaan. Baginya, intervensi manusiawi melalui pendidikan merupakan salah satu cara bagi manusia untuk melengkapi apa yang kurang dari kodratnya. Pendidikan dapat melengkapi kesempurnaan dalam kodrat alamiah kita. Pendidikan sebagai sebuah sub sistem dari sistem pembangunan nasional memiliki keterkaitan yang kuat terhadap sub pembangunan lainnya, seperti sosial, ekonomi, budaya, agama, dan berbagai sub pembangunan lainnya. Begitu pentingnya posisi pendidikan dalam pembangunan bangsa dan persaingan global melalui pembangunan sumber daya manusia, pada akhirnya semua pihak yang terkait dan berkepentingan dengan dunia Pendidikan baik formal maupun non formal, khususnya persekolahan harus memikirkan bagaimana supaya sekolah dapat berperan dan berfungsi untuk membangun masyarakat dan mencetak sumber daya manusia yang dapat bersaing secara global. Dengan adanya tuntutan global dan kompetisi yang semakin kuat, maka sudah selayaknya dunia pendidikan Indonesia memasuki paradigma baru, yaitu; Era ”Heartstart”. Adalah sebuah perubahan yang memberikan perhatian yang lebih besar kepada penyiapan kecerdasan emosi dan spritual sehingga anak/siswa diberi kesempatan untuk berkembang secara alami dengan penerapan “character education” dan “parenting education”. Era “heartstart” adalah; era dimana anak-anak harus diberikan kesempatan social emotional learning (semacam pendidikan karakter atau kecerdasan emosi), joyful learning (belajar yang menyenangkan) dan active learning. Undang-undang Republik indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tercantum pada Bab II pasal 3, secara eksplisit diuraikan tentang tujuan membangun manusia holistik berbasis karakter dan spritual sebagai berikut: Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Banyak pakar, filsuf, dan orang-orang bijak yang mengatakan bahwa faktor moral (akhlak) adalah hal utama yang harus dibangun terlebih dahulu agar bisa membangun sebuah masyarakat yang tertib, aman, dan sejahtera. Salah satu kewajiban utama yang harus dijalankan oleh para orang tua dan pendidik adalah melestarikan dan mengajarkan nilai-nilai moral kepada anak-anak kita. Nilai-nilai moral yang ditanamkan akan membentuk karakter (akhlak mulia) yang merupakan fondasi penting bagi terbentuknya sebuah tatanan masyarakat yang beradab dan sejahtera. (R.Megawangi.2004:1) Seorang ahli pakar filsuf Theodore Roosevelt yang dikutip oleh R.Megawangi (2004:2) mengatakan bahwa mendidik seseorang hanya dalam aspek kecerdasan otak bukan pada aspek moral adalah ancaman marabahaya dalam masyarakat “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society.” Dari pemaparan di atas dijelaskan bahwa pendidikan sebagai salah satu kunci untuk membangun peradaban bangsa. Namun tidak hanya dari segi aspek kognitif saja ada satu dimensi kualitas manusia yang harus lebih diperhatikan yaitu moral/karakter. Dimana hingga saat ini belum mampu dibentuk melalui sistem pendidikan indonesia. Azra (2006) yang dikutip oleh Zuriah 2007: 111) menyatakan bahwa belum terbentuknya karakter dan kepribadian bangsa saat ini juga berhubungan dengan sistem pendidikan nasional yang belum berhasil membentuk karakter, sebagaimana dinyatakan berikut ini. Pendidikan nasional dalam berbagai jenjang, khususnya jenjang menengah dan tinggi, telah gagal dalam membentuk peserta didik yang memiliki akhlak, moral dan budi pekerti yang baik. Lebih jauh lagi, banyak peserta didik sering dinilai tidak hanya kurang memiliki kesantunan baik disekolah, dirumah, dan lingkungan masyarakat, tetapi juga sering terlibat dalam tindak kekerasan massal seperti tawuran dan sebagainya. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan merosotnya karakter generasi muda saat ini sebagai mana dikemukakan oleh Dr.Zakiah Daradjad (1971 : 13) yaitu antara lain: 1. Kurang tertanamnya jiwa agama pada tiap-tiap orang dalam masyarakat . 2. Keadaan masyarakat yang kurang stabil, baik dari segi ekonomi, sosial, dan politik. 3. Pendidikan moral tidak terlaksana menurut mestinya, baik dirumah tangga, sekolah, maupun masyarakat. 4. Suasana rumah tangga yang kurang baik. 5. Banyaknya tulisan-tulisan, gambar dan siaran-siaran kesenian yang tidak mengindahkan dasar-dasar dan tuntutan moral. _____________________ Azra (2006) yang dikutip oleh Zuriah 2007: 111) 6. Kurang adanya bimbingan untuk mengisi waktu terluang dengan cara yang baik, dan yang membawa kepada pembinaan moral. Menurut Zuriah (2007:112) kemerosotan akhlak, moral dan etika beserta didik disebabkan gagalnya pendidikan agama disekolah. Harus diakui, dalam batas tertentu, sejak dari jumlah jam yang sangat minim, materi pendidikan agama yang selalu teoritis, sampai pendekatan pendidikan agama yang cenderung bertumpu pada aspek kognisi daripada aspek afeksi dan psikomotorik peserta didik. Berhadapan dengan masalah-masalah seperti ini, pendidikan agama tidak atau kurang fungsional dalam membentuk akhlak, moral dan bahkan kepribadian atau karakter peserta didik. Namun demikian, kita juga tidak bisa serta merta menuduh bahwa lembaga pendidikan menjadi satu-satunya penyebab demoralisasi dalam masyarakat kita. Inilah salah satu kekeliruan dalam pendidikan modern yang disinyalir oleh Jacques Maritain (1963) dalam Doni Koesoema (2007:115) kita percaya terlalu tinggi bahwa “segala sesuatu dapat dipelajari melalui pengajaran”. Tidak setiap hal bisa dipelajari dan diatasi hanya dengan cara pergi kesekolah. Sekolah buksnlah tempat penyembuh segala luka kemanusiaan. Lembaga pendidikan memang sejak dahulu memiliki persan penting bagi sumbangsih perjalanan peradaban umat manusia dalam kehidupan sosial, poliik, ekonomi, dan budaya. Melihat defisitnya sumbangan lembaga pendidikan dalam kerangka proses pembudayaan masyarakat kita, sudah sepantasnyalah bila sekolah mempertanyakan kembali progam-progamnya dan mengevaluasinya melalui progam-progam yang sifatnya lintas kultural dalam mendidik anak-anak kita. Sekolah telah lama dianggap sebagai sebuah lembaga sosial yang memiliki fokus terutama pada pengembangan intelektual dan moral bagi siswanya. Pengembangan karakter ditingkat