Kamis, 19 Januari 2012

[Filsafat Pendidikan Islam

[Filsafat Pendidikan Islam] Pengertian, Ruang Lingkup, Kegunaan dan Metode Pengembangan
Posted on 25 Mei 2009

oleh : M. Ihsan Dacholfany

A. Pendahuluan
Setiap orang memiliki filsafat walaupun ia mungkin tidak sadar akan hal tersebut. Kita semua mempunyai ide-ide tentang benda-benda, tentang sejarah, arti kehidupan, mati, Tuhan, benar atau salah, keindahan atau kejelekan dan sebagainya. 1) Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. Definisi tersebut menunjukkan arti sebagai informal. 2) Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan yang sikap yang sangat kita junjung tinggi. Ini adalah arti yang formal. 3) Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. 4) Filsafat adalah sebagai analisa logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep. 5) Filsafat adalah sekumpulan problema-problema yang langsung yang mendapat perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.

Dari beberapa definisi tadi bahwasanya semua jawaban yang ada difilsafat tadi hanyalah buah pemikiran dari ahli filsafat saja secara rasio. Banyak orang termenung pada suatu waktu. Kadang-kadang karena ada kejadian yang membingungkan dan kadang-kadang hanya karena ingin tahu, dan berfikir sungguh-sungguh tentang soal-soal yang pokok. Apakah kehidupan itu, dan mengapa aku berada disini? Mengapa ada sesuatu? Apakah kedudukan kehidupan dalam alam yang besar ini ? Apakah alam itu bersahabat atau bermusuhan ? apakah yang terjadi itu telah terjadi secara kebetulan ? atau karena mekanisme, atau karena ada rencana, ataukah ada maksud dan fikiran didalam benda .

Semua soal tadi adalah falsafi, usaha untuk mendapatkan jawaban atau pemecahan terhadapnya telah menimbulkan teori-teori dan sistem pemikiran seperti idealisme, realisme, pragmatisme. Oleh karena itu filsafat dimulai oleh rasa heran, bertanya dan memikir tentang asumsi-asumsi kita yang fundamental (mendasar), maka kita perlukan untuk meneliti bagaimana filsafat itu menjawabnya.

B. Pengertian Filsafat pendidikan Islam

Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata Philo yang berarti cinta, dan kata Sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian, filsafat berarti cinta cinta terhadap ilmu atau hikmah. Terhadap pengertian seperti ini al-Syaibani mengatakan bahwa filsafat bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Selanjutnya ia menambahkan bahwa filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Selain itu terdapat pula teori lain yang mengatakan bahwa filsafat berasal dari kata Arab falsafah, yang berasal dari bahasa Yunani, Philosophia: philos berarti cinta, suka (loving), dan sophia yang berarti pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi, Philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran atau lazimnya disebut Pholosopher yang dalam bahasa Arab disebut failasuf.

Sementara itu, A. Hanafi, M.A. mengatakan bahwa pengertian filsafat telah mengalami perubahan-perubahan sepanjang masanya. Pitagoras (481-411 SM), yang dikenal sebagai orang yang pertama yang menggunakan perkataan tersebut. Dari beberapa kutipan di atas dapat diketahui bahwa pengertian fisafat dar segi kebahsan atau semantik adalah cinta terhadap pengetahuan atau kebijaksanaan. Dengan demikian filsafat adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang menempatkan pengetahuan atau kebikasanaan sebagai sasaran utamanya. Filsafat juga memilki pengertian dari segi istilah atau kesepakatan yang lazim digunakan oleh para ahli, atau pengertian dari segi praktis.

Selanjutnya bagaimanakah pandangan para ahli mengenai pendidikan dalam arti yang lazim digunakan dalam praktek pendidikan. Dalam hubungan ini dijumpai berbagai rumusan yang berbeda-beda. Ahmad D. Marimba, misalnya mengatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si – terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.

Berdasarkan rumusannya ini, Marimba menyebutkan ada lima unsur utama dalam pendidikan, yaitu: (1) Usaha (kegiatan) yang bersifat bimbingan, pimpinan atau pertolongan yang dilakukan secara sadar; (2) Ada pendidik, pembimbing atau penolong; (3) Ada yang di didik atau si terdidik; dan (4) Adanya dasar dan tujuan dalam bimbingan tersebut, dan. 5) Dalam usaha tentu ada alat-alat yang dipergunakan.

Sebagai suatu agama, Islam memiliki ajaran yang diakui lebih sempurna dan kompherhensif dibandingkan dengan agama-agama lainnya yang pernah diturunkan Tuhan sebelumnya. Sebagai agama yang paling sempurna ia dipersiapkan untuk menjadi pedoman hidup sepanjang zaman atau hingga hari akhir. Islam tidak hanya mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat, ibadah dan penyerahan diri kepada Allah saja, melainkan juga mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia termasuk di dalamnya mengatur masalah pendidikan. Sumber untuk mengatur masalah pendidikan. Sumber untuk mengatur kehidupan dunia dan akhirat tersebut adalah al Qur’an dan al Sunnah.

Sebagai sumber ajaran, al Qur’an sebagaimana telah dibuktikan oleh para peneliti ternyata menaruh perhatian yang besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran. Demikian pula dengan al Hadist, sebagai sumber ajaran Islam, di akui memberikan perhatian yang amat besar terhadap masalah pendidikan. Nabi Muhammad SAW, telah mencanangkan program pendidikan seumur hidup (long life education ).

Dari uraian diatas, terlihat bahwa Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber pada al- Qur’an dan al Hadist sejak awal telah menancapkan revolusi di bidang pendidikan dan pengajaran. Langkah yang ditempuh al Qur’an ini ternyata amat strategis dalam upaya mengangkat martabat kehidupan manusia. Kini di akui dengan jelas bahwa pendidikan merupakan jembatan yang menyeberangkan orang dari keterbelakangan menuju kemajuan, dan dari kehinaan menuju kemuliaan, serta dari ketertindasan menjadi merdeka, dan seterusnya.

Dasar pelaksanaan Pendidikan Islam terutama adalah al Qur’an dan al Hadist Firman Allah : “ Dan demikian kami wahyukan kepadamu wahyu (al Qur’an) dengan perintah kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah iman itu, tetapi kami menjadikan al Qur’an itu cahaya yang kami kehendaki diantara hamba-hamba kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benarbenar memberi petunjuk kepada jalan yang benar ( QS. Asy-Syura : 52 )” Dan Hadis dari Nabi SAW : “ Sesungguhnya orang mu’min yang paling dicintai oleh Allah ialah orang yang senantiasa tegak taat kepada-Nya dan memberikan nasihat kepada hamba-Nya, sempurna akal pikirannya, serta mengamalkan ajaran-Nya selama hayatnya, maka beruntung dan memperoleh kemenangan ia” (al Ghazali, Ihya Ulumuddin hal. 90)”

Dari ayat dan hadis di atas tadi dapat diambil kesimpulan :

Bahwa al Qur’an diturunkan kepada umat manusia untuk memberi petunjuk kearah jalan hidup yang lurus dalam arti memberi bimbingan dan petunjuk kearah jalan yang diridloi Allah SWT.
Menurut Hadist Nabi, bahwa diantara sifat orang mukmin ialah saling menasihati untuk mengamalkan ajaran Allah, yang dapat diformulasikan sebagai usaha atau dalam bentuk pendidikan Islam.
Al Qur’an dan Hadist tersebut menerangkan bahwa nabi adalah benar-benar pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus, sehingga beliau memerintahkan kepada umatnya agar saling memberi petunjuk, memberikan bimbingan, penyuluhan, dan pendidikan Islam. Bagi umat Islam maka dasar agama Islam merupakan fondasi utama keharusan berlangsungnya pendidikan. Karena ajaran Islam bersifat universal yang kandungannya sudah tercakup seluruh aspek kehidupan ini.

Pendidikan dalam arti umum mencakup segala usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya, serta keterampilannya kepada generasi muda untuk memungkinkannya melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama, dengan sebaik-baiknya. Corak pendidikan itu erat hubungannya dengan corak penghidupan, karenanya jika corak penghidupan itu berubah, berubah pulalah corak pendidikannya, agar si anak siap untuk memasuki lapangan penghidupan itu. Pendidikan itu memang suatu usaha yang sangat sulit dan rumit, dan memakan waktu yang cukup banyak dan lama, terutama sekali dimasa modern dewasa ini. Pendidikan menghendaki berbagai macam teori dan pemikiran dari para ahli pendidik dan juga ahli dari filsafat, guna melancarkan jalan dan memudahkan cara-cara bagi para guru dan pendidik dalam menyampaikan ilmu pengetahuan dan pengajaran kepada para peserta didik. Kalau teori pendidikan hanyalah semata-mata teknologi, dia harus meneliti asumsi-asumsi utama tentang sifat manusia dan masyarakat yang menjadi landasan praktek pendidikan yang melaksanakan studi seperti itu sampai batas tersebut bersifat dan mengandung unsur filsafat. Memang ada resiko yang mungkin timbul dari setiap dua tendensi itu, teknologi mungkin terjerumus, tanpa dipikirkan buat memperoleh beberapa hasil konkrit yang telah dipertimbangkan sebelumnya didalam sistem pendidikan, hanya untuk membuktikan bahwa mereka dapat menyempurnakan suatu hasil dengan sukses, yang ada pada hakikatnya belum dipertimbangkan dengan hati-hati sebelumnya.

Sedangkan para ahli filsafat pendidikan, sebaiknya mungkin tersesat dalam abstraksi yang tinggi yang penuh dengan debat tiada berkeputusan,akan tetapi tanpa adanya gagasan jelas buat menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang ideal. Tidak ada satupun dari permasalahan kita mendesak dapat dipecahkan dengan cepat atau dengan mengulang-ulang dengan gigih kata-kata yang hampa. Tidak dapat dihindari, bahwa orang-orang yang memperdapatkan masalah ini, apabila mereka terus berpikir,yang lebih baik daripada mengadakan reaksi, mereka tentu akan menyadari bahwa mereka itu telah membicarakan masalah yang sangat mendasar.

Sebagai ajaran (doktrin) Islam mengandung sistem nilai diatas mana proses pendidikan Islam berlangsung dan dikembangkan secara konsisten menuju tujuannya. Sejalan dengan pemikiran ilmiah dan filosofis dari pemikir-pemikir sesepuh muslim, maka sistem nilai-nilai itu kemudian dijadikan dasar bangunan (struktur) pendidikan islam yang memiliki daya lentur normatif menurut kebutuhan dan kemajuan.

Pendidikan Islam mengidentifikasi sasarannya yang digali dari sumber ajarannya yaitu Al Quran dan Hadist, meliputi empat pengembangan fungsi manusia :

Menyadarkan secara individual pada posisi dan fungsinya ditengah-tengah makhluk lain serta tanggung jawab dalam kehidupannya.
Menyadarkan fungsi manusia dalam hubungannya dengan masyarakat, serta tanggung jawabnya terhadap ketertiban masyarakatnya.
Menyadarkan manusia terhadap pencipta alam dan mendorongnya untuk beribadah kepada Nya
Menyadarkan manusia tentang kedudukannya terhadap makhluk lain dan membawanya agar memahami hikmah tuhan menciptakan makhluk lain, serta memberikan kemungkinan kepada manusia untuk mengambil manfaatnya

Setelah mengikuti uraian diatas kiranya dapat diketahui bahwa Filsafat Pendidikan Islam itu merupakan suatu kajian secara filosofis mengenai masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada al Qur’an dan al Hadist sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli, khususnya para filosof Muslim, sebagai sumber sekunder.

Dengan demikian, filsafat pendidikan Islam secara singkat dapat dikatakan adalah filsafat pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam atau filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran Islam, jadi ia bukan filsafat yang bercorak liberal, bebas, tanpa batas etika sebagaimana dijumpai dalam pemikiran filsafat pada umumnya.

C. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam

Penjelasan mengenai ruang lingkup ini mengandung indikasi bahwa filsafat pendidikan Islam telah diakui sebagai sebuah disiplin ilmu. Hal ini dapat dilihat dari adanya beberapa sumber bacaan, khususnya buku yang menginformasikan hasil penelitian tentang filsafat pendidikan Islam. Sebagai sebuah disiplin ilmu, mau tidak mau filsafat pendidikan Islam harus menunjukkan dengan jelas mengenai bidang kajiannya atau cakupan pembahasannya. Muzayyin Arifin menyatakan bahwa mempelajari filsafat pendidikan Islam berarti memasuki arena pemikiran yang mendasar, sistematik. Logis, dan menyeluruh (universal) tentang pendidikan, ysng tidak hanya dilatarbelakangi oleh pengetahuan agama Islam saja, melainkan menuntut kita untuk mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan. Pendapat ini memberi petunjuk bahwa ruang lingkup filsafat Pendidikan Islam adalah masalah-masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan, seperti masalah tujuan pendidikan, masalah guru, kurikulum, metode, dan lingkungan.

D. Kegunaan Filsafat Pendidikan Islam

Prof. Mohammad Athiyah Abrosyi dalam kajiannya tentang pendidikan Islam telah menyimpulkan 5 tujuan yang asasi bagi pendidikan Islam yang diuraikan dalam “ At Tarbiyah Al Islamiyah Wa Falsafatuha “ yaitu :

Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia. Islam menetapkan bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam.
Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Pendidikan Islam tidak hanya menaruh perhatian pada segi keagamaan saja dan tidak hanya dari segi keduniaan saja, tetapi dia menaruh perhatian kepada keduanya sekaligus.
Menumbuhkan ruh ilmiah pada pelajaran dan memuaskan untuk mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu bukan sekedar sebagai ilmu. Dan juga agar menumbuhkan minat pada sains, sastra, kesenian, dalam berbagai jenisnya.
Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknis, dan perusahaan supaya ia dapat mengusai profesi tertentu, teknis tertentu dan perusahaan tertentu, supaya dapat ia mencari rezeki dalam hidup dengan mulia di samping memelihara dari segi kerohanian dan keagamaan.
Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan. Pendidikan Islam tidaklah semuanya bersifat agama atau akhlak, atau sprituil semata-mata, tetapi menaruh perhatian pada segi-segi kemanfaatan pada tujuan-tujuan, kurikulum, dan aktivitasnya. Tidak lah tercapai kesempurnaan manusia tanpa memadukan antara agama dan ilmu pengetahuan.