sekolah tidak dapat melalaikan dua tugas khas ini. Oleh karena itu pendidikan karakter didalam sekolah mamiliki sifat bidereksional, yaitu pengembangan kemampuan intelektual dan kemampuan moral. Dua arah pengembangan ini diharapkan menjadi semacam idealisme bagi para siswa agar mereka semakin mampu mengembangkan ketajaman intelektual dan integritas diri sebagai pribadi yang memiliki karakter kuat. Disiplin diri merupakan hal penting dalam setiap upaya membangun dan membentuk karakter seseorang. Sebab karakter mengandung pengertian: (1) Suatu kualitas positif yang dimiliki seseorang, sehingga membuatnyamenarik dan atraktif; (2) Reputasi seseorang; dan (3) Seseorang yang unusual atau memiliki kepribadian yang eksentrik. Akar kata karakter dapat dilacak dari kata Latin kharakter, kharassein, dan kharax, yang maknanya "tools for marking", "to engrave", dan "pointed stake". Kata ini mulai banyak digunakan (kembali) dalam bahasa Perancis caractere pada abad ke-14 dan kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi character, sebelum akhirnya menjadi bahasa Indonesia karakter. Dalam Kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat; watak; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang daripada yang lain. Dengan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa membangun karakter (character building) adalah proses mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga `berbentuk' unik, menarik, dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain. Ibarat sebuah huruf dalam alfabet yang tak pernah sama antara yang satu dengan yang lain, demikianlah orang-orang yang berkarakter dapat dibedakan satu dengan yang lainnya (termasuk dengan yang tidak/belum berkarakter atau `berkarakter 'tercela). Tentang proses pembentukkan karakter ini dapat disebutkan sebuah nama besar : Helen Keller (1880-1968). Wanita luar biasa ini--ia menjadi buta dan tuli di usia 19 bulan, namun berkat bantuan keluarganya dan bimbingan Annie Sullivan (yang juga buta dan setelah melewati serangkaian operasi akhirnya dapat melihat secara terbatas) kemudian menjadi manusia buta-tuli pertama yang lulus cum laude dari Radcliffe College di tahun 1904-- pernah berkata: "Character cannot be develop in ease and quite. Only through experience of trial and suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success achieved". Kalimat itu boleh jadi merangkum sejarah hidupnya yang sangat inspirasional. Lewat perjuangan panjang dan ketekunan yang sulit dicari tandingannya, ia kemudian menjadi salah seorang pahlawan besar dalam sejarah Amerika yang mendapatkan berbagai penghargaan di tingkat nasional dan internasional atas prestasi dan pengabdiannya Helen Keller adalah model manusia berkarakter (terpuji). Dan sejarah hidupnya mendemonstrasikan bagaimana proses membangun karakter itu memerlukan disiplin tinggi karena tidak pernah mudah dan seketika atau instant. Diperlukan refleksi mendalam untuk membuat rentetan moral choice (keputusan moral) dan ditindaklanjuti dengan aksi nyata sehingga menjadi praksis, refleksi, dan praktik. Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua itu menjadi custom (kebiasaan) dan membentuk watak atau tabiat seseorang. Penelitian yang dikemukakan oleh Eric A. Hanushek (2005) mengenai “economic outcomes and school quality” mengungkapkan bahwa: Berbagai kebijakan harus diarahkan pada peningkatan mutu sekolah dan sekoklah yang berkualitas memiliki korelasi yang kuat terhadap pertumbuhan nasional. Kondisi ini menunjukan bahwa pada tataran mikro dalam hal ini sekolah memilik peran yang peting dalam keberhasilan suatu bangsa. Untuk dapat membangun bangsa yang berkarakter, menurut R.Megawangi (2004:105) karakter dapat dibangun melalui sekolah secara efektif. Pendidikan karakter disekolah yang berhasil sangat tergantung dari komitmen kepala sekolah yang mempunyai visi ingin membangun karakter siswa disekolahnya. Misalnya sebuah sekolah dapat mencantumkan visi “Membina dan mengembangkan siswa yang berkarakter sesuai dengan nilai-nilai luhur kepribadian bangsa”. Visi tersebut harus disadari oleh seluruh guru dan orang tua, yang semuanya ini sangat tergantung pada kemampuan kepala sekolah untuk mensosialisasikan visinya. Selain itu, visi tersebut dituangkan dalam misi yang jelas, dan strategi apa yang dapat digunakan untuk mencapai visi tersebut. Dalam konteks ini, pendidikan karakter yang diterapkan dalam lembaga pendidikan kita bisa menjadi salah satu saran pembudayaan dan pemanusiaan. Kita ingin menciptakan sebuah lingkungan yang menghargsi hidup manusia, menghargai keutuhan dan keunikan ciptaan, serta menghasilkan sosok pribadi yang memiliki kemampuan intelektual dan moral yang seimbang sehingga masyarakat akan menjadi semakin manusiawi. Adapun penerapan pendidikan karakter disekolah harus dilakukan secara eksplisit (terencana), terfokus dan komprehensif, agar pembentukan anak yang berkarakter dapat terwujud. Menurut John Dewey (1933) yang dikutip oleh R.Megawangi (2004:119) mengatakan bahwa: “sekolah yang tidak mempunyai program pendidikan karakter tetapi dapat memberikan suasana lingkungan sekolah yang sesuai dengan nilai-nilai moral, sekolah tersebut mempunyai moraal yang disebut hidden curriculum(kurikuluim tersembunyi).” Namun penerapan pendidikan karakter dengan cara hidden curriculum belum cukup. Menurut Marvin W. Berkowitz (dalam R.megawangi, 2004:119), pendidikan karakter disekolah dianggap efektif adalah dengan menggunakan kurikulum pendidikan formal, atau kurikulum yang secara eksplisit mempunyai tujuan pembentuksan karakter anak. Pendidikan karakter yang efektif memerlukan pendekatan komprehensif, dan terfokus dari aspek guru sebagai “role model”, disiplin sekolah, kurikulum, proses pembelajaran, manajemen kelas dan sekolah, integrasi materi karakter dalam seluruh aspek kehidupan kelas, kerjasama orang tua dan masyarakat dan sebaginya. Terlebih dengan pemberian otonomi sekolah melalui Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan(KTSP), seko0lah-sekolah sesungguhnya diberi kewenangan untuk mengembangkan kurikulum sekolah