E. Metode Pengembangan Filsafat Pendidikan Islam

Sebagai suatu metode, pengembangan filsafat pendidikan Islam biasanya memerlukan empat hal sebagai berikut :

Pertama, bahan-bahan yang akan digunakan dalam pengembangan filsafat pendidikan. Dalam hal ini dapat berupa bahan tertulis, yaitu al Qur’an dan al Hadist yang disertai pendapat para ulama serta para filosof dan lainnya ; dan bahan yang akan di ambil dari pengalaman empirik dalam praktek kependidikan.

Kedua, metode pencarian bahan. Untuk mencari bahan-bahan yang bersifat tertulis dapat dilakukan melalui studi kepustakaan dan studi lapangan yang masing-masing prosedurnya telah diatur sedemikian rupa. Namun demikian, khusus dalam menggunakan al Qur’an dan al Hadist dapat digunakan jasa Ensiklopedi al Qur’an semacam Mu’jam al Mufahras li Alfazh al Qur’an al Karim karangan Muhammad Fuad Abd Baqi dan Mu’jam al muhfars li Alfazh al Hadist karangan Weinsink.

Ketiga, metode pembahasan. Untuk ini Muzayyin Arifin mengajukan alternatif metode analsis-sintesis, yaitu metode yang berdasarkan pendekatan rasional dan logis terhadap sasaran pemikiran secara induktif, dedukatif, dan analisa ilmiah.

Keempat, pendekatan. Dalam hubungannya dengan pembahasan tersebut di atas harus pula dijelaskan pendekatan yang akan digunakan untuk membahas tersebut. Pendekatan ini biasanya diperlukan dalam analisa, dan berhubungan dengan teori-teori keilmuan tertentu yang akan dipilih untuk menjelaskan fenomena tertentu pula. Dalam hubungan ini pendekatan lebih merupakan pisau yang akan digunakan dalam analisa. Ia semacam paradigma (cara pandang) yang akan digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena.

F. Penutup

Islam dengan sumber ajarannya al Qur’an dan al Hadist yang diperkaya oleh penafsiran para ulama ternyata telah menunjukkan dengan jelas dan tinggi terhadap berbagai masalah yang terdapat dalam bidang pendidikan. Karenanya tidak heran ntuk kita katakan bahwa secara epistimologis Islam memilki konsep yang khas tentang pendidikan, yakni pendidikan Islam.

Demikian pula pemikiran filsafat Islam yang diwariskan para filosof Muslim sangat kaya dengan bahan-bahan yang dijadikan rujukan guna membangun filsafat pendidikan Islam. Konsep ini segera akan memberikan warna tersendiri terhadap dunia pendidikan jika diterapkan secara konsisten. Namun demikian adanya pandangan tersebut bukan berarti Islam bersikap ekslusif. Rumusan, ide dan gagasan mengenai kependidikan yang dari luar dapat saja diterima oleh Islam apabila mengandung persamaan dalam hal prinsip, atau paling kurang tidak bertentangan. Tugas kita selanjutnya adalah melanjutkan penggalian secara intensif terhadap apa yang telah dilakukan oleh para ahli, karena apa yang dirumuskan para ahli tidak lebih sebagai bahan perbangdingan, zaman sekarang berbeda dengan zaman mereka dahulu. Karena itu upaya penggalian masalah kependidikan ini tidak boleh terhenti, jika kita sepakat bahwa pendidikan Islam ingin eksis ditengah-tengah percaturan global.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hanafi, M.A., Pengantar Filsafat Islam, Cet. IV, Bulan Bintang, Jakarta, 1990.

Prasetya, Drs., Filsafat Pendidikan, Cet. II, Pustaka Setia, Bandung, 2000

Titus, Smith, Nolan., Persoalan-persoalan Filsafat, Cet. I, Bulan Bintang, Jakarta, 1984.

Ali Saifullah H.A., Drs., Antara Filsafat dan Pendidikan, Usaha Nasional, Surabaya, 1983.

Zuhairini. Dra, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Cet.II, Bumi Aksara, Jakarta, 1995.

Abuddin Nata, M.A., Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997

M. Ihsan Dacholfany adalah mahasiswa ISID 1997 – Staf Pengajar PP Gontor – Perpustakaan Darussalam)

FILSAFAT RASIONALISME

BAB. I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pemikiran
Pendidikan Islam tidak terlepas sudut pandangan teologi, misalnya saja aliran Qadariyah, Jabariyah dan Asy’ariyah. Ketiga aliran tersebut dalam asumsi pemakalah telah menyumbangkan ide-ide dalam pembinaan pendidikan Islam.
Kreasi-kreasi keilmuan dalam pendidikan Islam adalah wajah dari aliran Qadariyah, karena memberikan kebebasan manusia untuk berbuat disebabkan oleh adanya potensi akal yang menjadi pemacu dalam membuat ide-ide pemikiran yang positif. Di lain sisi, aliran Jabariyah yang berseberangan dengan Qadariyah, tidak hanya dibiarkan begitu saja. Walaupun aliran tersebut berpendirian bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya, semuanya terpasung oleh kekuasaan mutlak Tuhan, namun ajarannya tentang kemakhlukan al-Quran dalam perspektif penididkan Islam menjadi pola pikir yang sangat rasional dikarenakan lafdzi merupakan bentuk kemakhlukan dari firman Tuhan.
Kedua aliran tersebut, cara pandangnya memperoleh titik terang melalui pemaduan dengan lahirnya aliran Asy’ariyah. Aliran Asy’ariyah banyak bergantung pada otoritas kekuasaan Allah (wahyu), yang mana wahyu sebagai sumber pendidikan. Dengan begitu, dalam kehidupan manusia, akal hanya sebagai pembenaran terhadap wahyu, namun manusia tetap mempunyai andil dalam menentukan kehidupannya.
Aliran Qadariyah mempunyai paham bahwa manusia bebas berbuat dan berkehendak serta berpikir untuk menciptakan perbuatannya sesuai kemampuannya. Dalam konteks pendidikan Islam, sangat relevan karena dunia pendidikan Islam membutuhkan pemikiran dan penalaran untuk menciptakan kreasi-kreasi ilmu pendidikan Islam.
Dalam agama terdapat dua ajaran yang erat kaitannya dengan produktivitas : Pertama; agama mengajarkan bahwa sesudah hidup pertama di dunia yang bersifat material ini, ada hidup kedua nanti di akhirat yang bersifat spiritual. Kedua; agama mempunyai ajaran mengenai nasib dan perbuatan manusia. Kalau nasib manusia telah ditentukan Tuhan sejak semula, maka produktivitas masyarakat yang menganut paham keagamaan demikian , akan rendah sekali. Tetapi, dalam masyarakat, yang menganut paham manusialah yang menentukan nasibnya dan manusialah yang menciptakan perbuatannya, produktivitas akan tinggi. Paham pertama dikenal dengan filsafat fatalisme atau jabariyah. Paham kedua disebut Qadariyah atau kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan.[1]
[1] Harun Nasution, Islam Rasional (Cet. I; Bandung: Mizan, 1995), h. 111

Aliran-aliran tersebut terkait juga dengan pendidikan Islam, bagaimana pendidikan Islam produktivitasnya maju atau mundur tergantung kepada pemahaman dan pemikiran yang dimiliki. Tidak dapat diingkari bahwa pendidikan Islam adalah bagian dari ajaran Islam secara keseluruhan, yang titik fokusnya adalah manusia. Karena itu, tujuan akhirnya harus selaras dengan tujuan hidup dalam Islam.
Yusuf al-Qardhawi menjelaskan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya; rohani dan jasmaninya; akhlak dan keterampilannya. Karena pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatan, manis dan pahitnya.[2]
Berangkat dari pemahaman secara etimologi pada hakekatnya pendidikan Islam tak dapat dilepaskan hubungannya dari al-Quran-khaliq, sang maha pencipta. Konsep tarbiyah, ta’lim maupun ta’dib yang dijadikan rujukan pemaknaan dan penyusunan konsep pendidikan Islam semuanya mengacu kepada sumber utamanya, yaitu Allah.[3]
Dengan demikian, konsep pendidikan Islam dalam pengertian seutuhnya hanya mungkin disusun atas dasar hubungan dimaksud. Konsep pendidikan Islam yang hakiki terkait erat dengan nilai-nilai yang termuat dalam wahyu.
Wahyu atau al-Quran adalah kitab yang lengkap dan sempurna, mencakup segala-galanya, timbul dari sifat al-Quran sebagai wahyu; kitab yang mengandung firman Tuhan yang dikirimkanya kepada manusia melalui Nabi Muhammad saw untuk menjadi petunjuk dan pegangan, baik didunia sekarang maupun di akhirat nanti.[4]
Al-Quran berpotensi memberikan penafsiran yang berbeda-beda dalam memandang sesuatu, katakanlah seperti “manusia” yang di sisi lain mempunyai kekuatan sendiri dalam bertindak, sementara di lain tempat, “manusia” hanya terpaksa dalam melaksanakan sesuatu, sesuatu, karena semuanya sudah diskenario oleh Khaliknya. Hal ini yang mengilhami lahirnya aliran-aliran dalam teologi Islam, misalnya aliran Qadariyah, Jabariyah dan Asy’ariyah, dan aliran lainnya.


___________________
[2] Yusuf al-Qardhawi , Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, Diterjemahkan oleh Bustani A. Gani dan Zainal Abidin Ahmad ( Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 39.
[3] Jalaludin, Teologi Pendidikan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 7.
[4] Harun Nasution, op.cit., h. 25.

Pemakalah menilai bahwa aliran-aliran tersebut dapat memberikan kontribusi terhadap pendalaman dan pengkajian keislaman. Aliran Qadariyah dan Jabariyah merupakan dua aliran yang saling berseberangan dalam memahami “kemampuan manusia”, namun harus diakui bahwa walaupun cara pandang kedua aliran ini berbeda, tapi pada sasarannya hal tersebut tidak mengurangi nilai dari ajaran Islam yang fleksibel. Kedua aliran tersebut ditengahi oleh Asy’ariyah, yang berpendapat bahwa kekuatan manusia tidak terlepas dari kekuasaan Tuhan, artinya manusia menjadi berkepribadian yang Islami tidak terlepas dari usaha manusia dan tuntunan Tuhan.
Dikaitkan dengan pendidikan Islam, ternyata aliran-aliran tersebut perlu dikaji dan ditelaah, karena sedikit banyanya memberi sumbangan pemikiran dalam pendidikan Islam. Dicermati pendidikan Islam itu merupakan pencerdasan akal dan budi yang terkait dengan pembinaan manusia. Manusia memiliki kudrah atau potensi yang harus dikembangkan, namun perkembangannya tetap memperhatikan pengaruh-pengaruh luar disamping pengaruh yang sudah dibawa sejak lahir.
Jadi aliran-aliran dalam teologi memandang pendidikan Islam bertautan dengan aliran-aliran tersebut, mengingat pendidikan Islam dan aliran-aliran teologi merupakan ajaran Islam yang harus dikaji dan didalami. Aliran-aliran teologi prinsipnya melahirkan konsep-konsep pendidikan yang sangat bermakna.
Memperhatikan pokok-pokok pikiran di atas, pemakalah dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut: Bagaimana pandangan aliran Qadariyah, aliran Jabariyah serta aliran Asy’ariyah terhadap pendidikan Islam ?










BAB. II
PEMBAHASAN

FILSAFAT RASIONALISME : RENE DESCARTES

Para filsuf rasionalisme adalah mereka yang: pertama, mengatakan bahwa kekuatan akal pada diri manusia yang dalam pandangan mereka merupakan suatu kekuatan instinktif adalah sumber dari semua ilmu yang hakiki, atau merupakan sumber dari dua sifat dari ciri ilmu hakiki secara khusus, yaitu urgensitas (dharurah) dan kebenaran mutlak (al-shidq al-mutlaq). Kedua, berkaitan dengan alam kosmik, para penganut rasionalisme menerima adanya wujud spiritual atau rasio yang merupakan asal usul dari segala entitas.
Kita akan mengkaji rasionalisme ini pada tokohnya yang paling terkenal diantaranya Rene Descartes.[1]
A. Riwayat Hidup Rene Descartes (1596-1650)
Descartes lahir pada tahun 1596 dan meninggal pada tahun 1650. bukunya yang terpenting dalam filsafat murni ialah Discours de la methode (1637) dan Meditations (1642) kedua buku ini saling melengkapi satu sama lain. Didalam buku inilah ia menuangkan metodenya yang terkenal itu, metode keraguan descartes (cartesian doubt) metode ini sering juga disebut cogito descartes.
Ia mengetahui bahwa tidak mudah meyakinkan tokoh-tokoh gereja bahwa dasar filsafat haruslah rasio (akal). Untuk meyakinkan orang bahwa dasar filsafat adalah akal, ia menyusun argumentasi yang amat terkenal. Argumentasi itu tertuang didalam metode cogito.
_______________
[1] Dr. Fuad Farid Ismail dan Dr. Abdul Hamid, cepat menguasai ilmu filsafat hlm.53
Untuk menemukan basis yang kuat bagi filsafat, Descartes meragukan lebih dahulu segala sesuatu yang dapat diragukan. Mula-mula ia meragukan semua yang dapat diindera,
objek yang sebenarnya tidak mungkin diragukan. Inilah langkah pertama metode cogito tersebut. Pada langkah pertama ini descartes dapat (berhasil) meragukan semua benda yang dapat di indera. Apa sekarang yang dapat dipercaya dan yang sungguh-sungguh ada? Menurut descartes dalam mimpi, halusinasi, ilusi dan dalam terjaga ada sesuatu yang selalu muncul baik dalam jaga maupun dalam mimpi.[2]
B. Idea Terang Benderang
Keraguan Descartes diatas hanya metode, bukanlah ia ragu-ragu sesungguhnya seperti skepsis. Ia ragu-ragu bukan untuk ragu-ragu melainkan untuk mencapai kepastian. Kepastian yang terdapat pada kesadarab inilah yang di pakai menjadi pangkal pikiran dan filsafatnya. Karena kesadaran ini nampaklah tindakan budi (rasio) dan budi ini menemukan pangkal untuk bertindak dan hanya rasio sajalah yang dapat membawa orang kepada kebenaran rasio juga yang dapat memberi pimpinan dalam segala jalan pikiran. Adapun yang benar itu hanya tindakan budi yang terang benderang yang disebutnya (idees claires et distinctes). Yang tidak dapat di utarakan dengan idea yang demikian itu tidak termasuk kedalam wilayah filsafat. Akan tetapi apa dan siapa yang menjamin bahwa idea itu benar? Yang menjadi jaminan ialah tuhan sendiri. Idea yang terang benderang ini pemberian tuhan sebelum orang itu dilahirkan, idea itu disebutnya idea bawaan.oleh karena itu idea tersebut haruslah benar karena pemberian yang maha benar. Jadi menurut Descartes itu bukanlah hasil pengabstrakan, yang diambil dari yang konkrit, melainkan sudah dimiliki orang waktu dilahirkan. Idea terang benderang itu bekal hidup. Hadiah dari kebenaran sejati.


______________
[2] Prof. dr. Ahmad Tafsir. Filsafat umum, akal dan hati sejak thales sampai capra hlm.129

Maka dari itu menurut Descartes budi atau rasiolah yang menjadi sumber dan pangkal segala pengertian dan budilah yang memegang pimpinan dalam segala mengerti itulah sebabnya aliran ini disebut rasionalisme. Kedaulatan rasio diakui sepenuhnya bahkan dilebih-lebihkan oleh Descartes dengan mengabaikan nilai pengetahuan indra, yang menurut dia kerap kali menyesatkan manusia.[3]
C. Pengertian Rasionalisme
Secara etimologis Rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris rationalism. Kata ini berakar dari kata bahasa Latin ratio yang berarti “akal”. A.R. Lacey7 menambahkan bahwa berdasarkan akar katanya Rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran. Sementara itu, secara terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegang pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Ia menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi.

D. Sebab Timbulnya Pemikiran Rasionalisme
Descartes merupakan orang pertama yang memiliki kapasitas filosofis yang sangat dipengaruhi oleh fisika baru dan astronomi. Ia banyak menguasai filsafat Scholastic, namun ia tidak menerima dasar-dasar filfasat Scholastic yang dibangun oleh para pendahulunya. Ia berupaya keras untuk mengkonstruksi bangunan baru filsafat. Hal ini merupakan terobosan baru semenjak zaman Aristoteles dan hal ini merupakan sebuah neo-self-confidence yang dihasilkan dari kemajuan ilmu pengetahuan. Dia berhasrat untuk menemukan “sebuah ilmu yang sama sekali baru pada masyarakat yang akan memecahkan semua pertanyaan tentang kuantitas secara umum, apakah bersifat kontinim atau terputus.”
Visi Descartes telah menumbuhkan keyakinan yang kuat pada dirinya tentang kepastian pengetahuan ilmiah, dan tugas dalam kehidupannya adalah membedakan kebenaran dan kesalahan dalam semua bidang pelajaran. Karena menurutnya “semua ilmu merupakan pengetahuan yang pasti dan jelas.

[3] Prof. I.R. Poedjawijatna. Pembimbing ke arah alam filsafat hlm,237


Pada dasarnya, visi dan filsafat Descartes banyak dipengaruhi oleh ilmu alam dan matematika yang berasas pada kepatian dan kejelasan perbedaan antara yang benar dan salah. Sehingga dia menerima suatu kebenaran sebagai suatu hal yang pasti dan jelas atau disebut Descartes sebagai kebenaran yang Clear and Distinct.
Dalam usahanya untuk mencapai kebenaran dasar tersebut Descartes menggunakan metode “Deduksi”, yaitu dia mededuksikan prinsip-prinsip kebenaran yang diperolehnya kepada prinsip-prinsip yang sudah ada sebelumnya yang berasal dari definisi dasar yang jelas. Sebagaimana yang ditulis oleh Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins dalam buku sejarah filsafat,
“kunci bagi deduksi keseluruhan Descartes akan berupa aksioma tertentu yang akan berfungsi sebagai sebuah premis dan berada diluar keraguan. Dan aksioma ini merupakan klaimnya yang terkenal Cogito ergo sum “Aku berpikir maka aku ada”.

E. Pola Pikir Rasionalisme
Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan fakta, daripada melalui iman, dogma, atau ajaran agama. Rasionalisme mempunyai kemiripan dari segi ideologi dan tujuan dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan atau takhayul. Meskipun begitu, ada perbedaan dengan kedua bentuk tersebut: Humanisme dipusatkan pada masyarakat manusia dan keberhasilannya. Rasionalisme tidak mengklaim bahwa manusia lebih penting daripada hewan atau elemen alamiah lainnya. Ada rasionalis-rasionalis yang dengan tegas menentang filosofi humanisme yang antroposentrik. Atheisme adalah suatu keadaan tanpa kepercayaan akan adanya Tuhan atau dewa-dewa; rasionalisme tidak menyatakan pernyataan apapun mengenai adanya dewa-dewi meski ia menolak kepercayaan apapun yang hanya berdasarkan iman. Meski ada pengaruh atheisme yang kuat dalam rasionalisme modern, tidak seluruh rasionalis adalah atheis.
Di luar konteks religius, rasionalisme dapat diterapkan secara lebih umum, umpamanya kepada masalah-masalah politik atau sosial. Dalam kasus-kasus seperti ini, yang menjadi ciri-ciri penting dari perpektif para rasionalis adalah penolakan terhadap perasaan (emosi), adat-istiadat atau kepercayaan yang sedang populer.
A. Pandangan Aliran Qadariyah Terhadap Pendidikan Islam
Ada suatu pertanyaan yang muncul dalam pemikiran pemakalah yaitu “apakah pendidikan Islam menganut teori kebebasan berpikir ? Menarik buat pemakalah, karena di dunia modern dewasa ini muncullah teori-teori kebebasan. Misalnya kebebasan berpolitik, berteologi, berpakaian, berpendidikan, dan lain-lain.
Dianalisa dengan pemikiran-pemikiran yang cerdas, sebenarnya kebebasan itu adalah sifat yang dimiliki manusia yang perlu ditumbuh kembangkan. Sebab dengan kebebasan itu manusia menjadi kreatif dan inovatif. Hanya saja kebebasan itu jangan kebablasan atau berlebih-lebihan. Di dunia Barat kebebasan menjadi hal yang biasa-biasa saja, padahal sesungguhnya kebebasan dalam dunia Islam ditopang oleh akal yang sehat dan didukung oleh wahyu.
Pemikiran pendidikan Islam adalah suatu kewajaran yang ditopang oleh pandangan aliran teologis, contoh aliran Qadariyah. Aliran ini memberikan kemerdekaan atau kebebasan manusia untuk berbuat. Tapi harus diyakini kebebasan yang dianutnya tetap berbeda dalam koridor wahyu. Karena aliran Qadariyah memiliki alas an-alasan berpijak sesuai ayat-ayat al-Quran.
Sekiranya ulama Islam dan umat Islam pada zaman klasik itu hanya berorientasi akhirat saja, tanpa berorientasi dunia, dan memakai filsafat fatalisme atau jabariyah, bukan filsafat qadariyah dan dengan pahamnya tentang manusia yang bebas, kemajuan yang begitu pesat dalam bidang politik tidak akan tercapai. Negara yang berasal di Madinah itu hanya akan merupakan Negara padang pasir tak ada artinya dan tidak menjadi Negara adikuasa yang besar pengaruhnya pada dunia zaman ini.
Kebangkitan pendidikan Islam tidak terlepas dari munculnya mutakallimin dengan wajah “keilmuan kalamnya”. Menurut Harun Nasution ilmu kalam lebih tepat dinamakan ilmu keislaman.[5]

_________________
[5] Harun Nasution, Theology Islam. Aliran-aliran Sejarah Islam Analisa Perbandingan ( Cet. 5; Jakarta: UI Press, 2002), h. 33.

Menurutnya pula manusia mempunyai kekuasaan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya sehingga dengan demikian manusia terpaksa tunduk pada Qadar dan kadar Tuhan, atau yang biasa disebut dengan free will dan free act.[6] Dalam perkembangan selanjutnya aliran ini diperkuat oleh aliran mu’tazilah.
Yang muncul kemudian, yang sangat mendukung argumen-argumen Qadariyah, yang mana manusia dalam menentukan kehidupnya segala dapat diperoleh melalui kebenaran akal, sehingga aliran ini biasa dengan disebut aliran rasionalisme yakni aliran yang mengkultuskan kemampuan akal dalam menetapkan kebenaran.
Sifat rasional dari pada manusia ini melahirkan konsep dasar tentang kebebasan. Bahwa dengan rasionya manusia dapat memiliki dan mencapai kebebasan dari berbagai belenggu yang dapat menurunkan derajat atau martabatnya seperti kebodohan, keragu-raguan. Dengan senjata yang bersifat rasional manusia dapat menghilangkan belenggu atau rintangan yang dihadapi, maka ia lalu merdeka. Kemerdekaan itu haruslah menjadi tujuan dan dilaksanakan dalam pendidikan, supaya anak didik mempunyai kemampuan untuk berbuat dengan sengaja.[7]
Pengaruh aliran Qadariyah terhadap pendidikan Islam, bila dilihat dari pemikiran tokoh-tokoh yang dianggap berhaluan Qadariyah, misalnya Ibnu Sina, al-Muwardi, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan sebagainya, menunjukkan bahwa pendidikan Islam itu harus diadakan reorientasi dalam berbagai factor atau unsure-unsurnya. Pendidikan Islam harus berbenah diri untuk tetap mengadakan penyesuaian-penyesuaian dengan tuntutan zaman terutama pada era globalisasi sekarang ini. Pendidikan Islam sangat diharapkan menjadi bidang strategis pendamping IPTEK dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusian di bumi ini.
Paham qadariyah yang mewarnai pendidikan menurut Ibnu Sina misalnya dalam hal perumusan tujuan pendidikan yang mengarah pada pengembangan potensi dalam upaya pencapaian kesempurnaannya,[8] kurikulum didasarkan pada tingkat perkembangan usia anak didik.[9] Penggunaan metode secara multi metode, dengan atas pertimbangan pesiologis peserta didik.[10]


_______________
_[7] Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Islam dan Metode (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Yogyakarta, 1976), h. 76. [8] Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 67. [9] Ibid., h.70-71 [10] Ibid.
Pendidikan yang ditawarkan Ibnu Sina, antara lain berkisar tentang guru yang baik yakni berakal cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik akhlak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari olok-olok dan bermain-main di hadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan santun, bersih, dan suci murni.[11]
Menurut pemakalah aliran empirisme adalah suatu aliran pendidikan yang menonjolkan faktor lingkungan yang paling dominan dampaknya terhadap proses perkembangan manusia yang diilhami oleh pandangan Qadariyah. Sebab secara kronologisnya jauh sebelum aliran empirisme muncul ternyata aliran Qadariyah telah ada.
Salah satu kesalahan pendidikan yang telah dipraktekkan para pendidik terdahulu yaitu peserta didik diibaratkan belanga kosong yang senantiasa siap diisi sesuka hati pendidik, sehingga terjadi kefakuman dalam pembelajaran, yang akhirnya akan melahirkan robot-robot yang siap menunggu instruksi dari majikan yang tidak kreatif dam mandiri. Padahal yang berhaluan Qadariyah sangat tidak sepaham dengan suasana demikian.
Uraian-uraian di atas melahirkan pemahaman bahwa aliran Qadaryiah telah memberikan peluang yang sangat bermakna terhadap kreasi dan inovasi dalam ilmu pendidikan Islam, karena adanya kebebasan dan kemerdekaan manusia untuk berbuat.
B. Pandangan Jabariyah Tentang Pendidikan Islam
Ketika Qadariyah berasumsi bahwa manusia memiliki kemerdekaan dan kemampuan untuk menentukan jalan hidupnya, dan mengkultuskan akal dalam menentukan kebenaran, maka Jabaiyah berasumsi sebaliknya. Menurutnya manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam paham ini terkait pada kehendak mutlak Tuhan. Manusia dan segala perbuatannya telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.[12]
Paham Jabariyah ketika diperhadapkan dengan pendidikan Islam, penganut paham ini senantiasa akan mengatakan bahwa pendidikan tidak perlu diadakan inovasi, bahkan percuma. Karena paham ini menganggap baik buruknya nasib manusia telah ditetapkan oleh Tuhan. Pandangan ini terkait dengan ideologi pendidikan yang disebut konservatisme oleh O’neil dan Giroux. Aliran ini memandang bahwa konsep yang selama ini digunakan masih tetap actual dan relevan, sehingga tidak perlu perubahan. Secara teologis aliran ini sangat sejalan dengan theology jabariah atau determinisme, bahwa masyarakat pada dasarnya tidak dapat mempengaruhi perubahan social. Semuanya telah ditentukan oleh Tuhan. Bagi penganut paham ini dalam memperjuangkan nasib rakyat enggan melakukan konfik, dalam bahasa agama selalu bersifat qanaah.
__________________
[11] Ibid. h. 77 [12] Harun Nasution , loc.cit.
Menurut pandangan Jabariyah konsep pendidikan Islam yang ada pada zaman dahulu yang telah dipraktekkan oleh ulama-ulama terdahulu sudah cukup, karena pada dasarnya pendidikan itu tidak akan memberi pengaruh yang signifikan terhadap kehidupan manusia, sebab baik buruknya nasib seseorang telah ditentukan oleh Allah. Manusia tidak perlu ada ikhtiar, karena apapun akhirnya tergantung pada Tuhan. Akhirnya semua factor-faktor pendidikan yang tersebut di atas, tidak perlu adanya reformasi dan reorientasi.
Pandangan Jabariyah membingkai aliran nativisme yang menganggap factor pembawaan atau bakat serta kemampuan dasar sebagai penentu dari proses perkembangan manusia. Sehingga proses perkembangan hidup manusia ditentukan oleh factor dasar ini. Akibatnya ialah bahwa factor-faktor eksternal seperti pendidikan atau lingkungan sekitar serta pengalaman tidak ada artinya bagi perkembangan kehidupan manusia.[13]
Paham ini sudah tentu kurang dapat dipertanggungjawabkan bilamana dilihat dari realitas hidup manusia sebagi anggota masyarakat. Karena manusia sebagai makhluk social tidak dapat menghindari diri dari pengaruh yang bersifat timbale balik antara individu satu dari yang lainnya.
Pendapat demikian di dunia kependidikan modern sekarang telah banyak ditinggalkan, karena tidak sesuai dengan kenyataan hidup bahwa dimanapun manusia berada, di situ pula memerlukan proses pendidikan, baik formal maupun non formal. Proses kependidikan pada hakikatnya adalah usaha ikhtiar untuk mempengaruhi, mengubah, dan membentuk keperibadian dan tingkah laku, sehingga sesuai dengan tujuan hidup manusia yang dicita-citakan.
Dalam pandangan Islam jelas bahwa manusia tidak saja dipandang sebagai makhluk ideal dan structural, tetapi juga diletakkan pada posisi potensial dalam proses perkembangannya, di mana nilai etis dan normative sangat menentukan keberhasilan proses tersebut. Manusia bukanlah makhluk instrumental yang relativitas seperti robot.
Pandangan Jabariyah dengan kemutlakan Tuhan dalam segala-galanya mencerminkan menusia tidak punya daya apa, semuanya ditangan Tuhan. Tuhan telah memasung manusia atas kemutlakannya. Akan tetapi dalam dunia pendidikan Islam kemakhlukan al-Quran menjadi pola pikir yang sangat rasional dikarenakan lafdzi merupakan bentuk kemakhlukan dari Firman Tuhan.