yang dijiwai dengan pendidikan karakter. Menurut Brooks dan Goble (1997) yang dikutip oleh (Doni Koesoema, 2007:116) menyatakan bahwa: Pendidikan karakter yang secara sistematis diterapkan dalam pendidikan dasar dan menengah merupakan sebuah daya tawar berharga bagi seluruh komunitas. Para siswa mendapatkan keuntungan dengan memperoleh prilaku dan kebiasaan positif yang mampu meningkatkan rasa percaya dalam diri mereka, membuat hidup mereka lebih bahagia dan lebih produktif. Tugas-tugas guru menjadi lebih ringan dan lebih memberikan kepuasan ketika siswa memiliki disiplin yang lebih besar didalam kelas. Orang tua bergembira ketika anak-anak mereka belajar untuk menjadi lebih sopan, memiliki rasa hormat dan produktif. Para pengelola sekolah akan menyaksikan berbagai macam perbaikan dalam hal disiplin, kehadiran, beasiswa, pengenalan nilai-nilai moral bagi para siswa maupun guru, demikian juga berkurangnya tindakan vandalisme didalam sekolah. Berbagai macam persoalan diatas tidak akan berkurang jika kita tidak segera memulai pendidikan karakter dalam konteks pendidikan kita, baik secara langsung melalui kurikulum, maupun dengan menciptakan sebuah lingkungan pendidikan kita. Pendidikan Karakter dan Pengertian Pendidikan Berkarakter - Negara Indonesia memiliki jumlah penduduk yang besar. Dalam kaitannya dengan pendidikan karakter Indonesia sangat memerlukan SDM (Sumber Daya Manusia) yang besar pula dan harus bermutu untuk mendukung program pembangunan. Untuk menghasilkan SDM yang berkualitas peran pendidikan di Indonesia sangat penting, sama pentingnya dengan Sistem Pendidikan Di Indonesia Apa sebetulnya arti dan pengertian pendidikan karakter itu, Pengertian Pendidikan. Pendidikan karakter adalah sebuah sistem yang menamamkan nilai-nilai karakter kepada anak usia sekolah yang dimana nilai-nilai tersebut memiliki komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekad, serta adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME)), diri sendiri, sesama manusia, dengan lingkungan, maupun kepada bangsa sehingga akan terwujud menjadi manusia insan kamil. Lembaga pendidikan yang memiliki keberanian untuk menanamkan pengertian dan praktik keutamaan akan membuat mereka semakin relevan dalam masyarakat. Lembaga pendidikan demikian ini akan membantu membangun sebuah masyarakat yang sehat daripada sekedar mencetak para pekerja sosial, sukarelawan, dan konselor yang membantu mengatasi kemunduran sosial dalam masyarakat mereka. Secara tidak langsung sekolah dapat memberikan pendidikan karakter dengan cara memanajemen program pembelajaran sedemikian rupa untuk menciptakan sebuah lingkungan moral yang membantu setiap individu dalam lingkungan pendidikan agar setiap imdividu di dalam sekolah merasakan kesejahteraan karena kebebasan dan keunikannya dihargai. Kasus yang diangkat untuk penelitian ini adalah pada pendidikan dasar. Usia ini merupakan masa kritis pembentukan fondasi manusia holistic yang berkarakter yang akan melandasi jenjang pendidikan berikutnya. Apabila pada usia dini dan usia sekolah dasar sudah mendapatkan pendidkan yang benar, maka sikapnya terhadap belajar akan baik dan positif dan akan terus terbawa sampai usia dewasa, sehingga akan menjadi seorang pecinta belajar dan berkarakter baik. Berdasarkan latar belakang diatas, penulis terdorong untuk mengungkapkan jauh tentang pembelajaran karakter dan spritual tersebut, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul : “Pelaksanaan Program Pembelajaran Berbasis Karakter Dalam Membentuk Akhak Karimah Siswa SMA Negeri 3 Siak”. B. PERMASALAHAN 1. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian diatas dapat dirumuskan pokok-pokok penelitian yang dijadikan fokus permasalahan adalah sebagai berikut: a. Bagaimanakah perencanaan program pembelajaran berbasis karakter dalam pembentukan Akhlak Siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Siak? b. Bagaimanakah pengorganisasiaan program pembelajaran berbasis karakter dalam pembentukan Akhlak Siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Siak? c. Bagaimanakah pelaksanaan program pembelajaran berbasis karakter dalam pembentukan Akhlak Siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Siak? d. Bagaimanakah cara mengevaluasi program pembelajaran berbasis karakter dalam pembentukan Akhlak Siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Siak ? e. Apakah sajakah faktor penunjang keberhasilan program pembelajaran berbasis karakter dalam pembentukan Akhlak Siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Siak ? f. Apa sajakah Faktor penghambat dalam pelaksanaan program pembelajaran berbasis karakter dalam pembentukan Akhlak Siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Siak ? 2. Pembatasan Masalah a. Bagaimanakah pelaksanaan program pembelajaran berbasis karakter dalam pembentukan Akhlak Siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Siak? b. Apakah sajakah faktor penunjang keberhasilan program pembelajaran berbasis karakter dalam pembentukan Akhlak Siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Siak ? 3. Rumusan Masalah Pelitian yang dilakukan dengan rumusan permasalahan adalah sebagai berikut: a. Bagaimanakah pelaksanaan program pembelajaran berbasis karakter dalam pembentukan Akhlak Siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Siak? b. Apakah sajakah faktor penunjang keberhasilan program pembelajaran berbasis karakter dalam pembentukan Akhlak Siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Siak ? C. TUJUAN PENELITIAN 1. Tujuan Umum Secara penelitian ini disusun untuk mengidentifikasi, mendeskripsikan dan menganalisis konsep manajemen program pembelajaran berbasis karakter yang ditempuh dalam pembentukan Akhlak Siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Siak. 2. Tujuan Khusus Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi, mengidentifikasi, mendeskripsikan dan menganalis hal-hal berikut c. Pelaksanaan program pembelajaran berbasis karakter dalam pembentukan Akhlak Siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Siak. d. Faktor penunjang keberhasilan