_________________
[13]Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Revisi; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005), h. 59

C. Pandangan Asy’ariyah Tentang Pendidikan Islam
Banyak pendapat yang muncul sekitar keluarnya al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah. Namun yang jelas bahwa al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah karena ia melihat bahwa aliran itu tidak dapat diterima oleh umumnya umat Islam yang masih sederhana cara berfikirnya.[14]
Kemungkinan lain karena al-Asy’ari ingin menjadi perantara antara golongan tekstualis (seperti ahli hadis anthromorphist yang hanya memegangi nash-nash dengan meninggalkan jiwanya dan golongan rasionalis seperti aliran Mu’tazilah, dan tenyata jalan tersebut dapat diterima oleh mayoritas kaum muslimin.[15] Inilah beberapa faktor berbaliknya al-Asy’ari dari Mu’tazilah yang kemudian membentuk satu paham teologi yang dikenal dengan nama teologi al-Asy’ariyah.
W. Montgomery Watt, mengatakan bahwa segi positif dari berbaliknya al-Asy’ari dari Mu’tazilah ialah diterimanya dogma kaum sunni dalam lingkup mazhap hambali. Al-Asy’ari kemudian membaktikan sisa hidupnya pada pembelaan intelektual terhadap posisi sunni. Masa ini dikenal sebagai konsolidasi paham sunni dalam arti bahwa ada sekelompok besar orang-orang yang telah menolak doktrin-doktrin semacam Mu’tazilah dan menerima dogma-dogma paham sunni.
Paham Asy’ariyah muncul pada saat perdebatan sengit antara Qadariyah dan Jabariyah yang mempertentangkan berbagai aspek kehidupan manusia terutama dalam persoalan keyakinan. Keduanya mengambil jalan masing-masing untuk menetapkan kebenaran berdasarkan sumber keyakinan mereka. Sehingga paham ini tampil untuk mengambil jalan tengah di antara keduanya, akhirnya terbentuk sebuah sebuah paham tersendiri.
Al-Asy’ari adalah salah satu aliran dalam Ilmu Kalam yang berupaya mempertemukan paham Jabariyah dan Qadariyah. Oleh karena itu aliran ini semakin popular dan bahkan mudah diterima sebagai rumusan pokok ajaran agama ( ushul al-din) yang sah atau ortodoks di seluruh dunia Islam sampai saat ini hampir tanpa terkecuali.[16]

___________________
[14] Hamka Haq, Dialog Pemikiran Islam (Ujung Pandang: Yayasan Ahkam, 1995), h. 13
[15] Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989), h. 99.
[16] Nurcholis Madjid, Khasanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 29.

Dalam perkembangan kemudian paham Asy’ariyah dianut oleh kebanyakan masyarakat, setelah kondisi kekuatan paham Qadariyah yang dianut oleh aliran Mu’tazilah melemah, khalifah Al-Mutawakkil pada masa Dinasti Abbasiyah, menghapuskannya sebagai aliran teologi resmi yang dianut oleh Negara sebagaimana khalifah sebelumnya. Maka jadilah paham Asy-ariyah berkembang di masyarakat umum. Bahkan akhirnya paham Asy’ariyah mampu menghegemoni kehidupan dunia Islam hingga dewasa ini. Tidak sedikit pengaruh ini larut dalam berbagai aspek kehidupan manusia, terutama dalam persoalan pendidikan, khususnya dalam kontes kekinian.
Kondisi pendidikan sekarang ini khususnya pendidikan Islam, sangat dipengaruhi oleh paham ini. Ketika paham ini memandang bahwa manusia adalah mahluk yang memiliki potensi atau yang disebut fitrah, dalam bahasa teologi adalah daya atau kemampuan yang Tuhan berikan untuk bekal hidup di dunia, sehingga manusia dapat melakukan aktifitas kehidupan. Meskipun pada awalnya daya tersebut diciptakan Tuhan namun ada intervensi manusia dalam mewujudkan perbuatannya. Sehingga hal inilah yang warnai kondisi pendidikan Islam.
Pemakalah berasumsi bahwa aliran Asy’ariyah melahirkan hokum konvergensi yang dicetuskan oleh William Stern yaitu suatu pandangan bahwa perkembangan manusia itu berlangsung atas pengaruh dari faktor-faktor bakat atau kemampuan dasar dan faktor-faktor lingkungan yang disengaja. Dengan kata lain, manusia ditentukan perkembangannya oleh faktor dasar dan faktor ajar, yang satu sama lain saling mempengaruhi secara interaktif. Namun dalam Islam penamaan tersebut terkenal dengan fitrah, dalam artian manusia lahir dengan membawa potensi kebaikan semata, lingkunganlah yang membentuknya.
Menurut pemakalah di sinilah lembaga pendidikan dengan segala kelengkapannya harus benar-benar berfungsi dengan efektif dan efisien, maka jelaslah kedua aliran tersebut yaitu emperisme dan nativisme harus bergandengan tangan membuat konvigurasi yang rilex dan saling mendukung dalam pembentukan kepribadian manusia.
Bertolak dari paham tersebut, maka pendidikan Islam memandang manusia sebagai obyek dan subyek pada pendidikan, yang dapat mendidik dan didik (homo educandum). Manusia mempunyai potensi untuk tumbuh dan berkembang melalui potensi pendidikan. Manusia di samping memiliki daya yang diciptakan Tuhan untuknya, namun manusia memiliki pula kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya, melalui proses pendidikan. Sehingga ada ungkapan mengatakan. “ Hidup di tangan Tuhan, tetapi kehidupan di tangan manusia”
Manusia sebagai mahluk ciptaan, dilengkapi dengan potensi agar dengan potensi itu ia dapat mengembangkan dirinya. Namun dalam usaha meningkatkan kualitas sumberdaya insaniya itu, manusia diikatkan oleh nilai-nilai yang telah ditentukan oleh Penciptanya (aksiologi). Dengan demikian manusia dalam pandangan filsafat pendidikan Islam adalah sebagai mahluk alternatif (dapat memilih), tetapi kepadanya ditawarkan pilihan nilai yang terbaik, yakni nilai ilahiyat.
Disatu sisi, ia memiliki kebebasan untuk memilih arah yang terbaik yang semestinya ia tuju. Manusia dapat dikategorikan sebagai makhluk bebas (alternatif) dan sekaligus terikat (tidak bebas nilai).[17]
Pandangan As’ariyah yang telah dijabarkan di atas telah memberikan pemikiran-pemikiran terhadap pendidikan Islam. Ternyata otoritas wahyu menjadikan dasar pembinaan watak seseorang, artinya kebebasan yang dimiliki oleh manusia tetap berdasar kepada wahyu. Dengan begitu, bagi system kehidupan manusia, akal hanya sebagai pembenaran terhadap wahyu, namun manusia tetap mempunyai andil dalam menentukan kehidupannya.















________________
[17] Jalaludin, Teologi Pendidikan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 33

D. Pandangan Al-Qaradlāwi Tentang Rasionalisme Pendidikan Islam
Sebagai seorang tokoh Muslim abad modern yang juga dianggap sebagai seorang pembaharu (reformer) Al-Qaradlāwi telah “berada pada jalur yang benar (on target)” -meminjam istilah Dr. `Abdul Hamid Abu Sulayman- dalam mega proyek şahwah islāmiyyah dan pembangunan umat yang selama ini diperjuangkannya. Selain aktif sebagai seorang pegiat pendidikan di lapangan praktis sebagai mana disinggung di muka, Al-Qaradlāwi juga menulis beberapa buku berkenaan dengan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Menulis lebih dari seratus judul buku, Al-Qaradlāwi tidak abai terhadap tema terkait konsep ilmu dan pendidikan. Beberapa bukunya, sekedar untuk menyebut contoh, menyentuh langsung tema-tema konsep ilmu dan pendidikan seperti Al-`Aql wa al-`Ilm fī al-Qur’ān,[20] Al-Rasūl wa al-`Ilm,[21] Al-Hayāh al-Rabbāniyah wa al-`Ilm,[22] Al-Dīn fī `Aşr al-`Ilmi[23] dan Al-Tarbiyah al-Islāmiyah wa Madrasah Hasan al-Banna.[24] Selain itu pikiran dan gagasannya mengenai konsep ilmu dan pendidikan tersebar dalam buku-bukunya yang lain, serta di berbagai wawancara, makalah, maupun ceramah-ceramahhnya yang disampaikan dalam berbagai kesempatan.
Terkait perdebatan mengenai rasionalisme dalam pendidikan Islam, al-Qaradlāwi secara tegas menolak jika agama [Islam] disebut menghalangani rasionalisme atau kemajuan ilmu pengetahuan.[25] Menurut beliau, ilmu dan akal justru mendapat tempat yang cukup tinggi dalam Islam. Bahkan beliau meyakini bahwa tidak ada agama lain yang lebih memulyakan ilmu dan orang-orang berilmu lebih dari pada Islam. Akal dalam Islam juga menjadi prasyarat utama adanya taklīf. Tanpa adanya akal, taklīf dengan sendirinya juga tidak akan pernah ada. Dalam ungkapan lain, pengebirian akal akan mejatuhkan derajat manusia menjadi hewan.[26]
_________________
[20] Yusuf al-Qaradlāwi, Al-`Aql wa al-`Ilm fī al-Qur’ān,Kairo: Maktabah Wahbah, Cet. 1, 1996 [21] Yusuf al-Qaradlāwi, Al-Rasūl wa al-`Ilm, Kairo: Dar al-Şahwah, t.th [22] Yusuf al-Qaradlāwi, Al-Hayāh al-Rabbāniyah wa al-`Ilm, Kairo: Maktabah Wahbah, Cet. 1, 1995 [23] Yusuf al-Qaradlāwi, Al-Dīn fī `Aşr al-`Ilmi, Ammān: Dār al-Furqān, 1996 [24] Yusuf al-Qaradlāwi, Al-Tarbiyah al-Islāmiyah wa Madrasah Hasan al-Banna, Kairo: Maktabah Wahbah, Cet. 3, 1992 [25] Buku beliau Al-Dīn fī `Aşr al-`Ilmi merupakan jawaban yang lengkap terhadap persoalan ini. [26] Baca: Yusuf al-Qaradlāwi, Al-Hayāh al-Rabbāniyah wa al-`Ilm, hal. 71-73