program pembelajaran berbasis karakter dalam pembentukan Akhlak Siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Siak. D. ASUMSI DASAR PENELITIAN Berkaitan dengan kajian empirik tentang manajemen program pembelajaran berbasis karakter dalam mewujudkan Sekolah berkualitas, maka penelitian ini memiliki beberapa asaumsi sebagai berikut: 1. Pendidikan adalah kebutuhan dasar setiap manusia, khususnya pendidikan karakter dan spritual. Bahkan secara ekstrim pendidikan karakter dapat dikatakan sebagai suatu proses memanusiakan manusia. Pendidikan karakter yang diterapkan dalam lembaga pendidikan kita bisa menjadi salah satu sarana pembudayaan dan pemanusiaan. Kita ingin menciptakan sebuah lingkungan hidup yang menghargai hidup manusia, menghargai keutuhan dan keunikan ciptaan, serta menghasilkan sosok pribadi yang memiliki kemampuan intelektual dan moral seimbang sehingga masyarakat akan menjadi semakin manusiawi. 2. Setiap orang tua ingin menginginkan pembelajaran yang bermutu dan terpadu bagi anak-anaknya. Yaitu pendidikan yang memadukan antara pendidikan intelektual dan nilai-nilai karakter spritual secara terpadu dan seimbang. 3. Ada sebuah laporan penelitian yang dikeluarkan oleh US Departement of Health and Human Services tentang faktor-faktor resiko yang disebutkan bukan terletak pada kemampuan kognitif anak, tetapi pada masalah psikososial anak, yaitu aspek kecerdasan emosi dan sosialnya. Begitu pula diuraikan dalam hasil studi Dr.Marvin Berkowitz dari University of Missouri-St. Louis, menunjukkan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan penurunan drastis pada prilaku siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik. 4. Menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (character based education). Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan sebisa mungkin memasukkan karakter character based approach kedalam setiap pelajaran yang ada. Kemudian melakukan reorientasi baru, baik dari segi isi dan pendekatan terhadap mata pelajaran yang relevan atau berkaitan. Hal ini merupakan salah satu cara yang dapat ditemnpuh untuk memperkaya dimensi nilai, moral, dan norma pada aktivitas pendidikan di sekolah, akan memberikan pegangan hidup yang kokoh bsgi anak-anak dalam menghadapi perubhan sosial. 5. Mengingat besarnya arti dukungan seluruh asumsi yang telah disebutkan maka perlu upaya-upaya agar proses pembelajaran berbasis karakter dapat dilaksanakan dengan baik sehingga dapat meningkatkan kualitas sekolah dasar dengan indikator mutu lulusannya yaitu siswa yang cerdas, ceria, dan berkarakter (akhlaqul karimah). E. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode kualitatif (naturalistic) untuk mengungkap data impirik dengan mendeskripsikan dan menganalisis secara mendalam tentang manajemen program pembelajaran berbasis karakter dalam pembentukan Akhlak Siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Siak. Penetapan metode ini didasarkan atas pertimbangan bahwa permasalahan sangat kompleks serta dinamis dan penuh makna sehingga tidak mungkin data pada situasi sosial tersebut dijaring dengan metode penelitian kuantitatif. Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan data deskriptif mengenai kegiatan atau prilaku subyek yang diteliti, baik persepsinya maupun pendapatnya serta aspek-aspek lain yang relevan yang diperoleh melalui kegiatan wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Teknik pengumpulan data dilakukan secara “bergulir”(snow-ball) dari informan satu ke informan yang lain lebih kompeten untuk memperoleh informasi yang lebih mendalam. Data yang dihasilkan bersifat deskriptif dan analisis secara individu, karena itu metode kuatitatif tidak didasarkan atas pertimbangan ketuntasan informasi yang diperlukan. F. LOKASI DAN SAMPEL PENELITIAN 1. Lokasi Penelitian Obyek yang dijadikan sebagai lokasi penelitian adalah Sekolah Menengah Atas Negeri 3. 2. Sampel Penelitian Sedangkan sumber data atau sampel penelitian dipertimbangkan sesuai dengan keriteria yang dikemukakan oleh sanafia (1990:57) bahwa: “dalam menentukan subyek penelitian perlu dipertimbangkan hal-hal sebagasi berikut: a) Subyek sudah cukup lama dan intensif menyatu dalam kegiatan atau bidang yang menjadi kajian penelitian; b) b) subyek masih aktif atau terlibat penuh dengan kegiatan atau bidang tersebut; dan c) c) subyek memiliki waktu yang cukup untuk dimintai informasi” Sampel pada penelitian kali ini bersifat purposive artinya sesuai dengan maksud dan tujuan penelitia, tidak menekankan pada jumlah atau keterwakilan, tetapi lebih pada kualitas informasi, kredibilitas dan kekayaan informasi yang dimiliki oleh informan atau partisipan. Voleh karena itu, sampel merupakan pelihan peneliti tentang aspek apa, dari peristiwa apa, dan siapa yang dijadikan fokus pada saat dan situasi tertentu. Artinya, tujuan sampling adalah untuk mencakup sebanyak mungkin informasi yang bersifat holistic kontekstual. Dengan kata lain, sampling tidak harus representatif terhadap populasi (penelitian kuantitatif), melainkan representative terhadap informasi holisstik. Dalam merencanakan sampling dipertimbangkan langkah-langkah berikut: a). Menyiapkan identifikasi unsur-unsur awal; b) menyiapkan munculnya sample secara teratur dan purposif; c) menyiapkan penghalusan atau pengfokusan sample secara terus-menerus; dan d) menyiapkan penghentian sampling. Sebagai catatan bahwa rencana-rencana tersebut hanya bersifat sementara, sebab tidak ada satu langkah yang dapat dikembangkan secara sempurna sebelum dimulainya penelitian dilapangan. Pelaksanaan Program Pembelajaran Berbasis Karakter Dalam Membentuk Akhak Siswa SMA Negeri 3 Siak PROPOSAL TESIS Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Tugas Penyelesaian Studi Pasca Sarjana Pendidikan Islam Oleh : SULURI PROGRAM PASCA SARJANA PENDIDIKAN ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SARIF KASIM 2012

Kamis, 03 Mei 2012

TESIS Pelaksanaan Manajemen Program Pembelajaran Berbasis Karakter Dalam Membentuk Akhak Siswa SMA Negeri 3 Siak PROPOSAL TESIS Diajukan untuk Memenuhi sebagian Tugas Mata Kuliah Methodologi Penelitian Oleh : SULURI PROGRAM PASCA SARJANA PENDIDIKAN ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SARIF KASIM 2011 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan merupakan salah satu unsur yang dapat menciptakan kemajuan peradaban dan kualitas hidup bangsa. Dalam penyelenggaraan pendidikan faktor pembentukan karakter dan kecakapan hidup merupakan hal yang perlu diperhatikan. Pendidikan menurut Machiavelli dalam Doni Koesoema (2007:52) merupakan sebuah fenomena antropologis yang usianya hampir setua dengan sejarah maniusia itu sendiri. Niccolo Machiavelli memahami pendidikan dalam kerangka proses penyempurnaan diri manusia secara terus menerus. Ini terjadi karena secara kodrati manusia memiliki kekurangan dan ketidaksempurnaan. Baginya, intervensi manusiawi melalui pendidikan merupakan salah satu cara bagi manusia untuk melengkapi apa yang kurang dari kodratnya. Pendidikan dapat melengkapi kesempurnaan dalam kodrat alamiah kita. Pendidikan sebagai sebuah sub sistem dari sistem pembangunan nasional memiliki keterkaitan yang kuat terhadap sub pembangunan lainnya, seperti sosial, ekonomi, budaya, agama, dan berbagai sub pembangunan lainnya. Begitu pentingnya posisi pendidikan dalam pembangunan bangsa dan persaingan global melalui pembangunan sumber daya manusia, pada akhirnya semua pihak yang terkait dan berkepentingan dengan dunia Pendidikan baik formal maupun non formal, khususnya persekolahan harus memikirkan bagaimana supaya sekolah dapat berperan dan berfungsi untuk membangun masyarakat dan mencetak sumber daya manusia yang dapat bersaing secara global. Dengan adanya tuntutan global dan kompetisi yang semakin kuat, maka sudah selayaknya dunia pendidikan Indonesia memasuki paradigma baru, yaitu; Era ”Heartstart”. Adalah sebuah perubahan yang memberikan perhatian yang lebih besar kepada penyiapan kecerdasan emosi dan spritual sehingga anak/siswa diberi kesempatan untuk berkembang secara alami dengan penerapan “character education” dan “parenting education”. Era “heartstart” adalah; era dimana anak-anak harus diberikan kesempatan social emotional learning (semacam pendidikan karakter atau kecerdasan emosi), joyful learning (belajar yang menyenangkan) dan active learning. Undang-undang Republik indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tercantum pada Bab II pasal 3, secara eksplisit diuraikan tentang tujuan membangun manusia holistik berbasis karakter dan spritual sebagai berikut: Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Banyak pakar, filsuf, dan orang-orang bijak yang mengatakan bahwa faktor moral (akhlak) adalah hal utama yang harus dibangun terlebih dahulu agar bisa membangun sebuah masyarakat yang tertib, aman, dan sejahtera. Salah satu kewajiban utama yang harus dijalankan oleh para orang tua dan pendidik adalah melestarikan dan mengajarkan nilai-nilai moral kepada anak-anak kita. Nilai-nilai moral yang ditanamkan akan membentuk karakter (akhlak mulia) yang merupakan fondasi penting bagi terbentuknya sebuah tatanan masyarakat yang beradab dan sejahtera. (R.Megawangi.2004:1) Seorang ahli pakar filsuf Theodore Roosevelt yang dikutip oleh R.Megawangi (2004:2) mengatakan bahwa mendidik seseorang hanya dalam aspek kecerdasan otak bukan pada aspek moral adalah ancaman marabahaya dalam masyarakat “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society.” Dari pemaparan di atas dijelaskan bahwa pendidikan sebagai salah satu kunci untuk membangun peradaban bangsa. Namun tidak hanya dari segi aspek kognitif saja ada satu dimensi kualitas manusia yang harus lebih diperhatikan yaitu moral/karakter. Dimana hingga saat ini belum mampu dibentuk melalui sistem pendidikan indonesia. Azra (2006) yang dikutip oleh Zuriah 2007: 111) menyatakan bahwa belum terbentuknya karakter dan kepribadian bangsa saat ini juga berhubungan dengan sistem pendidikan nasional yang belum berhasil membentuk karakter, sebagaimana dinyatakan berikut ini. Pendidikan nasional dalam berbagai jenjang, khususnya jenjang menengah dan tinggi, telah gagal dalam membentuk peserta didik yang memiliki akhlak, moral dan budi pekerti yang baik. Lebih jauh lagi, banyak peserta didik sering dinilai tidak hanya kurang memiliki kesantunan baik disekolah, dirumah, dan lingkungan masyarakat, tetapi juga sering terlibat dalam tindak kekerasan massal seperti tawuran dan sebagainya. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan merosotnya karakter generasi muda saat ini sebagai mana dikemukakan oleh Dr.Zakiah Daradjad (1971 : 13) yaitu antara lain: 1. Kurang tertanamnya jiwa agama pada tiap-tiap orang dalam masyarakat . 2. Keadaan masyarakat yang kurang stabil, baik dari segi ekonomi, sosial, dan politik. 3. Pendidikan moral tidak terlaksana menurut mestinya, baik dirumah tangga, sekolah, maupun masyarakat. 4. Suasana rumah tangga yang kurang baik. 5. Banyaknya tulisan-tulisan, gambar dan siaran-siaran kesenian yang tidak mengindahkan dasar-dasar dan tuntutan moral. 6. Kurang adanya bimbingan untuk mengisi waktu terluang dengan cara yang baik, dan yang membawa kepada pembinaan moral. Menurut Zuriah (2007:112) kemerosotan akhlak, moral dan etika beserta didik disebabkan gagalnya pendidikan agama disekolah. Harus diakui, dalam batas tertentu, sejak dari jumlah jam yang sangat minim, materi pendidikan agama yang selalu teoritis, sampai pendekatan pendidikan agama yang cenderung bertumpu pada aspek kognisi daripada aspek afeksi dan psikomotorik peserta didik. Berhadapan dengan masalah-masalah seperti ini, pendidikan agama tidak atau kurang fungsional dalam membentuk akhlak, moral dan bahkan kepribadian atau karakter peserta didik. Namun demikian, kita juga tidak bisa serta merta menuduh bahwa lembaga pendidikan menjadi satu-satunya penyebab demoralisasi dalam masyarakat kita. Inilah salah satu kekeliruan dalam pendidikan modern yang disinyalir oleh Jacques Maritain (1963) dalam Doni Koesoema (2007:115) kita percaya terlalu tinggi bahwa “segala sesuatu dapat dipelajari melalui pengajaran”. Tidak setiap hal bisa dipelajari dan diatasi hanya