Penghormatan terhadap akal dan rasionalitas tersebut juga diturunkan dalam konsep pendidikan. Mengenai hal ini, dalam kerangka untuk mencari sebuah model yang aplikatif atas konsep tersebut al-Qaradlāwi menyebut konsep pendidikan seperti yang dipraktekkan oleh al-Ikhwān al-Muslimūn adalah model ideal pendidikan Islam yang dilakukan oleh gerakan-gerakan Islam.[27] Tentu, yang dimaksud al-Qaradlāwi tentang Pendidikan Islam di sini adalah dalam maknanya yang luas dan tidak terbatas dalam bentuk pendidikan formal. Menurutnya, dalam konsep pendidikan al-Ikhwān aspek rasionalitas (al-jānib al-`aqli) mendapat porsi perhatian cukup besar. Pendidikan akal (al-tarbiyah al-aqliyah) adalah wajib hukumnya sebagaimana wajibnya pendidikan keimanan dan ruhani. Dalam kaitan ini, pendiri al-Ikhwān, Hasan al-Banna menjadikan al-fahm (kepahaman) sebagai rukun baiat yang pertama sebelum al-ikhlāş, jihad, amal dan lainnya.[28]
Bentuk lain dari penghargaan terhadap akal dan rasionalitas dalam proses pendidikan Islam adalah didorongnya para murid untuk tidak perlu merasa segan bertanya kepada guru mereka jika mendapati hal-hal yang belum jelas atau masih mengganggu pikiran mereka.[29] Dengan cara atau pendekatan seperti ini, apa yang biasa dituduhkanan sebagai indoktrinasi dalam praktik pendidikan menjadi tidak relevan. Karena dalam sebuah indoktrinasi, seorang murid harus menerima apa adanya segala hal yang disampaikan oleh gurunya secara taken for granted. Namun, meski memberi kewenangan kepada murid untuk menyempaikan pendapatnya dihadapan guru, al-Qaradlāwi juga mengingatkan keharusan penghormatan terhadap seorang guru. Dalam pandangannya, kewajiban penghormatan kepada seorang guru bisa disejajarkan dengan penghormatan terhadap orang tua kandung si murid atau bahkan lebih.[30]


________________
[27] Yusuf al-Qaradlāwi, Al-Tarbiyah al-Islāmiyah wa Madrasah Hasan al-Banna, hal.4 [28] Yusuf al-Qaradlāwi, Al-Tarbiyah al-Islāmiyah wa Madrasah Hasan al-Banna, hal. 24-25 [29] Yusuf al-Qaradlāwi, Al-Rasūl wa al-`Ilm, hal. 106 [30] Yusuf al-Qaradlāwi, Al-Rasūl wa al-`Ilm, hal. 103-104[31] Yusuf al-Qaradlāwi, Al-Rasūl wa al-`Ilm, hal. 38-40
Al-Qaradlāwi mengkritik keras “nalar mitos” (aqliyah khurāfiyah) yang tanda-tandanya adalah menerima begitu saja setiap apa yang didengar, terutama jika datang dari orang-orang terhormat baik seorang guru, tokoh agama atau dari berbagai tradisi lama. Lawannya yang harus dikembangkan adalah sikap “nalar rasional objektif” (aqliyah ilmiyah mawdlū`iyyah) yang menurutnya memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:[31]
1. Tidak serta merta menerima sebuah pendapat atau klaim jika tidak didasari oleh dalil yang kuat. Yang dimaksud dengan dalil adalah al-burhān al-nadzari (teori yang sudah pasti) dalam persoalan `aqliyyat (QS. al-Naml: 64), mushāhadah atau eksperimen dalam persoalan yang inderawi (hissiyat) (QS.al-Zukhruf:19) dan validitas transmisi dalam hal-hal yang termasuk wilayah naqliyat (QS. al-Ahqāf: 4).
2. Menghindari segala bentuk prasangka (al-dzann) dalam setiap persoalan yang mengharuskan adanya kayakinan yang pasti. Dalam kerangka inilah Al-Qur’an menolak ‘keyakinan’ kaum Nashrani tentang disalibnya Isa yang sejatinya tidak lain hanya berdasarkan dugaan semata (QS. al-Nisā: 157).
3. Tidak mengedepankan emosi, sentimen, perasaan, hawa nafsu atau kesan-kesan yang bersifat pribadi melainkan mengutamakan netralitas dan obyektifitas (QS. al-Najm: 23 & Shāād: 26)
4. Menolak cara berfikir yang statis, imitatif dan tidak kritis terhadap pendapat orang lain (QS. al-Baqarah: 170), sebagaimana pula peringatan Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi, “Janganlah kalian menjadi orang yang sekedar ikut arus (imma`ah), yang berkata: aku senantiasa bersama orang-orang; jika mereka berlaku baik maka aku akan berlaku baik bersama mereka dan jika mereka berlaku buruk maka aku juga akan berlaku yang sama dengan mereka..”
5. Senantiasa membiasakan diri untuk melakukan olah fikir dan berkontemplasi baik mengenai ciptaan/semesta (QS. al-A`rāf:185), maupun diri sendiri (QS. al-Dzāriyāt: 31) dan sejarah (QS. Āal `Imrān: 137).




_______________
[31] Yusuf al-Qaradlāwi, Al-Rasūl wa al-`Ilm, hal. 38-40

BAB. III
PENUTUP
Merujuk dari uraian-uraian di atas, pemakalah dapat menjabarkan beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Aliran Qadariyah berpegang teguh pada anggapan bahwa manusia memiliki kemerdekaan dan kekuasaan penuh dalam menentukan perjalanan hidupnya. Manusia mempunyai kekuasaan sendiri untuk mewujudkan perbuatan. Dengan begitu, aliran ini memberikan kreasi-kreasi dan inovasi dalam ilmu pendidikan Islam, melahirkan ideology pendidikan yang liberal, empiris, optimis. Pendidikan Islam secara secara positif diharapkan mengadopsi pemikiran yang demikian, sehingga dapat survive, eksis dan tetap up to date. Pendidikan Islam itu harus diadakan reorientasi dalam berbagai faktor atau unsure-unsurnya. Pendidikan Islam harus berbenah diri untuk tetap mengadakan penyesuaian-penyesuaian dengan tuntutan zaman terutama pada ere globalisasi sekarang ini.
2. Paham Jabariyah ketika diperhadapkan dengan pendidikan Islam, penganut paham ini senantiasa akan mengatakan bahwa pendidikan tidak perlu diadakan inovasi dan perubahan. Karena paham ini menganggap baik buruknya nasib manusia telah ditetapkan oleh Tuhan. Pandangan ini terkait dengan ideology pendidikan yang disebut konservatisme. Aliran fatalis ini melahirkan aliran nativisme, artinya manusia hanya terpaksa berbuat dan dia mengikuti
kehendak Tuhan. Faktor bawaan sangat dominant dalam pembentukan manusia yang sempurna. Walaupun demikian, aliran Jabariyah dengan ajaran kemakhlukan al-Quran dalam perspektif pendidikan Islam menjadi pola pikir yang sangat rasional dikarenakan lafdzi merupakan bentuk kemakhlukan dari Firman Tuhan.
3. Aliran Asy’ariyah banyak bergantung pada otoritas kekuasaan Allah (wahyu), yang mana wahyu sebagai sumber pendidikan. Dengan begitu, bagi system kehidupan manusia, akal hanya sebagai pembenaran terhadap wahyu, namun manusia tetap mempunyai andil dalam menentukan kehidupannya. Aliran Asy’ariyah memandang pendidikan Islam, masih perlu adanya perbaikan-perbaikan pada faktor yang terlibat di dalamnya. Karena apa yang ada selama ini sebenarnya sedikit memenuhi persyaratan pendidikan umum, namun pada tataran konsep pendidikan Islam ini sangat ideal. Akan tetapi pada tataran aplikasi masih jauh dari harapan stakeholders sebagai pemakai lulusan. Aliran Asy’ariyah mengilhami aliran konvergensi dalam pembentukan kepribadian seseorang.
4. Agama Islam adalah agama ilmu, agama rasional dan “agama akal”. Maksudnya, ilmu, rasionalitas dan akal sangat dihormati dalam Islam. Dalam proses pembelajaran tentang Islam dengan berbagai konsep dan ajarannya, rasionalisme dan akal manusia mendapat perhatian besar. Maka dari itu, sebagai turunannya, konsep pendidikan dalam Islam-pun juga bersifat rasional, meskipun dengan catatan tinta tebal bahwa rasionalisme yang disokong bukanlah rasionalisme yang kebablasan sebagaimana dalam worldview Barat.
Sayangnya, rasionalisme yang sedemikian dijunjung tinggi dalam Islam dan pendidikan Islam kemudian menjadi sebuah ironi. Dunia pendidikan Islam pada abad-abad belakangan mengalami krisis, dimana indoktrinasi yang telah mendominasi kegiatan belajar mengajar dan taqlid yang telah mengakar berhasil menggeser pendekatan rasional, kritis dan analitis dalam proses kegiatan ilmiyah.
Kenyataan yang menyedihkan ini menjadi objek kritik dari sejumlah pakar dan pembaharu, salah satunya Yūsuf al-Qaradlāwi yang juga dikenal salah satu tokoh paling otoritatif di dunia muslim abad ini. Berangkat dari sumber-sumber al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW yang dikuasainya, serta sejumlah ‘pengalaman’ yang diwariskan oleh orang-orang yang sangat mempengaruhi perjalanan intelektualnya seperti Hasan al-Banna dan lain-lain, al-Qaradlāwi cukup berhasil mendudukan ‘rasionalisme Islam’ yang seharusnya ditegakkan kembali dalam bidang pendidikan Islam. Rasionalisme ini, menurutnya memiliki lima prinsip penting yaitu: 1). Perlunya pembuktian ilmiyah terhadap sebuah klaim ilmu/kebenaran; 2). Tidak tergesa-gesa dengan praduga; 3). Tidak mengedepankan emosi dan subjektifitas; 4). Menghindari taklid buta dan mental mengekor; serta 5). Membiasakan aktifitas berfikir dan olah akal.











DAFTAR PUSTAKA
1. Abu Zahra, Imam Muhamad. Aliran politik dan Aqidah dalam Islam. Cet.1; Jakarta: Logos Publising House, 1996.
2. Achmadi. Ideologi Pendidikan Islam paradikma Humanisme Teosentrime. Cet.1; Pustaka Pelajar; Yogyakarta. 2005.
3. Arifin, Muzayyin. Filsafat Pendidikan Islam. Edisi Revisi; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005.
4. Barnadib, Imam. Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Yogyakarta, 1976.
5. Dewey,John. Democracy and Education. New York: The Free Press,1966.
6. Djumransjah, M. Filsafat Pendidikan (Telaah Tujuan dan Kurikulum Pendidikan). Cet.1; Malang,Kutub Minar, 2005.
7. Hanafi,Ahmad. Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna,1989.
8. Jalal, Abdul Fatah. Min Ushul al-tarbiyah fi al-Islamiyah. Mesir: Jumhur al-Arabiyah, 1977.
9. Haq, Hamka. Dialog Pemikiran Islam. Ujung Pandang: Yayasan Ahkam, 1995.
10. Jalaludin. Teologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
11. Madjid, Nurcholis. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
12. Mursi, Muhammad Munir. Al-Tarabiyah al-Islamiyah Ushuluha Wa Tathawwuruha fi al-Bilad al-Arabiyah. Mesir: Dar al-Ma’arif, 1987.
13. Nasution, Harun.Islam Rasional. Cet. 1;Bandung : Mizan, 1995.
14. ¬_______, Theology Islam. Jakarta : Bulan Bintang,1974.
15. _______, Teologi Islam. Aliran-aliran Sejarah Islam Analisa Perbandingan. Cet 5; UI Press: Jakarta, 2002.
16. Nata, Abudin. Pemikiran Para Tokoh-tokoh Pendidikan Islam. Cet. 1; Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
17. _______, Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Baru). Cet. 1; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005.
18. Perk. Joe. Selected Readings In The philosophy of Education. Macmillan Publishing Co Inc, New York,1974.
19. al-Qardhawi, Yusuf. Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, Diterjemahkan oleh Bustani A. Gani dan Zainal Abidin Ahmad. Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
20. Roubiczek, Paul. Existentialism for and Against. Cambridge University Press, 1966.
21. Tapsir, Ahmad. Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Cetakan 13; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.
22. Tirtaraharja, Umar. Dkk, Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta; 2000.




DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pemikiran………………………………………………………………… 1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………………………………. 3
BAB. PEMBAHASAN
A. Pandangan Aliran Qadariyah Terhadap Pendidikan Islam……………….. 4
B. Pandangan jabariyah Tentang Pendidikan Islam…………………………….. 6
C. Pandangan Asyariyah Tentang Pendidikan Islam……………………………. 8
D. Pangan Al-Qordawi Tentang Rasionalisme Pendidikan Islam………….. 11
BAB. PENUTUP
Kesimpulan…………………………………………………………………………………………. 14
DAFTAR PUSTAKA
















________________________________________
[1] Harun Nasution, Islam Rasional (Cet. I; Bandung: Mizan, 1995), h. 111
[2] Yusuf al-Qardhawi , Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, Diterjemahkan oleh Bustani A. Gani dan Zainal Abidin Ahmad ( Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 39.
[3] Jalaludin, Teologi Pendidikan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 7.
[4] Harun Nasution, op.cit., h. 25.
[5] Harun Nasution, Theology Islam. Aliran-aliran Sejarah Islam Analisa Perbandingan ( Cet. 5; Jakarta: UI Press, 2002), h. 33.
[7] Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Islam dan Metode (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Yogyakarta, 1976), h. 76.
[8] Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 67.
[9] Ibid., h.70-71
[10] Ibid.
[11] Ibid. h. 77
[12] Harun Nasution , loc.cit.
[13]Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Revisi; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005), h. 59
[14] Hamka Haq, Dialog Pemikiran Islam (Ujung Pandang: Yayasan Ahkam, 1995), h. 13
[15] Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989), h. 99.
[16] Nurcholis Madjid, Khasanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 29.
[17] Jalaludin, Teologi Pendidikan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 33.
1.
Asy’ariyah LEBIH CONDONG PRO KE QADARIYAH,yang mengatakan “ Hidup di tangan Tuhan, tetapi kehidupan di tangan manusia”, walaupun itu semua telah di tentukan oleh ALLAH, nah pernyataan INI SANGAT BERTENTANGAN DENGAN nash Al-qur’ an : ” tidak ada yang berubah atas fitrah Allah”, Allah lah yang maha berkehendak” Berbeda dengan JAbariyah yang konsisten ta’ at pada nash Al-qur’ an dan Al-hadist perlu di luruskan Bahwa : Jabariyah tidak mengatakan ” percuma berusaha” , mereka tetap melakukan usaha karena konsisten pada NASH hADIST “MANUSIA HANYA BISA BERUSAHA, TETAPI TETAP TUHAN YANG MENENTUKAN”.karena hanya faham iblis lah yang berkata ” PERCUMA”. Pemakalah mengambil berusaha mendiskredit-kan JABARIYAH dengan kata ” percuma”. JAbariyah hanya melaksanakan keta’ atan dan pengakuan yang mendalam akan kehendak ALLAH yang maha berkehendak. Dalam Jabariyah berUsaha adalah hanyalah proses untuk mendapatkan pahala saja, dan usaha jangan bertujuan untuk merubah keadaan yang kita inginkan.karena berubah atau tidaknya suatu keadaan merupakan kehendak ALLAH (Takdir). bisa disimpulkan :
JAbariyah berusaha untuk pahala (walau hasil ahir tidak sesuai dengan keinginan, tak masalah), yang penting pahala.
Qadariyah berusaha untuk merubah keadaan sesuai dengan apa yang diharapkan (jika hasil ahir tak sesuai dengan harapan, usaha nya dipermasalahkan/masih kurang), cenderung tidak menerima kenyataan jika kecewa terus ngotot