dengan cara pergi kesekolah. Sekolah buksnlah tempat penyembuh segala luka kemanusiaan. Lembaga pendidikan memang sejak dahulu memiliki persan penting bagi sumbangsih perjalanan peradaban umat manusia dalam kehidupan sosial, poliik, ekonomi, dan budaya. Melihat defisitnya sumbangan lembaga pendidikan dalam kerangka proses pembudayaan masyarakat kita, sudah sepantasnyalah bila sekolah mempertanyakan kembali progam-progamnya dan mengevaluasinya melalui progam-progam yang sifatnya lintas kultural dalam mendidik anak-anak kita. Sekolah telah lama dianggap sebagai sebuah lembaga sosial yang memiliki fokus terutama pada pengembangan intelektual dan moral bagi siswanya. Pengembangan karakter ditingkat sekolah tidak dapat melalaikan dua tugas khas ini. Oleh karena itu pendidikan karakter didalam sekolah mamiliki sifat bidereksional, yaitu pengembangan kemampuan intelektual dan kemampuan moral. Dua arah pengembangan ini diharapkan menjadi semacam idealisme bagi para siswa agar mereka semakin mampu mengembangkan ketajaman intelektual dan integritas diri sebagai pribadi yang memiliki karakter kuat. Disiplin diri merupakan hal penting dalam setiap upaya membangun dan membentuk karakter seseorang. Sebab karakter mengandung pengertian: (1) Suatu kualitas positif yang dimiliki seseorang, sehingga membuatnya menarik dan atraktif; (2) Reputasi seseorang; dan (3) Seseorang yang unusual atau memiliki kepribadian yang eksentrik. Akar kata karakter dapat dilacak dari kata Latin kharakter, kharassein, dan kharax, yang maknanya "tools for marking", "to engrave", dan "pointed stake". Kata ini mulai banyak digunakan (kembali) dalam bahasa Perancis caractere pada abad ke-14 dan kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi character, sebelum akhirnya menjadi bahasa Indonesia karakter. Dalam Kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat; watak; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang daripada yang lain. Dengan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa membangun karakter (character building) adalah proses mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga `berbentuk' unik, menarik, dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain. Ibarat sebuah huruf dalam alfabet yang tak pernah sama antara yang satu dengan yang lain, demikianlah orang-orang yang berkarakter dapat dibedakan satu dengan yang lainnya (termasuk dengan yang tidak/belum berkarakter atau `berkarakter' tercela). Tentang proses pembentukkan karakter ini dapat disebutkan sebuah nama besar : Helen Keller (1880-1968). Wanita luar biasa ini--ia menjadi buta dan tuli di usia 19 bulan, namun berkat bantuan keluarganya dan bimbingan Annie Sullivan (yang juga buta dan setelah melewati serangkaian operasi akhirnya dapat melihat secara terbatas) kemudian menjadi manusia buta-tuli pertama yang lulus cum laude dari Radcliffe College di tahun 1904-- pernah berkata: "Character cannot be develop in ease and quite. Only through experience of trial and suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success achieved". Kalimat itu boleh jadi merangkum sejarah hidupnya yang sangat inspirasional. Lewat perjuangan panjang dan ketekunan yang sulit dicari tandingannya, ia kemudian menjadi salah seorang pahlawan besar dalam sejarah Amerika yang mendapatkan berbagai penghargaan di tingkat nasional dan internasional atas prestasi dan pengabdiannya Helen Keller adalah model manusia berkarakter (terpuji). Dan sejarah hidupnya mendemonstrasikan bagaimana proses membangun karakter itu memerlukan disiplin tinggi karena tidak pernah mudah dan seketika atau instant. Diperlukan refleksi mendalam untuk membuat rentetan moral choice (keputusan moral) dan ditindaklanjuti dengan aksi nyata sehingga menjadi praksis, refleksi, dan praktik. Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua itu menjadi custom (kebiasaan) dan membentuk watak atau tabiat seseorang. Penelitian yang dikemukakan oleh Eric A. Hanushek (2005) mengenai “economic outcomes and school quality” mengungkapkan bahwa: Berbagai kebijakan harus diarahkan pada peningkatan mutu sekolah dan sekoklah yang berkualitas memiliki korelasi yang kuat terhadap pertumbuhan nasional. Kondisi ini menunjukan bahwa pada tataran mikro dalam hal ini sekolah memilik peran yang peting dalam keberhasilan suatu bangsa. Untuk dapat membangun bangsa yang berkarakter, menurut R.Megawangi (2004:105) karakter dapat dibangun melalui sekolah secara efektif. Pendidikan karakter disekolah yang berhasil sangat tergantung dari komitmen kepala sekolah yang mempunyai visi ingin membangun karakter siswa disekolahnya. Misalnya sebuah sekolah dapat mencantumkan visi “Membina dan mengembangkan siswa yang berkarakter sesuai dengan nilai-nilai luhur kepribadian bangsa”. Visi tersebut harus disadari oleh seluruh guru dan orang tua, yang semuanya ini sangat tergantung pada kemampuan kepala sekolah untuk mensosialisasikan visinya. Selain itu, visi tersebut dituangkan dalam misi yang jelas, dan strategi apa yang dapat digunakan untuk mencapai visi tersebut. Dalam konteks ini, pendidikan karakter yang diterapkan dalam lembaga pendidikan kita bisa menjadi salah satu saran pembudayaan dan pemanusiaan. Kita ingin menciptakan sebuah lingkungan yang menghargsi hidup manusia, menghargai keutuhan dan keunikan ciptaan, serta menghasilkan sosok pribadi yang memiliki kemampuan intelektual dan moral yang seimbang sehingga masyarakat akan menjadi semakin manusiawi. Adapun penerapan pendidikan karakter disekolah harus dilakukan secara eksplisit (terencana), terfokus dan komprehensif, agar pembentukan anak yang berkarakter dapat terwujud. Menurut John Dewey (1933) yang dikutip oleh R.Megawangi (2004:119) mengatakan bahwa: “sekolah yang tidak mempunyai program pendidikan karakter tetapi dapat memberikan suasana lingkungan sekolah yang sesuai dengan nilai-nilai moral, sekolah tersebut mempunyai moraal yang disebut hidden curriculum(kurikuluim tersembunyi).” Namun penerapan pendidikan karakter dengan cara hidden curriculum belum cukup. Menurut Marvin W. Berkowitz (dalam R.megawangi, 2004:119), pendidikan karakter disekolah dianggap efektif adalah dengan menggunakan kurikulum pendidikan formal, atau kurikulum yang secara eksplisit mempunyai tujuan pembentuksan karakter anak. Pendidikan karakter yang efektif memerlukan pendekatan komprehensif, dan terfokus dari aspek guru sebagai “role model”, disiplin sekolah, kurikulum, proses pembelajaran, manajemen kelas dan sekolah, integrasi materi karakter dalam seluruh aspek kehidupan kelas, kerjasama orang tua dan masyarakat dan sebaginya. Terlebih dengan pemberian otonomi sekolah melalui Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan(KTSP), seko0lah-sekolah sesungguhnya diberi kewenangan untuk mengembangkan kurikulum sekolah yang dijiwai dengan pendidikan karakter. Menurut Brooks dan Goble (1997) yang dikutip oleh (Doni Koesoema, 2007:116) menyatakan bahwa: Pendidikan karakter yang secara sistematis diterapkan dalam pendidikan dasar dan menengah merupakan sebuah daya tawar berharga bagi seluruh komunitas. Para siswa mendapatkan keuntungan dengan memperoleh prilaku dan kebiasaan positif yang mampu meningkatkan rasa percaya dalam diri mereka, membuat hidup mereka lebih bahagia dan lebih produktif. Tugas-tugas guru menjadi lebih ringan dan lebih memberikan kepuasan ketika siswa memiliki disiplin yang lebih besar didalam kelas. Orang tua bergembira ketika anak-anak mereka belajar untuk menjadi lebih sopan, memiliki rasa hormat dan produktif. Para pengelola sekolah akan menyaksikan berbagai macam perbaikan dalam hal disiplin, kehadiran, beasiswa, pengenalan nilai-nilai moral bagi para siswa maupun guru, demikian juga berkurangnya tindakan vandalisme didalam sekolah. Berbagai macam persoalan diatas tidak akan berkurang jika kita tidak segera memulai pendidikan karakter dalam konteks pendidikan kita, baik secara langsung melalui kurikulum, maupun dengan menciptakan sebuah lingkungan pendidikan kita. Pendidikan Karakter dan Pengertian Pendidikan Berkarakter - Negara Indonesia memiliki jumlah penduduk yang besar. Dalam kaitannya dengan pendidikan karakter Indonesia sangat memerlukan SDM (Sumber Daya Manusia) yang besar pula dan harus bermutu untuk mendukung program pembangunan. Untuk menghasilkan SDM yang berkualitas peran pendidikan di Indonesia sangat penting, sama pentingnya dengan Sistem Pendidikan Di Indonesia Apa sebetulnya arti dan pengertian pendidikan karakter itu, Pengertian Pendidikan. Pendidikan karakter adalah sebuah sistem yang menamamkan nilai-nilai karakter kepada anak usia sekolah yang dimana nilai-nilai tersebut memiliki komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekad, serta adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME)), diri sendiri, sesama manusia, dengan lingkungan, maupun kepada bangsa sehingga akan terwujud menjadi manusia insan kamil. Lembaga pendidikan yang memiliki keberanian untuk menanamkan pengertian dan praktik keutamaan akan membuat mereka semakin relevan dalam masyarakat. Lembaga pendidikan demikian ini akan membantu membangun sebuah masyarakat yang sehat daripada sekedar mencetak para pekerja sosial, sukarelawan, dan konselor yang membantu mengatasi kemunduran sosial dalam masyarakat mereka. Secara tidak langsung sekolah dapat memberikan pendidikan karakter dengan cara memanajemen program pembelajaran sedemikian rupa untuk menciptakan sebuah lingkungan moral yang membantu setiap individu dalam lingkungan pendidikan agar setiap imdividu di dalam sekolah merasakan kesejahteraan karena kebebasan dan keunikannya dihargai. Kasus yang diangkat untuk penelitian ini adalah pada pendidikan dasar. Usia ini merupakan masa kritis pembentukan fondasi manusia holistic yang berkarakter yang akan melandasi jenjang pendidikan berikutnya. Apabila pada usia dini dan usia sekolah dasar sudah mendapatkan pendidkan yang benar, maka sikapnya terhadap belajar akan baik dan positif dan akan terus terbawa sampai usia dewasa, sehingga akan menjadi seorang pecinta belajar dan berkarakter baik. Berdasarkan latar belakang diatas, penulis terdorong untuk mengungkapkan jauh tentang pembelajaran karakter dan spritual tersebut, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul : “Pelaksanaan Manajemen Program Pembelajaran Berbasis Karakter Dalam Membentuk Akhak Karimah Siswa SMA Negeri 3 Siak”. B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang penelitian diatas dapat dirumuskan pokok-pokok penelitian yang dijadikan fokus permasalahan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah perencanaan program pembelajaran berbasis karakter dalam pembentukan Akhlak Siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Siak? 2. Bagaimanakah pengorganisasiaan pembelajaran berbasis karakter dalam pembentukan Akhlak Siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Siak? 3. Bagaimanakah pelaksanaan program pembelajaran berbasis karakter dalam pembentukan Akhlak Siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Siak? 4. Bagaimanakah cara mengevaluasi program pembelajaran berbasis karakter dalam pembentukan Akhlak Siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Siak? 5. Apa sajakah faktor penunjang keberhasilan program pembelajaran berbasis karakter dalam pembentukan Akhlak Siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Siak? 6. Bagaimankah faktor penghambat pelaksanaan program pembelajaran berbasis karakter dalam pembentukan Akhlak Siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Siak? C. TUJUAN PENELITIAN 1. Tujuan Umum Secara penelitian ini disusun untuk mengidentifikasi, mendeskripsikan dan menganalisis konsep manajemen program pembelajaran berbasis karakter yang ditempuh dalam pembentukan Akhlak Siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Siak. 2. Tujuan Khusus Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi, mengidentifikasi, mendeskripsikan dan menganalis hal-hal berikut: a. Perencanaan program pembelajaran berbasis karakter dalam pembentukan Akhlak Siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Siak. b. Pengorganisasiaan program pembelajaran berbasis karakter dalam pembentukan Akhlak Siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Siak. c. Pelaksanaan program pembelajaran berbasis karakter dalam pembentukan Akhlak Siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Siak. d. Cara mengevaluasi program pembelajaran berbasis karakter dalam pembentukan Akhlak Siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Siak. e. Faktor penunjang keberhasilan program pembelajaran berbasis karakter dalam pembentukan Akhlak Siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Siak. f. Faktor penghambat dalam pelaksanaan program pembelajaran berbasis karakter dalam pembentukan Akhlak Siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Siak. D. ASUMSI DASAR PENELITIAN Berkaitan dengan kajian empirik tentang manajemen program pembelajaran berbasis karakter dalam mewujudkan Sekolah Dasar berkualitas, maka penelitian ini memiliki beberapa asaumsi sebagai berikut: 1. Pendidikan adalah kebutuhan dasar setiap manusia, khususnya pendidikan karakter dan spritual. Bahkan secara ekstrim pendidikan karakter dapat dikatakan sebagai suatu proses memanusiakan manusia. Pendidikan karakter yang diterapkan dalam lembaga pendidikan kita bisa menjadi salah satu sarana pembudayaan dan pemanusiaan. Kita ingin menciptakan sebuah lingkungan hidup yang menghargai hidup manusia, menghargai keutuhan dan keunikan ciptaan, serta menghasilkan sosok pribadi yang memiliki kemampuan intelektual dan moral seimbang sehingga masyarakat akan menjadi semakin manusiawi. 2. Setiap orang tua ingin menginginkan pembelajaran yang bermutu dan terpadu bagi anak-anaknya. Yaitu pendidikan yang memadukan antara pendidikan intelektual dan nilai-nilai karakter spritual secara terpadu dan seimbang. 3. Ada sebuah laporan penelitian yang dikeluarkan oleh US Departement of Health and Human Services tentang faktor-faktor resiko yang disebutkan bukan terletak pada kemampuan kognitif anak, tetapi pada masalah psikososial anak, yaitu aspek kecerdasan emosi dan sosialnya. Begitu pula diuraikan dalam hasil studi Dr.Marvin Berkowitz dari University of Missouri-St. Louis, menunjukkan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan penurunan drastis pada prilaku siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik. 4. Menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (character based education). Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan sebisa mungkin memasukkan karakter character based approach kedalam setiap pelajaran yang ada. Kemudian melakukan reorientasi baru, baik dari segi isi dan pendekatan terhadap mata pelajaran yang relevan atau berkaitan. Hal ini merupakan salah satu cara yang dapat ditemnpuh untuk memperkaya dimensi nilai, moral, dan norma pada aktivitas pendidikan di sekolah, akan memberikan pegangan hidup yang kokoh bsgi anak-anak dalam menghadapi perubhan sosial. 5. Mengingat besarnya arti dukungan seluruh asumsi yang telah disebutkan maka perlu upaya-upaya agar proses pembelajaran berbasis karakter dapat dilaksanakan dengan baik sehingga dapat meningkatkan kualitas sekolah dasar dengan indikator mutu lulusannya yaitu siswa yang cerdas, ceria, dan berkarakter (akhlaqul karimah). E. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode kualitatif (naturalistic) untuk mengungkap data impirik dengan mendeskripsikan dan menganalisis secara mendalam tentang manajemen program pembelajaran berbasis karakter dalam pembentukan Akhlak Siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Siak. Penetapan metode ini didasarkan atas pertimbangan bahwa permasalahan sangat kompleks serta dinamis dan penuh makna sehingga tidak mungkin data pada situasi sosial tersebut dijaring dengan metode penelitian kuantitatif. Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan data deskriptif mengenai kegiatan atau prilaku subyek yang diteliti, baik persepsinya maupun pendapatnya serta aspek-aspek lain yang relevan yang diperoleh melalui kegiatan wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Teknik pengumpulan data dilakukan secara “bergulir”(snow-ball) dari informan satu ke informan yang lain lebih kompeten untuk memperoleh informasi yang lebih mendalam. Data yang dihasilkan bersifat deskriptif dan analisis secara individu, karena itu metode kuatitatif tidak didasarkan atas pertimbangan ketuntasan informasi yang diperlukan. F. LOKASI DAN SAMPEL PENELITIAN 1. Lokasi Penelitian Obyek yang dijadikan sebagai lokasi penelitian adalah Sekolah Menengah Atas Negeri 3. 2. Sampel Penelitian Sedangkan sumber data atau sampel penelitian dipertimbangkan sesuai dengan keriteria yang dikemukakan oleh sanafia (1990:57) bahwa: “dalam menentukan subyek penelitian perlu dipertimbangkan hal-hal sebagasi berikut: a) Subyek sudah cukup lama dan intensif menyatu dalam kegiatan atau bidang yang menjadi kajian penelitian; b) subyek masih aktif atau terlibat penuh dengan kegiatan atau bidang tersebut; dan c) subyek memiliki waktu yang cukup untuk dimintai informasi” Sampel pada penelitian kali ini bersifat purposive artinya sesuai dengan maksud dan tujuan penelitia, tidak menekankan pada jumlah atau keterwakilan, tetapi lebih pada kualitas informasi, kredibilitas dan kekayaan informasi yang dimiliki oleh informan atau partisipan. Voleh karena itu, sampel merupakan pelihan peneliti tentang aspek apa, dari peristiwa apa, dan siapa yang dijadikan fokus pada saat dan situasi tertentu. Artinya, tujuan sampling adalah untuk mencakup sebanyak mungkin informasi yang bersifat holistic kontekstual. Dengan kata lain, sampling tidak harus representatif terhadap populasi (penelitian kuantitatif), melainkan representative terhadap informasi holisstik. Dalam merencanakan sampling dipertimbangkan langkah-langkah berikut: a). Menyiapkan identifikasi unsur-unsur awal; b) menyiapkan munculnya sample secara teratur dan purposif; c) menyiapkan penghalusan atau pengfokusan sample secara terus-menerus; dan d) menyiapkan penghentian sampling. Sebagai catatan bahwa rencana-rencana tersebut hanya bersifat sementara, sebab tidak ada satu langkah yang dapat dikembangkan secara sempurna sebelum dimulainya penelitian dilapangan.