Sabtu, 14 Januari 2012

BENGAKALIS S2 UIN SUSQA SULURI " FILSAFAT PEND ISLAM"

BENGAKALIS S2 UIN SUSQA SULURI " FILSAFAT PEND ISLAM"
BAB. I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pemikiran
Pendidikan Islam tidak terlepas sudut pandangan teologi, misalnya saja aliran Qadariyah, Jabariyah dan Asy’ariyah. Ketiga aliran tersebut dalam asumsi pemakalah telah menyumbangkan ide-ide dalam pembinaan pendidikan Islam.
Kreasi-kreasi keilmuan dalam pendidikan Islam adalah wajah dari aliran Qadariyah, karena memberikan kebebasan manusia untuk berbuat disebabkan oleh adanya potensi akal yang menjadi pemacu dalam membuat ide-ide pemikiran yang positif. Di lain sisi, aliran Jabariyah yang berseberangan dengan Qadariyah, tidak hanya dibiarkan begitu saja. Walaupun aliran tersebut berpendirian bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya, semuanya terpasung oleh kekuasaan mutlak Tuhan, namun ajarannya tentang kemakhlukan al-Quran dalam perspektif penididkan Islam menjadi pola pikir yang sangat rasional dikarenakan lafdzi merupakan bentuk kemakhlukan dari firman Tuhan.
Kedua aliran tersebut, cara pandangnya memperoleh titik terang melalui pemaduan dengan lahirnya aliran Asy’ariyah. Aliran Asy’ariyah banyak bergantung pada otoritas kekuasaan Allah (wahyu), yang mana wahyu sebagai sumber pendidikan. Dengan begitu, dalam kehidupan manusia, akal hanya sebagai pembenaran terhadap wahyu, namun manusia tetap mempunyai andil dalam menentukan kehidupannya.
Aliran Qadariyah mempunyai paham bahwa manusia bebas berbuat dan berkehendak serta berpikir untuk menciptakan perbuatannya sesuai kemampuannya. Dalam konteks pendidikan Islam, sangat relevan karena dunia pendidikan Islam membutuhkan pemikiran dan penalaran untuk menciptakan kreasi-kreasi ilmu pendidikan Islam.
Dalam agama terdapat dua ajaran yang erat kaitannya dengan produktivitas : Pertama; agama mengajarkan bahwa sesudah hidup pertama di dunia yang bersifat material ini, ada hidup kedua nanti di akhirat yang bersifat spiritual. Kedua; agama mempunyai ajaran mengenai nasib dan perbuatan manusia. Kalau nasib manusia telah ditentukan Tuhan sejak semula, maka produktivitas masyarakat yang menganut paham keagamaan demikian , akan rendah sekali. Tetapi, dalam masyarakat, yang menganut paham manusialah yang menentukan nasibnya dan manusialah yang menciptakan perbuatannya, produktivitas akan tinggi. Paham pertama dikenal dengan filsafat fatalisme atau jabariyah. Paham kedua disebut Qadariyah atau kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan.[1]
[1] Harun Nasution, Islam Rasional (Cet. I; Bandung: Mizan, 1995), h. 111

Aliran-aliran tersebut terkait juga dengan pendidikan Islam, bagaimana pendidikan Islam produktivitasnya maju atau mundur tergantung kepada pemahaman dan pemikiran yang dimiliki. Tidak dapat diingkari bahwa pendidikan Islam adalah bagian dari ajaran Islam secara keseluruhan, yang titik fokusnya adalah manusia. Karena itu, tujuan akhirnya harus selaras dengan tujuan hidup dalam Islam.
Yusuf al-Qardhawi menjelaskan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya; rohani dan jasmaninya; akhlak dan keterampilannya. Karena pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatan, manis dan pahitnya.[2]
Berangkat dari pemahaman secara etimologi pada hakekatnya pendidikan Islam tak dapat dilepaskan hubungannya dari al-Quran-khaliq, sang maha pencipta. Konsep tarbiyah, ta’lim maupun ta’dib yang dijadikan rujukan pemaknaan dan penyusunan konsep pendidikan Islam semuanya mengacu kepada sumber utamanya, yaitu Allah.[3]
Dengan demikian, konsep pendidikan Islam dalam pengertian seutuhnya hanya mungkin disusun atas dasar hubungan dimaksud. Konsep pendidikan Islam yang hakiki terkait erat dengan nilai-nilai yang termuat dalam wahyu.
Wahyu atau al-Quran adalah kitab yang lengkap dan sempurna, mencakup segala-galanya, timbul dari sifat al-Quran sebagai wahyu; kitab yang mengandung firman Tuhan yang dikirimkanya kepada manusia melalui Nabi Muhammad saw untuk menjadi petunjuk dan pegangan, baik didunia sekarang maupun di akhirat nanti.[4]
Al-Quran berpotensi memberikan penafsiran yang berbeda-beda dalam memandang sesuatu, katakanlah seperti “manusia” yang di sisi lain mempunyai kekuatan sendiri dalam bertindak, sementara di lain tempat, “manusia” hanya terpaksa dalam melaksanakan sesuatu, sesuatu, karena semuanya sudah diskenario oleh Khaliknya. Hal ini yang mengilhami lahirnya aliran-aliran dalam teologi Islam, misalnya aliran Qadariyah, Jabariyah dan Asy’ariyah, dan aliran lainnya.


___________________
[2] Yusuf al-Qardhawi , Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, Diterjemahkan oleh Bustani A. Gani dan Zainal Abidin Ahmad ( Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 39.
[3] Jalaludin, Teologi Pendidikan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 7.
[4] Harun Nasution, op.cit., h. 25.

Pemakalah menilai bahwa aliran-aliran tersebut dapat memberikan kontribusi terhadap pendalaman dan pengkajian keislaman. Aliran Qadariyah dan Jabariyah merupakan dua aliran yang saling berseberangan dalam memahami “kemampuan manusia”, namun harus diakui bahwa walaupun cara pandang kedua aliran ini berbeda, tapi pada sasarannya hal tersebut tidak mengurangi nilai dari ajaran Islam yang fleksibel. Kedua aliran tersebut ditengahi oleh Asy’ariyah, yang berpendapat bahwa kekuatan manusia tidak terlepas dari kekuasaan Tuhan, artinya manusia menjadi berkepribadian yang Islami tidak terlepas dari usaha manusia dan tuntunan Tuhan.
Dikaitkan dengan pendidikan Islam, ternyata aliran-aliran tersebut perlu dikaji dan ditelaah, karena sedikit banyanya memberi sumbangan pemikiran dalam pendidikan Islam. Dicermati pendidikan Islam itu merupakan pencerdasan akal dan budi yang terkait dengan pembinaan manusia. Manusia memiliki kudrah atau potensi yang harus dikembangkan, namun perkembangannya tetap memperhatikan pengaruh-pengaruh luar disamping pengaruh yang sudah dibawa sejak lahir.
Jadi aliran-aliran dalam teologi memandang pendidikan Islam bertautan dengan aliran-aliran tersebut, mengingat pendidikan Islam dan aliran-aliran teologi merupakan ajaran Islam yang harus dikaji dan didalami. Aliran-aliran teologi prinsipnya melahirkan konsep-konsep pendidikan yang sangat bermakna.
Memperhatikan pokok-pokok pikiran di atas, pemakalah dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut: Bagaimana pandangan aliran Qadariyah, aliran Jabariyah serta aliran Asy’ariyah terhadap pendidikan Islam ?










BAB. II
PEMBAHASAN
A. Pandangan Aliran Qadariyah Terhadap Pendidikan Islam
Ada suatu pertanyaan yang muncul dalam pemikiran pemakalah yaitu “apakah pendidikan Islam menganut teori kebebasan berpikir ? Menarik buat pemakalah, karena di dunia modern dewasa ini muncullah teori-teori kebebasan. Misalnya kebebasan berpolitik, berteologi, berpakaian, berpendidikan, dan lain-lain.
Dianalisa dengan pemikiran-pemikiran yang cerdas, sebenarnya kebebasan itu adalah sifat yang dimiliki manusia yang perlu ditumbuh kembangkan. Sebab dengan kebebasan itu manusia menjadi kreatif dan inovatif. Hanya saja kebebasan itu jangan kebablasan atau berlebih-lebihan. Di dunia Barat kebebasan menjadi hal yang biasa-biasa saja, padahal sesungguhnya kebebasan dalam dunia Islam ditopang oleh akal yang sehat dan didukung oleh wahyu.
Pemikiran pendidikan Islam adalah suatu kewajaran yang ditopang oleh pandangan aliran teologis, contoh aliran Qadariyah. Aliran ini memberikan kemerdekaan atau kebebasan manusia untuk berbuat. Tapi harus diyakini kebebasan yang dianutnya tetap berbeda dalam koridor wahyu. Karena aliran Qadariyah memiliki alas an-alasan berpijak sesuai ayat-ayat al-Quran.
Sekiranya ulama Islam dan umat Islam pada zaman klasik itu hanya berorientasi akhirat saja, tanpa berorientasi dunia, dan memakai filsafat fatalisme atau jabariyah, bukan filsafat qadariyah dan dengan pahamnya tentang manusia yang bebas, kemajuan yang begitu pesat dalam bidang politik tidak akan tercapai. Negara yang berasal di Madinah itu hanya akan merupakan Negara padang pasir tak ada artinya dan tidak menjadi Negara adikuasa yang besar pengaruhnya pada dunia zaman ini.
Kebangkitan pendidikan Islam tidak terlepas dari munculnya mutakallimin dengan wajah “keilmuan kalamnya”. Menurut Harun Nasution ilmu kalam lebih tepat dinamakan ilmu keislaman.[5]

_________________
[5] Harun Nasution, Theology Islam. Aliran-aliran Sejarah Islam Analisa Perbandingan ( Cet. 5; Jakarta: UI Press, 2002), h. 33.

Menurutnya pula manusia mempunyai kekuasaan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya sehingga dengan demikian manusia terpaksa tunduk pada Qadar dan kadar Tuhan, atau yang biasa disebut dengan free will dan free act.[6] Dalam perkembangan selanjutnya aliran ini diperkuat oleh aliran mu’tazilah.
Yang muncul kemudian, yang sangat mendukung argumen-argumen Qadariyah, yang mana manusia dalam menentukan kehidupnya segala dapat diperoleh melalui kebenaran akal, sehingga aliran ini biasa dengan disebut aliran rasionalisme yakni aliran yang mengkultuskan kemampuan akal dalam menetapkan kebenaran.
Sifat rasional dari pada manusia ini melahirkan konsep dasar tentang kebebasan. Bahwa dengan rasionya manusia dapat memiliki dan mencapai kebebasan dari berbagai belenggu yang dapat menurunkan derajat atau martabatnya seperti kebodohan, keragu-raguan. Dengan senjata yang bersifat rasional manusia dapat menghilangkan belenggu atau rintangan yang dihadapi, maka ia lalu merdeka. Kemerdekaan itu haruslah menjadi tujuan dan dilaksanakan dalam pendidikan, supaya anak didik mempunyai kemampuan untuk berbuat dengan sengaja.[7]
Pengaruh aliran Qadariyah terhadap pendidikan Islam, bila dilihat dari pemikiran tokoh-tokoh yang dianggap berhaluan Qadariyah, misalnya Ibnu Sina, al-Muwardi, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan sebagainya, menunjukkan bahwa pendidikan Islam itu harus diadakan reorientasi dalam berbagai factor atau unsure-unsurnya. Pendidikan Islam harus berbenah diri untuk tetap mengadakan penyesuaian-penyesuaian dengan tuntutan zaman terutama pada era globalisasi sekarang ini. Pendidikan Islam sangat diharapkan menjadi bidang strategis pendamping IPTEK dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusian di bumi ini.
Paham qadariyah yang mewarnai pendidikan menurut Ibnu Sina misalnya dalam hal perumusan tujuan pendidikan yang mengarah pada pengembangan potensi dalam upaya pencapaian kesempurnaannya,[8] kurikulum didasarkan pada tingkat perkembangan usia anak didik.[9] Penggunaan metode secara multi metode, dengan atas pertimbangan pesiologis peserta didik.[10]

_______________
_[7] Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Islam dan Metode (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Yogyakarta, 1976), h. 76. [8] Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 67. [9] Ibid., h.70-71 [10] Ibid.
Pendidikan yang ditawarkan Ibnu Sina, antara lain berkisar tentang guru yang baik yakni berakal cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik akhlak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari olok-olok dan bermain-main di hadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan santun, bersih, dan suci murni.[11]
Menurut pemakalah aliran empirisme adalah suatu aliran pendidikan yang menonjolkan faktor lingkungan yang paling dominan dampaknya terhadap proses perkembangan manusia yang diilhami oleh pandangan Qadariyah. Sebab secara kronologisnya jauh sebelum aliran empirisme muncul ternyata aliran Qadariyah telah ada.
Salah satu kesalahan pendidikan yang telah dipraktekkan para pendidik terdahulu yaitu peserta didik diibaratkan belanga kosong yang senantiasa siap diisi sesuka hati pendidik, sehingga terjadi kefakuman dalam pembelajaran, yang akhirnya akan melahirkan robot-robot yang siap menunggu instruksi dari majikan yang tidak kreatif dam mandiri. Padahal yang berhaluan Qadariyah sangat tidak sepaham dengan suasana demikian.
Uraian-uraian di atas melahirkan pemahaman bahwa aliran Qadaryiah telah memberikan peluang yang sangat bermakna terhadap kreasi dan inovasi dalam ilmu pendidikan Islam, karena adanya kebebasan dan kemerdekaan manusia untuk berbuat.
B. Pandangan Jabariyah Tentang Pendidikan Islam
Ketika Qadariyah berasumsi bahwa manusia memiliki kemerdekaan dan kemampuan untuk menentukan jalan hidupnya, dan mengkultuskan akal dalam menentukan kebenaran, maka Jabaiyah berasumsi sebaliknya. Menurutnya manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam paham ini terkait pada kehendak mutlak Tuhan. Manusia dan segala perbuatannya telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.[12]
Paham Jabariyah ketika diperhadapkan dengan pendidikan Islam, penganut paham ini senantiasa akan mengatakan bahwa pendidikan tidak perlu diadakan inovasi, bahkan percuma. Karena paham ini menganggap baik buruknya nasib manusia telah ditetapkan oleh Tuhan. Pandangan ini terkait dengan ideologi pendidikan yang disebut konservatisme oleh O’neil dan Giroux. Aliran ini memandang bahwa konsep yang selama ini digunakan masih tetap actual dan relevan, sehingga tidak perlu perubahan. Secara teologis aliran ini sangat sejalan dengan theology jabariah atau determinisme, bahwa masyarakat pada dasarnya tidak dapat mempengaruhi perubahan social. Semuanya telah ditentukan oleh Tuhan. Bagi penganut paham ini dalam memperjuangkan nasib rakyat enggan melakukan konfik, dalam bahasa agama selalu bersifat qanaah.
__________________
[11] Ibid. h. 77 [12] Harun Nasution , loc.cit.
Menurut pandangan Jabariyah konsep pendidikan Islam yang ada pada zaman dahulu yang telah dipraktekkan oleh ulama-ulama terdahulu sudah cukup, karena pada dasarnya pendidikan itu tidak akan memberi pengaruh yang signifikan terhadap kehidupan manusia, sebab baik buruknya nasib seseorang telah ditentukan oleh Allah. Manusia tidak perlu ada ikhtiar, karena apapun akhirnya tergantung pada Tuhan. Akhirnya semua factor-faktor pendidikan yang tersebut di atas, tidak perlu adanya reformasi dan reorientasi.
Pandangan Jabariyah membingkai aliran nativisme yang menganggap factor pembawaan atau bakat serta kemampuan dasar sebagai penentu dari proses perkembangan manusia. Sehingga proses perkembangan hidup manusia ditentukan oleh factor dasar ini. Akibatnya ialah bahwa factor-faktor eksternal seperti pendidikan atau lingkungan sekitar serta pengalaman tidak ada artinya bagi perkembangan kehidupan manusia.[13]
Paham ini sudah tentu kurang dapat dipertanggungjawabkan bilamana dilihat dari realitas hidup manusia sebagi anggota masyarakat. Karena manusia sebagai makhluk social tidak dapat menghindari diri dari pengaruh yang bersifat timbale balik antara individu satu dari yang lainnya.
Pendapat demikian di dunia kependidikan modern sekarang telah banyak ditinggalkan, karena tidak sesuai dengan kenyataan hidup bahwa dimanapun manusia berada, di situ pula memerlukan proses pendidikan, baik formal maupun non formal. Proses kependidikan pada hakikatnya adalah usaha ikhtiar untuk mempengaruhi, mengubah, dan membentuk keperibadian dan tingkah laku, sehingga sesuai dengan tujuan hidup manusia yang dicita-citakan.
Dalam pandangan Islam jelas bahwa manusia tidak saja dipandang sebagai makhluk ideal dan structural, tetapi juga diletakkan pada posisi potensial dalam proses perkembangannya, di mana nilai etis dan normative sangat menentukan keberhasilan proses tersebut. Manusia bukanlah makhluk instrumental yang relativitas seperti robot.
Pandangan Jabariyah dengan kemutlakan Tuhan dalam segala-galanya mencerminkan menusia tidak punya daya apa, semuanya ditangan Tuhan. Tuhan telah memasung manusia atas kemutlakannya. Akan tetapi dalam dunia pendidikan Islam kemakhlukan al-Quran menjadi pola pikir yang sangat rasional dikarenakan lafdzi merupakan bentuk kemakhlukan dari Firman Tuhan.


_________________
[13]Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Revisi; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005), h. 59

C. Pandangan Asy’ariyah Tentang Pendidikan Islam
Banyak pendapat yang muncul sekitar keluarnya al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah. Namun yang jelas bahwa al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah karena ia melihat bahwa aliran itu tidak dapat diterima oleh umumnya umat Islam yang masih sederhana cara berfikirnya.[14]
Kemungkinan lain karena al-Asy’ari ingin menjadi perantara antara golongan tekstualis (seperti ahli hadis anthromorphist yang hanya memegangi nash-nash dengan meninggalkan jiwanya dan golongan rasionalis seperti aliran Mu’tazilah, dan tenyata jalan tersebut dapat diterima oleh mayoritas kaum muslimin.[15] Inilah beberapa faktor berbaliknya al-Asy’ari dari Mu’tazilah yang kemudian membentuk satu paham teologi yang dikenal dengan nama teologi al-Asy’ariyah.
W. Montgomery Watt, mengatakan bahwa segi positif dari berbaliknya al-Asy’ari dari Mu’tazilah ialah diterimanya dogma kaum sunni dalam lingkup mazhap hambali. Al-Asy’ari kemudian membaktikan sisa hidupnya pada pembelaan intelektual terhadap posisi sunni. Masa ini dikenal sebagai konsolidasi paham sunni dalam arti bahwa ada sekelompok besar orang-orang yang telah menolak doktrin-doktrin semacam Mu’tazilah dan menerima dogma-dogma paham sunni.
Paham Asy’ariyah muncul pada saat perdebatan sengit antara Qadariyah dan Jabariyah yang mempertentangkan berbagai aspek kehidupan manusia terutama dalam persoalan keyakinan. Keduanya mengambil jalan masing-masing untuk menetapkan kebenaran berdasarkan sumber keyakinan mereka. Sehingga paham ini tampil untuk mengambil jalan tengah di antara keduanya, akhirnya terbentuk sebuah sebuah paham tersendiri.
Al-Asy’ari adalah salah satu aliran dalam Ilmu Kalam yang berupaya mempertemukan paham Jabariyah dan Qadariyah. Oleh karena itu aliran ini semakin popular dan bahkan mudah diterima sebagai rumusan pokok ajaran agama ( ushul al-din) yang sah atau ortodoks di seluruh dunia Islam sampai saat ini hampir tanpa terkecuali.[16]

___________________
[14] Hamka Haq, Dialog Pemikiran Islam (Ujung Pandang: Yayasan Ahkam, 1995), h. 13
[15] Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989), h. 99.
[16] Nurcholis Madjid, Khasanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 29.

Dalam perkembangan kemudian paham Asy’ariyah dianut oleh kebanyakan masyarakat, setelah kondisi kekuatan paham Qadariyah yang dianut oleh aliran Mu’tazilah melemah, khalifah Al-Mutawakkil pada masa Dinasti Abbasiyah, menghapuskannya sebagai aliran teologi resmi yang dianut oleh Negara sebagaimana khalifah sebelumnya. Maka jadilah paham Asy-ariyah berkembang di masyarakat umum. Bahkan akhirnya paham Asy’ariyah mampu menghegemoni kehidupan dunia Islam hingga dewasa ini. Tidak sedikit pengaruh ini larut dalam berbagai aspek kehidupan manusia, terutama dalam persoalan pendidikan, khususnya dalam kontes kekinian.
Kondisi pendidikan sekarang ini khususnya pendidikan Islam, sangat dipengaruhi oleh paham ini. Ketika paham ini memandang bahwa manusia adalah mahluk yang memiliki potensi atau yang disebut fitrah, dalam bahasa teologi adalah daya atau kemampuan yang Tuhan berikan untuk bekal hidup di dunia, sehingga manusia dapat melakukan aktifitas kehidupan. Meskipun pada awalnya daya tersebut diciptakan Tuhan namun ada intervensi manusia dalam mewujudkan perbuatannya. Sehingga hal inilah yang warnai kondisi pendidikan Islam.
Pemakalah berasumsi bahwa aliran Asy’ariyah melahirkan hokum konvergensi yang dicetuskan oleh William Stern yaitu suatu pandangan bahwa perkembangan manusia itu berlangsung atas pengaruh dari faktor-faktor bakat atau kemampuan dasar dan faktor-faktor lingkungan yang disengaja. Dengan kata lain, manusia ditentukan perkembangannya oleh faktor dasar dan faktor ajar, yang satu sama lain saling mempengaruhi secara interaktif. Namun dalam Islam penamaan tersebut terkenal dengan fitrah, dalam artian manusia lahir dengan membawa potensi kebaikan semata, lingkunganlah yang membentuknya.
Menurut pemakalah di sinilah lembaga pendidikan dengan segala kelengkapannya harus benar-benar berfungsi dengan efektif dan efisien, maka jelaslah kedua aliran tersebut yaitu emperisme dan nativisme harus bergandengan tangan membuat konvigurasi yang rilex dan saling mendukung dalam pembentukan kepribadian manusia.
Bertolak dari paham tersebut, maka pendidikan Islam memandang manusia sebagai obyek dan subyek pada pendidikan, yang dapat mendidik dan didik (homo educandum). Manusia mempunyai potensi untuk tumbuh dan berkembang melalui potensi pendidikan. Manusia di samping memiliki daya yang diciptakan Tuhan untuknya, namun manusia memiliki pula kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya, melalui proses pendidikan. Sehingga ada ungkapan mengatakan. “ Hidup di tangan Tuhan, tetapi kehidupan di tangan manusia”
Manusia sebagai mahluk ciptaan, dilengkapi dengan potensi agar dengan potensi itu ia dapat mengembangkan dirinya. Namun dalam usaha meningkatkan kualitas sumberdaya insaniya itu, manusia diikatkan oleh nilai-nilai yang telah ditentukan oleh Penciptanya (aksiologi). Dengan demikian manusia dalam pandangan filsafat pendidikan Islam adalah sebagai mahluk alternatif (dapat memilih), tetapi kepadanya ditawarkan pilihan nilai yang terbaik, yakni nilai ilahiyat.
Disatu sisi, ia memiliki kebebasan untuk memilih arah yang terbaik yang semestinya ia tuju. Manusia dapat dikategorikan sebagai makhluk bebas (alternatif) dan sekaligus terikat (tidak bebas nilai).[17]
Pandangan As’ariyah yang telah dijabarkan di atas telah memberikan pemikiran-pemikiran terhadap pendidikan Islam. Ternyata otoritas wahyu menjadikan dasar pembinaan watak seseorang, artinya kebebasan yang dimiliki oleh manusia tetap berdasar kepada wahyu. Dengan begitu, bagi system kehidupan manusia, akal hanya sebagai pembenaran terhadap wahyu, namun manusia tetap mempunyai andil dalam menentukan kehidupannya.















________________
[17] Jalaludin, Teologi Pendidikan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 33

D. Pandangan Al-Qaradlāwi Tentang Rasionalisme Pendidikan Islam
Sebagai seorang tokoh Muslim abad modern yang juga dianggap sebagai seorang pembaharu (reformer) Al-Qaradlāwi telah “berada pada jalur yang benar (on target)” -meminjam istilah Dr. `Abdul Hamid Abu Sulayman- dalam mega proyek şahwah islāmiyyah dan pembangunan umat yang selama ini diperjuangkannya. Selain aktif sebagai seorang pegiat pendidikan di lapangan praktis sebagai mana disinggung di muka, Al-Qaradlāwi juga menulis beberapa buku berkenaan dengan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Menulis lebih dari seratus judul buku, Al-Qaradlāwi tidak abai terhadap tema terkait konsep ilmu dan pendidikan. Beberapa bukunya, sekedar untuk menyebut contoh, menyentuh langsung tema-tema konsep ilmu dan pendidikan seperti Al-`Aql wa al-`Ilm fī al-Qur’ān,[20] Al-Rasūl wa al-`Ilm,[21] Al-Hayāh al-Rabbāniyah wa al-`Ilm,[22] Al-Dīn fī `Aşr al-`Ilmi[23] dan Al-Tarbiyah al-Islāmiyah wa Madrasah Hasan al-Banna.[24] Selain itu pikiran dan gagasannya mengenai konsep ilmu dan pendidikan tersebar dalam buku-bukunya yang lain, serta di berbagai wawancara, makalah, maupun ceramah-ceramahhnya yang disampaikan dalam berbagai kesempatan.
Terkait perdebatan mengenai rasionalisme dalam pendidikan Islam, al-Qaradlāwi secara tegas menolak jika agama [Islam] disebut menghalangani rasionalisme atau kemajuan ilmu pengetahuan.[25] Menurut beliau, ilmu dan akal justru mendapat tempat yang cukup tinggi dalam Islam. Bahkan beliau meyakini bahwa tidak ada agama lain yang lebih memulyakan ilmu dan orang-orang berilmu lebih dari pada Islam. Akal dalam Islam juga menjadi prasyarat utama adanya taklīf. Tanpa adanya akal, taklīf dengan sendirinya juga tidak akan pernah ada. Dalam ungkapan lain, pengebirian akal akan mejatuhkan derajat manusia menjadi hewan.[26]
_________________
[20] Yusuf al-Qaradlāwi, Al-`Aql wa al-`Ilm fī al-Qur’ān,Kairo: Maktabah Wahbah, Cet. 1, 1996 [21] Yusuf al-Qaradlāwi, Al-Rasūl wa al-`Ilm, Kairo: Dar al-Şahwah, t.th [22] Yusuf al-Qaradlāwi, Al-Hayāh al-Rabbāniyah wa al-`Ilm, Kairo: Maktabah Wahbah, Cet. 1, 1995 [23] Yusuf al-Qaradlāwi, Al-Dīn fī `Aşr al-`Ilmi, Ammān: Dār al-Furqān, 1996 [24] Yusuf al-Qaradlāwi, Al-Tarbiyah al-Islāmiyah wa Madrasah Hasan al-Banna, Kairo: Maktabah Wahbah, Cet. 3, 1992 [25] Buku beliau Al-Dīn fī `Aşr al-`Ilmi merupakan jawaban yang lengkap terhadap persoalan ini. [26] Baca: Yusuf al-Qaradlāwi, Al-Hayāh al-Rabbāniyah wa al-`Ilm, hal. 71-73

Penghormatan terhadap akal dan rasionalitas tersebut juga diturunkan dalam konsep pendidikan. Mengenai hal ini, dalam kerangka untuk mencari sebuah model yang aplikatif atas konsep tersebut al-Qaradlāwi menyebut konsep pendidikan seperti yang dipraktekkan oleh al-Ikhwān al-Muslimūn adalah model ideal pendidikan Islam yang dilakukan oleh gerakan-gerakan Islam.[27] Tentu, yang dimaksud al-Qaradlāwi tentang Pendidikan Islam di sini adalah dalam maknanya yang luas dan tidak terbatas dalam bentuk pendidikan formal. Menurutnya, dalam konsep pendidikan al-Ikhwān aspek rasionalitas (al-jānib al-`aqli) mendapat porsi perhatian cukup besar. Pendidikan akal (al-tarbiyah al-aqliyah) adalah wajib hukumnya sebagaimana wajibnya pendidikan keimanan dan ruhani. Dalam kaitan ini, pendiri al-Ikhwān, Hasan al-Banna menjadikan al-fahm (kepahaman) sebagai rukun baiat yang pertama sebelum al-ikhlāş, jihad, amal dan lainnya.[28]
Bentuk lain dari penghargaan terhadap akal dan rasionalitas dalam proses pendidikan Islam adalah didorongnya para murid untuk tidak perlu merasa segan bertanya kepada guru mereka jika mendapati hal-hal yang belum jelas atau masih mengganggu pikiran mereka.[29] Dengan cara atau pendekatan seperti ini, apa yang biasa dituduhkanan sebagai indoktrinasi dalam praktik pendidikan menjadi tidak relevan. Karena dalam sebuah indoktrinasi, seorang murid harus menerima apa adanya segala hal yang disampaikan oleh gurunya secara taken for granted. Namun, meski memberi kewenangan kepada murid untuk menyempaikan pendapatnya dihadapan guru, al-Qaradlāwi juga mengingatkan keharusan penghormatan terhadap seorang guru. Dalam pandangannya, kewajiban penghormatan kepada seorang guru bisa disejajarkan dengan penghormatan terhadap orang tua kandung si murid atau bahkan lebih.[30]


________________
[27] Yusuf al-Qaradlāwi, Al-Tarbiyah al-Islāmiyah wa Madrasah Hasan al-Banna, hal.4 [28] Yusuf al-Qaradlāwi, Al-Tarbiyah al-Islāmiyah wa Madrasah Hasan al-Banna, hal. 24-25 [29] Yusuf al-Qaradlāwi, Al-Rasūl wa al-`Ilm, hal. 106 [30] Yusuf al-Qaradlāwi, Al-Rasūl wa al-`Ilm, hal. 103-104[31] Yusuf al-Qaradlāwi, Al-Rasūl wa al-`Ilm, hal. 38-40
Al-Qaradlāwi mengkritik keras “nalar mitos” (aqliyah khurāfiyah) yang tanda-tandanya adalah menerima begitu saja setiap apa yang didengar, terutama jika datang dari orang-orang terhormat baik seorang guru, tokoh agama atau dari berbagai tradisi lama. Lawannya yang harus dikembangkan adalah sikap “nalar rasional objektif” (aqliyah ilmiyah mawdlū`iyyah) yang menurutnya memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:[31]
1. Tidak serta merta menerima sebuah pendapat atau klaim jika tidak didasari oleh dalil yang kuat. Yang dimaksud dengan dalil adalah al-burhān al-nadzari (teori yang sudah pasti) dalam persoalan `aqliyyat (QS. al-Naml: 64), mushāhadah atau eksperimen dalam persoalan yang inderawi (hissiyat) (QS.al-Zukhruf:19) dan validitas transmisi dalam hal-hal yang termasuk wilayah naqliyat (QS. al-Ahqāf: 4).
2. Menghindari segala bentuk prasangka (al-dzann) dalam setiap persoalan yang mengharuskan adanya kayakinan yang pasti. Dalam kerangka inilah Al-Qur’an menolak ‘keyakinan’ kaum Nashrani tentang disalibnya Isa yang sejatinya tidak lain hanya berdasarkan dugaan semata (QS. al-Nisā: 157).
3. Tidak mengedepankan emosi, sentimen, perasaan, hawa nafsu atau kesan-kesan yang bersifat pribadi melainkan mengutamakan netralitas dan obyektifitas (QS. al-Najm: 23 & Shāād: 26)
4. Menolak cara berfikir yang statis, imitatif dan tidak kritis terhadap pendapat orang lain (QS. al-Baqarah: 170), sebagaimana pula peringatan Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi, “Janganlah kalian menjadi orang yang sekedar ikut arus (imma`ah), yang berkata: aku senantiasa bersama orang-orang; jika mereka berlaku baik maka aku akan berlaku baik bersama mereka dan jika mereka berlaku buruk maka aku juga akan berlaku yang sama dengan mereka..”
5. Senantiasa membiasakan diri untuk melakukan olah fikir dan berkontemplasi baik mengenai ciptaan/semesta (QS. al-A`rāf:185), maupun diri sendiri (QS. al-Dzāriyāt: 31) dan sejarah (QS. Āal `Imrān: 137).




_______________
[31] Yusuf al-Qaradlāwi, Al-Rasūl wa al-`Ilm, hal. 38-40

BAB. III
PENUTUP
Merujuk dari uraian-uraian di atas, pemakalah dapat menjabarkan beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Aliran Qadariyah berpegang teguh pada anggapan bahwa manusia memiliki kemerdekaan dan kekuasaan penuh dalam menentukan perjalanan hidupnya. Manusia mempunyai kekuasaan sendiri untuk mewujudkan perbuatan. Dengan begitu, aliran ini memberikan kreasi-kreasi dan inovasi dalam ilmu pendidikan Islam, melahirkan ideology pendidikan yang liberal, empiris, optimis. Pendidikan Islam secara secara positif diharapkan mengadopsi pemikiran yang demikian, sehingga dapat survive, eksis dan tetap up to date. Pendidikan Islam itu harus diadakan reorientasi dalam berbagai faktor atau unsure-unsurnya. Pendidikan Islam harus berbenah diri untuk tetap mengadakan penyesuaian-penyesuaian dengan tuntutan zaman terutama pada ere globalisasi sekarang ini.
2. Paham Jabariyah ketika diperhadapkan dengan pendidikan Islam, penganut paham ini senantiasa akan mengatakan bahwa pendidikan tidak perlu diadakan inovasi dan perubahan. Karena paham ini menganggap baik buruknya nasib manusia telah ditetapkan oleh Tuhan. Pandangan ini terkait dengan ideology pendidikan yang disebut konservatisme. Aliran fatalis ini melahirkan aliran nativisme, artinya manusia hanya terpaksa berbuat dan dia mengikuti
kehendak Tuhan. Faktor bawaan sangat dominant dalam pembentukan manusia yang sempurna. Walaupun demikian, aliran Jabariyah dengan ajaran kemakhlukan al-Quran dalam perspektif pendidikan Islam menjadi pola pikir yang sangat rasional dikarenakan lafdzi merupakan bentuk kemakhlukan dari Firman Tuhan.
3. Aliran Asy’ariyah banyak bergantung pada otoritas kekuasaan Allah (wahyu), yang mana wahyu sebagai sumber pendidikan. Dengan begitu, bagi system kehidupan manusia, akal hanya sebagai pembenaran terhadap wahyu, namun manusia tetap mempunyai andil dalam menentukan kehidupannya. Aliran Asy’ariyah memandang pendidikan Islam, masih perlu adanya perbaikan-perbaikan pada faktor yang terlibat di dalamnya. Karena apa yang ada selama ini sebenarnya sedikit memenuhi persyaratan pendidikan umum, namun pada tataran konsep pendidikan Islam ini sangat ideal. Akan tetapi pada tataran aplikasi masih jauh dari harapan stakeholders sebagai pemakai lulusan. Aliran Asy’ariyah mengilhami aliran konvergensi dalam pembentukan kepribadian seseorang.
4. Agama Islam adalah agama ilmu, agama rasional dan “agama akal”. Maksudnya, ilmu, rasionalitas dan akal sangat dihormati dalam Islam. Dalam proses pembelajaran tentang Islam dengan berbagai konsep dan ajarannya, rasionalisme dan akal manusia mendapat perhatian besar. Maka dari itu, sebagai turunannya, konsep pendidikan dalam Islam-pun juga bersifat rasional, meskipun dengan catatan tinta tebal bahwa rasionalisme yang disokong bukanlah rasionalisme yang kebablasan sebagaimana dalam worldview Barat.
Sayangnya, rasionalisme yang sedemikian dijunjung tinggi dalam Islam dan pendidikan Islam kemudian menjadi sebuah ironi. Dunia pendidikan Islam pada abad-abad belakangan mengalami krisis, dimana indoktrinasi yang telah mendominasi kegiatan belajar mengajar dan taqlid yang telah mengakar berhasil menggeser pendekatan rasional, kritis dan analitis dalam proses kegiatan ilmiyah.
Kenyataan yang menyedihkan ini menjadi objek kritik dari sejumlah pakar dan pembaharu, salah satunya Yūsuf al-Qaradlāwi yang juga dikenal salah satu tokoh paling otoritatif di dunia muslim abad ini. Berangkat dari sumber-sumber al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW yang dikuasainya, serta sejumlah ‘pengalaman’ yang diwariskan oleh orang-orang yang sangat mempengaruhi perjalanan intelektualnya seperti Hasan al-Banna dan lain-lain, al-Qaradlāwi cukup berhasil mendudukan ‘rasionalisme Islam’ yang seharusnya ditegakkan kembali dalam bidang pendidikan Islam. Rasionalisme ini, menurutnya memiliki lima prinsip penting yaitu: 1). Perlunya pembuktian ilmiyah terhadap sebuah klaim ilmu/kebenaran; 2). Tidak tergesa-gesa dengan praduga; 3). Tidak mengedepankan emosi dan subjektifitas; 4). Menghindari taklid buta dan mental mengekor; serta 5). Membiasakan aktifitas berfikir dan olah akal.




DAFTAR PUSTAKA
1. Abu Zahra, Imam Muhamad. Aliran politik dan Aqidah dalam Islam. Cet.1; Jakarta: Logos Publising House, 1996.
2. Achmadi. Ideologi Pendidikan Islam paradikma Humanisme Teosentrime. Cet.1; Pustaka Pelajar; Yogyakarta. 2005.
3. Arifin, Muzayyin. Filsafat Pendidikan Islam. Edisi Revisi; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005.
4. Barnadib, Imam. Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Yogyakarta, 1976.
5. Dewey,John. Democracy and Education. New York: The Free Press,1966.
6. Djumransjah, M. Filsafat Pendidikan (Telaah Tujuan dan Kurikulum Pendidikan). Cet.1; Malang,Kutub Minar, 2005.
7. Hanafi,Ahmad. Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna,1989.
8. Jalal, Abdul Fatah. Min Ushul al-tarbiyah fi al-Islamiyah. Mesir: Jumhur al-Arabiyah, 1977.
9. Haq, Hamka. Dialog Pemikiran Islam. Ujung Pandang: Yayasan Ahkam, 1995.
10. Jalaludin. Teologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
11. Madjid, Nurcholis. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
12. Mursi, Muhammad Munir. Al-Tarabiyah al-Islamiyah Ushuluha Wa Tathawwuruha fi al-Bilad al-Arabiyah. Mesir: Dar al-Ma’arif, 1987.
13. Nasution, Harun.Islam Rasional. Cet. 1;Bandung : Mizan, 1995.
14. ¬_______, Theology Islam. Jakarta : Bulan Bintang,1974.
15. _______, Teologi Islam. Aliran-aliran Sejarah Islam Analisa Perbandingan. Cet 5; UI Press: Jakarta, 2002.
16. Nata, Abudin. Pemikiran Para Tokoh-tokoh Pendidikan Islam. Cet. 1; Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
17. _______, Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Baru). Cet. 1; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005.
18. Perk. Joe. Selected Readings In The philosophy of Education. Macmillan Publishing Co Inc, New York,1974.
19. al-Qardhawi, Yusuf. Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, Diterjemahkan oleh Bustani A. Gani dan Zainal Abidin Ahmad. Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
20. Roubiczek, Paul. Existentialism for and Against. Cambridge University Press, 1966.
21. Tapsir, Ahmad. Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Cetakan 13; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.
22. Tirtaraharja, Umar. Dkk, Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta; 2000.